Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:
--- "Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram. Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati. "Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian. "Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu. Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama. "Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut. "Makanya itu," sahut Arin dengan cepat. "Lagian, kenapa juga sih kamu kembali ke kota? Kamu kan sudah hampir dua tahun tinggal di desa ini. Aku kira kamu bakal tinggal di sini selamanya," lanjut Arin dengan bersemangat. "Aku juga nggak tahu kalau Papa bilang sama kita semalam kalau minggu depan kita sudah pindah lagi ke kota. Katanya Papa dapat tawaran kerja yang lebih baik di sana, seperti sebelumnya," jawab Valdo. Arin terlihat murung. Bahkan wajahnya menyiratkan sudah hampir meneteskan air mata. Meskipun begitu, ia masih belum menurunkan tangan kanannya. Masih dengan harapan yang sama. Arin dan Valdo memang dekat satu sama lain sejak Valdo datang hampir dua tahun yang lalu di desa yang ditinggali oleh Arin. Sejak kedatangan Valdo di desa itu, Arin merupakan teman pertama Valdo dan kedekatan mereka cepat terjalin di antara teman-teman yang lainnya. Arin juga sering mengajak Valdo berjalan-jalan untuk berkeliling desa dan memperkenalkan Valdo kepada teman-temannya. Namun bagi Valdo, Arin adalah teman terdekatnya. Begitu juga yang dirasakan oleh Arin pada Valdo. Dan rupanya, kedekatan mereka bukan hanya sekadar kedekatan antar anak kecil saja. Kedua orang tua mereka juga berteman dekat. Valdo menyadari kalau Arin tengah bersedih. Mereka berdua memang sedekat itu, sampai tahu isi hati mereka atau perasaan apa yang sedang mereka rasakan tanpa perlu diucapkan. Mengetahui kalau dirinya sudah membuat Arin bersedih, ia pun kemudian menjulurkan jari kelingkingnya lalu mengaitkannya pada jari kelingking Arin. Melihat hal itu, Arin merekah senyum manisnya. Membuat air mata yang hendak menetes menjadi tertunda untuk membasahi pipinya. "Iya deh, aku berjanji," kata Valdo. Mereka berdua pun tersenyum bahagia. Keceriaan kembali menghampiri mereka. Bagai tak terjadi apa-apa, mereka berdua kembali bermain bersama-sama. Tak terasa, satu minggu telah berlalu dan tibalah hari di mana Valdo akan pergi dari desa itu dalam waktu yang tidak ditentukan. Arin mendatangi rumah Valdo bersama kedua orang tuanya. Bapak dari Arin adalah kepala desa di sana dan berniat mengantar kepergian keluarga Valdo yang sempat menjadi warga desa itu meskipun tidak sampai genap dua tahun. "Sudah siap semuanya, Pak Baskoro?" tanya bapak dari Arin kepada papa Valdo. "Alhamdulillah sudah semua, Pak Guna. Tinggal menunggu mobil jemputan saja yang akan mengantar kita semua ke stasiun," jawab Pak Baskoro. "Saya mewakili warga desa ini kalau-kalau kami punya salah pada Pak Baskoro," kata Pak Guna dengan sopan. "Jangan seperti itu, Pak Guna. Saya justru yang kadang merepotkan warga desa di sini. Malah, Pak Guna sendiri yang sangat sering saya repotkan," jawab Pak Baskoro. "Saya tidak merasa direpotkan, kok, Pak Bas. Wah, kalau begitu saya jadi tidak punya lawan main catur lagi sekarang. Biasanya kita sampai lupa waktu kalau sudah main catur, dan istri Pak Baskoro sampai mencari ke rumah saya karena sudah hafal kalau suaminya tidak pulang sampai larut, pasti ada di rumah saya," kata Pak Guna mencairkan suasana. Mereka berdua juga sangat dekat dan sering meluangkan waktu untuk ngobrol dan bermain catur bersama. "Kan ada Andi dan Soni, Pak," balas Pak Baskoro. "Ah, mereka mah nggak ada apa-apanya kalau sama Pak Bas. Mereka masih cupu," sahut Pak Guna. Pak Guna dan Pak Baskoro tertawa bersama. Sedangkan Arin dan Valdo sedang bicara tak jauh dari mereka. "Kamu nggak lupa janji kamu waktu itu, kan?" tanya Arin dengan wajah cemas. "Janji? Janji apa ya?" tanya balik Valdo. "Tuh kan! Valdo jahat," sahut Arin merengek. "Iya, iya... aku nggak lupa kok," ucap Valdo yang tak mau lagi menggoda Arin lebih jauh. Dirinya sudah berjanji untuk tidak membuat Arin menangis karena kepergiannya. "Kamu kapan kembali ke sini?" tanya Arin. "Aku juga nggak tahu. Tergantung Papa gimana, aku cuma bisa ngikut saja. Selama ini kita kan selalu begitu," jawab Valdo. "Begitu ya?" Arin kembali terlihat lesu dan sedih. "Tapi kan aku sudah berjanji sama kamu. Jadi aku akan berusaha untuk menjaga janji itu. Kalau aku sudah lebih besar nanti, aku kan nggak perlu ditemani Papa kalau mau datang ke desa ini lagi. Kita jadi bisa ketemu lagi, deh. Atau kalau sudah besar nanti, kamu susul aku di kota ya?" kata Valdo yang berusaha menyemangati Arin. Meskipun dirinya sendiri juga tak tahu apakah hal itu akan benar-benar terjadi, paling tidak dia akan berusaha untuk menjaga janji pada Arin tersebut. "Itu mobilnya datang, Pak Bas. Mari saya bantu untuk membawa koper-kopernya," Pak Guna menawarkan bantuan dan mereka semua kemudian sibuk memasukkan beberapa koper ke dalam mobil tersebut. "Kabari saya kalau sudah sampai kota. Sudah punya nomor handphone saya, kan?" tanya Pak Guna kepada Pak Baskoro yang sudah berada di dalam mobil. "Ya, sudah tentu saja sudah punya nomor Pak Guna. Kami berangkat dulu ya, Pak. Mari," pamit Pak Baskoro seraya melambaikan tangan. "Dadah, Arin," lanjutnya menyapa Arin yang berdiri di samping bapaknya. Valdo juga memberikan lambaian tangan pada Arin sebelum mobil itu benar-benar beranjak dari sana dan meninggalkan desa. Arin langsung menangis di kaki bapaknya setelah mobil itu menghilang dari pandangan. Air mata itu akhirnya tak terbendung lagi dan tumpah seiring dengan kesedihan yang melanda. ... Sepuluh tahun kemudian, "Apa, Pa? Menikah?" seru Valdo kepada papanya yang sedang berada di ruang kerja di rumahnya.Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald
Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m
Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.
Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak
Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb
Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha
Valdo mematung, terdiam sejenak setelah mendengar usulan gila Shania. Ia bahkan sempat mengira kekasihnya itu sedang bercanda. Tapi tatapan Shania yang serius, penuh tekad, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah candaan. Pikirannya langsung berputar cepat, mencari alasan untuk menolak, tapi juga tak bisa menyangkal bahwa usulan itu mengusik pikirannya. "Kamu serius?" tanya Valdo akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Shania mengangguk tegas. "Kenapa tidak? Kalau mereka ingin kita berpisah, kita justru harus bersatu dengan cara kita sendiri." Valdo menggeleng, masih tak percaya. "Shania, kamu tahu itu gila, kan? Kabur dari sini? Lari dari masalah? Apa itu solusi yang kita inginkan?" Shania menatap Valdo dengan tatapan tajam. "Lalu kamu mau apa? Menuruti mereka begitu saja? Menikahi gadis yang bahkan kamu tidak kenal? Kamu pikir hidupmu akan bahagia setelah itu?" Valdo menghela napas panjang. "Bukan begitu. Tapi melarikan diri bukan jawabannya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah." Sha
Bab: Sebuah Ide GilaValdo sangat terkejut. Kata-kata Shania seolah-olah menampar pikirannya yang kalut. Kabur? Lari dari semuanya? Menghilang bersama Shania dan meninggalkan kehidupan yang sudah dibangunnya selama ini? Pikiran itu begitu absurd, tetapi ia tak bisa mengabaikan keyakinan di mata Shania."Kabur?" ulang Valdo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa kamu serius, Shania? Itu ide gila. Bagaimana kita bisa kabur begitu saja? Aku punya keluarga, kamu juga. Kita tidak bisa meninggalkan semuanya dan berpura-pura seolah-olah semuanya baik-baik saja."Shania mengangguk, terlihat tak gentar oleh respons Valdo. "Aku tahu ini tidak mudah. Tapi coba pikirkan, Valdo. Apa yang kita miliki sekarang? Tekanan dari keluargamu untuk menikah dengan orang yang bahkan kamu tidak kenal. Tekanan dari keluargaku juga. Aku sudah lelah dengan semua ini. Kita selalu dikekang oleh harapan mereka, oleh aturan-aturan yang mereka buat. Apakah kamu tidak ingin sekali saja mengamb
Valdo keluar dari Club Paradise dengan hati yang sedikit dongkol. Dia lebih menyalahkan dirinya sendiri karena gegabah membicarakan hal sepenting itu dengan Shania di club malam yang berisik. Kepalanya sedang tidak 'dingin,' sehingga mengambil keputusan sembarangan."Seharusnya aku lebih tenang dan berpikir dengan jernih. Aku terlalu terburu-buru ingin bertemu Shania dan cepat-cepat membahas masalah ini dengannya," gerutu Valdo dalam hati.Dia pun sampai di samping mobilnya dan hendak membuka pintu, tetapi terhenti ketika mendengar namanya dipanggil dari jauh."Valdo!" panggil Shania dari kejauhan sambil berlari mengejarnya. Dengan susah payah dan sepatu hak tinggi, ia berlari menghampiri Valdo. "Kamu... mau... ke mana?" napasnya terengah-engah ketika sampai di depan Valdo."Shania? Kamu kenapa ke sini? Bagaimana dengan pesta ulang tahun temanmu?" tanya Valdo."Sudah, jangan pikirkan itu. Ada yang lebih penting daripada itu. Ayo kita bicara tentang hal tadi. Jujur aku kaget banget wak
Selepas dari rumah papa dan mamanya, malam harinya Valdo bergegas menuju kafe yang biasa dipakai Shania untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, kecewa harus didapat Valdo karena Shania sedang tidak berada di sana malam itu. Valdo kemudian mendekati barista yang merupakan teman Shania. Keadaan di kafe juga sedang tidak begitu ramai malam itu, menjadikan barista tersebut terlihat sedang tidak ada pekerjaan."Bro, Shania mana ya?" tanya Valdo kepada barista tersebut."Eh, Shania? Eee... tadi dia... dia..." barista berkacamata itu nampak ragu memberikan jawaban kepada Valdo."Iya, Shania. Kemana dia? Bukannya biasanya dia jam segini ada di sini ya?" desak Valdo lagi."Iya sih, tadi dia di sini sama teman-temannya. Tapi..." Barista itu masih enggan melanjutkan kalimatnya."Jangan-jangan dia clubbing lagi ya?" terka Valdo yang sudah hapal betul dengan perilaku kekasihnya itu."Nggak gitu juga. Tadi ada temannya yang ulang tahun, terus yang ulang tahun itu ngajak ke klub buat have fun.
Valdo menuruni tangga besar rumah keluarganya dengan langkah perlahan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan dan pertanyaan yang belum terjawab. Sejak kecil, dia selalu menjadi anak yang patuh. Semua permintaan Papa dan Mama selalu dia turuti, tanpa pernah membantah. Namun, hari ini, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang terlalu besar untuk diterima begitu saja. Ketika memasuki ruang kerja Papa, suasana ruang itu begitu tenang. Kursi-kursi besar dengan balutan kulit hitam, meja kayu mahoni yang mengkilap, dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di dinding, semuanya terasa menekan. Papa duduk di balik meja kerjanya dengan postur tegak, wajahnya serius seperti biasa, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya—ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. "Bagaimana skripsimu, Nak?" tanya Pak Baskoro dengan nada ringan, seolah pembicaraan ini akan berjalan seperti biasa. "Lancar, Pa. Aku sudah siap sidang minggu depan," jawab Valdo berusaha setenang mungkin, m
Valdo turun dari mobilnya di sebuah pekarangan rumah yang luas. Ia berjalan santai menuju rumah mewah berukuran sangat besar di depannya. Rumah itu menjulang tinggi dengan dua tiang besar di depan, memperlihatkan desain bergaya Amerika-Eropa yang kental.Tanpa ragu, pemuda tampan itu membuka pintu besar berwarna cokelat dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang pelayan mendekat dengan sopan ke arah Valdo."Mama sama Papa di mana?" tanya Valdo kepada kepala pelayan, yang masih cukup muda namun bersikap sangat sopan dan elegan."Nyonya Baskoro sedang ada pertemuan dengan teman-teman arisannya hingga nanti malam. Pak Baskoro sedang berada di ruang kerjanya," jawab kepala pelayan itu dengan tenang."Ah, iya. Papa yang manggil aku ke sini, kan? Ya sudah, aku langsung ke ruang kerja Papa saja," jawab Valdo."Apakah Anda mau dibuatkan makan siang, Tuan Valdo?" tanya kepala pelayan tadi."Nggak usah. Aku sudah makan sama teman-teman di kampus tadi. Aku langsung ke lantai atas ya," jawab Vald
Berikut adalah perbaikan tanda baca dan typo dari cerita tersebut:---"Janji kita bakal menikah ya!" seru seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun seraya mengacungkan jari kelingkingnya pada teman sebayanya di sebuah gubuk di tengah sawah, pada sebuah desa yang nampak damai dan tenteram.Anak gadis itu berharap teman laki-laki di depannya mau menyambut uluran jarinya dan membuat janji yang bisa mereka sepakati."Me... menikah?" kata anak laki-laki itu. "Kamu serius, Arin? Tadi kan kita cuma lagi main saja," tanyanya kemudian."Tentu saja aku serius, Valdo!" balas Arin dengan wajah yang terlihat sangat meyakinkan, meskipun saat itu dirinya juga sedang menahan rasa malu.Semua teman-temannya sudah pulang. Tinggal mereka berdua saja yang sedang beristirahat setelah bermain bersama."Tapi nggak lama lagi aku kan mau kembali ke kota," kata Valdo yang tak menyangka Arin akan mengatakan hal itu di tengah mereka sedang bermain di gubuk yang sejuk tersebut."Makanya itu," sahut Arin denga