Share

Bab 5 "Galau"

Penulis: Radsel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan.

"Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.

Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh.

"Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo.

"Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo.

"Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget waktu dengar kamu bilang soal kamu sudah dijodohkan tadi," ucap Shania dengan wajah serius.

"Iya... iya. Ayo kita cari tempat buat bicara," ajak Valdo.

Mereka berdua pun masuk ke dalam mobil, mencari tempat yang lebih tepat untuk membicarakan permasalahan di antara mereka yang cukup pelik.

...

Mereka akhirnya sampai di sebuah coffee shop yang kebetulan malam itu sedang tidak banyak pengunjungnya. Setelah memesan minuman dan menemukan tempat duduk yang nyaman di sudut ruangan, Shania langsung meminta Valdo untuk menjelaskan.

"Jadi gimana tadi? Jelaskan lagi padaku," pinta Shania dengan wajah masam.

"Ehem..." Valdo berdehem untuk melegakan tenggorokannya. "Tadi siang aku dipanggil papa. Sesampainya di rumah, aku dikasih tahu kalau aku sudah dijodohkan dengan anak gadis dari teman baik papa," jelas Valdo.

"Hari gini papa kamu masih menjodohkan anaknya? Kolot banget, sih! Jadul banget, nggak sih, caranya?!" seru Shania, berbicara agak keras sehingga beberapa pengunjung menolehkan kepala mereka untuk melihat ke arah Valdo dan Shania.

"Ssstt... nggak usah keras-keras juga ngomongnya," sergah Valdo yang merasa tidak enak hati.

"Tapi tetap saja, kamu harus menolak hal itu, sayang," balas Shania dengan suara lebih lirih.

Valdo terdiam mendengar Shania berbicara.

"Kok kamu malah diam? Jangan-jangan kamu setuju, ya, sama perjodohanmu?" terka Shania dengan wajah semakin masam.

"Bukan begitu. Kamu juga harusnya bisa mengerti posisiku," sahut Valdo. "Sejak dulu aku tidak pernah membantah apa pun yang dikatakan papa dan mama. Aku selalu menurut karena aku percaya apa yang mereka pilihkan adalah yang terbaik. Apapun itu. Dan kamu sendiri tahu kan kalau papa dan mama sebenarnya tidak suka denganmu?" lanjut Valdo bertanya.

"Aku tahu itu. Dan aku juga dalam proses berubah," balas Shania. Tapi ia kemudian terhenti karena Valdo menatapnya dengan tajam. Shania sadar dirinya baru saja ketahuan clubbing bersama teman-temannya, belum lagi hal-hal lain yang tidak diketahui pacarnya itu.

"Ya, paling tidak aku sedang berusaha mengurangi kegiatan malamku. Aku melakukan itu demi kamu. Tapi aku nggak menyangka kita bakal dipisahkan dengan cara kamu dijodohkan begini," lanjut Shania, memprotes.

"Jujur aku kaget juga sama keputusan mereka. Aku sudah berusaha menolak, tapi papa tetap bersikukuh agar aku menikahi anak dari temannya itu," kata Valdo.

Keduanya terdiam. Shania paham bagaimana posisi kekasihnya itu. Valdo memang anak baik yang tak pernah membantah orang tuanya. Namun, di sisi lain, ia kesal karena hubungannya terusik oleh kehadiran wanita lain yang akan dijodohkan dengan Valdo. Dari sisi wanita, Shania merasa sangat sedih dan kesal di saat yang bersamaan.

"Terus bagaimana? Apa kamu mau menuruti permintaan papa dan mama begitu saja?" tanya Shania dengan nada sedih.

"Jujur, aku nggak tahu. Aku benar-benar bingung," jawab Valdo.

"Tapi kalau kamu tidak memberikan perlawanan, mereka akan benar-benar menjodohkanmu," desak Shania.

"Aku tahu itu. Tapi aku tak tahu harus bagaimana," kata Valdo seraya menundukkan kepala.

Di dalam dirinya kini berkecamuk perasaan yang sulit dikendalikan. Di satu sisi, dia tak ingin menyakiti perasaan orang tuanya, tetapi dia juga tak mau meninggalkan Shania. Hubungan yang sudah dijalani selama satu tahun ini terasa sangat sulit untuk dilepaskan begitu saja.

"Apa kamu masih sayang dan cinta sama aku?" tanya Shania tiba-tiba.

"Tentu saja!" jawab Valdo dengan cepat. "Perasaanku tidak pernah berubah padamu. Lagipula, kalau aku tidak sayang padamu, kenapa aku sampai pusing seperti ini," lanjut Valdo.

Shania terdiam setelah mendengar jawaban Valdo, menciptakan keheningan yang mencekik di antara mereka. Lagu sendu yang kebetulan sedang diputar di coffee shop itu seakan menjadi musik latar kisah sedih percintaan mereka, seperti drama Korea yang berada di puncak kesedihan dan kegalauan.

Orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka seperti pemeran pembantu yang melengkapi adegan yang biasanya mengundang penonton untuk mengeluarkan air mata haru.

"Aku tak tahu harus berbuat apa, Shania. Apa aku harus menuruti orang tuaku dan mengandaskan kisah cinta kita? Atau aku harus melawan mereka dan tetap menjalani hubungan kita? Jujur, dua hal itu terus saja berputar-putar di dalam kepalaku hingga rasanya sangat pusing," kata Valdo dengan pelan.

Ia kemudian meminum iced americano-nya yang sebagian besar es batunya sudah mencair. Meskipun rasanya sudah tidak seenak saat pertama kali disajikan, kopi itu setidaknya bisa menyegarkan tenggorokannya yang kering. Valdo berharap kepenatan di kepalanya bisa sedikit berkurang.

Sementara itu, Shania masih saja terdiam dengan dahi mengernyit dan kedua tangan menyilang di depan dadanya. Kepalanya tak kalah penat dari kepala Valdo, tetapi dari sorot matanya terlihat bahwa dia belum mau menyerah dengan keadaan yang membelenggu mereka malam itu.

"Valdo," panggil Shania dengan lembut, membuat Valdo yang sejak tadi menundukkan kepala kini mengangkatnya dan menatap mata kekasihnya yang juga sedang menatapnya dengan tajam.

"Ya?" jawab Valdo.

"Aku punya jalan keluar untuk kita berdua. Meskipun cara ini agak sedikit ekstrem, tapi aku rasa ini bisa kita lakukan," kata Shania dengan sangat yakin.

"Jalan keluar? Ekstrem? Maksudnya?" tanya Valdo, bingung.

Shania mendekatkan dirinya, meraih tangan Valdo, dan menggenggamnya erat. "Bagaimana kalau kita kabur saja? Lari dari semua ini, dari segala tekanan, dan memulai hidup baru di tempat lain? Aku yakin kita bisa melakukannya, Valdo. Kita hanya butuh keberanian."

Valdo terdiam sejenak, terkejut dengan usulan Shania yang tiba-tiba. Kabur? Meninggalkan semua ini? Apakah itu benar-benar jalan keluar yang bisa diambil? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, tetapi melihat tatapan Shania yang penuh harap membuatnya merasa ragu untuk langsung menolak.

"Kabur? Apa kamu yakin? Bukankah itu terlalu berisiko? Bagaimana dengan keluargaku? Keluargamu? Bagaimana kita akan menjalani hidup nanti?" tanya Valdo, masih tidak percaya.

Shania menghela napas dalam-dalam. "Aku tahu ini tidak mudah, Valdo. Tapi kita sudah terlalu lama dikekang oleh aturan-aturan yang dibuat orang lain. Kita berhak memilih jalan hidup kita sendiri. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, aku yakin kita bisa melewati ini bersama. Aku tidak peduli dengan yang lain, aku hanya peduli pada kita."

Valdo termenung mendengar kata-kata Shania. Apa yang dikatakan Shania benar, tetapi apakah dia cukup berani untuk mengambil langkah ekstrem ini?

Bab terkait

  • Cinta Yang Tertunda   bab 6 Ide Gila

    Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 7 Pertaruhan Perasaan

    Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 1 "Janji"

    Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 2 "Keputusan"

    Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 3 "Tanpa Perlawanan"

    Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 4 "Paradise"

    Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.

Bab terbaru

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 7 Pertaruhan Perasaan

    Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha

  • Cinta Yang Tertunda   bab 6 Ide Gila

    Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 5 "Galau"

    Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 4 "Paradise"

    Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 3 "Tanpa Perlawanan"

    Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 2 "Keputusan"

    Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald

  • Cinta Yang Tertunda   Bab 1 "Janji"

    Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga

DMCA.com Protection Status