Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan.
"Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut. "Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo. "Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi. "Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya. "Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu. "Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun. Shania ngikut aja kayaknya," terang barista tersebut. Valdo menatap barista itu dengan tatapan curiga. Ia merasa tidak percaya dengan penjelasan orang itu. "Beneran. Kalau nggak percaya, kamu datang aja ke Club Paradise. Tadi katanya mereka semua mau ke sana," jelas barista itu lagi untuk meyakinkan Valdo. "Ya sudah. Thanks banget infonya, bro," sahut Valdo yang kemudian berjalan keluar dari kafe. Ia segera masuk ke dalam mobilnya, dan suara ban mobil menggerus aspal kembali terdengar menuju Club Paradise. Tak butuh waktu lama, sepuluh menit perjalanan sudah membawa Valdo sampai di klub malam yang cukup eksklusif itu. Di bagian depan bangunan yang sebagian besar berwarna hitam, terdapat lampu neon bertuliskan "Paradise" yang menyala dan kadang berganti-ganti warna. Di bagian pintu masuk klub tersebut juga dijaga oleh orang bertubuh kekar yang mengenakan earpiece di telinga kanannya. Valdo mendekat dan sempat dicegah oleh penjaga itu. Penjaga tersebut memperhatikan Valdo untuk memeriksa apakah dirinya cukup umur untuk masuk ke dalam. Karena sangat jarang ke klub tersebut, Valdo sampai harus meyakinkan penjaga bermuka garang itu dengan menunjukkan tanda pengenalnya. Barulah setelah itu, penjaga tersebut memperbolehkan Valdo untuk masuk. Valdo berjalan dan membuka pintu kaca berwarna hitam, yang mana kembali disambut lagi dengan pintu lainnya. Saat Valdo membuka pintu kaca, dirinya tidak mendengar musik dengan jelas, bahkan sangat lirih. Barulah ketika ia membuka pintu kedua, musik keras dengan dentuman bass yang menggetarkan jantung menghajarnya dan membuat dadanya bergetar. Valdo memang kurang suka dengan klub malam meskipun dia juga terkenal cukup playboy di kampus, sampai akhirnya hatinya tertambat pada Shania. Gadis yang ternyata juga mendapat julukan di kampus dengan panggilan "Ratu Clubbing." Karena itu, suasana klub yang super berisik itu tak membuatnya nyaman. Valdo menahan diri mendengarkan musik keras tersebut, sambil matanya menyapu tempat yang ternyata cukup luas itu. Di tengah ruangan yang agak turun ke bawah, terlihat banyak orang yang sedang menikmati musik dari sang DJ, yang sedang memainkan alat musik di depannya sambil sesekali berjoget mengikuti irama musik EDM. Valdo tak menemukan Shania di sana dan pandangannya dialihkan ke pinggir. Di beberapa tempat, terlihat beberapa orang berkumpul. Valdo teringat kata barista bahwa Shania datang ke klub itu bersama teman-temannya untuk merayakan ulang tahun salah satu temannya. Ia pun berjalan mendekat dan tidak mendapati Shania di sana. Valdo juga tak mengenal orang-orang di sana sebagai teman dari Shania. Kembali Valdo menyapu pandangannya ke sekeliling tempat itu, hingga akhirnya pandangannya tertuju ke lantai dua, di mana ia berhasil menemukan kekasihnya itu. Valdo menaiki tangga besi menuju lantai dua, dan ia menemukan Shania sedang minum-minum dan bercanda gurau bersama teman-temannya, yang kebanyakan adalah pria. Salah satu teman Shania melihat Valdo dan menyenggolkan lengannya pada Shania. "Apa?" kata Shania pada temannya itu. Pandangan Shania mengikuti pandangan dari temannya itu, dan ia terkejut melihat kekasihnya ada di sana. Shania segera meletakkan gelas yang ia pegang dan mendekati Valdo. "Valdo? Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Shania dengan keras, karena suaranya harus bersaing dengan suara musik. "Aku yang harusnya bertanya. Kamu ngapain di sini?" tanya balik Valdo. "Temanku ada yang ulang tahun. Katanya dia mau merayakannya di sini. Ya sudah, aku ngikut aja," jelas Shania yang suaranya terdengar samar, namun masih tertangkap oleh Valdo. "Aku mau bicara sesuatu," ucap Valdo. "Bicara apa? Katakan saja di sini," balas Shania. Valdo melihat sekelilingnya, dan ia tak menemukan tempat yang nyaman untuk bicara. Tak ada pilihan lain, Valdo pun memutuskan untuk mengatakannya di sana. "Aku sebentar lagi menikah," ucap Valdo. "Hah? Apa?" teriak Shania. Suara musik yang keras membuat suara Valdo tak sampai ke telinga gadis cantik yang nampak modis itu. "Aku dijodohkan dan akan segera menikah," ulang Valdo, kali ini mengucapkannya langsung di telinga kekasihnya itu. Seketika wajah Shania berubah. Ia menatap Valdo dengan serius selama beberapa detik, namun kemudian gelak tawa terdengar dari Shania. "Kamu ada-ada saja, sayang. Aku belum mabuk, jadi masih sadar kalau kamu pasti lagi bercanda. Iya kan?" tanya Shania dengan harapan apa yang dikatakan Valdo adalah candaan semata. Namun perlahan senyum itu menghilang dari wajah cantik Shania karena Valdo ternyata tak bergeming. "Kamu serius? Serius kamu dijodohkan dan akan menikah? Kamu bercanda, kan?" tanya Shania dengan penuh harap. Valdo menjawab dengan anggukan kepala, membuat Shania semakin yakin kalau kekasihnya itu tidak sedang bercanda. "Valdo, ini benar-benar nggak lucu. Kenapa kamu tiba-tiba bicara soal ini? Terus hubungan kita bagaimana?" tanya Shania yang sudah nampak cemas. "Jujur aku tidak tahu," jawab Valdo. Suara musik kemudian terdengar semakin keras saja, seolah tak membiarkan pembicaraan Valdo dan Shania berlanjut. "Aku pergi dulu. Tempat ini tidak enak untuk dipakai membicarakan soal ini," Valdo memutuskan untuk pergi dari sana. "Valdo... tunggu!" seru Shania yang hendak mencegah Valdo untuk pergi. "Shania! Kamu mau kemana? Kita mau tiup lilin nih!" panggil salah satu teman Shania yang di tangannya membawa kue ulang tahun yang dihiasi dengan lilin yang menyala, menunggu untuk dipadamkan dengan tiupan orang yang sedang merayakan ulang tahunnya. Shania bingung dibuatnya. Di satu sisi, ia ingin mengejar Valdo dan membicarakan masalah mereka lebih lanjut. Namun di sisi lain, teman-temannya memanggilnya untuk kembali berpesta bersama mereka. Dilema mendalam pun melanda Shania.Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak
Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb
Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha
Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga
Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald
Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m
Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha
Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb
Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak
Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.
Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m
Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald
Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga