Menikmati lumatan bibir Arham yang memabukan, Zara terlena hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Pria yang saat ini tengah menciumnya bukan miliknya melakukan milik wanita lain, meski dia adalah peran pengganti tetap saja Arham milik Gina bukan dirinya.
Sekuat tenaga Zara mendorong tubuh Arham hingga pria itu melepas tautan bibirnya.
"Kenapa?" tanya Arham, serak.
"Sudah malam, Mas, aku harus pulang," kelit Zara.
Arham menggedikan kedua pundaknya, "Kamu bisa menginap di sini malam ini, Sean dan ibu pasti senang."
Zara menggigit bibir bawahnya, berpikir sesaat hingga akhirnya di menjawab lewat gelengan kepalanya.
"Besok aku ada kelas, Mas. Dan dosennya galak kalau aku gak masuk nanti aku gak lulus mata kuliahnya." Entah dari mana ide bohong itu, karena kebohongannya membuat perannya hampir terbongkar.
"Sejak kapan kamu kuliah?" tanya Arham menyelidik, matanya memincing tajam.
Zara menelan saliva-nya melihat tatapan Arham seperti itu.
"Kamu terlalu sibuk, aku sampai tidak ada waktu membicarakannya sama kamu, Mas." Zara kembali berkelit.
Arham menghela napas panjang.
"Maaf kalau akhir-akhir ini saya memang sibuk karena perusahaan -"
"Sedang ada masalah?"
"Darimana kamu tahu?" tanya Arham dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya.
Zara melanjutkan langkahnya, Arham pun mengikutinya jalan beriringan.
"Ibu tadi cerita kalau perusahaan sedang goyang hampir gulung tikar karena itu teman-temannya menjahui dia," ucap Zara lirih.
Dalam hati Arham menilai Zara diam-diam.
"Oh iya, Mas. Kamu harus banyak perhatian pada Sean, dia anak yang pintar sebenarnya," papar Zara.
"Ya, tapi dia nakal, beberapa kali saya di panggil kepala sekolahnya," timpal Arham, terkekeh kecil.
Zara menoleh dengan kening menyernyit, "Dia seperti itu karena mencari perhatian kamu, Mas. Kalau dia tidak membuat onar maka guru atau kepala sekolahnya tidak akan memanggil kamu ke sekolah, dan dia bisa bertemu kamu di sekolah memamerkan ayahnya pada teman-temannya," ungkap Zara.
"Menurut kamu seperti itu?"
"Heum!" Zara mengangguk yakin.
"Baiklah mulai besok saya akan lebih perhatian sama dia, kamu bisa bantu saya?"
Langkah kaki keduanya terhenti tepat di samping mobil Zara. Tubuh tinggi Arham membuat Zara harus sedikit menengadah menatap wajah tampan pria itu.
"Iya, aku akan bantu, Mas. Mendidik bersama Sean," jawab Zara.
Sudut bibir Arham tertarik membentuk lekungan senyum yang membuat dia bertambah tampan. Perlahan pria yang kaku itu mulai menikmati komunikasinya dengan calon istrinya. Selama ini dia dan Gina jarang berkomunikasi, Arham yang sibuk kerja dan Gina yang sibuk belanja wara wiri dengan teman sosialitanya membuat keduanya seakan bertolak belakang.
Akan tetapi, hari ini Arham seakan di hipnotis dengan perubahan Gina yang berbeda. Calon istrinya lebih enak di ajak diskusi.
"Besok pagi kamu harus kembali ke sini, pergilah sama ibu ke butik khusus pakaian pengantin dan ke salon," titah Arham, terdengar tidak terima penolakan.
Zara menjawab dengan anggukan.
"Aku pulang dulu ya, Mas," pamit Zara setelahnya.
"Ya, hati-hati di jalan," sahut Arham.
Zara masuk ke dalam mobilnya dan Arham mundur selangkah kebelakang memberi jarak agar mobil yang Zara kendari bisa mundur kemudian keluar dari area rumah besar keluarga Tawfeeq.
Arham menghela napasnya kembali, entah sudah berapa kali pria itu menghela napas malam ini.
Begitu juga dengan Zara di dalam mobil, wanita itu bisa bernapas lega sekarang.
Sepanjang jalan Zara merutuki dirinya yang sampai berbohong soal kuliahnya. Asal berucap, untung Arham tidak bertanya lebuh jauh jurusan apa yang dia ambil, universitas mana.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Zara memukul kepalanya sendiri, kesal.
***
Zara termenung, menatap lirih ponselnya. Video yang di kirim oleh Nina mengenai kondisi Ajeng yang masih tidak sadarkan diri. Ingin rasanya Zara berlari ke rumah sakit itu untuk menemui sang nenek, tapi dia teringat dengan perjanjiannya dengan Gina.
Menghela napas panjang, Zara meletakan ponselnya di atas nakas. Menatap langit-langit kamar masih terasa asing baginya.
Tubuhnya lelah tapi matanya enggan tertutup, banyaknya pikiran membuat Zara gelisah dan sulit tidur.
Memaksa untuk tidur dan berhasil, sayangnya belum lama tertidur ponselnya berbunyi.
Zara menggerutu, "Siapa sih telpon pagi-pagi buta begini?!" Tanpa membuka mata dia mengambil ponselnya dan menjawab panggilan yang tidak dia periksa lagi siapa nama pemanggilnya.
"Halo," sapanya dengan suara serak.
"Selamat pagi, Gina." Suara bariton yang tidak asing meski baru pertama bertemu.
"Selamat pagi, Mas, maaf tadi aku kira siapa," balas Zara.
"Siapa yang suka telpon kamu jam segini?"
"Heum, random sih, Mas. Oh iya, ada apa Mas Arham telpon sepagi ini?"
"Sepagi ini? Ini sudah hampir siang, Gina! Kata ibu kamu belum datang. Aku kira kamu di kampus masih ada kuliah, tapi ternyata baru bangun tidur," singgung Arham.
Zara menghidupkan lampu dan melihat jam, sontak dia menepuk keningnya. Rasanya baru memejamkan mata tapi ternyata sudah hampir siang, kenapa waktu berputar secepat itu?
"Semalam kepala aku sakit dan entah kenapa seluruh tubuh aku gak enak, makanya aku gak kuliah," kelit Zara.
"Kamu sakit? Mau ke dokter?"
"Heum? Gak perlu, Mas. Aku hanya sakit biasa, kecapean. Semalam sudah minum obat hanya butuh istirahat lebih lama," tolak Zara.
"Ya sudah kalau begitu tidak usah ke rumah, nanti saja kalau sudah sembuh ke butiknya."
"Iya."
Obrolan di telpon pun berakhir karena Arham yang mengakhir, pria itu memang tidak pernah lama-lama berbincang lama, bisa di bilang inilah yang terlama.
Mengetahui calon istrinya sedang sakit meski sakit yang dideritanya tidak parah, membuat Arham kepikiran. Meski sikapnya terlihat dingin dan acuh pada orang lain, tapi dia tipikal pria yang perhatian sebenarnya terlebih pada keluarganya dan saat ini sosok Zara yang dia kenal sebagai Gina sudah mulai masuk ke dalam hatinya, memporak-porandakan perasaannya sampai Arham bingung sendiri dengan dirinya. Entah mengapa rasanya dia ingin beranjak dari kursi kebesarannya dan menemui wanita itu.
Arham mengetuk-ngetuk pulpennya di atas meja, berpikir sejenak hingga akhirnya dia menutup berkas yang terbuka di atas mejanya. Beranjak dari sana, mengambil jas-nya yang tergantung lalu keluar dari ruang kerjanya.
"Saya keluar sebentar, jika ada yang mencari saya bilang saya tidak akan kembali ke kantor, atur ulang semua jadwal pertemuan!" ucapnya pada asistent pribadinya yang merangkap sebagai sekretarisnya karena sang sekretaris sedang cuti melahirkan.
Aldo mengangguk pasrah karena Arham adalah boss-nya.
Dengan mobil dan supir pribadinya, Arham meluncur ke apartemen miliknya yang dia berikan pada Gina sebagai hadiah pertunangan. Supir pribadi Arham sudah sangat hapal semua tempat yang dimiliki atasannya, hanya dengan menyebut, "Ke apartemen Gina," ucapnya pada sang supir maka mobil itu pasti akan melaju sesuai dengan tujuannya.
Tidak ada satu jam Arham sudah tiba di apartementnya. Karena memiliki akses masuk, pria itu langsung masuk dan mencari sosok yang katanya sedang tidak sehat itu ke dalam kamar.
Zara masih terbaring di kasur berbalut selimut. Arham mendekat dan duduk di pinggir ranjang, tangannya memeriksa kening Zara.
Tangan Arham yang dingin mengejutkan,
Zara tersentak, dia tidak menyangka Arham ada di sampingnya, pria bertubuh tinggi atletis itu duduk di pinggir ranjang dengan wajah khawatir."Panas kamu tinggi," ucap Arham, dengan punggung tangannya masih di kening Zara lalu ke leher memeriksa suhu tubuh dengan manual.
"Kita ke dokter sekarang!" lanjutnya memaksa Zara untuk pergi ke dokter.
Suka dengan cerita ini? Jangan lupa tinggalkan jejak komen ya, Bestie ... Karena komen kalian itu booster aku untuk menulis. ^^
Zara menolak lagi ajakan Arham."Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.Arham menghela napas pendek, pasrah."Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.Zara terkekeh, "Iya, iya.""Kamu sudah makan?" tanya Arham.Kepala Zara menggeleng pelan."Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.Pria itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham."Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham."Mas mau masak? Bisa?""Kamu meragukan saya?"Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementn
Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga."Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham."Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus ba
Prok! Prok! Prok!Senyum manis Zara mengembang ketika mendengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari pengunjung Cafe tempatnya bekerja. Sebuah lagu berhasil dia nyanyikan dengan sangat merdu sampai semua pengunjung memberinya tepuk tangan meriah."Terima kasih semuanya," ucap Zara sembari melempar ciuman jarak jauh dengan tangannya. Kemudian dia turun dari panggung karena memang jam kerjanya sudah habis.Seorang manager Cafe menghentikan langkah Zara ketika dia hendak pulang."Seseorang ingin bertemu dengan kamu, Ra," ucapnya.Kening Zara menyernyit, "Siapa?" balasnya melontarkan pertanyaan."Pelanggan setia cafe dan selalu membayar bill dengan nominal dua kali lipat setiap dia datang.""Apa aku mengenalnya?""Kamu tidak kenal dia tapi dia kenal kamu, Ra.""Benarkah?""Benar." Suara bariton menyela percakapan Manager Cafe dan Zara.Zara berbalik dan menatap siapa pemilik suara bariton itu.Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya salah satu penggemar Anda Nona Zara, bi
Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya. "Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar. Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya. "Akh! Sakit tau!" bentaknya. "Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" "Aku? Kabur?" cicit Gina. "Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!" Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya. "Nama Anda siapa?" tanya Gina. "Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian. "Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya. "Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depa
"Tanda tangan di sini."Gina menyodorkan sebuah kertas bermaterai berisi surat perjanjian dirinya dan Zara.Perlahan Zara membaca setiap pasal yang tertera di sana.Pasal satu tertulis kalau Gina sebagai pihak pertama akan membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng hingga sembuh di rumah sakit.Pasal kedua tertulis Zara sebagai pihak kedua menggantikan posisi Gina dalam waktu yang tidak di tentukan, dalam arti jika Gina ingin kembali maka perjanjian tersebut selesai dan Zara bisa kembali ke jatidirinya. Akan tetapi, dia tetap membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng sampai sembuh.Kedua pasal tersebut sudah cukup untuknya. Zara langsung membubuhi tanda tangannya di atas materai."Terima kasih." Gina tersenyum lebar, memasukan kembali surat perjanjian itu kedalam tasnya."Kamu bisa kembali ke rumah sakit, cari seseorang yang bisa kamu andalkan untuk merawat nenek kamu. Karena saya tidak mau penyamaran kamu terbongkar karena wara wiri ke rumah sakit," terang Gina menjelaskan.
Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.Jujur pria yang bersama Gina tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?TIN!!!bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.***Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat."Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.TIN!!!Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.Tok! Tok! Tok!
"Mas Arham," gumam Zara pelan."Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?""Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya."Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal."Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara."Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham."Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak
Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga."Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham."Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus ba
Zara menolak lagi ajakan Arham."Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.Arham menghela napas pendek, pasrah."Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.Zara terkekeh, "Iya, iya.""Kamu sudah makan?" tanya Arham.Kepala Zara menggeleng pelan."Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.Pria itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham."Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham."Mas mau masak? Bisa?""Kamu meragukan saya?"Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementn
Menikmati lumatan bibir Arham yang memabukan, Zara terlena hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Pria yang saat ini tengah menciumnya bukan miliknya melakukan milik wanita lain, meski dia adalah peran pengganti tetap saja Arham milik Gina bukan dirinya.Sekuat tenaga Zara mendorong tubuh Arham hingga pria itu melepas tautan bibirnya."Kenapa?" tanya Arham, serak."Sudah malam, Mas, aku harus pulang," kelit Zara.Arham menggedikan kedua pundaknya, "Kamu bisa menginap di sini malam ini, Sean dan ibu pasti senang."Zara menggigit bibir bawahnya, berpikir sesaat hingga akhirnya di menjawab lewat gelengan kepalanya."Besok aku ada kelas, Mas. Dan dosennya galak kalau aku gak masuk nanti aku gak lulus mata kuliahnya." Entah dari mana ide bohong itu, karena kebohongannya membuat perannya hampir terbongkar."Sejak kapan kamu kuliah?" tanya Arham menyelidik, matanya memincing tajam.Zara menelan saliva-nya melihat tatapan Arham seperti itu."Kamu terlalu sibuk, aku sampai tidak ada waktu membi
"Mas Arham," gumam Zara pelan."Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?""Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya."Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal."Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara."Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham."Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak
Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.Jujur pria yang bersama Gina tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?TIN!!!bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.***Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat."Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.TIN!!!Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.Tok! Tok! Tok!
"Tanda tangan di sini."Gina menyodorkan sebuah kertas bermaterai berisi surat perjanjian dirinya dan Zara.Perlahan Zara membaca setiap pasal yang tertera di sana.Pasal satu tertulis kalau Gina sebagai pihak pertama akan membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng hingga sembuh di rumah sakit.Pasal kedua tertulis Zara sebagai pihak kedua menggantikan posisi Gina dalam waktu yang tidak di tentukan, dalam arti jika Gina ingin kembali maka perjanjian tersebut selesai dan Zara bisa kembali ke jatidirinya. Akan tetapi, dia tetap membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng sampai sembuh.Kedua pasal tersebut sudah cukup untuknya. Zara langsung membubuhi tanda tangannya di atas materai."Terima kasih." Gina tersenyum lebar, memasukan kembali surat perjanjian itu kedalam tasnya."Kamu bisa kembali ke rumah sakit, cari seseorang yang bisa kamu andalkan untuk merawat nenek kamu. Karena saya tidak mau penyamaran kamu terbongkar karena wara wiri ke rumah sakit," terang Gina menjelaskan.
Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya. "Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar. Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya. "Akh! Sakit tau!" bentaknya. "Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" "Aku? Kabur?" cicit Gina. "Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!" Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya. "Nama Anda siapa?" tanya Gina. "Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian. "Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya. "Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depa
Prok! Prok! Prok!Senyum manis Zara mengembang ketika mendengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari pengunjung Cafe tempatnya bekerja. Sebuah lagu berhasil dia nyanyikan dengan sangat merdu sampai semua pengunjung memberinya tepuk tangan meriah."Terima kasih semuanya," ucap Zara sembari melempar ciuman jarak jauh dengan tangannya. Kemudian dia turun dari panggung karena memang jam kerjanya sudah habis.Seorang manager Cafe menghentikan langkah Zara ketika dia hendak pulang."Seseorang ingin bertemu dengan kamu, Ra," ucapnya.Kening Zara menyernyit, "Siapa?" balasnya melontarkan pertanyaan."Pelanggan setia cafe dan selalu membayar bill dengan nominal dua kali lipat setiap dia datang.""Apa aku mengenalnya?""Kamu tidak kenal dia tapi dia kenal kamu, Ra.""Benarkah?""Benar." Suara bariton menyela percakapan Manager Cafe dan Zara.Zara berbalik dan menatap siapa pemilik suara bariton itu.Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya salah satu penggemar Anda Nona Zara, bi