Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.
Jujur pria yang bersama Gina tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?
TIN!!!
bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.
Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.
***
Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat.
"Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.
TIN!!!
Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.
Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.
Tok! Tok! Tok!
Dia mengetuk kaca jendela mobil Zara. Perlahan gadis itu buka.
"Ngapain kamu di sini? Gak langsung masuk?" tanya datar.
"A-aku ...."
"Masuk, kita bicara di dalam," titahnya seraya kembali masuk ke dalam mobil.
Zara mengikuti mobil tersebut, tembok berlapis tanaman rambat itu cukup panjang sampai dia bertemu gerbang besar seperti istana dengan dua orang penjaga keamanan di kedua sisinya.
Gerbang besar itu langsung terbuka dan kedua penjaga itu memberi salam dengan sedikit membungkuk.
"Selamat malam, Tuan Arham."
Rahang Zara jatuh.
Tuan Arham? Pria tadi, dia yang bernama Arham? Seketika Zara menelan saliva-nya, dia tidak menyangka bertemu calon suaminya, ralat-calon suami Gina dengan cara yang tadi. Arham tidak kalah tampan dari kekasih Gina hanya saja usianya memang lebih tua, mungkin faktor dia sudah memiliki anak. Konon katanya orang yang sudah memiliki anak tingkat stres lebih tinggi yang mengakibatkan orang tersebut akan terlihat lebih tua dari orang yang belum memiliki anak, asumsi Zara saat ini seperti itu.
Gerbang besar itu kembali menutup setelah mobil Zara lewat, masuk ke dalam. Gadis manis itu tercengang setelah masuk lebih dalam ke area rumah Arham. Melewati taman yang begitu luas, dari dalam mobil terlihat di tengah taman rumah yang seperti istana itu berdiri tegak, mewah.
Ketika mobil bertambah dekat, kharisma bangunan rumah mewah keluarga Tawfeeq tambah terasa. Zara tegang.
Arham keluar dari mobilnya, Zara pun mengikuti. Pria itu berjalan lebih dahulu menaiki anak tangga menuju pint utama yang baru saja terbuka.
Kening Arham menyernyit dalam, langkahnya terhenti di ambang pintu. Dia berbalik dan menatap calon istrinya yang sejak tadi terlihat linglung.
"Kamu kenapa, Gina? Ayo masuk, ibu pasti sudah menunggu calon menantu kesayangannya," ajak Arham.
"Gina?!" ulangnya memanggil nama gadis itu.
"Heum? Oh i-iya, iya." Dia tersadar, namanya bukan lagi Zara melainkan Gina sekarang. Dia harus terbiasa dengan panggilan barunya itu.
Bukan hanya di gerbang, pintu utama pun di buka oleh dua orang berseragam pelayan.
"Sayang, akhirnya kamu datang juga." Seorang wanita yang sudah tidak muda lagi tapi masih tampil cantik dan modis berjalan cepat menghampiri Zara dan langsung memeluknya erat.
Untuk beberapa saat gadis itu tampak terdiam, tapi akhirnnya dia membalas pelukan Lusi. Ya dia adalah Lusi Kamilah-ibu kandung Arham, Zara sudah melihat fotonya tapi ternyata aslinya terlihat lebih cantik.
"Ibu," panggil Zara.
Lusi melepas pelukannya.
"Iya, Sayang?"
"Maaf aku baru datang," lanjut Zara pelan.
"Tidak apa, Sayang. Kamu datang di waktu yang tepat," sahut Lusi, menuntun Zara yang dia kira adalah Gina.
"Kalian makan saja duluan, aku ganti pakaian dulu," titah Arham dingin. Kaki jenjangnya menaiki dua anak tangga sekaligus.
"Apa dia masih bersikap dingin sama kamu?" bisik lusi.
Zara tersenyum tipis. Bagaimana dia bisa menjawab? Baru kali ini dia bertemu dengan Arham. Gina tidak menceritakan sampai sedetail itu tentang calon suaminya.
"Kamu harus ekstra sabar ya," sambung Lusi.
Sampai di ruang makan, di sana sudah duduk dua orang yang Zara tebak mereka adalah Sean dan Nindy. Wajah keduanya tidak bersahabat.
"Hei, kenapa kalian diam? Dimana sopan santun kalian ketika bertemu orang?" tegur Lusi.
"Hai, Gina," sapa Nindy, tangannya melambai dengan senyum yang terpaksa.
"Selamat malam, calon ibu sambungku." Sean menyapa dengan sinis.
Zara bingung harus bagaimana bersikap dia hanya tersenyum manis dan mengangguk tipis. Lebih banyak diam adalah pilihan yang tepat saat ini.
"Duduklah!" Tangan Lusi menarik kursi untuk calon menantu kesayangannya. Setidaknya di sini ada seorang yang menyayangi dia, pikir Zara.
"Apa kita bisa langsung makan, Omah? Aku sudah lapar," tanya Sean.
"Sebentar lagi ya, Sayang. Kita tunggu papa kamu," bujuk Lusi.
Mereka berempat duduk dalam diam menunggu kedatangan Arham.
"Kenapa kalian tidak makan duluan?" Suara bariton itu menggema dari anak tangga terakhir yang dipijaknya.
Kedua mata Lusi melotot.
"Maaf," ucap Arham ketika melihat sang ibu sudah seperti itu.
Arham duduk di kursinya, "Baiklah, selamat makan semuanya," ucap Arham.
Beberapa pelayan rumah itu langsung melayani majikan mereka dengan membuka semua lauk pauk yang masih tertutup.
"Aku mau ayam itu," tunjuk Sean.
Karena letak ayam goreng itu lebih dekat dengan Zara, gadis itu mengambilkannya untuk Sean. Sontak semua menatap Zara dengan kening menyernyit.
Zara mengabaikan tatapan mereka dan lebih fokus pada Sean-calon anak sambungnya yang meminta menu lain selain ayam yang sudah ada di piringnya. Zara kembali melayani anak laki-laki itu. Setelah selesai dengan Sean, Zara kembali duduk di kursinya dan ikut menyantap makan malamnya.
Sean memang selalu ceroboh di usianya, dia makan dengan terburu-buru dan tersedak. Zara dengan cekatan memberikan air minum untuknya dan menepuk pelan punggung calon anak sambungnya hingga batuk Sean reda.
Tiga orang dewasa lainnya masih dengan tatapan aneh mereka, dengan pikiran mereka masing-masing melihat apa yang Zara lakukan. Hanya Lusi yang tersenyum melihatnya.
"Terima kasih," ucap Sean. Tapi setelah itu dia terdiam.
"Sama-sama," jawab Zara pelan.
Sean meletakan alat makannya, "Aku sudah kenyang, permisi." Dia pergi meninggalkan ruang makan, langsung naik ke lantai atas. Tidak ada satupun dari orang dewasa di sana yang menegurnya. Mereka memilih melanjutkan makan malam mereka.
"Maafkan sikap Sean, Gina," cicit Lusi di tengah menikmati makan malamnya.
"Gak apa, Ibu. Dia masih anak-anak," balas Zara.
***
Setelah makan malam, mereka melanjutkan dengan berkumpul di ruang keluarga, menikmati kebersamaan dengan teh hangat.
"Aku boleh ke kamar kecil?" pamit Zara ketika seorang pelayan membawa teh.
Lusi mengangguk. Sedangkan Arham masih sibuk dengan ponselnya.
Zara sengaja menghindar dengan lari ke kamar kecil, padahal dia tidak ingin buang air kecil, hanya merasa canggung di tengah keluarga yang masih asing menurutnya. Memerankan sosok Gina tidak semudah itu ternyata. Tatapan dingin Sean dan Nindy, diamnya Arham lebih mengerikan dari perkiraannya.
Rumah yang besar membuat Zara tersesat, dan berakhir di taman belakang rumah yang luas, dia terus berjalan menyusuri tepi rumah dengan pilar raksasa menjulang. Langkah kakinya terhenti di sebuah taman yang dipenuhi oleh bunga mawar. Bunga mawar putih mengalihkan perhatian Zara. Sedang terpesona dengan indahnya bunga mawar putih, tiba-tiba ...
"Di sini kamu rupanya."
"Mas Arham," gumam Zara pelan."Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?""Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya."Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal."Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara."Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham."Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak
Menikmati lumatan bibir Arham yang memabukan, Zara terlena hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Pria yang saat ini tengah menciumnya bukan miliknya melakukan milik wanita lain, meski dia adalah peran pengganti tetap saja Arham milik Gina bukan dirinya.Sekuat tenaga Zara mendorong tubuh Arham hingga pria itu melepas tautan bibirnya."Kenapa?" tanya Arham, serak."Sudah malam, Mas, aku harus pulang," kelit Zara.Arham menggedikan kedua pundaknya, "Kamu bisa menginap di sini malam ini, Sean dan ibu pasti senang."Zara menggigit bibir bawahnya, berpikir sesaat hingga akhirnya di menjawab lewat gelengan kepalanya."Besok aku ada kelas, Mas. Dan dosennya galak kalau aku gak masuk nanti aku gak lulus mata kuliahnya." Entah dari mana ide bohong itu, karena kebohongannya membuat perannya hampir terbongkar."Sejak kapan kamu kuliah?" tanya Arham menyelidik, matanya memincing tajam.Zara menelan saliva-nya melihat tatapan Arham seperti itu."Kamu terlalu sibuk, aku sampai tidak ada waktu membi
Zara menolak lagi ajakan Arham."Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.Arham menghela napas pendek, pasrah."Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.Zara terkekeh, "Iya, iya.""Kamu sudah makan?" tanya Arham.Kepala Zara menggeleng pelan."Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.Pria itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham."Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham."Mas mau masak? Bisa?""Kamu meragukan saya?"Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementn
Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga."Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham."Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus ba
Prok! Prok! Prok!Senyum manis Zara mengembang ketika mendengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari pengunjung Cafe tempatnya bekerja. Sebuah lagu berhasil dia nyanyikan dengan sangat merdu sampai semua pengunjung memberinya tepuk tangan meriah."Terima kasih semuanya," ucap Zara sembari melempar ciuman jarak jauh dengan tangannya. Kemudian dia turun dari panggung karena memang jam kerjanya sudah habis.Seorang manager Cafe menghentikan langkah Zara ketika dia hendak pulang."Seseorang ingin bertemu dengan kamu, Ra," ucapnya.Kening Zara menyernyit, "Siapa?" balasnya melontarkan pertanyaan."Pelanggan setia cafe dan selalu membayar bill dengan nominal dua kali lipat setiap dia datang.""Apa aku mengenalnya?""Kamu tidak kenal dia tapi dia kenal kamu, Ra.""Benarkah?""Benar." Suara bariton menyela percakapan Manager Cafe dan Zara.Zara berbalik dan menatap siapa pemilik suara bariton itu.Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya salah satu penggemar Anda Nona Zara, bi
Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya. "Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar. Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya. "Akh! Sakit tau!" bentaknya. "Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" "Aku? Kabur?" cicit Gina. "Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!" Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya. "Nama Anda siapa?" tanya Gina. "Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian. "Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya. "Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depa
"Tanda tangan di sini."Gina menyodorkan sebuah kertas bermaterai berisi surat perjanjian dirinya dan Zara.Perlahan Zara membaca setiap pasal yang tertera di sana.Pasal satu tertulis kalau Gina sebagai pihak pertama akan membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng hingga sembuh di rumah sakit.Pasal kedua tertulis Zara sebagai pihak kedua menggantikan posisi Gina dalam waktu yang tidak di tentukan, dalam arti jika Gina ingin kembali maka perjanjian tersebut selesai dan Zara bisa kembali ke jatidirinya. Akan tetapi, dia tetap membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng sampai sembuh.Kedua pasal tersebut sudah cukup untuknya. Zara langsung membubuhi tanda tangannya di atas materai."Terima kasih." Gina tersenyum lebar, memasukan kembali surat perjanjian itu kedalam tasnya."Kamu bisa kembali ke rumah sakit, cari seseorang yang bisa kamu andalkan untuk merawat nenek kamu. Karena saya tidak mau penyamaran kamu terbongkar karena wara wiri ke rumah sakit," terang Gina menjelaskan.
Manik hitam yang tiba-tiba terbuka dan mengejutkan Zara berhasil menghipnotisnya. Arham terbangun dan langsung menunduk, wajahnya kini sangat dekat dengan wajah Zara.Wajah pria yang ada di depannya membuat Zara menahan napasnya.Tangan Arham menyentuh kening Zara, memastikan kalau calon istrinya itu sudah tidak panas lagi. Dan benar dugaannya. Suhu di kening gadis itu sudah tidak tinggi dalam arti lain sudah normal. Tapi bukan hanya kening yang Arham sentuh, leher jenjang Zara pun ikut dia periksa. Normal juga."Kamu sudah tidak pusing?" tanya Arham."Gak, Mas." Zara hendak bangun tapi Arham menahan pundaknya, hingga Zara kembali keposisi semula, di pangkuan Arham.Siapa sangka tiba-tiba pria itu menarik dagu lancip Zara hingga bibirnya terbuka sedikit kemudian mencium bibir ranumnya dengan lembut, awalnya, lama kelamaan ciuman itu menjadi menuntut.Arham mengerang ketika Zara tidak membalas tautan indra mengecapnya yang menerobos masuk lebih dalam lagi. Pertama Zara bingung harus ba
Zara menolak lagi ajakan Arham."Aku sudah minum obat, Mas. Istirahat sebentar lagi juga sembuh," ucap Zara menolak ajakan calon suaminya ke rumah sakit.Arham menghela napas pendek, pasrah."Baiklah, tapi kalau nanti sore tidak turun juga panasnya, aku akan gendong kamu ke rumah sakit," ancam Arham.Zara terkekeh, "Iya, iya.""Kamu sudah makan?" tanya Arham.Kepala Zara menggeleng pelan."Bagaimana mau sehat kalau makan aja belum!" singgung Arham.Pria itu melepas jas dan dasi yang melekat di tubuhnya. Menggulung tangan panjangnya hingga ke lengan membuat Zara terpesona dengan penampilan Arham."Tunggu sebentar di sini, saya akan buatkan kamu bubur," titah Arham."Mas mau masak? Bisa?""Kamu meragukan saya?"Arham langsung keluar kamar, menuju ke dapur. Sedikit kesulitan karena dia tidak hapal dimana Zara menyimpan alat-alat masaknya.Dengan tubuh yang masih lemas Zara menguatkan diri untuk keluar kamar, melihat apa yang Arham lakukan jangan sampai pria itu membakar unit apartementn
Menikmati lumatan bibir Arham yang memabukan, Zara terlena hingga akhirnya dia menyadari sesuatu. Pria yang saat ini tengah menciumnya bukan miliknya melakukan milik wanita lain, meski dia adalah peran pengganti tetap saja Arham milik Gina bukan dirinya.Sekuat tenaga Zara mendorong tubuh Arham hingga pria itu melepas tautan bibirnya."Kenapa?" tanya Arham, serak."Sudah malam, Mas, aku harus pulang," kelit Zara.Arham menggedikan kedua pundaknya, "Kamu bisa menginap di sini malam ini, Sean dan ibu pasti senang."Zara menggigit bibir bawahnya, berpikir sesaat hingga akhirnya di menjawab lewat gelengan kepalanya."Besok aku ada kelas, Mas. Dan dosennya galak kalau aku gak masuk nanti aku gak lulus mata kuliahnya." Entah dari mana ide bohong itu, karena kebohongannya membuat perannya hampir terbongkar."Sejak kapan kamu kuliah?" tanya Arham menyelidik, matanya memincing tajam.Zara menelan saliva-nya melihat tatapan Arham seperti itu."Kamu terlalu sibuk, aku sampai tidak ada waktu membi
"Mas Arham," gumam Zara pelan."Apa yanng kamu lakukan di sini, Gina?""Heum, a-aku tadi kebetulan lewat dan lihat taman di sini cantik sekali," jawab Zara takut-takut.Mata Arham menyipit, "Sejak kapan kamu suka bunga?" selidiknya."Aku memang suka bunga, kamu saja yang tidak tahu," kelit Zara seraya membuang pandangannya asal."Kamu di cari ibu, ada yang mau dia bicarakan," ujar Arham memberitahu Zara bahwa calon mertuanya mencari dirinya.Zara mengangguk dan dia pergi lebih dahulu lewat depan Arham begitu saja. Pria itu menghela napas panjang setelah Zara berlalu. Dengan kedua tangan di dalam saku celana dia mengekor Zara."Ini dia calon menantu, Ibu, kamu gak nyasar kan?" seru Lusi ketika Zara datang bersama Arham."Maaf, Bu, tadi aku lihat taman belakang, bunganya cantik-cantik," jawab Zara.Lusi dan Arham saling tatap, keduanya bingung dengan perubahan sikap Gina, tidak seperti biasanya wanita itu peduli dengan sekelilingnya. Biasanya taman itu mau berbunga atau tidak Gina tidak
Gina sudah pergi bersama kekasihnya, Zara sendiri yang mengantar sampai ke Bandara.Jujur pria yang bersama Gina tadi cukup tampan dan gagah, apakah dia lebih baik dari pria bernama Arham? Mengapa Gina lebih memilih Anton dari pada Arham?TIN!!!bunyi klakson mobil di belakang Zara membuyarkan lamunan gadis itu. Dia langsung menjalankan mobilnya karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.Zara kembali fokus menyetir tujuannya adalah rumah pria yang bernama Arham itu.***Menurut peta online dia sudah berada di titik yang tepat. Perlahan Zara melajukan mobilnya di tepi jalan karena yang sejak tadi dia lihat hanya tembok berlapis tanaman merambat."Dimana gerbang rumahnya ya?" gumam Zara di balik kemudinya.TIN!!!Zara tersentak, kaget. Ini kedua kalinya gadis itu dikejutkan karena bunyi klakson mobil. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti didepannya.Kemudian, seorang pria bertubuh tinggi gagah keluar dari mobil mewahnya dan menghampiri mobil Zara.Tok! Tok! Tok!
"Tanda tangan di sini."Gina menyodorkan sebuah kertas bermaterai berisi surat perjanjian dirinya dan Zara.Perlahan Zara membaca setiap pasal yang tertera di sana.Pasal satu tertulis kalau Gina sebagai pihak pertama akan membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng hingga sembuh di rumah sakit.Pasal kedua tertulis Zara sebagai pihak kedua menggantikan posisi Gina dalam waktu yang tidak di tentukan, dalam arti jika Gina ingin kembali maka perjanjian tersebut selesai dan Zara bisa kembali ke jatidirinya. Akan tetapi, dia tetap membiayai pengobatan dan perawatan Eyang Ajeng sampai sembuh.Kedua pasal tersebut sudah cukup untuknya. Zara langsung membubuhi tanda tangannya di atas materai."Terima kasih." Gina tersenyum lebar, memasukan kembali surat perjanjian itu kedalam tasnya."Kamu bisa kembali ke rumah sakit, cari seseorang yang bisa kamu andalkan untuk merawat nenek kamu. Karena saya tidak mau penyamaran kamu terbongkar karena wara wiri ke rumah sakit," terang Gina menjelaskan.
Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya. "Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar. Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya. "Akh! Sakit tau!" bentaknya. "Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" "Aku? Kabur?" cicit Gina. "Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!" Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya. "Nama Anda siapa?" tanya Gina. "Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian. "Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya. "Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depa
Prok! Prok! Prok!Senyum manis Zara mengembang ketika mendengar suara tepuk tangan yang sangat meriah dari pengunjung Cafe tempatnya bekerja. Sebuah lagu berhasil dia nyanyikan dengan sangat merdu sampai semua pengunjung memberinya tepuk tangan meriah."Terima kasih semuanya," ucap Zara sembari melempar ciuman jarak jauh dengan tangannya. Kemudian dia turun dari panggung karena memang jam kerjanya sudah habis.Seorang manager Cafe menghentikan langkah Zara ketika dia hendak pulang."Seseorang ingin bertemu dengan kamu, Ra," ucapnya.Kening Zara menyernyit, "Siapa?" balasnya melontarkan pertanyaan."Pelanggan setia cafe dan selalu membayar bill dengan nominal dua kali lipat setiap dia datang.""Apa aku mengenalnya?""Kamu tidak kenal dia tapi dia kenal kamu, Ra.""Benarkah?""Benar." Suara bariton menyela percakapan Manager Cafe dan Zara.Zara berbalik dan menatap siapa pemilik suara bariton itu.Pria itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya salah satu penggemar Anda Nona Zara, bi