"Mas Arham," gumam Zara pelan.
"Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?"
"Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.
Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya.
"Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal.
"Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.
Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara.
"Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham.
"Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.
Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak pernah perduli. Tapi sekarang, dia menyukai bunga-bunga yang ada di sana.
"Besok kita petik kalau kamu ingin, sekarang ikut ibu," ajak Lusi seraya merangkul lengan Zara.
Tidak tahu kemana karena ini pertama kali Zara muncul di tengah keluarga Tawfeeq sebagai Gina, dia hanya bisa menurut.
Lusi mengajak Zara ke sebuah ruang rahasia di dalam kamarnya, kedua mata Zara membola ketika melihat ruang tersebut di design sedemikian rupa nyaman, di sekelilingnya terdapat banyak koleksi minuman beralkohol yang bermerek mahal, sedikit banyak Zara tahu karena dia bekerja di Cafe.
Lusi menuang sedikit minuman ke dalam gelas dan memberikannya pada Zara yang sudah duduk di sofa.
Wanita yang sudah tidak muda lagi itu mengisi gelas kedua untuk dirinya kemudian mengangkatnya untuk bersilang. Zara mengikuti apa yang Lusi lakukan.
Ibu Kandung Arham itu menikmati minumannya dalam satu tengakkan saja.
Sementara Zara menikmati sedikit demi sedikit. Dia bukan pecandu tapi karena biasa menemani pelanggan cafe, mau tidak mau Zara ikut mencicipi minuman itu tapi tidak sampai mabuk.
Sambil menikmati minumannya, Lusi bercerita panjang lebar tentang teman-teman sosialitanya yang saat ini mulai menjauhi dirinya karena perusahaan Arham sedang goyang.
"Kami belum jatuh bangkrut saja mereka sudah menjauhiku, Gina, bagaimana jika kami bangkrut! Aku harap kamu tidak membatalkan pernikahan dengan Arham setelah mengetahui hal ini, jika iya maka kamu akan sama saja dengan mereka!" cerocos Lusi yang sudah mulai mabuk.
"Tidak, Ibu. Aku akan menemani mas Arham bagaimana pun kondisi kalian," sahut Zara.
"Gadis yang baik, kamu memang berbeda, Gina. Makanya aku memaksa Arham menikahi kamu, dia tidak akan menyesal."
"Cukup, Bu," larang Zara ketika Lusi ingin menuang lagi gelas kosongnya dengan minuman haram itu.
"Sejak kapan kamu berani melarangku hah?" tolak Lusi yang masih ingin minum.
"Mulai hari ini, Ibu. Jika Ibu ingin aku tetap menjadi menantu Ibu menikahi mas Arham maka dari itu turuti aku juga, Bu. Tolong," sahut Zara, dia mengambil gelas di tangan Lusi dan menuntun calon mertuanya kembali ke kamar.
"Pintunya tutup!" titah Lusi, Zara langsung menutup pintu rahasia itu dan kembali mengurus Lusi yang hendak bangkit dari ranjang.
"Cukup, Bu. Sekarang sudah malam, waktunya istirahat."
Entah kenapa Lusi menurut, dia berbaring dan langsung memejamkan matanya. Zara menyelimuti tubuh Lusi.
Saat keluar dari kamar nyonya besar keluarga Tawfeeq, Zara melihat sebuah pintu kamar lainnya yang masih terbuka. Bukan maksudnya mengintip, tapi memang arah dia ke sana dan tanpa sengaja dia melihat isi kamar itu. Kamar Sean putra kandung dari Arham. Anak laki-laki itu masih duduk di meja belajarnya, bukunya terbuka tapi dia sibuk dengan ponselnya, bermain game online.
"Sean, kamu belum tidur?" tanya Zara di ambang pintu.
Karena tidak dapat jawaban, Zara masuk ke dalam setelah mengetuk pintu sebagai tanda ijin.
"Sean." Zara menyentuh pundak putra Arham, membuat anak laki-laki itu tersentak kaget.
"Tante Gina! Ngagetin aja!" bentak Sean.
"Tante sejak tadi manggil tapi kamu tidak dengar." Zara menatap tumpukan buku pelajaran di meja belajar Sean.
"Kamu ada pekerjaan rumah?" tanya Zara.
"Heum," jawab Sean dengan mata fokus ke ponselnya.
"Kenapa tidak kamu kerjakan?"
"Sebentar lagi."
"Berapa lama?"
"Lima menit."
"Oke."
Lima menit kemudian Zara menagih janji Sean.
"Sudah lima menit, Sean. Stop game-nya dan mulai kerjakan pekerjaan rumah kamu, biar besok pagi sekolah kamu tidak terlambat," titah Zara lembut.
Sean berdecak dan menaruh ponselnya dengan kasar.
"Kalau seperti itu ponsel kamu bisa rusak, Sayang." Zara mengusap kepala Sean dengan lembut dan menjauhkan ponsel pintar itu dari meja belajar. Kemudian Dia menemani Sean belajar.
Awalnya keduanya saling diam, Sean tidak ingin minta bantuan calon ibu sambungnya begitu juga dengan Zara, dia membiarkan Sean mengerjakannya sendiri dulu.
"Aku bingung sama soal yang ini," ucap Sean.
"Coba aku lihat." Zara mengambil buku cetak milik Sean.
"Begini caranya." Dengan penuh kesabaran Zara membimbing Sean dalam mengerjakan pekerjaan rumahnya.
"Yeayyy selesai," sorak Sean dengan kedua tangan ke atas. Dia senang.
"Ternyata matematika itu menyenangkan ya, Tante."
"Iya, Sayang." Zara sepakat.
"Sekarang waktunya kamu tidur," bujuk Zara.
Setelah merapihkan bukunya, Sean naik ke atas kasurnya. Zara duduk di tepi ranjang dan menyelimuti tubuh mungil Sean.
"Selamat tidur, mimpi indah, Sayang," ucap Zara lembut.
"Tante," panggil Sean ketika Zara hendak menutup pintu.
Zara berbalik dan menatap Sean.
"Terima kasih," ucap anak laki-laki itu kemudian dia berbalik badan menutup seluruh tubuhnya dengan selimutnya.
Zara tersenyum, "Sama-sama, Sean." Kemudian Dia menutup pintu kamar Sean.
***
Perlahan Zara menuruni anak tangga seraya menatap bingkai foto besar keluarga Tawfeeq yang menempel pada dinding rumah bak istana itu.
"Saya tidak tahu kamu salah makan apa, tapi saya merasa kamu hari ini lain." Arham selalu datang di waktu yang tidak tepat, pria itu selalu mengagetkan Zara. Tadi di taman sekarang di tangga.
"Maksud, Mas?"
"Ibu dan Sean, saya memperhatikan interaksi kamu dan mereka. Dan tadi makan malam -"
"Setiap orang berhak berubah kan?" potong Zara. "Aku ingin berubah lebih baik dari kemarin, apa itu salah?"
Kepala Arham menggeleng, dia mendekat dan merangkul pinggang Zara. Meski belum ada tumbuh rasa cinta di hati pria itu tapi Zara cukup menarik perhatiannya.
"Tadinya saya sempat ragu menikahi kamu Karena beberapa informasi yang saya dapat tentang kamu," bisik Arham.
"Kamu dapat informasi apa tentang aku?"
"Beberapa informasi negatif, tapi semua tertutup dengan sikap kamu malam ini."
"Saya akan menikahi kamu meski belum ada rasa sama sekali, jujur, semua saya lakukan karena Ibu dan Sean, jadi tolong jangan menuntut lebih," ungkap Arham.
"Aku paham, Mas," balas Zara pelan.
Tatapan mereka saling mengunci, perlahan wajah keduanya mendekat dan bibir mereka menyatu.
Menikmati lumatan bibir Arham yang memabukan, Zara terlena hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Pria yang saat ini tengah menciumnya bukan miliknya melakukan milik wanita lain, meski dia adalah peran pengganti tetap saja Arham milik Gina bukan dirinya.Sekuat tenaga Zara mendorong tubuh Arham hingga pria itu melepas tautan bibirnya."Kenapa?" tanya Arham, serak."Sudah malam, Mas, aku harus pulang," kelit Zara.Arham menggedikan kedua pundaknya, "Kamu bisa menginap di sini malam ini, Sean dan ibu pasti senang."Zara menggigit bibir bawahnya, berpikir sesaat hingga akhirnya di menjawab lewat gelengan kepalanya."Besok aku ada kelas, Mas. Dan dosennya galak kalau aku gak masuk nanti aku gak lulus mata kuliahnya." Entah dari mana ide bohong itu, karena kebohongannya membuat perannya hampir terbongkar."Sejak kapan kamu kuliah?" tanya Arham menyelidik, matanya memincing tajam.Zara menelan saliva-nya melihat tatapan Arham seperti itu."Kamu terlalu sibuk, aku sampai tidak ada waktu membi
Zara menolak lagi ajakan Arham."Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.Arham menghela napas pendek, pasrah."Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.Zara terkekeh, "Iya, iya.""Kamu sudah makan?" tanya Arham.Kepala Zara menggeleng pelan."Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.Pria itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham."Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham."Mas mau masak? Bisa?""Kamu meragukan saya?"Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementn
Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga."Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham."Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus ba
Prok! Prok! Prok!Senyum manis Zara mengembang ketika mendengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari pengunjung Cafe tempatnya bekerja. Sebuah lagu berhasil dia nyanyikan dengan sangat merdu sampai semua pengunjung memberinya tepuk tangan meriah."Terima kasih semuanya," ucap Zara sembari melempar ciuman jarak jauh dengan tangannya. Kemudian dia turun dari panggung karena memang jam kerjanya sudah habis.Seorang manager Cafe menghentikan langkah Zara ketika dia hendak pulang."Seseorang ingin bertemu dengan kamu, Ra," ucapnya.Kening Zara menyernyit, "Siapa?" balasnya melontarkan pertanyaan."Pelanggan setia cafe dan selalu membayar bill dengan nominal dua kali lipat setiap dia datang.""Apa aku mengenalnya?""Kamu tidak kenal dia tapi dia kenal kamu, Ra.""Benarkah?""Benar." Suara bariton menyela percakapan Manager Cafe dan Zara.Zara berbalik dan menatap siapa pemilik suara bariton itu.Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya salah satu penggemar Anda Nona Zara, bi
Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya. "Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar. Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya. "Akh! Sakit tau!" bentaknya. "Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" "Aku? Kabur?" cicit Gina. "Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!" Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya. "Nama Anda siapa?" tanya Gina. "Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian. "Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya. "Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depa
"Tanda tangan di sini."Gina menyodorkan sebuah kertas bermaterai berisi surat perjanjian dirinya dan Zara.Perlahan Zara membaca setiap pasal yang tertera di sana.Pasal satu tertulis kalau Gina sebagai pihak pertama akan membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng hingga sembuh di rumah sakit.Pasal kedua tertulis Zara sebagai pihak kedua menggantikan posisi Gina dalam waktu yang tidak di tentukan, dalam arti jika Gina ingin kembali maka perjanjian tersebut selesai dan Zara bisa kembali ke jatidirinya. Akan tetapi, dia tetap membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng sampai sembuh.Kedua pasal tersebut sudah cukup untuknya. Zara langsung membubuhi tanda tangannya di atas materai."Terima kasih." Gina tersenyum lebar, memasukan kembali surat perjanjian itu kedalam tasnya."Kamu bisa kembali ke rumah sakit, cari seseorang yang bisa kamu andalkan untuk merawat nenek kamu. Karena saya tidak mau penyamaran kamu terbongkar karena wara wiri ke rumah sakit," terang Gina menjelaskan.
Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.Jujur pria yang bersama Gina tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?TIN!!!bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.***Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat."Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.TIN!!!Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.Tok! Tok! Tok!
Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga."Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham."Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus ba
Zara menolak lagi ajakan Arham."Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.Arham menghela napas pendek, pasrah."Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.Zara terkekeh, "Iya, iya.""Kamu sudah makan?" tanya Arham.Kepala Zara menggeleng pelan."Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.Pria itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham."Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham."Mas mau masak? Bisa?""Kamu meragukan saya?"Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementn
Menikmati lumatan bibir Arham yang memabukan, Zara terlena hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Pria yang saat ini tengah menciumnya bukan miliknya melakukan milik wanita lain, meski dia adalah peran pengganti tetap saja Arham milik Gina bukan dirinya.Sekuat tenaga Zara mendorong tubuh Arham hingga pria itu melepas tautan bibirnya."Kenapa?" tanya Arham, serak."Sudah malam, Mas, aku harus pulang," kelit Zara.Arham menggedikan kedua pundaknya, "Kamu bisa menginap di sini malam ini, Sean dan ibu pasti senang."Zara menggigit bibir bawahnya, berpikir sesaat hingga akhirnya di menjawab lewat gelengan kepalanya."Besok aku ada kelas, Mas. Dan dosennya galak kalau aku gak masuk nanti aku gak lulus mata kuliahnya." Entah dari mana ide bohong itu, karena kebohongannya membuat perannya hampir terbongkar."Sejak kapan kamu kuliah?" tanya Arham menyelidik, matanya memincing tajam.Zara menelan saliva-nya melihat tatapan Arham seperti itu."Kamu terlalu sibuk, aku sampai tidak ada waktu membi
"Mas Arham," gumam Zara pelan."Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?""Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya."Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal."Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara."Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham."Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak
Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.Jujur pria yang bersama Gina tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?TIN!!!bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.***Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat."Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.TIN!!!Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.Tok! Tok! Tok!
"Tanda tangan di sini."Gina menyodorkan sebuah kertas bermaterai berisi surat perjanjian dirinya dan Zara.Perlahan Zara membaca setiap pasal yang tertera di sana.Pasal satu tertulis kalau Gina sebagai pihak pertama akan membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng hingga sembuh di rumah sakit.Pasal kedua tertulis Zara sebagai pihak kedua menggantikan posisi Gina dalam waktu yang tidak di tentukan, dalam arti jika Gina ingin kembali maka perjanjian tersebut selesai dan Zara bisa kembali ke jatidirinya. Akan tetapi, dia tetap membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng sampai sembuh.Kedua pasal tersebut sudah cukup untuknya. Zara langsung membubuhi tanda tangannya di atas materai."Terima kasih." Gina tersenyum lebar, memasukan kembali surat perjanjian itu kedalam tasnya."Kamu bisa kembali ke rumah sakit, cari seseorang yang bisa kamu andalkan untuk merawat nenek kamu. Karena saya tidak mau penyamaran kamu terbongkar karena wara wiri ke rumah sakit," terang Gina menjelaskan.
Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya. "Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar. Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya. "Akh! Sakit tau!" bentaknya. "Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" "Aku? Kabur?" cicit Gina. "Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!" Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya. "Nama Anda siapa?" tanya Gina. "Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian. "Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya. "Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depa
Prok! Prok! Prok!Senyum manis Zara mengembang ketika mendengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari pengunjung Cafe tempatnya bekerja. Sebuah lagu berhasil dia nyanyikan dengan sangat merdu sampai semua pengunjung memberinya tepuk tangan meriah."Terima kasih semuanya," ucap Zara sembari melempar ciuman jarak jauh dengan tangannya. Kemudian dia turun dari panggung karena memang jam kerjanya sudah habis.Seorang manager Cafe menghentikan langkah Zara ketika dia hendak pulang."Seseorang ingin bertemu dengan kamu, Ra," ucapnya.Kening Zara menyernyit, "Siapa?" balasnya melontarkan pertanyaan."Pelanggan setia cafe dan selalu membayar bill dengan nominal dua kali lipat setiap dia datang.""Apa aku mengenalnya?""Kamu tidak kenal dia tapi dia kenal kamu, Ra.""Benarkah?""Benar." Suara bariton menyela percakapan Manager Cafe dan Zara.Zara berbalik dan menatap siapa pemilik suara bariton itu.Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya salah satu penggemar Anda Nona Zara, bi