Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.
Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.
Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga.
"Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham.
"Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.
Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.
Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus bagaimana, sentuhan fisik seperti ciuman tidak ada dalam perjanjian tapi nurani tubuh Zara merespon. Tidak ingin mengecewakan pasangannya akhirnya Zara membalas apa yang sudah Arham mulai. Membalas melumat bibir penuh Arham tidak kalah semangatnya, dan indra pengecapnya ikut bertaut di dalam sana.
Zara meremas rambut Arham, hal itu membuat Arham mengambil kesimpulan bahwa dia bisa melakukan aksi selanjutnya.
Kedua mata Zara yang semula terpejam menikmati ciuman bibir Arham seketika terbuka dan membola saat dia merasa salah satu bukit kembarnya di remas lembut oleh pria yang masih mencicipi bibir ranumnya itu.
Perlahan namun pasti tangan Arham menyusup masuk ke dalam pakaian Zara, sentuhan kulit pria itu membuat tubuh Zara meresponnya dengan baik. Tadi meremas dari luar, sekarang tangan kekar dengan sedikit bulu itu meremasnya langsung dari dalam. Bukan hanya meremas tapi memainkan puncaknya. Entah mengapa sang pemilik puncak bukit kembar itu tidak menolaknya, hati, pikiran dan tubuhnya tidak bekerja sama dengan baik. Arham berhasil menguasai.
"Ahhh ...," desah Zara, menengadah memberi akses Arham agar leluasa menyurusi leher jenjangnya.
Posisi Zara sekarang tidak lagi dengan kepala di pangkuan Arham melainkan semua tubuhnya sudah berada di pangkuan pria itu. Bokongnya di pangkuan Arham dengan bagian depan menghadap pria itu.
Entah sejak kapan tiba-tiba dia berada di posisi erotis seperti itu, Zara sendiri tidak mengerti dengan reaksi tubuhnya. Beberapa kancing kemeja Arham pun sudah terbuka dan menunjukan pahatan indah tubuh pria itu membuat Zara bertambah menghayal jauh di benaknya.
Deg!
Tiba-tiba Zara berhenti dan beranjak dari pangkuan Arham.
"Ma-Maaf, Mas, a-aku ...." Zara gugup bahkan sampai tidak bisa meneruskan ucapannya.
Pengganti Gina itu langsung merapihkan pakaiannya sendiri.
"Sebaiknya Mas Arham pulang, ibu dan Sean pasti menunggu kamu, Mas," usir Zara.
"Terima kasih untuk ... buburnya," tutup Zara.
Betapa kesalnya Arham dalam hati, di saat sudah terbakar gairahnya tiba-tiba harus padam. Tanpa pamit dan sepatah kata, Arham pergi.
Zara menghela napas panjang, lega. Hampir aja dia kebablasan menyerahkan mahkota berharganya.
***
Sejak kejadian itu, Arham tidak berkomunikasi dengan calon istrinya, Zara datang ke rumahnya karena di panggil oleh Lusi. Selain menemani ngobrol, Zara sesekali mengurus keperluan calon anak sambungnya.
"Apa kamu akan menjadi ibu tiri aku?" celetuk Sean ketika Zara sedang merapihkan buku pelajaran di meja belajar bocah laki-laki itu.
"Aku akan menjadi ibu sambung untuk kamu, apa kamu tidak senang?" Zara berpura-pura memasang wajah sedih, guna memancing respon anak itu.
"Heum, aku suka kamu sekarang dari pada dulu," terangnya.
"Benarkah? Memangnya bagaimana aku yang dulu?"
Zara mencoba mencari informasi tentang Gina yang sebenarnya di mata Sean. Dengan begitu dia akan lebih mudah nanti berinteraksi dengan putra Arham itu.
"Tante Gina dulu tidak seperti sekarang. Awalnya kita bertemu aku melihat sosok ibu tiri yang kejam karena kamu cerewet sekali, mengatur aku ini itu," ungkap Sean.
"Lalu?"
"Kamu selalu mementingkan penampilan. Egois karena harus di turuti, pokoknya aku gak suka kamu yang dulu!"
"Tapi sekarang?"
"Aku melihat Tante Gina yang berbeda, sosok mama aku ada di Tante sekarang."
"Seperti apa mama kamu?"
"Heum, mama itu baik, lemah lembut, penyayang, penyabar, tidak mementingkan dandan karena aslinya sudah cantik."
Kepala Zara mengangguk-angguk.
"Jadi kamu setuju kalau aku jadi ibu sambung kamu?" tanya Zara memastikan.
"Iya, Tante. Aku setuju."
Zara tersenyum lebar bersamaan dengan tangannya yang meminta Sean datang padanya dan memeluknya. Zara memeluk erat Sean.
Tanpa mereka sadari di ambang pintu Arham tengah memperhatikan interaksi keduanya. Sudut bibirnya tertarik berbentuk senyum meski tipis dan hampir tak terlihat.
"Papa," panggil Sean.
Seketika Zara terpaku, dia tidak tahu kalau ada Arham karena posisinya yang membelakangi pintu masuk kamar.
Langkah kaki pria itu membuat irama jantung Zara tiba-tiba berdetak tidak beraturan. Pasalnya, sudah beberapa hari ini mereka tidak bertemu. Zara berpikir calon suaminya itu marah karena kejadian terakhir.
Arham berdiri di antara putranya dan calon istrinya. Satu tangannya menyentuh pundak Zara sedangkan satunya mengusap kepala Sean. Keduanya sama-sama tersenyum.
"Apa sudah selesai?" tanya Arham pada keduanya.
"Sudah," jawab Sean.
Sementara Zara hanya mengangguk.
"Saya sengaja pulang cepat, ingin mengajak kalian berdua keluar," ungkap pria yang masih berpakaian rapih itu.
"Kemana, Pa?" Sean antusias bertanya pada sang ayah.
"Heum, kita ke mall? Makan, nonton?" ajak Arham.
"Boleh main game di tempat bermain itu?"
Arham tahu tempat yang putranya maksud, kepalanya langsung mengangguk. Melihat respon sang ayah, Sean langsung senang.
"Kamu ganti pakaian ya, papa sama Tante Gina tunggu di bawah," titah Arham pada putranya. Sean mengangguk dan dia langsung membuka lemari pakaiannya, memilih pakaian yang menurutnya bagus.
Arham menuntun tangan Zara, mengajaknya keluar kamar. Gadis itu pun menurut, tanpa penolakan.
Setelah sedikit jauh dari kamar sang putra, Arham berhenti.
"Saya mau minta maaf atas apa yang terjadi waktu itu, saya -" Kalian Arham terhenti karena ada seorang pelayan yang lewat.
"Saya janji, hal seperti itu tidak akan terulang," lanjutnya.
"Aku juga mau minta maaf -"
"Tidak, tidak, kamu tidak salah. Untuk apa minta maaf. Sudahlah, kita lupakan saja dan mulai semuanya dengan yang baru, saya akan menghargai dan menghormati kamu sebagai calon istri saya. Sampai kita sah di mata negara dan agama, saya tidak akan sentuh kamu, kecuali kamu yang mau," tutur Arham berakhir godaan untuk Zara.
"Mas!" pekik Zara.
Arham terkekeh pelan. Ini pertama kalinya dia melihat calon suaminya semanis itu tertawa meski pelan dan hanya sebentar.
Prok! Prok! Prok!Senyum manis Zara mengembang ketika mendengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari pengunjung Cafe tempatnya bekerja. Sebuah lagu berhasil dia nyanyikan dengan sangat merdu sampai semua pengunjung memberinya tepuk tangan meriah."Terima kasih semuanya," ucap Zara sembari melempar ciuman jarak jauh dengan tangannya. Kemudian dia turun dari panggung karena memang jam kerjanya sudah habis.Seorang manager Cafe menghentikan langkah Zara ketika dia hendak pulang."Seseorang ingin bertemu dengan kamu, Ra," ucapnya.Kening Zara menyernyit, "Siapa?" balasnya melontarkan pertanyaan."Pelanggan setia cafe dan selalu membayar bill dengan nominal dua kali lipat setiap dia datang.""Apa aku mengenalnya?""Kamu tidak kenal dia tapi dia kenal kamu, Ra.""Benarkah?""Benar." Suara bariton menyela percakapan Manager Cafe dan Zara.Zara berbalik dan menatap siapa pemilik suara bariton itu.Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya salah satu penggemar Anda Nona Zara, bi
Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya. "Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar. Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya. "Akh! Sakit tau!" bentaknya. "Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" "Aku? Kabur?" cicit Gina. "Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!" Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya. "Nama Anda siapa?" tanya Gina. "Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian. "Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya. "Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depa
"Tanda tangan di sini."Gina menyodorkan sebuah kertas bermaterai berisi surat perjanjian dirinya dan Zara.Perlahan Zara membaca setiap pasal yang tertera di sana.Pasal satu tertulis kalau Gina sebagai pihak pertama akan membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng hingga sembuh di rumah sakit.Pasal kedua tertulis Zara sebagai pihak kedua menggantikan posisi Gina dalam waktu yang tidak di tentukan, dalam arti jika Gina ingin kembali maka perjanjian tersebut selesai dan Zara bisa kembali ke jatidirinya. Akan tetapi, dia tetap membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng sampai sembuh.Kedua pasal tersebut sudah cukup untuknya. Zara langsung membubuhi tanda tangannya di atas materai."Terima kasih." Gina tersenyum lebar, memasukan kembali surat perjanjian itu kedalam tasnya."Kamu bisa kembali ke rumah sakit, cari seseorang yang bisa kamu andalkan untuk merawat nenek kamu. Karena saya tidak mau penyamaran kamu terbongkar karena wara wiri ke rumah sakit," terang Gina menjelaskan.
Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.Jujur pria yang bersama Gina tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?TIN!!!bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.***Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat."Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.TIN!!!Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.Tok! Tok! Tok!
"Mas Arham," gumam Zara pelan."Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?""Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya."Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal."Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara."Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham."Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak
Menikmati lumatan bibir Arham yang memabukan, Zara terlena hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Pria yang saat ini tengah menciumnya bukan miliknya melakukan milik wanita lain, meski dia adalah peran pengganti tetap saja Arham milik Gina bukan dirinya.Sekuat tenaga Zara mendorong tubuh Arham hingga pria itu melepas tautan bibirnya."Kenapa?" tanya Arham, serak."Sudah malam, Mas, aku harus pulang," kelit Zara.Arham menggedikan kedua pundaknya, "Kamu bisa menginap di sini malam ini, Sean dan ibu pasti senang."Zara menggigit bibir bawahnya, berpikir sesaat hingga akhirnya di menjawab lewat gelengan kepalanya."Besok aku ada kelas, Mas. Dan dosennya galak kalau aku gak masuk nanti aku gak lulus mata kuliahnya." Entah dari mana ide bohong itu, karena kebohongannya membuat perannya hampir terbongkar."Sejak kapan kamu kuliah?" tanya Arham menyelidik, matanya memincing tajam.Zara menelan saliva-nya melihat tatapan Arham seperti itu."Kamu terlalu sibuk, aku sampai tidak ada waktu membi
Zara menolak lagi ajakan Arham."Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.Arham menghela napas pendek, pasrah."Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.Zara terkekeh, "Iya, iya.""Kamu sudah makan?" tanya Arham.Kepala Zara menggeleng pelan."Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.Pria itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham."Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham."Mas mau masak? Bisa?""Kamu meragukan saya?"Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementn
Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga."Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham."Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus ba
Zara menolak lagi ajakan Arham."Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.Arham menghela napas pendek, pasrah."Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.Zara terkekeh, "Iya, iya.""Kamu sudah makan?" tanya Arham.Kepala Zara menggeleng pelan."Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.Pria itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham."Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham."Mas mau masak? Bisa?""Kamu meragukan saya?"Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementn
Menikmati lumatan bibir Arham yang memabukan, Zara terlena hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Pria yang saat ini tengah menciumnya bukan miliknya melakukan milik wanita lain, meski dia adalah peran pengganti tetap saja Arham milik Gina bukan dirinya.Sekuat tenaga Zara mendorong tubuh Arham hingga pria itu melepas tautan bibirnya."Kenapa?" tanya Arham, serak."Sudah malam, Mas, aku harus pulang," kelit Zara.Arham menggedikan kedua pundaknya, "Kamu bisa menginap di sini malam ini, Sean dan ibu pasti senang."Zara menggigit bibir bawahnya, berpikir sesaat hingga akhirnya di menjawab lewat gelengan kepalanya."Besok aku ada kelas, Mas. Dan dosennya galak kalau aku gak masuk nanti aku gak lulus mata kuliahnya." Entah dari mana ide bohong itu, karena kebohongannya membuat perannya hampir terbongkar."Sejak kapan kamu kuliah?" tanya Arham menyelidik, matanya memincing tajam.Zara menelan saliva-nya melihat tatapan Arham seperti itu."Kamu terlalu sibuk, aku sampai tidak ada waktu membi
"Mas Arham," gumam Zara pelan."Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?""Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya."Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal."Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara."Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham."Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak
Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.Jujur pria yang bersama Gina tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?TIN!!!bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.***Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat."Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.TIN!!!Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.Tok! Tok! Tok!
"Tanda tangan di sini."Gina menyodorkan sebuah kertas bermaterai berisi surat perjanjian dirinya dan Zara.Perlahan Zara membaca setiap pasal yang tertera di sana.Pasal satu tertulis kalau Gina sebagai pihak pertama akan membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng hingga sembuh di rumah sakit.Pasal kedua tertulis Zara sebagai pihak kedua menggantikan posisi Gina dalam waktu yang tidak di tentukan, dalam arti jika Gina ingin kembali maka perjanjian tersebut selesai dan Zara bisa kembali ke jatidirinya. Akan tetapi, dia tetap membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng sampai sembuh.Kedua pasal tersebut sudah cukup untuknya. Zara langsung membubuhi tanda tangannya di atas materai."Terima kasih." Gina tersenyum lebar, memasukan kembali surat perjanjian itu kedalam tasnya."Kamu bisa kembali ke rumah sakit, cari seseorang yang bisa kamu andalkan untuk merawat nenek kamu. Karena saya tidak mau penyamaran kamu terbongkar karena wara wiri ke rumah sakit," terang Gina menjelaskan.
Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya. "Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar. Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya. "Akh! Sakit tau!" bentaknya. "Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" "Aku? Kabur?" cicit Gina. "Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!" Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya. "Nama Anda siapa?" tanya Gina. "Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian. "Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya. "Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depa
Prok! Prok! Prok!Senyum manis Zara mengembang ketika mendengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari pengunjung Cafe tempatnya bekerja. Sebuah lagu berhasil dia nyanyikan dengan sangat merdu sampai semua pengunjung memberinya tepuk tangan meriah."Terima kasih semuanya," ucap Zara sembari melempar ciuman jarak jauh dengan tangannya. Kemudian dia turun dari panggung karena memang jam kerjanya sudah habis.Seorang manager Cafe menghentikan langkah Zara ketika dia hendak pulang."Seseorang ingin bertemu dengan kamu, Ra," ucapnya.Kening Zara menyernyit, "Siapa?" balasnya melontarkan pertanyaan."Pelanggan setia cafe dan selalu membayar bill dengan nominal dua kali lipat setiap dia datang.""Apa aku mengenalnya?""Kamu tidak kenal dia tapi dia kenal kamu, Ra.""Benarkah?""Benar." Suara bariton menyela percakapan Manager Cafe dan Zara.Zara berbalik dan menatap siapa pemilik suara bariton itu.Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya salah satu penggemar Anda Nona Zara, bi