Bab: Sebuah Ide Gila
Valdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania. "Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja." Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengambil keputusan sendiri, tanpa merasa terikat?" Valdo terdiam. Ia tahu Shania benar dalam hal ini. Mereka berdua sudah terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang keluarga masing-masing. Tapi kabur? Itu bukan solusi yang bisa diterimanya begitu saja. "Kamu berbicara seolah-olah itu semudah membalikkan telapak tangan," kata Valdo, suaranya mulai terdengar lebih serius. "Tapi kabur bukanlah jawaban. Itu justru melarikan diri dari masalah, bukan menyelesaikannya. Kita tidak bisa meninggalkan keluarga kita begitu saja, Shania. Mereka akan mencari kita. Dan bagaimana kalau mereka menemukan kita? Itu hanya akan memperburuk keadaan." Shania menatap Valdo dengan tajam. "Jadi apa solusi yang kamu tawarkan, Valdo? Menurut apa yang orang tuamu inginkan? Menikahi wanita yang bahkan kamu tidak kenal dan membiarkan hubungan kita hancur begitu saja? Apakah itu lebih baik daripada mencoba melawan, walaupun dengan cara yang ekstrem?" Valdo mendesah panjang. "Aku tidak tahu, Shania. Tapi aku juga tidak bisa setuju dengan ide gilamu ini. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkan semuanya, apalagi dengan cara seperti itu. Ini terlalu besar untuk diputuskan dengan gegabah." Shania mengalihkan pandangannya ke luar jendela, terlihat frustrasi. Ia tidak tahu lagi bagaimana meyakinkan Valdo. Semua yang diucapkannya adalah demi mereka berdua, demi masa depan yang mungkin mereka masih bisa miliki bersama. Tapi Valdo begitu terpaku pada kewajiban dan rasa tanggung jawab terhadap keluarganya. Keheningan kembali menyelimuti mereka. Di luar, langit malam semakin gelap, seolah mencerminkan suasana hati mereka yang suram. Lagu sendu di coffee shop terus mengalun, menjadi latar belakang perbincangan yang semakin buntu. Setelah beberapa saat, Shania menarik napas dalam-dalam dan menatap Valdo kembali, kali ini dengan ekspresi yang berbeda. Ada kesedihan, tetapi juga keteguhan yang sulit dijelaskan. Seolah-olah dia telah memutuskan sesuatu yang lebih drastis. "Baiklah, kalau kamu tidak mau kabur," katanya dengan suara yang lebih tenang, "aku punya ide lain. Tapi aku harus mengingatkanmu, ide ini mungkin bahkan lebih gila daripada yang tadi." Valdo memandang Shania dengan ragu-ragu. "Apa itu?" Shania mendekatkan tubuhnya ke arah Valdo, suaranya berubah menjadi bisikan, seolah tidak ingin siapa pun di coffee shop itu mendengarnya. "Kalau kamu harus menikahi wanita pilihan orang tuamu, kenapa kita tidak membalikkan keadaan? Nikahi dia." Mata Valdo melebar. "Apa?" Shania tersenyum tipis. "Ya. Kita bisa menikahinya secepat mungkin, secara diam-diam. Tidak ada pesta besar, tidak ada keramaian. Kamu bisa mengurus semuanya dengan cepat, tanpa ada yang tahu. Setelah itu, kita pergi. Pergi sejauh mungkin. Kalau perlu, kita ke luar negeri. Kamu tetap menjalankan apa yang orang tuamu inginkan, tetapi kita melakukannya dengan cara kita sendiri." Valdo terdiam, benar-benar tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Ini benar-benar di luar dugaan. Shania benar-benar serius, dan itu terlihat dari sorot matanya yang penuh keyakinan. Tapi menikah dengan wanita yang bahkan ia tidak kenal? Dan melakukannya hari ini juga? "Shania, ini gila. Kamu menyuruhku menikahi seseorang yang bahkan aku belum pernah bertemu, hanya untuk kemudian kabur? Apa kamu tidak mendengar dirimu sendiri?" Shania menatap Valdo dengan serius. "Dengar, Valdo. Aku tahu ini terdengar gila. Tapi pikirkan baik-baik. Dengan cara ini, kamu bisa memenuhi keinginan orang tuamu dan sekaligus menyelamatkan hubungan kita. Kita bisa pergi jauh dari semua ini, memulai hidup baru. Dan siapa tahu? Mungkin setelah beberapa waktu, mereka akan mengerti kenapa kita melakukannya." Valdo menggelengkan kepalanya, masih tidak bisa menerima ide ini. "Bagaimana kamu bisa yakin kalau ini akan berhasil? Bagaimana kalau mereka tetap menemukan kita? Atau bagaimana kalau pernikahan ini justru menjadi bumerang bagi kita?" Shania menghela napas dan menggenggam tangan Valdo lebih erat. "Aku tidak bisa memberikan jaminan, Valdo. Tapi yang bisa aku tawarkan adalah kesempatan. Kesempatan untuk tetap bersama, meskipun caranya tidak sempurna. Aku lebih baik mengambil risiko ini daripada kehilanganmu sepenuhnya." Valdo merasa dirinya terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama sulit. Di satu sisi, dia tidak ingin menyakiti orang tuanya. Di sisi lain, dia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Shania. Semua jalan yang ada di depannya terasa penuh duri dan jebakan. Tapi Shania... Shania adalah wanita yang begitu berani, begitu teguh dalam usahanya mempertahankan cinta mereka. Valdo merasa terhormat, tetapi juga takut dengan apa yang mungkin terjadi jika mereka benar-benar mengikuti rencana ini. "Shania, ini terlalu rumit. Aku bahkan belum bertemu dengan gadis yang akan dijodohkan denganku. Bagaimana aku bisa menikah dengannya begitu saja?" tanyanya, mencoba mencari celah untuk menolak ide ini dengan cara yang masuk akal. Shania tersenyum lembut. "Itu justru poinnya, Valdo. Kamu menikahi dia dengan cara yang tidak terduga, tanpa perayaan besar, tanpa embel-embel apa pun. Setelah itu, kita kabur. Pergi jauh. Kalau perlu, kita ke luar negeri. Kamu tetap bisa memenuhi apa yang orang tuamu inginkan, tapi kita yang mengendalikan arah hidup kita." Valdo terdiam lagi. Shania begitu meyakinkan, seolah semua rencana ini bisa benar-benar berjalan dengan lancar. Tapi di dalam hatinya, Valdo tahu bahwa keputusan ini jauh lebih kompleks dari apa yang terlihat di permukaan. Namun, di saat yang sama, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mencoba, untuk mempertaruhkan segalanya demi cinta mereka. "Apa kamu benar-benar yakin ini jalan yang terbaik?" tanya Valdo pelan, hampir seperti bisikan. Shania menatapnya dalam-dalam dan mengangguk pelan. "Ya, Valdo. Aku yakin. Kita tidak bisa terus-terusan hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Kita harus mengambil alih kendali hidup kita. Dan kalau kita harus melakukannya dengan cara yang ekstrem, maka itu adalah risiko yang harus kita ambil." Valdo memejamkan matanya sejenak, mencoba membayangkan apa yang akan terjadi jika dia mengikuti rencana Shania. Dia bisa melihat banyak hal yang bisa salah, tetapi di sisi lain, dia juga bisa melihat harapan baru yang mungkin bisa mereka capai bersama. Setelah beberapa saat, Valdo membuka matanya kembali dan menatap Shania dengan tatapan yang penuh tekad. "Baiklah, Shania. Aku akan melakukannya," katanya dengan suara mantap. "Aku akan menikahi gadis itu, tapi kita akan melakukan ini dengan cara kita sendiri. Setelah itu, kita akan pergi. Ke mana pun itu, asalkan kita bisa bersama." Shania tersenyum lebar, matanya berkilauan dengan harapan. "Terima kasih, Valdo. Kamu tidak akan menyesal mengambil keputusan ini. Aku yakin kita bisa melalui ini bersama." Valdo hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Namun, satu hal yang ia tahu pasti: ia akan melakukan apa pun untuk mempertahankan cinta mereka, meskipun itu berarti mengambil risiko yang sangat besar.Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha
Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga
Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald
Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m
Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.
Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak
Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha
Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb
Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak
Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.
Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m
Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald
Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga