Aku tidak tahu sejak kapan perasaanku mulai berubah.
Awalnya, aku hanya merasa gugup setiap kali berhadapan dengan Mahendra. Namun, kini aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan atasan dan bawahan. Setiap kali aku menatap matanya yang tajam, ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatiku—perasaan yang bahkan tidak bisa aku jelaskan. Namun, aku tahu satu hal: Mahendra bukan pria biasa. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Sesuatu yang berkaitan denganku. --- Hari ini, aku kembali ke kantor lebih awal dari biasanya. Aku ingin menyelesaikan beberapa dokumen sebelum Mahendra datang. Namun, baru saja aku duduk di mejaku, aku mendengar suara percakapan dari dalam ruang CEO. “Apa kau yakin ini keputusan yang tepat?” Suara pria lain yang tidak kukenal terdengar dari balik pintu. “Aku sudah memutuskannya,” jawab Mahendra dengan nada dingin. “Tapi kau tahu siapa dia, kan?” Aku terdiam. Siapa yang mereka bicarakan? Aku tidak berniat menguping, tetapi langkah kakiku terasa berat untuk pergi. Rasa penasaranku terlalu besar. “Dia tidak boleh tahu,” kata Mahendra lagi. Aku mencengkram dadaku. Apa yang tidak boleh aku ketahui? Aku tidak sempat mendengar lebih lanjut karena pintu tiba-tiba terbuka. Seorang pria tinggi dengan setelan mahal keluar dari ruangan, dan matanya langsung bertemu dengan mataku. Aku tidak mengenalnya, tetapi tatapan pria itu terlihat penuh keterkejutan. Mahendra menyusul di belakangnya dan langsung menegang saat melihatku berdiri di sana. “Alya?” Aku menggigit bibirku. “M-maaf, Tuan. Saya tidak sengaja…” Mahendra menatapku beberapa detik sebelum akhirnya berbicara. “Masuk.” Aku mengikutinya dengan ragu-ragu ke dalam ruangan. Pria yang tadi masih berdiri di dekat pintu, memperhatikan kami dengan ekspresi serius. “Alya, ini Dion, sahabatku sekaligus pengacaraku,” kata Mahendra akhirnya. Aku menatap pria bernama Dion itu dan mengangguk sopan. “Senang bertemu dengan Anda.” Dion tidak menjawab. Ia hanya mengamati wajahku seolah sedang menganalisis sesuatu. “Ada yang ingin kau tanyakan, Alya?” Mahendra bertanya, matanya masih menatapku tajam. Aku hampir membuka mulut untuk bertanya tentang percakapan yang tadi kudengar, tetapi aku mengurungkan niatku. “Tidak, Tuan,” jawabku akhirnya. Mahendra masih menatapku seolah sedang mencari sesuatu dalam ekspresiku. Aku merasa jantungku berdebar lebih cepat, tetapi aku menahan diri untuk tetap terlihat tenang. “Baiklah, kalau begitu, kau boleh kembali bekerja.” Aku mengangguk, lalu berbalik menuju pintu. Namun, sebelum aku keluar, aku sempat mendengar suara pelan Dion. “Dia sangat mirip, Mahen.” Aku tidak tahu apa maksudnya, tetapi aku tahu satu hal: Rahasia besar sedang disembunyikan dariku. Dan aku bertekad untuk mencari tahu kebenarannya. Aku tidak bisa berhenti memikirkan percakapan di ruang kerja Mahendra tadi pagi. "Dia sangat mirip, Mahen." Kata-kata Dion terus terngiang-ngiang di kepalaku. Siapa yang mereka maksud? Apakah aku mirip dengan seseorang yang mereka kenal? Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Aku berusaha tetap fokus bekerja, tetapi pikiranku selalu kembali pada percakapan itu. Aku ingin bertanya langsung pada Mahendra, tetapi entah mengapa, aku merasa takut dengan jawabannya. Saat jam makan siang tiba, aku memilih untuk pergi ke pantry sendirian. Aku butuh waktu untuk berpikir tanpa gangguan. Namun, saat aku menuangkan kopi ke dalam cangkir, suara langkah kaki membuatku tersentak. “Alya.” Aku hampir menumpahkan kopi saat mendengar suara berat itu. Aku menoleh dan melihat Mahendra berdiri di ambang pintu. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada sesuatu di matanya yang berbeda hari ini. “Y-ya, Tuan?” tanyaku hati-hati. Dia berjalan mendekat, dan aku bisa mencium aroma maskulin yang selalu melekat pada dirinya. “Aku ingin bicara denganmu.” Jantungku berdegup kencang. “Tentang apa, Tuan?” Mahendra menghela napas, lalu bersandar di meja pantry. “Tentang sesuatu yang mungkin harus kau ketahui.” Aku meneguk ludah. “Apa itu?” Dia menatapku lama sebelum akhirnya berbicara, “Apakah kau pernah merasa… ada bagian dari hidupmu yang hilang?” Pertanyaan itu membuatku membeku. Bagian hidup yang hilang? Aku mengerutkan kening, mencoba memahami maksudnya. “Saya tidak mengerti, Tuan.” Mahendra menatapku lebih dalam, seolah ingin menelanjangi pikiranku. “Apa kau tahu siapa orang tuamu?” Aku semakin bingung. “Tentu saja. Ayah dan ibu saya tinggal di desa.” Dia terdiam sejenak, lalu berkata, “Apa kau yakin?” Pertanyaan itu membuatku terdiam. Tentu saja aku yakin… bukan? Namun, sesuatu di dalam diriku mulai ragu. Aku memang tidak mirip dengan Ayah dan Ibu. Sejak kecil, banyak orang berkata bahwa wajahku berbeda dari mereka. Tapi aku tidak pernah mempertanyakan itu. Aku selalu percaya bahwa aku adalah anak mereka. “Apa maksud Anda, Tuan?” tanyaku akhirnya. Mahendra tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku lama sebelum akhirnya berkata, “Lupakan. Aku hanya bertanya.” Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan pergi. Aku berdiri di sana, masih mencoba mencerna percakapan barusan. Perasaan gelisah mulai merayapi hatiku. Ada sesuatu yang tidak beres. Dan aku bertekad untuk mencari tahu apa itu.Sejak percakapan di pantry, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku.Aku mulai mempertanyakan banyak hal yang selama ini kuanggap biasa. Kenapa aku tidak mirip dengan Ayah dan Ibu? Kenapa Mahendra menanyakan hal aneh seperti itu?Aku tidak bisa diam saja.Aku harus mencari tahu.---Malam itu, setelah pulang kerja, aku menelepon Ibu. Suaranya terdengar ceria seperti biasa, tetapi entah kenapa, ada kegelisahan yang mengendap dalam hatiku.“Ibu, boleh aku tanya sesuatu?” tanyaku hati-hati.“Tentu saja, Nak. Ada apa?”Aku menggigit bibirku sebelum akhirnya bertanya, “Ibu… aku ini anak kandung Ibu dan Ayah, kan?”Sejenak, keheningan menyelimuti percakapan kami.“Nak, kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?” Suara Ibu terdengar ragu.Jantungku berdegup kencang. “Aku hanya ingin tahu, Bu. Tolong jujur.”Ibu terdiam. Aku bisa mendengar napasnya yang sedikit tidak teratur dari seberang telepon.“Alya… kami selalu menyayangimu.”Aku langsung tahu jawabannya dari nada suara Ibu.Aku
Aku merasa seakan terjebak dalam mimpi buruk. Semua yang kuketahui tentang diriku sendiri selama ini ternyata hanyalah kepingan kecil dari kebenaran yang lebih besar—dan lebih berbahaya. Aku bukan hanya Alya, gadis desa yang hidup sederhana. Aku adalah Alya Pratama, putri seorang pengusaha besar yang menghilang secara misterius. Dan sekarang, Mahendra mengatakan bahwa ada orang yang tidak ingin aku ditemukan. Jantungku berdetak lebih cepat. “Siapa yang tidak ingin aku ditemukan?” tanyaku dengan suara nyaris berbisik. Mahendra menghela napas panjang. “Aku belum tahu pasti. Tapi setelah ayahmu menghilang, banyak pihak yang berkepentingan dengan kekayaannya. Orang-orang yang ingin mengambil alih bisnisnya, yang mungkin juga bertanggung jawab atas kejatuhannya.” Aku menelan ludah. “Jadi… kalau mereka tahu aku masih hidup, aku bisa dalam bahaya?” Mahendra menatapku tajam. “Kemungkinan besar, ya.” Aku mengusap wajahku dengan tangan gemetar. Ini terlalu banyak untuk diproses dalam sat
Aku tidak bisa tidur.Meskipun kamar ini sangat nyaman dan jauh lebih mewah dari tempat tinggalku sebelumnya, ada sesuatu yang mengganjal di dadaku.Perasaan gelisah yang tidak bisa kuabaikan.Aku memandang ke luar jendela. Malam begitu sunyi, tetapi entah mengapa, aku merasa seperti sedang diawasi.Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran aneh itu. Mungkin aku hanya paranoid setelah semua yang terjadi.Aku membaringkan diri di ranjang dan mencoba memejamkan mata.Namun, tiba-tiba—Tap.Aku terlonjak.Itu suara sesuatu di luar.Aku menahan napas, menajamkan telinga. Tidak ada suara lain. Mungkin hanya ranting yang tertiup angin?Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba kembali tidur.Tapi kemudian, suara itu terdengar lagi.Tap… tap…Sekarang aku yakin, itu bukan suara angin atau ranting yang jatuh.Jantungku berdebar kencang. Aku bangkit perlahan dan berjalan ke arah jendela. Dengan hati-hati, aku mengintip keluar.Di bawah sana, samar-samar, aku melihat sosok seseorang ber
Aku menatap surat di tanganku dengan perasaan bercampur aduk. Tulisan itu begitu jelas—seolah-olah seseorang ingin memperingatkanku agar tidak mempercayai Mahendra.Tapi kenapa?Aku menoleh ke arahnya, mencari jawaban di matanya yang tajam dan dingin. Mahendra tidak menunjukkan tanda-tanda panik atau gelisah. Ia hanya menatapku dengan tatapan penuh arti, seakan sedang menunggu reaksiku.“Apa kau tahu siapa yang mengirimkan ini?” tanyaku, suaraku bergetar.Mahendra mengambil surat itu dari tanganku, membaca isi pesannya dengan ekspresi tanpa emosi. “Belum,” jawabnya singkat. “Tapi aku akan mencari tahu.”Aku menggigit bibir. Aku ingin mempercayainya, tapi kata-kata dalam surat itu terus bergema di kepalaku.Jangan percaya siapa pun. Bahkan pria yang melindungimu.“Aku hanya ingin tahu,” kataku pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi, Mahendra? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Mahendra menatapku cukup lama sebelum menghela napas dan bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati jendel
Suasana dalam gudang menjadi semakin tegang. Mahendra berdiri tegap, sorot matanya tajam menatap pria yang menculikku. Aku bisa melihat amarah yang membara dalam dirinya."Apa maumu?" tanya Mahendra dengan suara dingin.Pria itu—sebut saja dia Leonard—tersenyum tipis, seolah menikmati situasi ini. "Kau tahu apa yang kumau, Mahendra. Aku ingin sesuatu yang kau miliki… atau lebih tepatnya, sesuatu yang pernah menjadi milikku."Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya?Mahendra mengepalkan tangan. "Ini bukan tentang Alya, kan? Dia tidak ada hubungannya dengan kita!""Tapi dia gadis istimewa bagimu, bukan?" Leonard menyeringai. "Aku hanya ingin melihat seberapa jauh kau bisa melindunginya."Aku merasakan tubuhku menegang. Apa aku hanya alat untuk menguji Mahendra?Tiba-tiba, tanpa peringatan, Mahendra bergerak cepat. Dalam sekejap, ia menerjang ke arah Leonard, mencoba merebut pistol yang terselip di pinggang pria itu. Mereka bergulat sengit, suara hantaman tinju dan geraman memenuhi udara.
Malam semakin larut, tetapi pikiranku masih berputar tentang semua kejadian yang baru saja kami lalui. Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap secangkir teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh salah satu petugas keamanan di safe house ini. Mahendra berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan ekspresi serius. Hujan mulai turun, menciptakan suara rintik-rintik yang menenangkan, kontras dengan ketegangan di dalam ruangan. “Kau belum tidur?” tanyanya tanpa menoleh. Aku menghela napas. “Sulit tidur setelah semua yang terjadi. Aku masih merasa seperti di dalam mimpi buruk.” Mahendra akhirnya berbalik, lalu berjalan mendekat dan duduk di sofa di hadapanku. Matanya menatapku dalam, seolah ingin memastikan aku benar-benar baik-baik saja. “Maafkan aku, Alya. Aku gagal melindungimu dari awal,” katanya lirih. Aku menggeleng. “Tidak. Kau datang tepat waktu. Jika kau tidak datang… aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.” Mahendra terdiam sejenak, lalu dengan ragu, dia mengulurkan ta
Aku masih berdiri di tempatku, mencoba mencerna kata-kata Mahendra.Mantan tunangannya?Aku menatapnya, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut, tapi wajahnya tetap dingin, seolah topik ini bukan sesuatu yang ingin dia bahas.“Tunggu dulu…” Aku mengerutkan kening. “Mantan tunangan? Kalian hampir menikah?”Mahendra menatapku sekilas, lalu berjalan ke arah minibar di ruang tamu dan menuangkan segelas air putih. Dia meneguknya perlahan sebelum menjawab, “Ya. Tapi itu masa lalu.”Aku menunggu dia melanjutkan, tapi tidak ada kata-kata tambahan darinya.“Apa yang terjadi?” tanyaku akhirnya.Mahendra menatapku sejenak, lalu menghela napas. “Hubungan kami diatur oleh keluarga. Bukan karena cinta, hanya demi bisnis.”Aku sedikit terkejut. “Jadi… kau tidak mencintainya?”Dia terdiam beberapa detik sebelum menggeleng pelan. “Tidak.”Jawaban itu seharusnya membuatku lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku merasa… tidak yakin.---Malamnya, aku duduk di balkon kamar
Ruangan terasa sunyi. Aku masih bisa merasakan genggaman tangan Mahendra di pergelanganku, tapi pikiranku melayang ke banyak arah. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini.Raisa menatap kami berdua dengan mata penuh emosi. Rahangnya mengeras, dan aku bisa melihat kilatan amarah bercampur kesedihan di wajahnya.“Aku mengerti sekarang,” katanya lirih, tapi suaranya penuh luka. “Kau benar-benar telah menggantikanku, Mahen.”Mahendra melepaskan genggamannya perlahan, lalu menghela napas berat. “Raisa, ini bukan tentang menggantikan siapa pun. Kita sudah berakhir.”“Tapi aku masih mencintaimu!” Raisa berseru, suaranya pecah. “Aku menyesal telah meninggalkanmu dulu. Aku bodoh karena membiarkan kita berpisah.”Aku merasa semakin tidak nyaman. Aku tidak ingin berada di antara mereka. Ini adalah urusan mereka, dan aku hanyalah orang luar yang tiba-tiba terjebak di tengahnya.“Aku akan pulang,” kataku cepat, melangkah ke pintu.Tapi sebelum aku bisa keluar, Mahendra sekali lagi me
Aku masih bisa merasakan adrenalin mengalir deras di tubuhku. Mobil melaju kencang di jalanan gelap, meninggalkan gudang yang kini sudah pasti dikepung musuh."Mereka siapa sebenarnya?" aku bertanya dengan napas tersengal. "Dan kenapa mereka bisa menemukan kita?"Adrian menatap ke kaca spion dengan rahang mengeras. "Itu yang harus kita cari tahu."Reynand, yang duduk di kursi belakang dengan luka di lengannya, merintih pelan. Sierra merobek bagian bawah bajunya dan menekannya ke luka Reynand untuk menghentikan pendarahan."Kita butuh tempat untuk berlindung," kata Sierra dengan nada tegas. "Nggak mungkin kita terus melarikan diri tanpa rencana."Reynand mengangguk. "Aku tahu tempatnya."Adrian meliriknya sekilas melalui kaca spion. "Dimana?""Ada rumah aman di luar kota. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke sana, tapi tempat itu benar-benar aman. Paling tidak untuk sementara."Aku bisa merasakan kelegaan kecil di dalam hatiku. Setidaknya kami punya tujuan.Mobil terus melaju di jalana
Mobil kami akhirnya melambat setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam. Udara malam mulai menusuk, dan aku bisa merasakan ketegangan di dalam mobil yang masih belum hilang. Reynand duduk diam di kursinya, matanya tajam menatap jalanan, sementara Sierra terlihat sibuk memeriksa pistolnya, memastikan setiap peluru siap digunakan.Aku menoleh ke Adrian. “Kita mau ke mana?” tanyaku, suaraku masih sedikit bergetar setelah kejaran brutal tadi.Adrian menatap ke kaca spion sebentar sebelum menjawab, “Reynand bilang dia tahu tempat aman. Aku percaya padanya.”Aku mengerutkan dahi, lalu menatap Reynand. “Kita bakal ke mana?”Reynand akhirnya menoleh padaku. “Sebuah tempat persembunyian. Hanya orang-orang tertentu yang tahu lokasinya.”Aku masih curiga, tapi mengangguk. Aku tahu, untuk saat ini, kami tidak punya pilihan lain.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunannya tampak terbengkalai, dengan dinding beton yang mulai retak dan p
Mobil melesat di jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berkelebat melewati kaca jendela yang sebagian retak akibat tembakan. Aku masih berusaha mengatur napas, sementara tangan Reynand tetap menggenggam pergelangan tanganku erat, seolah takut aku akan menghilang begitu saja.“Tahan setirnya sebentar!” teriak Reynand pada Adrian, lalu dengan sigap ia membuka jendela dan mengarahkan pistolnya ke belakang.DOR! DOR! DOR!Aku melihat salah satu mobil yang mengejar kami kehilangan kendali dan menabrak trotoar, tapi dua mobil lainnya masih memburu tanpa ampun.“Brengsek, mereka tidak mau menyerah!” geram Adrian sambil membanting setir ke kanan, memasuki jalan kecil yang nyaris kosong.Sierra mengetuk layar ponselnya dengan cepat. “Aku akan mencoba mematikan lampu lalu lintas di jalur utama, bikin kekacauan, mungkin mereka kehilangan jejak kita.”Aku menggigit bibirku, merasa sedikit lega karena Sierra selalu punya cara untuk membuat segalanya lebih kacau bagi musuh.Tapi harapa
Aku tidak bisa tidur malam itu. Pikiranku berputar-putar memikirkan semua yang baru saja terungkap. Om Martin… orang yang selama ini kuanggap sebagai pelindung ternyata menyembunyikan sesuatu dariku.Aku duduk di balkon kamar hotel tempat kami menginap. Kota di bawah sana masih hidup dengan cahaya lampu dan suara kendaraan yang tak pernah berhenti. Tapi bagiku, semuanya terasa hening.“Aku tahu kau tidak akan bisa tidur.”Aku menoleh. Reynand berdiri di ambang pintu, bersandar dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Cahaya dari kamar menerangi wajahnya yang penuh perhatian.Aku memaksakan senyum. “Bagaimana aku bisa tidur setelah semua ini?”Dia berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahku. Angin malam menyentuh wajahku, tapi kehadirannya membuatku merasa sedikit lebih hangat.“Kau masih ragu?” tanyanya pelan.Aku menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingin semua ini tidak nyata. Aku ingin percaya kalau Om Martin benar-benar menyayangiku… bukan karena ada sesuatu yang dise
Aku masih berdiri terpaku, memandangi Sierra dengan mata membelalak.“Saudara kembar?” suaraku nyaris berbisik.Sierra mengangguk pelan, ekspresinya tenang, seolah dia sudah siap menghadapi reaksiku. “Ya, Laura. Aku adalah saudaramu. Dan sudah waktunya kau mengetahui semuanya.”Aku berusaha memproses kata-katanya, tapi rasanya seperti otakku menolak untuk menerimanya. Ini tidak masuk akal. Jika aku punya saudara kembar, mengapa aku tidak pernah tahu?Reynand tampak tidak percaya. “Aku tidak pernah mendengar hal seperti ini sebelumnya. Dan aku sudah menyelidiki latar belakang Laura cukup lama.”Sierra tersenyum kecil. “Karena ini adalah rahasia yang dijaga ketat oleh orang-orang yang ingin mengendalikan hidupnya.”Aku menggelengkan kepala, mencoba mencari kepastian. “Bagaimana… bagaimana aku bisa mempercayaimu?”Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu lagi—sebuah foto lama yang sudah agak pudar. Dia menyerahkannya padaku dengan pelan.Tanganku gemetar saat aku menerimanya.Itu ada
Pertarungan masih berlangsung sengit. Ruangan penuh dengan suara tembakan, dentingan besi bertemu, dan jeritan kesakitan. Aku menekan kain ke luka Selena, mencoba menghentikan pendarahannya.“Apa kau bisa bertahan?” tanyaku.Dia mengangguk lemah. “Aku tidak mau mati di sini…”Aku menoleh, mencari Reynand dan yang lainnya. Liam dan Tristan bertarung berdampingan, masing-masing melumpuhkan lawan dengan cepat dan efisien. Reynand berada di sudut ruangan, menahan seseorang dengan tangan kosong, wajahnya penuh amarah.Tiba-tiba, sesuatu bergerak di pinggir penglihatanku.Seseorang sedang berusaha kabur.Dan aku mengenali siluet itu.Adrian.Darahku mendidih. Setelah semua yang terjadi, dia masih berusaha melarikan diri? Tidak akan!Aku berlari, menerobos medan pertempuran, mengabaikan teriakan Reynand di belakangku. “Jangan gegabah, Laura!”Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang.Aku mengikuti Adrian ke lorong gelap, napasku memburu. Aku bisa mendengar langkah kakinya di depan, cepat dan te
Malam semakin larut, tapi ketegangan di dalam rumah ini terasa begitu pekat. Kami semua bersiap menghadapi serangan yang akan datang, tapi ada sesuatu yang terasa… aneh.Aku berdiri di dekat Reynand, sementara ayah, Tristan, dan Selena sibuk berdiskusi tentang strategi. Aku bisa melihat wajah-wajah mereka yang serius, penuh kewaspadaan. Tapi di antara semua itu, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.“Laura, kau baik-baik saja?” Reynand berbisik di sampingku.Aku menoleh dan mengangguk. “Aku hanya merasa ada sesuatu yang janggal.”Reynand menatapku dalam, lalu menoleh ke arah ayah dan yang lainnya. Sepertinya dia juga merasakan hal yang sama.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu belakang. Semua orang langsung menegang.“Siapa itu?” bisik Selena.Tristan memberi isyarat agar kami tetap diam. Dengan gerakan hati-hati, dia berjalan menuju pintu belakang, mengintip melalui celah kecil di jendela.Lalu, sebelum kami bisa bereaksi…BRAK!Pintu itu didobrak dari luar, dan dala
Aku masih terpaku, jantungku berdetak kencang saat menatap pria yang berdiri di hadapanku. Ayah. Aku tak pernah menyangka akan melihatnya lagi, apalagi dalam situasi seperti ini.Reynand masih menggenggam tanganku erat, seolah takut aku akan runtuh sewaktu-waktu. Aku bisa merasakan ketegangannya, begitu juga dengan Tristan, Arya, dan Selena yang menatap ayahku dengan waspada.“Apa maksudmu aku dalam bahaya?” suaraku nyaris bergetar.Ayah menghela napas panjang, lalu menatap sekeliling. “Ini bukan tempat yang aman untuk membicarakannya. Kita harus pergi.”Aku ragu. Bertahun-tahun aku hidup tanpa kehadiran ayah, dan sekarang dia datang begitu saja, menyuruhku mengikutinya?Selena tampak tidak percaya. “Tunggu dulu, bagaimana kami bisa yakin bahwa kau bisa dipercaya?”Ayah menatapnya tajam. “Aku adalah satu-satunya alasan kalian masih hidup sekarang.”Selena membuka mulut, tapi tidak ada yang keluar. Dia jelas tidak menyukai sikap ayahku, tapi dia juga tidak bisa menyangkal bahwa polisi
Aku masih memeluk Reynand erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang meski lemah, tetap memberi ketenangan. Tapi aku sadar, ini belum selesai.Selena menendang pistol Adrian menjauh, memastikan dia tidak bisa bergerak lagi. Tristan dan Arya juga berjaga-jaga, tapi ekspresi mereka masih penuh kewaspadaan.“Apa kita harus menunggu polisi?” Arya berbisik.Selena menggeleng. “Tidak. Kita harus pergi sekarang.”Aku menatapnya dengan bingung. “Kenapa? Bukankah lebih baik jika Adrian ditangkap?”Selena menghela napas. “Kalau kita menunggu polisi, kita bisa terjebak dalam permainan ini lebih lama. Adrian punya banyak orang di luar sana, dan aku tidak yakin mereka tidak akan mencoba menyelamatkannya sebelum polisi datang.”Aku menggigit bibir. Itu masuk akal.Reynand menatapku dengan mata setengah terbuka. “Kita harus pergi, Laura.”Aku tidak ingin meninggalkannya di sini. Tapi aku juga tahu, kami harus bertahan.Akhirnya, aku mengangguk. “Baiklah. Kita keluar dari sini.”Tristan dan Arya memban