Share

Cinta Yang Tertunda
Cinta Yang Tertunda
Penulis: Radsel

Bab 1 "Janji"

Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:

---

"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.

Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati.

"Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian.

"Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.

Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama.

"Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut.

"Makanya itu," sahut Arin dengan cepat. "Lagian, kenapa juga sih kamu kembali ke kota? Kamu kan sudah hampir dua tahun tinggal di desa ini. Aku kira kamu bakal tinggal di sini selamanya," lanjut Arin dengan bersemangat.

"Aku juga nggak tahu kalau Papa bilang sama kita semalam kalau minggu depan kita sudah pindah lagi ke kota. Katanya Papa dapat tawaran kerja yang lebih baik di sana, seperti sebelumnya," jawab Valdo.

Arin terlihat murung. Bahkan wajahnya menyiratkan sudah hampir meneteskan air mata. Meskipun begitu, ia masih belum menurunkan tangan kanannya. Masih dengan harapan yang sama.

Arin dan Valdo memang dekat satu sama lain sejak Valdo datang hampir dua tahun yang lalu di desa yang ditinggali oleh Arin. Sejak kedatangan Valdo di desa itu, Arin merupakan teman pertama Valdo dan kedekatan mereka cepat terjalin di antara teman-teman yang lainnya.

Arin juga sering mengajak Valdo berjalan-jalan untuk berkeliling desa dan memperkenalkan Valdo kepada teman-temannya.

Namun bagi Valdo, Arin adalah teman terdekatnya. Begitu juga yang dirasakan oleh Arin pada Valdo. Dan rupanya, kedekatan mereka bukan hanya sekadar kedekatan antar anak kecil saja. Kedua orang tua mereka juga berteman dekat.

Valdo menyadari kalau Arin tengah bersedih. Mereka berdua memang sedekat itu, sampai tahu isi hati mereka atau perasaan apa yang sedang mereka rasakan tanpa perlu diucapkan. Mengetahui kalau dirinya sudah membuat Arin bersedih, ia pun kemudian menjulurkan jari kelingkingnya lalu mengaitkannya pada jari kelingking Arin.

Melihat hal itu, Arin merekah senyum manisnya. Membuat air mata yang hendak menetes menjadi tertunda untuk membasahi pipinya.

"Iya deh, aku berjanji," kata Valdo.

Mereka berdua pun tersenyum bahagia. Keceriaan kembali menghampiri mereka. Bagai tak terjadi apa-apa, mereka berdua kembali bermain bersama-sama.

Tak terasa, satu minggu telah berlalu dan tibalah hari di mana Valdo akan pergi dari desa itu dalam waktu yang tidak ditentukan. Arin mendatangi rumah Valdo bersama kedua orang tuanya.

Bapak dari Arin adalah kepala desa di sana dan berniat mengantar kepergian keluarga Valdo yang sempat menjadi warga desa itu meskipun tidak sampai genap dua tahun.

"Sudah siap semuanya, Pak Baskoro?" tanya bapak dari Arin kepada papa Valdo.

"Alhamdulillah sudah semua, Pak Guna. Tinggal menunggu mobil jemputan saja yang akan mengantar kita semua ke stasiun," jawab Pak Baskoro.

"Saya mewakili warga desa ini kalau-kalau kami punya salah pada Pak Baskoro," kata Pak Guna dengan sopan.

"Jangan seperti itu, Pak Guna. Saya justru yang kadang merepotkan warga desa di sini. Malah, Pak Guna sendiri yang sangat sering saya repotkan," jawab Pak Baskoro.

"Saya tidak merasa direpotkan, kok, Pak Bas. Wah, kalau begitu saya jadi tidak punya lawan main catur lagi sekarang. Biasanya kita sampai lupa waktu kalau sudah main catur, dan istri Pak Baskoro sampai mencari ke rumah saya karena sudah hafal kalau suaminya tidak pulang sampai larut, pasti ada di rumah saya," kata Pak Guna mencairkan suasana. Mereka berdua juga sangat dekat dan sering meluangkan waktu untuk ngobrol dan bermain catur bersama.

"Kan ada Andi dan Soni, Pak," balas Pak Baskoro.

"Ah, mereka mah nggak ada apa-apanya kalau sama Pak Bas. Mereka masih cupu," sahut Pak Guna.

Pak Guna dan Pak Baskoro tertawa bersama. Sedangkan Arin dan Valdo sedang bicara tak jauh dari mereka.

"Kamu nggak lupa janji kamu waktu itu, kan?" tanya Arin dengan wajah cemas.

"Janji? Janji apa ya?" tanya balik Valdo.

"Tuh kan! Valdo jahat," sahut Arin merengek.

"Iya, iya... aku nggak lupa kok," ucap Valdo yang tak mau lagi menggoda Arin lebih jauh. Dirinya sudah berjanji untuk tidak membuat Arin menangis karena kepergiannya.

"Kamu kapan kembali ke sini?" tanya Arin.

"Aku juga nggak tahu. Tergantung Papa gimana, aku cuma bisa ngikut saja. Selama ini kita kan selalu begitu," jawab Valdo.

"Begitu ya?" Arin kembali terlihat lesu dan sedih.

"Tapi kan aku sudah berjanji sama kamu. Jadi aku akan berusaha untuk menjaga janji itu. Kalau aku sudah lebih besar nanti, aku kan nggak perlu ditemani Papa kalau mau datang ke desa ini lagi. Kita jadi bisa ketemu lagi, deh. Atau kalau sudah besar nanti, kamu susul aku di kota ya?" kata Valdo yang berusaha menyemangati Arin.

Meskipun dirinya sendiri juga tak tahu apakah hal itu akan benar-benar terjadi, paling tidak dia akan berusaha untuk menjaga janji pada Arin tersebut.

"Itu mobilnya datang, Pak Bas. Mari saya bantu untuk membawa koper-kopernya," Pak Guna menawarkan bantuan dan mereka semua kemudian sibuk memasukkan beberapa koper ke dalam mobil tersebut.

"Kabari saya kalau sudah sampai kota. Sudah punya nomor handphone saya, kan?" tanya Pak Guna kepada Pak Baskoro yang sudah berada di dalam mobil.

"Ya, sudah tentu saja sudah punya nomor Pak Guna. Kami berangkat dulu ya, Pak. Mari," pamit Pak Baskoro seraya melambaikan tangan. "Dadah, Arin," lanjutnya menyapa Arin yang berdiri di samping bapaknya.

Valdo juga memberikan lambaian tangan pada Arin sebelum mobil itu benar-benar beranjak dari sana dan meninggalkan desa.

Arin langsung menangis di kaki bapaknya setelah mobil itu menghilang dari pandangan. Air mata itu akhirnya tak terbendung lagi dan tumpah seiring dengan kesedihan yang melanda.

...

Sepuluh tahun kemudian,

"Apa, Pa? Menikah?" seru Valdo kepada papanya yang sedang berada di ruang kerja di rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status