Share

Bab 3 "Tanpa Perlawanan"

Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja.

Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat.

"Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa.

"Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, meskipun dadanya berdegup kencang. Dia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang akan dibicarakan.

Pak Baskoro mengangguk puas sebelum akhirnya meluncurkan kalimat yang membuat Valdo terhenyak. "Bagus. Sekarang Papa ingin kamu segera menikah."

Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Valdo. Sejenak dia terdiam, mencoba mencerna maksud dari ucapan Papa. "Me... menikah?" ulangnya, suaranya hampir tidak terdengar.

"Iya. Papa sudah memikirkan ini dengan matang. Kamu akan menikah setelah lulus kuliah," ucap Pak Baskoro dengan nada datar, seolah itu adalah keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.

“Pa, aku... aku kan sudah punya pacar...” Valdo mencoba mencari celah, berharap Papa akan mempertimbangkan perasaannya.

"Pacar kamu, Shania, kan? Papa tahu itu. Dan itu juga alasan Papa ingin kamu menikahi wanita pilihan Papa," kata Pak Baskoro dengan tegas. Tatapan matanya yang tajam menembus pikiran Valdo, membuatnya merasa kecil di depan ayahnya sendiri.

Valdo merasa semakin bingung. "Maksud Papa?" tanyanya, mencoba memahami alasan di balik keputusan besar ini.

Pak Baskoro menghela napas dalam sebelum berbicara lebih lanjut. "Pacarmu, Shania, tidak punya masa depan, Valdo. Dia menghabiskan malam-malamnya di klub, minum sampai pagi. Apa wanita seperti itu yang ingin kamu jadikan istri dan ibu dari anak-anakmu nanti? Papa ngeri membayangkan bagaimana dia akan mengajarkan hal-hal buruk kepada cucu Papa."

Valdo terdiam sejenak. Shania memang sering mengatakan bahwa dia akan berubah, bahwa dia akan meninggalkan kebiasaannya berpesta dan minum-minum. Sejak awal mereka berpacaran, janji itu selalu diucapkan, tetapi Valdo tidak bisa menutup mata bahwa janji itu semakin jauh dari kenyataan. Berkali-kali Valdo menasihati pacarnya, tetapi Shania selalu mengelak, atau kalau sudah terpojok, menangis dan meminta maaf. Tapi setelah itu, semuanya kembali seperti semula.

“Tapi, Pa, Shania bilang dia akan berubah,” ucap Valdo pelan, suaranya terdengar seperti permohonan terakhir, mencoba membela pacarnya yang ia cintai selama setahun terakhir.

"Berapa lama dia sudah bilang itu? Dan apakah ada perubahan yang kamu lihat?" desak Pak Baskoro, suaranya semakin menekan, seolah tidak memberikan celah sedikit pun untuk Valdo berpikir.

Kenyataan itu menampar Valdo. Memang benar, sudah setahun lebih mereka pacaran, tetapi Shania masih terjebak dalam gaya hidup yang sama. Valdo kehabisan kata-kata. Apa yang Papa katakan tidak sepenuhnya salah, tetapi tetap saja, mendengar kata-kata itu keluar dari mulut ayahnya membuatnya merasa terpojok.

"Benar kan, apa yang Papa katakan? Kamu saja sampai terkejut begitu. Pasti kamu pikir Papa dan Mama tidak memperhatikanmu dan pasanganmu. Tapi kami selalu mengawasi. Kami berdua sedih melihatmu memilih Shania. Kami berharap kamu tidak terlalu serius dengannya. Selain itu, ada alasan lain kenapa Papa dan Mama menjodohkanmu," lanjut Pak Baskoro.

Valdo masih terdiam, belum bisa mencerna semua yang baru saja dikatakan. Ada perasaan pahit yang menggelayut di hatinya, namun dia juga tidak bisa sepenuhnya membantah kebenaran kata-kata Papa. Akhirnya, ia bertanya, "Alasan lain, Pa?"

"Papa sudah katakan bahwa kamu akan meneruskan perusahaan yang Papa bangun. Kamu sudah menyiapkan diri dengan kuliah di jurusan bisnis. Tapi karier gemilang tidak akan bertahan lama jika tidak didukung oleh pasangan yang tepat. Papa tidak melihat sosok istri ideal dalam diri Shania. Namun, Papa punya teman baik yang anak gadisnya sangat cocok untukmu. Dia seumuran denganmu dan akan segera menjadi pengacara. Bayangkan, pengusaha dengan istri seorang pengacara. Anak-anak kalian pasti cerdas," kata Pak Baskoro dengan mantap.

Valdo tercengang dengan penjelasan itu. Dia tidak bisa menyangkal bahwa dirinya senang akan memimpin perusahaan milik Papa kelak. Karena itulah dia bersemangat untuk kuliah dan segera lulus. Namun, perjodohan ini, pikirnya, terlalu tiba-tiba.

"Tetap saja, Pa. Perjodohan ini sangat mengejutkanku dan seharusnya Papa dan Mama bicara dulu denganku sebelumnya," kata Valdo yang merasa semakin terdesak, walaupun dia tahu bahwa tidak ada lagi jalan keluar yang bisa ia tempuh.

Sejak kecil, Valdo memang anak yang baik. Dia selalu menurut dengan semua perintah Papa dan Mama. Tak pernah sekalipun dia membantah atau membangkang. Rasa patuh itu terus ia jaga sampai sekarang.

"Tapi kamu tenang saja. Papa akan mempersiapkan semuanya untukmu. Kamu hanya tinggal datang saja untuk menikah dan semuanya selesai. Selagi menunggu hari pernikahanmu, kamu bisa bicara dengan pacarmu dan bilang padanya bahwa kamu akan menikah dengan wanita pilihan Papa dan Mama," ucap Pak Baskoro dengan tenang.

Valdo sadar dan hapal betul bahwa apa yang dikatakan oleh Papanya ini lebih seperti perintah daripada penawaran. Tidak ada celah untuk tawar-menawar lagi pada diskusi siang itu. Bahkan semua pergerakan dan perlawanan darinya sudah diperhitungkan oleh Papa.

Merasa bahwa tidak ada jalan lain, Valdo pun memilih untuk pergi dari sana dan menenangkan pikirannya.

"Aku keluar dulu, Pa," ujar Valdo sambil berdiri, lalu berjalan dengan lesu menuju pintu.

Mata Pak Baskoro mengamati putranya dengan tajam. Hingga pintu itu tertutup, meninggalkan keheningan yang memenuhi ruangan kerja yang besar itu.

---

Valdo masih terdiam di sofa ruang tamu, pikirannya melayang jauh. Suara langkah Mama terdengar mendekat, dan seketika ia menyadari bahwa Mama sudah pulang.

"Kamu sudah datang, Nak?" tanya Mama Valdo dengan lembut ketika mendapati anaknya sedang duduk di sana, wajahnya tampak lesu.

"Mama sudah pulang?" tanya balik Valdo, suaranya terdengar lemah.

"Mama baru saja pulang," jawabnya sambil duduk di samping Valdo. Dia melihat putranya dengan penuh perhatian, lalu dengan hati-hati bertanya, "Papa sudah mengatakan hal itu ya padamu?"

Valdo mengangguk lemas. Dia lalu menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke sofa, merasa begitu kelelahan oleh perasaan dan pikiran yang berputar-putar dalam kepalanya.

"Jangan lesu begitu, sayang. Kita melakukan ini karena kita sayang dan peduli padamu. Kita ingin kamu punya masa depan yang lebih baik," bujuk Mama Valdo, suaranya lembut dan penuh kasih sayang. Dia lalu meraih tangan Valdo dan menggenggamnya erat, mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhan hangatnya.

"Tapi aku kaget banget, Ma. Aku nggak nyangka kalau akan menjalani perjodohan ini," balas Valdo dengan suara yang hampir putus asa.

Mama Valdo merasa iba melihat putranya begitu terpuruk. Dia lalu memeluk Valdo erat, membelai punggungnya dengan lembut, seolah mencoba menenangkan badai yang tengah bergemuruh di dalam diri anaknya.

"Semuanya akan baik-baik saja, sayang. Kita selalu memberikan yang terbaik untukmu," ucapnya dengan lembut, berharap bisa meredakan gejolak di hati Valdo.

Valdo hanya bisa terdiam dalam pelukan Mama. Meski hatinya masih gelisah, ia tahu bahwa Papa dan Mama selalu menginginkan yang terbaik untuknya. Namun, perasaan cinta dan rasa tanggung jawabnya kepada Shania membuatnya sulit menerima keputusan ini begitu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status