Aku masih berdiri mematung di trotoar, menatap mobil hitam mengilap yang semakin menjauh. Dadaku terasa sesak, pikiranku dipenuhi tanda tanya.
Lebih dari yang kau kira. Kata-kata pria itu terngiang di kepalaku. Aku tidak mengerti. Aku baru pertama kali datang ke kota ini. Aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Lalu, bagaimana mungkin dia mengenalku? Aku menghela napas panjang dan memijat pelipisku. Jangan dipikirkan, Alya. Fokus pada tujuanmu. Aku melangkah menuju halte bus, berencana kembali ke tempat kos sederhana yang kusewa di pinggiran kota. Aku masih harus mencari pekerjaan lain jika wawancara tadi tidak membuahkan hasil. Aku tidak bisa menggantungkan harapan pada satu kesempatan saja. Namun, sebelum aku sempat naik ke dalam bus, ponselku bergetar di dalam tas. Nomor tidak dikenal. Aku mengernyit. Siapa yang meneleponku? "Hallo?" "Sore, Nona Alya. Ini dari Mahendra Group." Aku langsung menegakkan punggung. "I-iya, Pak?" "Kami ingin menginformasikan bahwa Anda diterima bekerja sebagai asisten pribadi di perusahaan kami. Besok Anda sudah bisa mulai bekerja." Aku terdiam beberapa detik, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Saya… diterima?" "Ya, selamat. Harap datang besok pukul delapan pagi. Detail lebih lanjut akan kami jelaskan saat Anda tiba." Aku hampir tidak bisa menahan senyum lebarku. "Terima kasih, Pak! Saya akan datang besok pagi!" Setelah panggilan itu berakhir, aku merasakan napas lega yang seolah baru bisa kuhembuskan. Aku diterima! Ini berarti aku bisa mulai menghasilkan uang untuk membantu Ibu dan Adik. Tapi… tunggu. Asisten pribadi? Bukankah aku melamar sebagai staf administrasi biasa? Kenapa mereka malah menempatkanku sebagai asisten pribadi? Kepalaku dipenuhi tanda tanya baru. Tapi aku mencoba menepisnya. Mungkin memang kebijakan perusahaan. Yang terpenting, aku mendapatkan pekerjaan ini. --- Keesokan paginya, aku berdiri di depan gedung Mahendra Group dengan perasaan campur aduk. Aku mengenakan kemeja putih rapi dan rok hitam selutut, satu-satunya pakaian formal yang kupunya. Rambut panjangku aku ikat kuda agar terlihat lebih profesional. Setelah menarik napas panjang, aku melangkah masuk. Seorang pegawai HRD sudah menungguku di lobi. "Nona Alya, silakan ikut saya. Anda akan bertemu dengan atasan langsung Anda." Aku mengangguk dan mengikutinya ke dalam lift. Tapi saat dia menekan tombol menuju lantai tertinggi, aku mulai merasa aneh. "Maaf, saya akan bekerja di divisi mana?" tanyaku hati-hati. Wanita itu tersenyum kecil. "Anda akan menjadi asisten pribadi CEO perusahaan ini." Aku nyaris tersedak napasku sendiri. CEO?! Aku menoleh padanya dengan mata melebar. "Tapi… saya melamar sebagai staf administrasi biasa!" "Kami melihat Anda memiliki potensi lebih. Lagi pula, Tuan Mahendra sendiri yang memilih Anda untuk posisi ini." Aku semakin bingung. "Tuan Mahendra?" Sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, pintu lift terbuka. Aku mengikuti wanita itu menuju sebuah ruangan besar dengan pintu kayu megah. Ia mengetuk pintu sekali, lalu membukanya. "Tuan, asisten pribadi Anda sudah datang." Aku melangkah masuk, dan langsung merasa tubuhku menegang. Di balik meja kerja besar, duduk pria yang kemarin kutemui. Tatapan matanya tajam, ekspresinya tetap dingin. "Jadi, kau akhirnya datang," katanya pelan, tapi suaranya penuh dengan otoritas. Aku menelan ludah. "A-anda…" Dia berdiri, menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dengan langkah pelan, dia mendekatiku. "Aku Mahendra Aditya," katanya. "CEO perusahaan ini." Aku membeku. Pria yang kemarin bertemu denganku… ternyata bos besar di sini?! "Dan mulai hari ini, kau bekerja untukku." Jantungku berdetak kencang. Aku bisa merasakan sesuatu yang besar akan terjadi. Tapi aku belum tahu apakah ini sebuah anugerah… atau awal dari masalah besar. Pagi itu, udara di Jakarta terasa berbeda—lebih lembap dan hiruk pikuknya semakin nyata dibandingkan desa yang selama ini kukenal. Aku mengenakan setelan kerja sederhana, mencoba merapikan diri agar tampak profesional meski hatiku masih berdebar kencang. Sesampainya di lobi gedung Mahendra Group, langkahku terasa berat, seakan setiap pijakan menandai awal dari sebuah perjalanan yang belum pernah kumiliki. Di ruang tunggu yang modern dan minimalis, aku menunggu panggilan untuk bertemu dengan HRD. Waktu berjalan lambat sambil kupikir kembali pertemuanku dengan pria itu di lantai 25. Tatapan dinginnya yang penuh misteri masih menghantui pikiranku, membuatku bertanya-tanya apa sebenarnya yang tersembunyi di balik sikapnya yang tegas. Aku mencoba menenangkan diri dengan mengingat bahwa aku di sini untuk bekerja, demi keluargaku. Tak lama kemudian, seorang wanita muda berpakaian rapi menghampiri dan berkata, "Nona Alya, silakan ikut saya." Aku pun mengikuti tanpa banyak bertanya. Di ruang kerja yang luas dengan nuansa modern, suasana formal begitu terasa. Di ujung ruangan, di balik meja kayu yang elegan, berdiri sosok pria dengan postur tegas dan mata hitam yang dalam—Mahendra Aditya, CEO yang pernah kucium aroma maskulinnya di lift beberapa waktu lalu. "Alya, selamat datang," sapanya dengan nada yang dingin namun penuh otoritas. Aku menundukkan kepala, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Terima kasih, Tuan," jawabku lirih sambil berusaha menata kata-kata agar terdengar sopan dan profesional. Dia kemudian menjelaskan tugas-tugasku sebagai asisten pribadi. "Mulai hari ini, kau akan membantu mengatur jadwal, menyiapkan dokumen, dan menemani saya dalam beberapa pertemuan penting. Pastikan segala sesuatu berjalan tepat waktu," tegasnya sambil menatapku tajam, seolah sedang menilai kemampuanku dari pandangan pertama. Meski arahan terdengar keras, ada sesaat di balik kerutan di dahi pria itu yang membuatku merasa ada kerentanan tersembunyi. Aku mencoba meresapi setiap kata yang diucapkannya, sambil mengingat kembali bayangan tatapannya di lift yang dulu membuatku bingung. “Kenapa ya, tatapan itu terasa seolah pernah mengenalku?” gumamku dalam hati. Selama sesi pengarahan singkat itu, setiap detil ruang kerjanya membuatku terpana—meja-meja berlapis kayu, dinding yang dipajang foto-foto penghargaan, hingga rak buku yang tersusun rapi. Aku merasa seolah memasuki dunia yang sangat berbeda, dunia para eksekutif yang penuh ketelitian dan strategi. Saat istirahat sejenak, aku berjalan menyusuri lorong sambil membawa secarik kopi yang baru disiapkan oleh seorang karyawan. Di sepanjang perjalanan, aku memperhatikan tiap sudut kantor dengan rasa ingin tahu yang tak terpadamkan. Di balik jendela besar, pemandangan kota Jakarta yang sibuk tampak kontras dengan keheningan ruangan kerja ini. Aku pun terpikir, “Mungkin di sini, aku akan menemukan arti baru dalam hidupku.” Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari balik pintu ruang rapat. Tanpa kusadari, pandanganku kembali tertuju pada Mahendra. Kali ini, ekspresinya tidak sekaku biasanya; ada sesaat keraguan yang terpancar sebelum ia kembali mengembalikan sikap dinginnya. "Alya, tolong siapkan laporan keuangan untuk rapat nanti siang," perintahnya sambil menyerahkan sebuah folder berisi dokumen. Aku merasakan sedikit getar di tanganku, campuran antara gugup dan antisipasi. Dalam sekejap, aku menyadari bahwa hari pertamaku di kantor bukan hanya soal menjalankan tugas, melainkan juga tentang mengenal sosok pria yang selama ini menyimpan misteri dalam tatapannya. Aku mulai menyusun pikiran dan merangkai kata-kata dengan hati-hati. Meski masih dipenuhi rasa ingin tahu dan keraguan, aku bertekad untuk menunjukkan kemampuanku. Sore itu, setelah beberapa jam bekerja, aku sempat melirik ke ruang CEO. Di sana, Mahendra duduk termenung sejenak sambil memandangi layar komputernya. Aku merasa ada beban yang ia pikul, yang jauh berbeda dari sikap keras yang selama ini kulihat. Ada secercah kehangatan yang samar, seolah mengisyaratkan bahwa di balik topeng ketegasan, terdapat kenangan atau luka yang belum tersembuhkan. Aku pun kembali ke mejaku, namun bayangannya terus menghantui pikiran. Setiap kali aku menoleh, ia tampak memikirkan sesuatu dengan intens. Aku bertanya-tanya, “Apa sebenarnya masa lalunya? Dan adakah kaitan antara pertemuan kita di lift dengan segala yang terjadi sekarang?” Hari itu pun berakhir dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku bangga karena berhasil menjalankan tugas pertamaku dengan baik. Di sisi lain, rasa penasaran tentang CEO yang tampan dan misterius itu semakin membara. Aku tahu, ini baru permulaan dari perjalanan yang penuh liku dan rahasia. Dengan hati yang masih berdebar, aku menutup hari kerja sambil berjanji pada diri sendiri bahwa besok aku akan mencoba menggali lebih jauh tentang sosok yang begitu menarik sekaligus menyimpan banyak tanya. Mungkin, di balik dinginnya sikap Mahendra, tersembunyi kisah yang selama ini ia simpan dengan rapat—kisah yang bisa mengubah segalanya.Aku tidak tahu sejak kapan perasaanku mulai berubah. Awalnya, aku hanya merasa gugup setiap kali berhadapan dengan Mahendra. Namun, kini aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan atasan dan bawahan. Setiap kali aku menatap matanya yang tajam, ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatiku—perasaan yang bahkan tidak bisa aku jelaskan. Namun, aku tahu satu hal: Mahendra bukan pria biasa. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Sesuatu yang berkaitan denganku. --- Hari ini, aku kembali ke kantor lebih awal dari biasanya. Aku ingin menyelesaikan beberapa dokumen sebelum Mahendra datang. Namun, baru saja aku duduk di mejaku, aku mendengar suara percakapan dari dalam ruang CEO. “Apa kau yakin ini keputusan yang tepat?” Suara pria lain yang tidak kukenal terdengar dari balik pintu. “Aku sudah memutuskannya,” jawab Mahendra dengan nada dingin. “Tapi kau tahu siapa dia, kan?” Aku terdiam. Siapa yang mereka bicarakan? Aku tidak berniat menguping, tetapi l
Sejak percakapan di pantry, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku.Aku mulai mempertanyakan banyak hal yang selama ini kuanggap biasa. Kenapa aku tidak mirip dengan Ayah dan Ibu? Kenapa Mahendra menanyakan hal aneh seperti itu?Aku tidak bisa diam saja.Aku harus mencari tahu.---Malam itu, setelah pulang kerja, aku menelepon Ibu. Suaranya terdengar ceria seperti biasa, tetapi entah kenapa, ada kegelisahan yang mengendap dalam hatiku.“Ibu, boleh aku tanya sesuatu?” tanyaku hati-hati.“Tentu saja, Nak. Ada apa?”Aku menggigit bibirku sebelum akhirnya bertanya, “Ibu… aku ini anak kandung Ibu dan Ayah, kan?”Sejenak, keheningan menyelimuti percakapan kami.“Nak, kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?” Suara Ibu terdengar ragu.Jantungku berdegup kencang. “Aku hanya ingin tahu, Bu. Tolong jujur.”Ibu terdiam. Aku bisa mendengar napasnya yang sedikit tidak teratur dari seberang telepon.“Alya… kami selalu menyayangimu.”Aku langsung tahu jawabannya dari nada suara Ibu.Aku
Aku merasa seakan terjebak dalam mimpi buruk. Semua yang kuketahui tentang diriku sendiri selama ini ternyata hanyalah kepingan kecil dari kebenaran yang lebih besar—dan lebih berbahaya. Aku bukan hanya Alya, gadis desa yang hidup sederhana. Aku adalah Alya Pratama, putri seorang pengusaha besar yang menghilang secara misterius. Dan sekarang, Mahendra mengatakan bahwa ada orang yang tidak ingin aku ditemukan. Jantungku berdetak lebih cepat. “Siapa yang tidak ingin aku ditemukan?” tanyaku dengan suara nyaris berbisik. Mahendra menghela napas panjang. “Aku belum tahu pasti. Tapi setelah ayahmu menghilang, banyak pihak yang berkepentingan dengan kekayaannya. Orang-orang yang ingin mengambil alih bisnisnya, yang mungkin juga bertanggung jawab atas kejatuhannya.” Aku menelan ludah. “Jadi… kalau mereka tahu aku masih hidup, aku bisa dalam bahaya?” Mahendra menatapku tajam. “Kemungkinan besar, ya.” Aku mengusap wajahku dengan tangan gemetar. Ini terlalu banyak untuk diproses dalam sat
Aku tidak bisa tidur.Meskipun kamar ini sangat nyaman dan jauh lebih mewah dari tempat tinggalku sebelumnya, ada sesuatu yang mengganjal di dadaku.Perasaan gelisah yang tidak bisa kuabaikan.Aku memandang ke luar jendela. Malam begitu sunyi, tetapi entah mengapa, aku merasa seperti sedang diawasi.Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran aneh itu. Mungkin aku hanya paranoid setelah semua yang terjadi.Aku membaringkan diri di ranjang dan mencoba memejamkan mata.Namun, tiba-tiba—Tap.Aku terlonjak.Itu suara sesuatu di luar.Aku menahan napas, menajamkan telinga. Tidak ada suara lain. Mungkin hanya ranting yang tertiup angin?Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba kembali tidur.Tapi kemudian, suara itu terdengar lagi.Tap… tap…Sekarang aku yakin, itu bukan suara angin atau ranting yang jatuh.Jantungku berdebar kencang. Aku bangkit perlahan dan berjalan ke arah jendela. Dengan hati-hati, aku mengintip keluar.Di bawah sana, samar-samar, aku melihat sosok seseorang ber
Aku menatap surat di tanganku dengan perasaan bercampur aduk. Tulisan itu begitu jelas—seolah-olah seseorang ingin memperingatkanku agar tidak mempercayai Mahendra.Tapi kenapa?Aku menoleh ke arahnya, mencari jawaban di matanya yang tajam dan dingin. Mahendra tidak menunjukkan tanda-tanda panik atau gelisah. Ia hanya menatapku dengan tatapan penuh arti, seakan sedang menunggu reaksiku.“Apa kau tahu siapa yang mengirimkan ini?” tanyaku, suaraku bergetar.Mahendra mengambil surat itu dari tanganku, membaca isi pesannya dengan ekspresi tanpa emosi. “Belum,” jawabnya singkat. “Tapi aku akan mencari tahu.”Aku menggigit bibir. Aku ingin mempercayainya, tapi kata-kata dalam surat itu terus bergema di kepalaku.Jangan percaya siapa pun. Bahkan pria yang melindungimu.“Aku hanya ingin tahu,” kataku pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi, Mahendra? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Mahendra menatapku cukup lama sebelum menghela napas dan bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati jendel
Suasana dalam gudang menjadi semakin tegang. Mahendra berdiri tegap, sorot matanya tajam menatap pria yang menculikku. Aku bisa melihat amarah yang membara dalam dirinya."Apa maumu?" tanya Mahendra dengan suara dingin.Pria itu—sebut saja dia Leonard—tersenyum tipis, seolah menikmati situasi ini. "Kau tahu apa yang kumau, Mahendra. Aku ingin sesuatu yang kau miliki… atau lebih tepatnya, sesuatu yang pernah menjadi milikku."Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya?Mahendra mengepalkan tangan. "Ini bukan tentang Alya, kan? Dia tidak ada hubungannya dengan kita!""Tapi dia gadis istimewa bagimu, bukan?" Leonard menyeringai. "Aku hanya ingin melihat seberapa jauh kau bisa melindunginya."Aku merasakan tubuhku menegang. Apa aku hanya alat untuk menguji Mahendra?Tiba-tiba, tanpa peringatan, Mahendra bergerak cepat. Dalam sekejap, ia menerjang ke arah Leonard, mencoba merebut pistol yang terselip di pinggang pria itu. Mereka bergulat sengit, suara hantaman tinju dan geraman memenuhi udara.
Malam semakin larut, tetapi pikiranku masih berputar tentang semua kejadian yang baru saja kami lalui. Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap secangkir teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh salah satu petugas keamanan di safe house ini. Mahendra berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan ekspresi serius. Hujan mulai turun, menciptakan suara rintik-rintik yang menenangkan, kontras dengan ketegangan di dalam ruangan. “Kau belum tidur?” tanyanya tanpa menoleh. Aku menghela napas. “Sulit tidur setelah semua yang terjadi. Aku masih merasa seperti di dalam mimpi buruk.” Mahendra akhirnya berbalik, lalu berjalan mendekat dan duduk di sofa di hadapanku. Matanya menatapku dalam, seolah ingin memastikan aku benar-benar baik-baik saja. “Maafkan aku, Alya. Aku gagal melindungimu dari awal,” katanya lirih. Aku menggeleng. “Tidak. Kau datang tepat waktu. Jika kau tidak datang… aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.” Mahendra terdiam sejenak, lalu dengan ragu, dia mengulurkan ta
Aku masih berdiri di tempatku, mencoba mencerna kata-kata Mahendra.Mantan tunangannya?Aku menatapnya, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut, tapi wajahnya tetap dingin, seolah topik ini bukan sesuatu yang ingin dia bahas.“Tunggu dulu…” Aku mengerutkan kening. “Mantan tunangan? Kalian hampir menikah?”Mahendra menatapku sekilas, lalu berjalan ke arah minibar di ruang tamu dan menuangkan segelas air putih. Dia meneguknya perlahan sebelum menjawab, “Ya. Tapi itu masa lalu.”Aku menunggu dia melanjutkan, tapi tidak ada kata-kata tambahan darinya.“Apa yang terjadi?” tanyaku akhirnya.Mahendra menatapku sejenak, lalu menghela napas. “Hubungan kami diatur oleh keluarga. Bukan karena cinta, hanya demi bisnis.”Aku sedikit terkejut. “Jadi… kau tidak mencintainya?”Dia terdiam beberapa detik sebelum menggeleng pelan. “Tidak.”Jawaban itu seharusnya membuatku lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku merasa… tidak yakin.---Malamnya, aku duduk di balkon kamar
Aku masih bisa merasakan adrenalin mengalir deras di tubuhku. Mobil melaju kencang di jalanan gelap, meninggalkan gudang yang kini sudah pasti dikepung musuh."Mereka siapa sebenarnya?" aku bertanya dengan napas tersengal. "Dan kenapa mereka bisa menemukan kita?"Adrian menatap ke kaca spion dengan rahang mengeras. "Itu yang harus kita cari tahu."Reynand, yang duduk di kursi belakang dengan luka di lengannya, merintih pelan. Sierra merobek bagian bawah bajunya dan menekannya ke luka Reynand untuk menghentikan pendarahan."Kita butuh tempat untuk berlindung," kata Sierra dengan nada tegas. "Nggak mungkin kita terus melarikan diri tanpa rencana."Reynand mengangguk. "Aku tahu tempatnya."Adrian meliriknya sekilas melalui kaca spion. "Dimana?""Ada rumah aman di luar kota. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke sana, tapi tempat itu benar-benar aman. Paling tidak untuk sementara."Aku bisa merasakan kelegaan kecil di dalam hatiku. Setidaknya kami punya tujuan.Mobil terus melaju di jalana
Mobil kami akhirnya melambat setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam. Udara malam mulai menusuk, dan aku bisa merasakan ketegangan di dalam mobil yang masih belum hilang. Reynand duduk diam di kursinya, matanya tajam menatap jalanan, sementara Sierra terlihat sibuk memeriksa pistolnya, memastikan setiap peluru siap digunakan.Aku menoleh ke Adrian. “Kita mau ke mana?” tanyaku, suaraku masih sedikit bergetar setelah kejaran brutal tadi.Adrian menatap ke kaca spion sebentar sebelum menjawab, “Reynand bilang dia tahu tempat aman. Aku percaya padanya.”Aku mengerutkan dahi, lalu menatap Reynand. “Kita bakal ke mana?”Reynand akhirnya menoleh padaku. “Sebuah tempat persembunyian. Hanya orang-orang tertentu yang tahu lokasinya.”Aku masih curiga, tapi mengangguk. Aku tahu, untuk saat ini, kami tidak punya pilihan lain.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunannya tampak terbengkalai, dengan dinding beton yang mulai retak dan p
Mobil melesat di jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berkelebat melewati kaca jendela yang sebagian retak akibat tembakan. Aku masih berusaha mengatur napas, sementara tangan Reynand tetap menggenggam pergelangan tanganku erat, seolah takut aku akan menghilang begitu saja.“Tahan setirnya sebentar!” teriak Reynand pada Adrian, lalu dengan sigap ia membuka jendela dan mengarahkan pistolnya ke belakang.DOR! DOR! DOR!Aku melihat salah satu mobil yang mengejar kami kehilangan kendali dan menabrak trotoar, tapi dua mobil lainnya masih memburu tanpa ampun.“Brengsek, mereka tidak mau menyerah!” geram Adrian sambil membanting setir ke kanan, memasuki jalan kecil yang nyaris kosong.Sierra mengetuk layar ponselnya dengan cepat. “Aku akan mencoba mematikan lampu lalu lintas di jalur utama, bikin kekacauan, mungkin mereka kehilangan jejak kita.”Aku menggigit bibirku, merasa sedikit lega karena Sierra selalu punya cara untuk membuat segalanya lebih kacau bagi musuh.Tapi harapa
Aku tidak bisa tidur malam itu. Pikiranku berputar-putar memikirkan semua yang baru saja terungkap. Om Martin… orang yang selama ini kuanggap sebagai pelindung ternyata menyembunyikan sesuatu dariku.Aku duduk di balkon kamar hotel tempat kami menginap. Kota di bawah sana masih hidup dengan cahaya lampu dan suara kendaraan yang tak pernah berhenti. Tapi bagiku, semuanya terasa hening.“Aku tahu kau tidak akan bisa tidur.”Aku menoleh. Reynand berdiri di ambang pintu, bersandar dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Cahaya dari kamar menerangi wajahnya yang penuh perhatian.Aku memaksakan senyum. “Bagaimana aku bisa tidur setelah semua ini?”Dia berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahku. Angin malam menyentuh wajahku, tapi kehadirannya membuatku merasa sedikit lebih hangat.“Kau masih ragu?” tanyanya pelan.Aku menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingin semua ini tidak nyata. Aku ingin percaya kalau Om Martin benar-benar menyayangiku… bukan karena ada sesuatu yang dise
Aku masih berdiri terpaku, memandangi Sierra dengan mata membelalak.“Saudara kembar?” suaraku nyaris berbisik.Sierra mengangguk pelan, ekspresinya tenang, seolah dia sudah siap menghadapi reaksiku. “Ya, Laura. Aku adalah saudaramu. Dan sudah waktunya kau mengetahui semuanya.”Aku berusaha memproses kata-katanya, tapi rasanya seperti otakku menolak untuk menerimanya. Ini tidak masuk akal. Jika aku punya saudara kembar, mengapa aku tidak pernah tahu?Reynand tampak tidak percaya. “Aku tidak pernah mendengar hal seperti ini sebelumnya. Dan aku sudah menyelidiki latar belakang Laura cukup lama.”Sierra tersenyum kecil. “Karena ini adalah rahasia yang dijaga ketat oleh orang-orang yang ingin mengendalikan hidupnya.”Aku menggelengkan kepala, mencoba mencari kepastian. “Bagaimana… bagaimana aku bisa mempercayaimu?”Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu lagi—sebuah foto lama yang sudah agak pudar. Dia menyerahkannya padaku dengan pelan.Tanganku gemetar saat aku menerimanya.Itu ada
Pertarungan masih berlangsung sengit. Ruangan penuh dengan suara tembakan, dentingan besi bertemu, dan jeritan kesakitan. Aku menekan kain ke luka Selena, mencoba menghentikan pendarahannya.“Apa kau bisa bertahan?” tanyaku.Dia mengangguk lemah. “Aku tidak mau mati di sini…”Aku menoleh, mencari Reynand dan yang lainnya. Liam dan Tristan bertarung berdampingan, masing-masing melumpuhkan lawan dengan cepat dan efisien. Reynand berada di sudut ruangan, menahan seseorang dengan tangan kosong, wajahnya penuh amarah.Tiba-tiba, sesuatu bergerak di pinggir penglihatanku.Seseorang sedang berusaha kabur.Dan aku mengenali siluet itu.Adrian.Darahku mendidih. Setelah semua yang terjadi, dia masih berusaha melarikan diri? Tidak akan!Aku berlari, menerobos medan pertempuran, mengabaikan teriakan Reynand di belakangku. “Jangan gegabah, Laura!”Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang.Aku mengikuti Adrian ke lorong gelap, napasku memburu. Aku bisa mendengar langkah kakinya di depan, cepat dan te
Malam semakin larut, tapi ketegangan di dalam rumah ini terasa begitu pekat. Kami semua bersiap menghadapi serangan yang akan datang, tapi ada sesuatu yang terasa… aneh.Aku berdiri di dekat Reynand, sementara ayah, Tristan, dan Selena sibuk berdiskusi tentang strategi. Aku bisa melihat wajah-wajah mereka yang serius, penuh kewaspadaan. Tapi di antara semua itu, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.“Laura, kau baik-baik saja?” Reynand berbisik di sampingku.Aku menoleh dan mengangguk. “Aku hanya merasa ada sesuatu yang janggal.”Reynand menatapku dalam, lalu menoleh ke arah ayah dan yang lainnya. Sepertinya dia juga merasakan hal yang sama.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu belakang. Semua orang langsung menegang.“Siapa itu?” bisik Selena.Tristan memberi isyarat agar kami tetap diam. Dengan gerakan hati-hati, dia berjalan menuju pintu belakang, mengintip melalui celah kecil di jendela.Lalu, sebelum kami bisa bereaksi…BRAK!Pintu itu didobrak dari luar, dan dala
Aku masih terpaku, jantungku berdetak kencang saat menatap pria yang berdiri di hadapanku. Ayah. Aku tak pernah menyangka akan melihatnya lagi, apalagi dalam situasi seperti ini.Reynand masih menggenggam tanganku erat, seolah takut aku akan runtuh sewaktu-waktu. Aku bisa merasakan ketegangannya, begitu juga dengan Tristan, Arya, dan Selena yang menatap ayahku dengan waspada.“Apa maksudmu aku dalam bahaya?” suaraku nyaris bergetar.Ayah menghela napas panjang, lalu menatap sekeliling. “Ini bukan tempat yang aman untuk membicarakannya. Kita harus pergi.”Aku ragu. Bertahun-tahun aku hidup tanpa kehadiran ayah, dan sekarang dia datang begitu saja, menyuruhku mengikutinya?Selena tampak tidak percaya. “Tunggu dulu, bagaimana kami bisa yakin bahwa kau bisa dipercaya?”Ayah menatapnya tajam. “Aku adalah satu-satunya alasan kalian masih hidup sekarang.”Selena membuka mulut, tapi tidak ada yang keluar. Dia jelas tidak menyukai sikap ayahku, tapi dia juga tidak bisa menyangkal bahwa polisi
Aku masih memeluk Reynand erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang meski lemah, tetap memberi ketenangan. Tapi aku sadar, ini belum selesai.Selena menendang pistol Adrian menjauh, memastikan dia tidak bisa bergerak lagi. Tristan dan Arya juga berjaga-jaga, tapi ekspresi mereka masih penuh kewaspadaan.“Apa kita harus menunggu polisi?” Arya berbisik.Selena menggeleng. “Tidak. Kita harus pergi sekarang.”Aku menatapnya dengan bingung. “Kenapa? Bukankah lebih baik jika Adrian ditangkap?”Selena menghela napas. “Kalau kita menunggu polisi, kita bisa terjebak dalam permainan ini lebih lama. Adrian punya banyak orang di luar sana, dan aku tidak yakin mereka tidak akan mencoba menyelamatkannya sebelum polisi datang.”Aku menggigit bibir. Itu masuk akal.Reynand menatapku dengan mata setengah terbuka. “Kita harus pergi, Laura.”Aku tidak ingin meninggalkannya di sini. Tapi aku juga tahu, kami harus bertahan.Akhirnya, aku mengangguk. “Baiklah. Kita keluar dari sini.”Tristan dan Arya memban