Bab 7 Pertaruhan Perasaan

Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya.

"Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri."

Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?"

Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?"

Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah."

Shania menggerutu sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya melirik ke arah jendela kafe yang semakin sepi. "Kalau kamu terus seperti ini, kamu hanya akan terjebak dalam permainan mereka. Sementara aku? Aku akan terpuruk. Kamu tahu aku tidak bisa menerima perpisahan ini begitu saja."

"Shania, aku pun tidak ingin berpisah," Valdo berusaha menenangkan. "Tapi menjalani hubungan tanpa restu orang tua juga tidak akan membuat kita bahagia."

Shania mengangkat bahu. "Kalau begitu kita buat mereka menerima kita dengan cara kita sendiri. Jangan menyerah begitu saja. Kita bisa pergi keluar negeri kalau perlu. Bangun hidup baru bersama."

Valdo terdiam. Pikirannya bergolak, antara cinta yang ia rasakan untuk Shania dan tanggung jawab yang ia miliki terhadap keluarganya. Ia tak ingin menyakiti Shania, tapi juga tak ingin berkhianat pada keluarganya. Keadaan ini benar-benar membuatnya berada di persimpangan yang tidak mudah.

Shania menatap Valdo dengan penuh harap. "Kalau kamu benar-benar mencintai aku, kamu akan melakukan apapun untuk mempertahankan kita. Valdo, aku nggak bisa hidup tanpamu."

"Aku..." Valdo menunduk, tak sanggup menatap mata Shania yang mulai berkaca-kaca.

"Valdo, tolong jangan meninggalkanku. Kita bisa cari solusi. Aku tahu ini gila, tapi lebih baik gila bersama daripada harus hidup terpisah dalam ketidakpastian."

Valdo menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak bisa kabur, Shania. Itu bukan cara yang benar."

Shania meledak dalam kemarahan. "Jadi apa? Kamu akan menikah dengan dia? Dengan wanita yang bahkan kamu tidak kenal? Apa kamu tega meninggalkanku?"

"Shania, bukan seperti itu!" Valdo mulai frustasi. "Aku juga tidak mau ini terjadi, tapi aku nggak bisa melawan keinginan orang tua seenaknya. Mereka punya alasan sendiri."

"Alasan? Apa alasan mereka lebih kuat daripada cinta kita?!" teriak Shania, tak peduli pada orang-orang di sekitar kafe yang mulai memperhatikan mereka.

Valdo berusaha menenangkan dirinya, meskipun dadanya terasa semakin sesak. "Aku hanya butuh waktu untuk berpikir. Ini terlalu berat untuk diputuskan sekarang."

Shania terdiam sejenak, kemudian menghela napas panjang. "Baik. Kalau kamu tidak bisa kabur denganku, ada satu cara lagi."

"Apa lagi?" tanya Valdo, meski suaranya penuh kelelahan.

Shania menatapnya tajam. "Menikahlah dengan dia."

Mata Valdo melebar. "Apa?!"

Shania mengangguk. "Menikahlah dengan gadis yang dipilih orang tuamu. Tapi lakukan dengan cara kita. Jangan beri tahu siapapun. Lakukan pernikahan itu hari ini juga. Setelah itu, kita bisa pergi ke luar negeri. Mereka akan berpikir kita patuh, tapi sebenarnya kita punya kendali atas hidup kita sendiri."

Valdo terguncang. Ide itu bahkan lebih gila dari yang pertama. "Shania, kamu nggak serius kan? Menikah dengan orang yang tidak aku kenal hanya untuk kabur? Itu bahkan lebih buruk dari yang kamu usulkan sebelumnya."

"Tidak ada pilihan lain, Valdo," jawab Shania cepat. "Kalau kamu tidak menikah sekarang, mereka akan menekan kamu hingga kamu tak punya pilihan. Tapi kalau kamu menikah hari ini, kita bisa kabur bersama setelahnya."

"Kamu pikir aku bisa melakukan itu? Menikah dengan seseorang dan kemudian meninggalkannya begitu saja?"

Shania mendekatkan tubuhnya pada Valdo, menyentuh tangannya dengan lembut. "Kalau kamu mencintaiku, kamu akan lakukan itu. Gadis itu bukan bagian dari hidupmu, aku yang seharusnya jadi bagian dari hidupmu."

Valdo menarik tangannya dengan kasar, berdiri dari kursi. "Shania, kamu tidak tahu apa yang kamu minta. Ini terlalu jauh."

Shania juga berdiri, menatap Valdo dengan mata yang mulai berkilauan oleh air mata. "Kalau begitu pilih, Valdo. Aku atau keluargamu. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kamu akan lakukan ini untuk kita. Kalau tidak, maka aku tahu dimana aku berdiri."

Valdo merasakan desakan di dadanya. Ia menatap Shania yang sekarang terlihat rapuh tapi tetap penuh tekad. Keadaan semakin memanas. Ia tidak tahu harus mengambil keputusan apa. Perasaan bersalah dan cinta bercampur aduk di kepalanya.

"Aku nggak bisa..." gumam Valdo.

"Kalau begitu, kamu tidak benar-benar mencintaiku." Shania berbisik, suaranya terdengar penuh kekecewaan dan luka.

Valdo terdiam, tak mampu membalas kata-kata itu. Sementara Shania menghapus air mata yang mulai menetes di pipinya.

"Kamu tahu dimana menemukan aku kalau sudah siap membuat pilihan." Shania berbalik, meninggalkan Valdo yang masih terpaku di tempatnya. Langkah kakinya terdengar berat, namun Valdo tak mampu menghentikannya.

---

Valdo duduk sendirian di mobilnya, memandang jalanan yang kosong di depannya. Kepalanya masih berputar, memikirkan kata-kata Shania. Menikah dengan gadis yang bahkan ia tidak tahu siapa, lalu meninggalkannya? Itu adalah ide yang paling gila yang pernah ia dengar, tapi di sisi lain, Shania mungkin benar. Ini mungkin satu-satunya cara untuk menyelamatkan hubungan mereka.

Namun, sesuatu di dalam dirinya berteriak bahwa ini salah. Bahwa ia tidak bisa menikah dan meninggalkan seseorang begitu saja. Perasaannya berperang, antara cinta pada Shania dan rasa tanggung jawab yang tidak bisa ia abaikan.

"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pelan, membenturkan kepalanya ke setir.

Ia mengeluarkan ponselnya, melihat pesan dari orang tuanya yang menanyakan kapan ia akan bertemu dengan calon istri yang mereka pilih. Tangannya bergetar saat membalas pesan itu.

"Saya akan menemui dia besok," ketiknya singkat.

Valdo menatap pesan yang baru saja ia kirim dengan perasaan campur aduk. Esok hari, hidupnya akan berubah. Tapi ia masih tidak tahu apakah ini keputusan yang benar.

Di satu sisi, ada Shania yang menunggunya untuk membuat langkah ekstrem. Di sisi lain, ada perasaan tanggung jawab pada keluarganya dan gadis yang bahkan belum ia kenal.

Apa yang akan terjadi setelah ini? Valdo pun tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti, tak peduli apa pun yang ia putuskan, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.