Zara menolak lagi ajakan Arham.
"Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.
Arham menghela napas pendek, pasrah.
"Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.
Zara terkekeh, "Iya, iya."
"Kamu sudah makan?" tanya Arham.
Kepala Zara menggeleng pelan.
"Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.
Pria itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham.
"Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham.
"Mas mau masak? Bisa?"
"Kamu meragukan saya?"
Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.
Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementnya karena masak.
Zara mengikat asal rambutnya ke atas, kemudian mendekat pada Arham hingga pria itu terkejut karena sedang fokus mencari alat masak.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Arham.
"Bantu kamu masak."
"Sudah aku bilang kamu di dalam saja, aku bisa masak!"
Zara mengangguk, satu alisnya terangkat mengejek Arham karena kata pria itu dia bisa masak tapi alat masak saja dia bingung, semua alat masak keluar dari tempatnya membuat dapur kecilnya berantakan sebelum masak.
Arham serius dengan ucapannya, dia memaksa Zara duduk saja sementara dia memasak membuat bubur dengan arahan dari Zara karena Arham kebingungan dimana alat masak dan bahan-bahannya.
Pria itu terlihat berbeda ketika sibuk di balik kompor, pesona CEO tetap tidak pudar malah semakin tampan saat keringat di keningnya mulai mengalir di pelipisnya.
Zara tertegun, pikirannya seketika travelling.
Berdiri dari duduknya mendekati Arham yang sedang sibuk mengaduk bubur yang sudah hampir jadi di panci, pria itu mengambil sedikit di sendok kemudian meniupnya sampai dingin lalu memberikannya pada Zara agar mencicipi bubur tersebut.
Zara meringis karena bubur itu masih sedikit panas tapi soal rasa sudah pas. Ada sedikit sisa bubur di ujung bibir Zara, wanita itu hendak membersihkannya dengan tangan tapi Arham menahannya, wajahnya mendekat dan pria itu membersihkan bagian sisa bubur di sudut bibir Zara dengan indra pengecapnya yang berlanjut melumat bibir manis calon istrinya. Pelan tapi pasti lumatan Arham membuat Zara tidak bisa menolak gairah yang datang menyelimuti tubuh mungilnya, darahnya berdesir.
Tangan Arham menahan tengkuk leher Zara, memperdalam ciumannya. Wanita itu terbuai sampai ...
"Gina! Hei!" Arham menjentikan jarinya berulang di depan wajah Zara sampai wanita itu tersentak dan tersadar dari lamunannya. Kemudian pria itu kembali memeriksa suhu kening Zara.
"Sudah normal," gumamnya.
Zara salah tingkah karena dia malu pada dirinya sendiri sudah sampai sejauh itu travellingnya. Bagaimana bisa dia membayangkan berciuman dengan pria yang bukan miliknya.
"A-apa buburnya sudah matang?" tanya Zara, kikuk.
"Sudah, aku mau minta kamu icip dulu rasanya sebelum saya pindahkan ke mangkuk." Arham menarik tangan Zara agar mengikutinya ke dapur yang jaraknya tidak jauh dari meja makan.
Arham menoleh ke kiri ke kanan mencari sebuah sendok dan akhirnya dia dapatkan. Mengambil sedikit bubur dari panci kemudian dia menciumnya dan memberikannya pada Zara. Wanita berhidung mancung itu sesaat tertegun karena kejadian saat ini hampir sama dengan hayalannya beberapa saat lalu.
Zara menerima suapan bubur dari Arham.
"Bagaimana rasanya? Kurang apa?" tanya Arham antusias menunggu jawaban Zara.
"Ini pertama kali saya masak, masak bubur maksud saya, jadi kalau -"
"Enak, enak banget, Mas," sahut Zara cepat sembari mengusap sudut bibirnya dari sisa bubur yang menempel.
Arham mengangguk senang dan langsung mengambil satu mangkuk kosong untuk dia masukan bubur buatannya di sana.
"Kok cuma satu mangkuk? Mas Arham gak makan?" tanya Zara.
"Kamu yang sakit, kenapa aku ikut makan bubur juga?" jawab Arham tanpa menoleh karena fokus pada bubur.
Zara memajukan bibir bawahnya, cemberut. "Memangnya bubur hanya untuk orang sakit?"
"Di luar sana banyak orang berjualan bubur ayam dan yang makan kebanyakan orang sehat," tambahnya.
"Sudah jangan kebanyakan protes! Ini makan, habiskan." Arham menaruh semangkuk bubur buatannya di hadapan Zara.
Zara menghela napas ketika menatap betapa banyaknya bubur itu, dia harus menghabiskannya sendiri? Yang benar saja!
"Ini kebanyakan, Mas," keluh Zara dengan mata memohon agar Arham tidak memaksanya harus menghabiskan semuanya sendiri.
"Ya sudah saya bantu."
Tapi ketika Arham hendak mengambil bubur di mangkuk yang sama dengan Zara, wanita itu melarangnya.
"Wait! Jangan satu mangkuk sama aku, aku lagi sakit, nanti kamu ketularan," ucapnya, menahan tangan Arham yang tengah memegang sendok.
Zara beranjak dan mengambil mangkuk kecil, dia memindahkan sedikit ke mangkuk kecil itu kemudian memberikan mangkuk utama pada Arham.
"Aku makan ini, kamu habiskan yang itu, Mas." Tunjuk Zara.
"Yang benar saja! Kamu yang sakit kenapa saya yang harus menghabiskan semangkuk besar bubur ini?" protes Arham.
Zara terkekeh pelan.
***
Perkara bubur sudah selesai, Arham meminta Zara istirahat tapi wanita itu tidak mau istirahat di kamar karena bosan.
"Aku istirahat di sini aja sambil menonton film kesukaan aku," ucap Zara memilih tempat ruang tamu yang merangkap menjadi ruang menonton televisi.
Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di sofa lalu menghidupkan televisinya.
"Bisa cari berita saham?" pinta Arham, duduk di sebelah Zara.
Zara melirik tajam. Apa isi kepala Arham hanya di penuhi oleh pekerjaan? Gak dimana-mana yang dia ingin ketahui pasti yang berbau pekerjaannya seperti saat ini berita mengenai saham.
Karena tidak ingin berdebat, Zara menurut dia menekan chanel tv mencari siaran khusus saham.
Beberapa saat kemudian Arham masih serius mengamati sedangkan Zara sudah pulas tertidur dengan kepala bersandar di pundaknya. Arham membiarkan pundaknya menjadi sandaran Zara, tangannya mengusap pipi yang sudah mulai berwarna itu dengan lembut. Wajah Zara sudah tidak sepucat tadi ketika Arham datang.
Arham merasa bingung dengan perasaannya kini, perubahan calon istrinya membuatnya semakin menyukai sosoknya.
***
Kedua mata Zara mengerjap, betapa terkejutnya dia ketika sadar kalau dirinya tertidur dengan kepala di atas pangkuan Arham, beberapa saat kemudian sudut bibirnya langsung tertarik saat melihat pemilik pangkuan itu juga sedang pulas terlelap dengan tubuh dan kepala bersandar ke kepala sofa. Arham masih di posisi yang sama sejak sebelum Zara tidur, pasti tidak nyaman dan akan membuat tubuh pegal saat terbangun nanti, Zara yakin itu.
Dengkuran halus membuat Zara memberanikan diri, tangan Zara terulur mengusap pelan pemilik pipi dengan sedikit bulu di garis wajah tampan yang sedang pulas tertidur itu.
Tampan.
Zara mengakui di dalam hatinya kalau Arham pria yang tampan, bukan hanya itu, dia juga baik dan bertanggung jawab.
Pria bernama Arham sudah mulai memporak-porandakan hati Zara, tapi tiba-tiba dia teringat akan perjanjiannya dengan Gina. Jemari Zara seketika terhenti dan dia menarik tangannya turun.
"Kenapa berhenti?" Suara bariton Arham berujar, serak.
Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga."Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham."Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus ba
Prok! Prok! Prok!Senyum manis Zara mengembang ketika mendengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari pengunjung Cafe tempatnya bekerja. Sebuah lagu berhasil dia nyanyikan dengan sangat merdu sampai semua pengunjung memberinya tepuk tangan meriah."Terima kasih semuanya," ucap Zara sembari melempar ciuman jarak jauh dengan tangannya. Kemudian dia turun dari panggung karena memang jam kerjanya sudah habis.Seorang manager Cafe menghentikan langkah Zara ketika dia hendak pulang."Seseorang ingin bertemu dengan kamu, Ra," ucapnya.Kening Zara menyernyit, "Siapa?" balasnya melontarkan pertanyaan."Pelanggan setia cafe dan selalu membayar bill dengan nominal dua kali lipat setiap dia datang.""Apa aku mengenalnya?""Kamu tidak kenal dia tapi dia kenal kamu, Ra.""Benarkah?""Benar." Suara bariton menyela percakapan Manager Cafe dan Zara.Zara berbalik dan menatap siapa pemilik suara bariton itu.Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya salah satu penggemar Anda Nona Zara, bi
Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya. "Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar. Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya. "Akh! Sakit tau!" bentaknya. "Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" "Aku? Kabur?" cicit Gina. "Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!" Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya. "Nama Anda siapa?" tanya Gina. "Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian. "Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya. "Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depa
"Tanda tangan di sini."Gina menyodorkan sebuah kertas bermaterai berisi surat perjanjian dirinya dan Zara.Perlahan Zara membaca setiap pasal yang tertera di sana.Pasal satu tertulis kalau Gina sebagai pihak pertama akan membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng hingga sembuh di rumah sakit.Pasal kedua tertulis Zara sebagai pihak kedua menggantikan posisi Gina dalam waktu yang tidak di tentukan, dalam arti jika Gina ingin kembali maka perjanjian tersebut selesai dan Zara bisa kembali ke jatidirinya. Akan tetapi, dia tetap membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng sampai sembuh.Kedua pasal tersebut sudah cukup untuknya. Zara langsung membubuhi tanda tangannya di atas materai."Terima kasih." Gina tersenyum lebar, memasukan kembali surat perjanjian itu kedalam tasnya."Kamu bisa kembali ke rumah sakit, cari seseorang yang bisa kamu andalkan untuk merawat nenek kamu. Karena saya tidak mau penyamaran kamu terbongkar karena wara wiri ke rumah sakit," terang Gina menjelaskan.
Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.Jujur pria yang bersama Gina tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?TIN!!!bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.***Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat."Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.TIN!!!Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.Tok! Tok! Tok!
"Mas Arham," gumam Zara pelan."Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?""Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya."Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal."Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara."Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham."Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak
Menikmati lumatan bibir Arham yang memabukan, Zara terlena hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Pria yang saat ini tengah menciumnya bukan miliknya melakukan milik wanita lain, meski dia adalah peran pengganti tetap saja Arham milik Gina bukan dirinya.Sekuat tenaga Zara mendorong tubuh Arham hingga pria itu melepas tautan bibirnya."Kenapa?" tanya Arham, serak."Sudah malam, Mas, aku harus pulang," kelit Zara.Arham menggedikan kedua pundaknya, "Kamu bisa menginap di sini malam ini, Sean dan ibu pasti senang."Zara menggigit bibir bawahnya, berpikir sesaat hingga akhirnya di menjawab lewat gelengan kepalanya."Besok aku ada kelas, Mas. Dan dosennya galak kalau aku gak masuk nanti aku gak lulus mata kuliahnya." Entah dari mana ide bohong itu, karena kebohongannya membuat perannya hampir terbongkar."Sejak kapan kamu kuliah?" tanya Arham menyelidik, matanya memincing tajam.Zara menelan saliva-nya melihat tatapan Arham seperti itu."Kamu terlalu sibuk, aku sampai tidak ada waktu membi
Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga."Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham."Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus ba
Zara menolak lagi ajakan Arham."Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.Arham menghela napas pendek, pasrah."Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.Zara terkekeh, "Iya, iya.""Kamu sudah makan?" tanya Arham.Kepala Zara menggeleng pelan."Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.Pria itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham."Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham."Mas mau masak? Bisa?""Kamu meragukan saya?"Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementn
Menikmati lumatan bibir Arham yang memabukan, Zara terlena hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Pria yang saat ini tengah menciumnya bukan miliknya melakukan milik wanita lain, meski dia adalah peran pengganti tetap saja Arham milik Gina bukan dirinya.Sekuat tenaga Zara mendorong tubuh Arham hingga pria itu melepas tautan bibirnya."Kenapa?" tanya Arham, serak."Sudah malam, Mas, aku harus pulang," kelit Zara.Arham menggedikan kedua pundaknya, "Kamu bisa menginap di sini malam ini, Sean dan ibu pasti senang."Zara menggigit bibir bawahnya, berpikir sesaat hingga akhirnya di menjawab lewat gelengan kepalanya."Besok aku ada kelas, Mas. Dan dosennya galak kalau aku gak masuk nanti aku gak lulus mata kuliahnya." Entah dari mana ide bohong itu, karena kebohongannya membuat perannya hampir terbongkar."Sejak kapan kamu kuliah?" tanya Arham menyelidik, matanya memincing tajam.Zara menelan saliva-nya melihat tatapan Arham seperti itu."Kamu terlalu sibuk, aku sampai tidak ada waktu membi
"Mas Arham," gumam Zara pelan."Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?""Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya."Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal."Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara."Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham."Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak
Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.Jujur pria yang bersama Gina tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?TIN!!!bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.***Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat."Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.TIN!!!Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.Tok! Tok! Tok!
"Tanda tangan di sini."Gina menyodorkan sebuah kertas bermaterai berisi surat perjanjian dirinya dan Zara.Perlahan Zara membaca setiap pasal yang tertera di sana.Pasal satu tertulis kalau Gina sebagai pihak pertama akan membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng hingga sembuh di rumah sakit.Pasal kedua tertulis Zara sebagai pihak kedua menggantikan posisi Gina dalam waktu yang tidak di tentukan, dalam arti jika Gina ingin kembali maka perjanjian tersebut selesai dan Zara bisa kembali ke jatidirinya. Akan tetapi, dia tetap membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng sampai sembuh.Kedua pasal tersebut sudah cukup untuknya. Zara langsung membubuhi tanda tangannya di atas materai."Terima kasih." Gina tersenyum lebar, memasukan kembali surat perjanjian itu kedalam tasnya."Kamu bisa kembali ke rumah sakit, cari seseorang yang bisa kamu andalkan untuk merawat nenek kamu. Karena saya tidak mau penyamaran kamu terbongkar karena wara wiri ke rumah sakit," terang Gina menjelaskan.
Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya. "Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar. Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya. "Akh! Sakit tau!" bentaknya. "Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" "Aku? Kabur?" cicit Gina. "Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!" Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya. "Nama Anda siapa?" tanya Gina. "Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian. "Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya. "Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depa
Prok! Prok! Prok!Senyum manis Zara mengembang ketika mendengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari pengunjung Cafe tempatnya bekerja. Sebuah lagu berhasil dia nyanyikan dengan sangat merdu sampai semua pengunjung memberinya tepuk tangan meriah."Terima kasih semuanya," ucap Zara sembari melempar ciuman jarak jauh dengan tangannya. Kemudian dia turun dari panggung karena memang jam kerjanya sudah habis.Seorang manager Cafe menghentikan langkah Zara ketika dia hendak pulang."Seseorang ingin bertemu dengan kamu, Ra," ucapnya.Kening Zara menyernyit, "Siapa?" balasnya melontarkan pertanyaan."Pelanggan setia cafe dan selalu membayar bill dengan nominal dua kali lipat setiap dia datang.""Apa aku mengenalnya?""Kamu tidak kenal dia tapi dia kenal kamu, Ra.""Benarkah?""Benar." Suara bariton menyela percakapan Manager Cafe dan Zara.Zara berbalik dan menatap siapa pemilik suara bariton itu.Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya salah satu penggemar Anda Nona Zara, bi