Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja.
Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, meskipun dadanya berdegup kencang. Dia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang akan dibicarakan. Pak Baskoro mengangguk puas sebelum akhirnya meluncurkan kalimat yang membuat Valdo terhenyak. "Bagus. Sekarang Papa ingin kamu segera menikah." Kata-kata itu seperti pukulan telak bagi Valdo. Sejenak dia terdiam, mencoba mencerna maksud dari ucapan Papa. "Me... menikah?" ulangnya, suaranya hampir tidak terdengar. "Iya. Papa sudah memikirkan ini dengan matang. Kamu akan menikah setelah lulus kuliah," ucap Pak Baskoro dengan nada datar, seolah itu adalah keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. “Pa, aku... aku kan sudah punya pacar...” Valdo mencoba mencari celah, berharap Papa akan mempertimbangkan perasaannya. "Pacar kamu, Shania, kan? Papa tahu itu. Dan itu juga alasan Papa ingin kamu menikahi wanita pilihan Papa," kata Pak Baskoro dengan tegas. Tatapan matanya yang tajam menembus pikiran Valdo, membuatnya merasa kecil di depan ayahnya sendiri. Valdo merasa semakin bingung. "Maksud Papa?" tanyanya, mencoba memahami alasan di balik keputusan besar ini. Pak Baskoro menghela napas dalam sebelum berbicara lebih lanjut. "Pacarmu, Shania, tidak punya masa depan, Valdo. Dia menghabiskan malam-malamnya di klub, minum sampai pagi. Apa wanita seperti itu yang ingin kamu jadikan istri dan ibu dari anak-anakmu nanti? Papa ngeri membayangkan bagaimana dia akan mengajarkan hal-hal buruk kepada cucu Papa." Valdo terdiam sejenak. Shania memang sering mengatakan bahwa dia akan berubah, bahwa dia akan meninggalkan kebiasaannya berpesta dan minum-minum. Sejak awal mereka berpacaran, janji itu selalu diucapkan, tetapi Valdo tidak bisa menutup mata bahwa janji itu semakin jauh dari kenyataan. Berkali-kali Valdo menasihati pacarnya, tetapi Shania selalu mengelak, atau kalau sudah terpojok, menangis dan meminta maaf. Tapi setelah itu, semuanya kembali seperti semula. “Tapi, Pa, Shania bilang dia akan berubah,” ucap Valdo pelan, suaranya terdengar seperti permohonan terakhir, mencoba membela pacarnya yang ia cintai selama setahun terakhir. "Berapa lama dia sudah bilang itu? Dan apakah ada perubahan yang kamu lihat?" desak Pak Baskoro, suaranya semakin menekan, seolah tidak memberikan celah sedikit pun untuk Valdo berpikir. Kenyataan itu menampar Valdo. Memang benar, sudah setahun lebih mereka pacaran, tetapi Shania masih terjebak dalam gaya hidup yang sama. Valdo kehabisan kata-kata. Apa yang Papa katakan tidak sepenuhnya salah, tetapi tetap saja, mendengar kata-kata itu keluar dari mulut ayahnya membuatnya merasa terpojok. "Benar kan, apa yang Papa katakan? Kamu saja sampai terkejut begitu. Pasti kamu pikir Papa dan Mama tidak memperhatikanmu dan pasanganmu. Tapi kami selalu mengawasi. Kami berdua sedih melihatmu memilih Shania. Kami berharap kamu tidak terlalu serius dengannya. Selain itu, ada alasan lain kenapa Papa dan Mama menjodohkanmu," lanjut Pak Baskoro. Valdo masih terdiam, belum bisa mencerna semua yang baru saja dikatakan. Ada perasaan pahit yang menggelayut di hatinya, namun dia juga tidak bisa sepenuhnya membantah kebenaran kata-kata Papa. Akhirnya, ia bertanya, "Alasan lain, Pa?" "Papa sudah katakan bahwa kamu akan meneruskan perusahaan yang Papa bangun. Kamu sudah menyiapkan diri dengan kuliah di jurusan bisnis. Tapi karier gemilang tidak akan bertahan lama jika tidak didukung oleh pasangan yang tepat. Papa tidak melihat sosok istri ideal dalam diri Shania. Namun, Papa punya teman baik yang anak gadisnya sangat cocok untukmu. Dia seumuran denganmu dan akan segera menjadi pengacara. Bayangkan, pengusaha dengan istri seorang pengacara. Anak-anak kalian pasti cerdas," kata Pak Baskoro dengan mantap. Valdo tercengang dengan penjelasan itu. Dia tidak bisa menyangkal bahwa dirinya senang akan memimpin perusahaan milik Papa kelak. Karena itulah dia bersemangat untuk kuliah dan segera lulus. Namun, perjodohan ini, pikirnya, terlalu tiba-tiba. "Tetap saja, Pa. Perjodohan ini sangat mengejutkanku dan seharusnya Papa dan Mama bicara dulu denganku sebelumnya," kata Valdo yang merasa semakin terdesak, walaupun dia tahu bahwa tidak ada lagi jalan keluar yang bisa ia tempuh. Sejak kecil, Valdo memang anak yang baik. Dia selalu menurut dengan semua perintah Papa dan Mama. Tak pernah sekalipun dia membantah atau membangkang. Rasa patuh itu terus ia jaga sampai sekarang. "Tapi kamu tenang saja. Papa akan mempersiapkan semuanya untukmu. Kamu hanya tinggal datang saja untuk menikah dan semuanya selesai. Selagi menunggu hari pernikahanmu, kamu bisa bicara dengan pacarmu dan bilang padanya bahwa kamu akan menikah dengan wanita pilihan Papa dan Mama," ucap Pak Baskoro dengan tenang. Valdo sadar dan hapal betul bahwa apa yang dikatakan oleh Papanya ini lebih seperti perintah daripada penawaran. Tidak ada celah untuk tawar-menawar lagi pada diskusi siang itu. Bahkan semua pergerakan dan perlawanan darinya sudah diperhitungkan oleh Papa. Merasa bahwa tidak ada jalan lain, Valdo pun memilih untuk pergi dari sana dan menenangkan pikirannya. "Aku keluar dulu, Pa," ujar Valdo sambil berdiri, lalu berjalan dengan lesu menuju pintu. Mata Pak Baskoro mengamati putranya dengan tajam. Hingga pintu itu tertutup, meninggalkan keheningan yang memenuhi ruangan kerja yang besar itu. --- Valdo masih terdiam di sofa ruang tamu, pikirannya melayang jauh. Suara langkah Mama terdengar mendekat, dan seketika ia menyadari bahwa Mama sudah pulang. "Kamu sudah datang, Nak?" tanya Mama Valdo dengan lembut ketika mendapati anaknya sedang duduk di sana, wajahnya tampak lesu. "Mama sudah pulang?" tanya balik Valdo, suaranya terdengar lemah. "Mama baru saja pulang," jawabnya sambil duduk di samping Valdo. Dia melihat putranya dengan penuh perhatian, lalu dengan hati-hati bertanya, "Papa sudah mengatakan hal itu ya padamu?" Valdo mengangguk lemas. Dia lalu menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke sofa, merasa begitu kelelahan oleh perasaan dan pikiran yang berputar-putar dalam kepalanya. "Jangan lesu begitu, sayang. Kita melakukan ini karena kita sayang dan peduli padamu. Kita ingin kamu punya masa depan yang lebih baik," bujuk Mama Valdo, suaranya lembut dan penuh kasih sayang. Dia lalu meraih tangan Valdo dan menggenggamnya erat, mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhan hangatnya. "Tapi aku kaget banget, Ma. Aku nggak nyangka kalau akan menjalani perjodohan ini," balas Valdo dengan suara yang hampir putus asa. Mama Valdo merasa iba melihat putranya begitu terpuruk. Dia lalu memeluk Valdo erat, membelai punggungnya dengan lembut, seolah mencoba menenangkan badai yang tengah bergemuruh di dalam diri anaknya. "Semuanya akan baik-baik saja, sayang. Kita selalu memberikan yang terbaik untukmu," ucapnya dengan lembut, berharap bisa meredakan gejolak di hati Valdo. Valdo hanya bisa terdiam dalam pelukan Mama. Meski hatinya masih gelisah, ia tahu bahwa Papa dan Mama selalu menginginkan yang terbaik untuknya. Namun, perasaan cinta dan rasa tanggung jawabnya kepada Shania membuatnya sulit menerima keputusan ini begitu saja.Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.
Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak
Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb
Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha
Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga
Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald
Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha
Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb
Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak
Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.
Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m
Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald
Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga