Sejak percakapan di pantry, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku.
Aku mulai mempertanyakan banyak hal yang selama ini kuanggap biasa. Kenapa aku tidak mirip dengan Ayah dan Ibu? Kenapa Mahendra menanyakan hal aneh seperti itu? Aku tidak bisa diam saja. Aku harus mencari tahu. --- Malam itu, setelah pulang kerja, aku menelepon Ibu. Suaranya terdengar ceria seperti biasa, tetapi entah kenapa, ada kegelisahan yang mengendap dalam hatiku. “Ibu, boleh aku tanya sesuatu?” tanyaku hati-hati. “Tentu saja, Nak. Ada apa?” Aku menggigit bibirku sebelum akhirnya bertanya, “Ibu… aku ini anak kandung Ibu dan Ayah, kan?” Sejenak, keheningan menyelimuti percakapan kami. “Nak, kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?” Suara Ibu terdengar ragu. Jantungku berdegup kencang. “Aku hanya ingin tahu, Bu. Tolong jujur.” Ibu terdiam. Aku bisa mendengar napasnya yang sedikit tidak teratur dari seberang telepon. “Alya… kami selalu menyayangimu.” Aku langsung tahu jawabannya dari nada suara Ibu. Aku mengatupkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Jadi… aku bukan anak kandung kalian?” Ibu terisak. “Maafkan Ibu, Nak. Kami tidak pernah bermaksud menyembunyikannya darimu. Tapi, saat itu kau masih terlalu kecil. Kami hanya ingin kau tumbuh dengan bahagia.” Tanganku gemetar. Hatiku terasa seperti diremas. “Siapa orang tuaku sebenarnya, Bu?” suaraku bergetar. Ibu menangis lebih keras. “Ibu tidak tahu banyak… yang Ibu tahu, kau ditemukan di depan panti asuhan saat masih bayi. Kami mengadopsimu karena kami ingin memiliki anak perempuan.” Dadaku terasa sesak. Aku tidak tahu harus berkata apa. Jika aku bukan anak kandung mereka… lalu siapa aku sebenarnya? --- Keesokan harinya, aku datang ke kantor dengan pikiran kacau. Aku tidak bisa tidur semalaman. Kebenaran tentang diriku mengguncang segalanya. Saat aku memasuki kantor, Mahendra sudah menungguku di depan lift. Matanya langsung menangkap kegelisahanku. “Kita perlu bicara,” katanya tegas. Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk. “Tuan… apakah Anda tahu sesuatu tentang masa laluku?” Mahendra terdiam, lalu mengangguk pelan. “Ikut aku.” Tanpa banyak bicara, aku mengikutinya ke ruangannya. Setelah kami duduk, dia menatapku lama sebelum akhirnya berkata, “Alya, kau bukan anak biasa.” Aku menahan napas. “Kau… adalah bagian dari keluarga yang sangat berpengaruh. Dan aku—” Dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan, “Aku mengenal orang tuamu.” Aku terkejut. “Siapa mereka?” Mahendra menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kau adalah putri dari seorang pria yang sangat berkuasa… seorang pria yang dulu menjadi rival keluargaku.” Aku membeku. Siapa aku sebenarnya? Dan kenapa Mahendra tahu semua ini? Aku merasa tubuhku membeku. Kata-kata Mahendra menggema di kepalaku. "Kau adalah putri dari seorang pria yang sangat berkuasa… seorang pria yang dulu menjadi rival keluargaku." Tanganku mencengkeram rok yang ku kenakan. “Siapa… siapa ayah kandungku?” tanyaku dengan suara nyaris berbisik. Mahendra menghela napas panjang. Ada sesuatu dalam sorot matanya—keraguan, mungkin juga sedikit rasa bersalah. “Namanya Damar Pratama.” Damar Pratama. Nama itu asing bagiku, tetapi entah kenapa terasa begitu berat. Aku menelan ludah. “Siapa dia?” Mahendra menatapku dalam sebelum akhirnya menjawab, “Dia adalah salah satu pengusaha paling berpengaruh di negeri ini. Dia membangun kerajaan bisnisnya dari nol dan menjadi salah satu orang terkaya di Asia.” Aku membelalakkan mata. Aku… anak dari pria seperti itu? “Kenapa aku tidak pernah tahu?” suaraku bergetar. “Karena dia menghilang,” jawab Mahendra. “Belasan tahun lalu, Damar Pratama mengalami insiden besar yang membuatnya terpaksa meninggalkan semua yang dia miliki. Keluargaku adalah salah satu rival terbesarnya dalam dunia bisnis. Namun, setelah insiden itu, tidak ada yang tahu di mana dia berada. Dan kau…” Mahendra terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Kau juga menghilang bersamaan dengannya.” Aku menggigit bibir. Rasanya terlalu sulit dipercaya. “Tapi… kalau aku benar-benar anaknya, kenapa aku bisa tumbuh di desa sebagai anak angkat?” tanyaku dengan nada bingung. Mahendra mengusap dagunya. “Itulah yang belum aku ketahui. Tapi sekarang, setelah melihatmu… setelah memastikan bahwa kau benar-benar Alya Pratama…” Aku tersentak. “Nama asliku… Alya Pratama?” Mahendra mengangguk. “Ya. Kau bukan hanya gadis desa biasa. Kau adalah pewaris kerajaan bisnis Damar Pratama.” Jantungku berdegup kencang. Ini semua seperti mimpi. “Aku tidak mengerti…” Aku memegangi kepalaku yang terasa berat. “Kenapa Anda tahu semua ini? Kenapa aku tidak pernah tahu sebelumnya?” Mahendra bersandar ke kursinya. “Karena aku sudah mencari mu sejak lama.” Aku menatapnya tak percaya. “Apa?” “Damar Pratama adalah rival bisnis keluargaku, tapi dia juga menyelamatkan nyawa ayahku sekali waktu. Keluarga kami berutang budi padanya. Saat dia menghilang, aku berjanji akan menemukan pewarisnya dan memastikan kau tetap aman.” Aku tidak bisa berkata-kata. Aku tidak pernah membayangkan bahwa hidupku ternyata lebih rumit dari yang kukira. Tapi ada satu pertanyaan besar di kepalaku. “Kalau aku benar-benar pewarisnya… kenapa aku tidak pernah dicari oleh keluarganya?” Mahendra menatapku dengan tatapan tajam. “Karena ada orang yang tidak ingin kau ditemukan.” Aku merinding. Aku tidak tahu siapa yang dimaksudnya, tapi aku bisa merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Dan hidupku mungkin tidak akan pernah sama lagi.Aku merasa seakan terjebak dalam mimpi buruk. Semua yang kuketahui tentang diriku sendiri selama ini ternyata hanyalah kepingan kecil dari kebenaran yang lebih besar—dan lebih berbahaya. Aku bukan hanya Alya, gadis desa yang hidup sederhana. Aku adalah Alya Pratama, putri seorang pengusaha besar yang menghilang secara misterius. Dan sekarang, Mahendra mengatakan bahwa ada orang yang tidak ingin aku ditemukan. Jantungku berdetak lebih cepat. “Siapa yang tidak ingin aku ditemukan?” tanyaku dengan suara nyaris berbisik. Mahendra menghela napas panjang. “Aku belum tahu pasti. Tapi setelah ayahmu menghilang, banyak pihak yang berkepentingan dengan kekayaannya. Orang-orang yang ingin mengambil alih bisnisnya, yang mungkin juga bertanggung jawab atas kejatuhannya.” Aku menelan ludah. “Jadi… kalau mereka tahu aku masih hidup, aku bisa dalam bahaya?” Mahendra menatapku tajam. “Kemungkinan besar, ya.” Aku mengusap wajahku dengan tangan gemetar. Ini terlalu banyak untuk diproses dalam sat
Aku tidak bisa tidur.Meskipun kamar ini sangat nyaman dan jauh lebih mewah dari tempat tinggalku sebelumnya, ada sesuatu yang mengganjal di dadaku.Perasaan gelisah yang tidak bisa kuabaikan.Aku memandang ke luar jendela. Malam begitu sunyi, tetapi entah mengapa, aku merasa seperti sedang diawasi.Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran aneh itu. Mungkin aku hanya paranoid setelah semua yang terjadi.Aku membaringkan diri di ranjang dan mencoba memejamkan mata.Namun, tiba-tiba—Tap.Aku terlonjak.Itu suara sesuatu di luar.Aku menahan napas, menajamkan telinga. Tidak ada suara lain. Mungkin hanya ranting yang tertiup angin?Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba kembali tidur.Tapi kemudian, suara itu terdengar lagi.Tap… tap…Sekarang aku yakin, itu bukan suara angin atau ranting yang jatuh.Jantungku berdebar kencang. Aku bangkit perlahan dan berjalan ke arah jendela. Dengan hati-hati, aku mengintip keluar.Di bawah sana, samar-samar, aku melihat sosok seseorang ber
Aku menatap surat di tanganku dengan perasaan bercampur aduk. Tulisan itu begitu jelas—seolah-olah seseorang ingin memperingatkanku agar tidak mempercayai Mahendra.Tapi kenapa?Aku menoleh ke arahnya, mencari jawaban di matanya yang tajam dan dingin. Mahendra tidak menunjukkan tanda-tanda panik atau gelisah. Ia hanya menatapku dengan tatapan penuh arti, seakan sedang menunggu reaksiku.“Apa kau tahu siapa yang mengirimkan ini?” tanyaku, suaraku bergetar.Mahendra mengambil surat itu dari tanganku, membaca isi pesannya dengan ekspresi tanpa emosi. “Belum,” jawabnya singkat. “Tapi aku akan mencari tahu.”Aku menggigit bibir. Aku ingin mempercayainya, tapi kata-kata dalam surat itu terus bergema di kepalaku.Jangan percaya siapa pun. Bahkan pria yang melindungimu.“Aku hanya ingin tahu,” kataku pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi, Mahendra? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Mahendra menatapku cukup lama sebelum menghela napas dan bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati jendel
Suasana dalam gudang menjadi semakin tegang. Mahendra berdiri tegap, sorot matanya tajam menatap pria yang menculikku. Aku bisa melihat amarah yang membara dalam dirinya."Apa maumu?" tanya Mahendra dengan suara dingin.Pria itu—sebut saja dia Leonard—tersenyum tipis, seolah menikmati situasi ini. "Kau tahu apa yang kumau, Mahendra. Aku ingin sesuatu yang kau miliki… atau lebih tepatnya, sesuatu yang pernah menjadi milikku."Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya?Mahendra mengepalkan tangan. "Ini bukan tentang Alya, kan? Dia tidak ada hubungannya dengan kita!""Tapi dia gadis istimewa bagimu, bukan?" Leonard menyeringai. "Aku hanya ingin melihat seberapa jauh kau bisa melindunginya."Aku merasakan tubuhku menegang. Apa aku hanya alat untuk menguji Mahendra?Tiba-tiba, tanpa peringatan, Mahendra bergerak cepat. Dalam sekejap, ia menerjang ke arah Leonard, mencoba merebut pistol yang terselip di pinggang pria itu. Mereka bergulat sengit, suara hantaman tinju dan geraman memenuhi udara.
Malam semakin larut, tetapi pikiranku masih berputar tentang semua kejadian yang baru saja kami lalui. Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap secangkir teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh salah satu petugas keamanan di safe house ini. Mahendra berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan ekspresi serius. Hujan mulai turun, menciptakan suara rintik-rintik yang menenangkan, kontras dengan ketegangan di dalam ruangan. “Kau belum tidur?” tanyanya tanpa menoleh. Aku menghela napas. “Sulit tidur setelah semua yang terjadi. Aku masih merasa seperti di dalam mimpi buruk.” Mahendra akhirnya berbalik, lalu berjalan mendekat dan duduk di sofa di hadapanku. Matanya menatapku dalam, seolah ingin memastikan aku benar-benar baik-baik saja. “Maafkan aku, Alya. Aku gagal melindungimu dari awal,” katanya lirih. Aku menggeleng. “Tidak. Kau datang tepat waktu. Jika kau tidak datang… aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.” Mahendra terdiam sejenak, lalu dengan ragu, dia mengulurkan ta
Aku masih berdiri di tempatku, mencoba mencerna kata-kata Mahendra.Mantan tunangannya?Aku menatapnya, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut, tapi wajahnya tetap dingin, seolah topik ini bukan sesuatu yang ingin dia bahas.“Tunggu dulu…” Aku mengerutkan kening. “Mantan tunangan? Kalian hampir menikah?”Mahendra menatapku sekilas, lalu berjalan ke arah minibar di ruang tamu dan menuangkan segelas air putih. Dia meneguknya perlahan sebelum menjawab, “Ya. Tapi itu masa lalu.”Aku menunggu dia melanjutkan, tapi tidak ada kata-kata tambahan darinya.“Apa yang terjadi?” tanyaku akhirnya.Mahendra menatapku sejenak, lalu menghela napas. “Hubungan kami diatur oleh keluarga. Bukan karena cinta, hanya demi bisnis.”Aku sedikit terkejut. “Jadi… kau tidak mencintainya?”Dia terdiam beberapa detik sebelum menggeleng pelan. “Tidak.”Jawaban itu seharusnya membuatku lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku merasa… tidak yakin.---Malamnya, aku duduk di balkon kamar
Ruangan terasa sunyi. Aku masih bisa merasakan genggaman tangan Mahendra di pergelanganku, tapi pikiranku melayang ke banyak arah. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini.Raisa menatap kami berdua dengan mata penuh emosi. Rahangnya mengeras, dan aku bisa melihat kilatan amarah bercampur kesedihan di wajahnya.“Aku mengerti sekarang,” katanya lirih, tapi suaranya penuh luka. “Kau benar-benar telah menggantikanku, Mahen.”Mahendra melepaskan genggamannya perlahan, lalu menghela napas berat. “Raisa, ini bukan tentang menggantikan siapa pun. Kita sudah berakhir.”“Tapi aku masih mencintaimu!” Raisa berseru, suaranya pecah. “Aku menyesal telah meninggalkanmu dulu. Aku bodoh karena membiarkan kita berpisah.”Aku merasa semakin tidak nyaman. Aku tidak ingin berada di antara mereka. Ini adalah urusan mereka, dan aku hanyalah orang luar yang tiba-tiba terjebak di tengahnya.“Aku akan pulang,” kataku cepat, melangkah ke pintu.Tapi sebelum aku bisa keluar, Mahendra sekali lagi me
Aku menggenggam ponselku erat. Meskipun aku sudah mematikan layar, kata-kata dalam pesan itu seolah masih berkelebat di pikiranku."Kau pikir dia benar-benar mencintaimu? Kau hanya mainannya untuk saat ini."Siapa yang mengirim pesan itu? Raisa? Atau seseorang yang bahkan lebih berbahaya?Aku mencoba mengabaikannya, tapi rasa gelisah menyelimutiku sepanjang malam. Aku bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak.Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak menceritakan hal ini kepada Mahendra. Aku tidak ingin membuatnya khawatir atau malah memunculkan pertengkaran antara dia dan Raisa jika memang dia pelakunya.Namun, rasa penasaran itu terus mengusik pikiranku.Siapa pun yang mengirim pesan ini… dia pasti tahu tentang hubunganku dengan Mahendra.---Saat aku tiba di kantor pagi itu, suasana terasa sedikit berbeda. Beberapa karyawan menatapku dengan cara yang aneh—seolah-olah mereka tahu sesuatu yang tidak aku ketahui.Aku berjalan menuju meja kerjaku, tapi sebelum aku sempat duduk, Rina—r
Malam itu, aku merasa gelisah. Perkataan Mahendra terus terngiang-ngiang di kepalaku."Aku tidak ingin kehilanganmu."Apa maksudnya? Apakah dia benar-benar mulai memiliki perasaan padaku?Aku menggelengkan kepala. Tidak, aku tidak boleh berharap terlalu tinggi. Dia seorang CEO, pria sempurna yang bisa memiliki wanita mana pun yang dia inginkan. Aku hanya gadis biasa dari desa…Ponselku bergetar, mengganggu lamunanku.Nomor tak dikenal.Aku ragu sejenak sebelum mengangkatnya.“Halo?”Tidak ada suara di seberang. Hanya desahan napas pelan yang terdengar menyeramkan.“Halo? Siapa ini?” ulangku, sedikit waspada.Tiba-tiba, suara dingin itu terdengar.“Kau milikku, Sayang. Jangan pernah lupa itu.”Jantungku berdegup kencang. Aku langsung tahu siapa pemilik suara itu.Dimas.Tanganku gemetar saat aku buru-buru mematikan panggilan itu.Tidak… Dia benar-benar belum menyerah.Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Aku tidak boleh panik. Aku tidak boleh takut.Ponselku kembal
Keesokan harinya, aku kembali bekerja seperti biasa. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dari kejadian semalam, tapi itu hampir mustahil. Setiap kali aku mengingat cara Mahendra menatapku, suaranya yang dalam, dan—oh Tuhan—cara dia memanggilku ‘Sayang,’ aku merasa seakan tubuhku meleleh.“Apa kau sedang jatuh cinta?”Aku hampir menjatuhkan tumpukan dokumen yang sedang kubawa ketika Rina, rekan kerjaku, tiba-tiba menatapku dengan tatapan menggoda.“Apa?” Aku mencoba bersikap biasa.Rina menyeringai. “Kau terlihat… berbeda hari ini. Lebih cerah, lebih berseri-seri.”Aku terkesiap. “Tidak! Aku hanya…”“Jangan menyangkal,” Rina memotong cepat. “Aku yakin ini ada hubungannya dengan Tuan Mahendra.”Aku menegang. “Dari mana kau tahu?”“Aku tidak buta, Sayang.” Rina terkikik. “Dia selalu memperlakukanmu berbeda dibanding karyawan lain. Bahkan kemarin aku melihat dia mengantarmu pulang. Itu bukan hal yang biasa dilakukan seorang CEO pada pegawainya.”Aku terdiam, menggigit bibir.“Jadi? Apa dia
Mahendra berjalan dengan penuh percaya diri ke dalam ruang rapat perusahaan. Aku mengikutinya dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah hari di mana segalanya akan berubah.Di depan kami, Dimas sudah duduk dengan senyum penuh kemenangan. Di sampingnya, sahabat pengkhianatku tampak angkuh, seolah mereka sudah memastikan kejatuhanku.Mahendra duduk dengan tenang, lalu mengetuk mejanya sekali. “Dimas, kita perlu bicara.”Dimas menyeringai. “Tentang apa? Tentang bagaimana gadis desa itu akhirnya akan meninggalkanmu?”Aku mengepalkan tangan di bawah meja.Mahendra hanya tersenyum tipis. “Bukan. Tentang bagaimana ini akan menjadi akhir dari permainan kotormu.”Dimas tertawa. “Dan siapa yang bisa menghentikanku? Kau?”Mahendra tidak menjawab. Dia hanya mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat pada Damar yang berdiri di sudut ruangan.Damar menekan tombol di ponselnya, dan layar besar di belakang kami menyala.Video rekaman percakapan Dimas dan sahabat pengkhianatku mulai diputar.Aku
Pikiranku masih kacau. Video itu… bagaimana bisa tersebar? Aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini bisa terjadi.Mahendra menggenggam tanganku erat, mencoba menenangkanku. “Kita akan menemukan pelakunya.”Tapi aku tahu, ini bukan sekadar soal mencari siapa yang melakukannya. Ini tentang bagaimana aku menghadapi dampaknya.Telepon Mahendra berdering. Ia menjawabnya dengan ekspresi dingin.“Aku tahu ini ulahmu, Dimas,” katanya tanpa basa-basi.Suara tawa terdengar dari seberang. “Kau menganggapku terlalu rendah, Mahendra. Aku hanya memberikan dunia sedikit hiburan. Lagi pula, wanita kecilmu itu sudah jadi perhatian publik sekarang.”Aku menegang.Mahendra mengepalkan tinjunya. “Jangan sentuh dia.”Dimas tertawa lagi. “Aku bahkan belum mulai menyentuhnya.”Telepon terputus.Mahendra menoleh ke arah Damar. “Segera cari tahu siapa yang meretas CCTV penthouse.”Damar mengangguk cepat, lalu pergi dengan wajah serius.Mahendra menoleh padaku, matanya penuh kekhawatiran. “Aku tidak akan
Pagi itu, aku bangun dengan perasaan gelisah. Mahendra sudah pergi lebih awal untuk mengurus sesuatu, meninggalkanku di penthouse dengan penjagaan ketat. Aku mencoba menenangkan diri, tapi pikiranku terus memutar ulang ancaman yang kuterima kemarin.Saat aku berjalan ke dapur untuk membuat teh, ponselku tiba-tiba bergetar.Nomor tak dikenal.Aku ragu sejenak sebelum mengangkatnya.“Selamat pagi, cantik,” suara seorang pria terdengar di seberang sana. Suaranya santai, tapi ada nada mengancam di dalamnya.Aku menelan ludah. “Siapa ini?”Pria itu tertawa pelan. “Kau tak perlu tahu namaku. Tapi kau harus tahu satu hal: permainan ini baru dimulai.”Jantungku berdebar. “Apa yang kau inginkan?”“Aku hanya ingin kau tahu… bahwa aku bisa melihatmu sekarang.”Mata kulihat ke sekeliling ruangan dengan panik. “Bohong.”“Apa kau yakin?” Pria itu terkekeh. “Kau memakai piyama satin warna biru, bukan?”Darahku langsung membeku. Bagaimana dia tahu?Aku berlari ke jendela, mencoba mencari sesuatu yang
Mahendra berdiri di depan jendela ruangannya, menatap gedung-gedung pencakar langit yang membentang di hadapannya. Rahangnya mengeras, pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan. Siapa yang berani menantangnya seperti ini?Aku duduk di sofa, masih memegang ponsel dengan email mengancam yang baru saja kami terima. Jantungku berdegup lebih kencang. Ini bukan lagi ancaman biasa—seseorang benar-benar mencoba menghancurkan Mahendra.Damar masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi serius. “Kami sudah melacak IP peretasnya, tapi mereka sangat profesional. Mereka menggunakan server yang berpindah-pindah lokasi.”Mahendra mendecakkan lidah. “Brengsek. Mereka bukan amatiran.”Aku menggigit bibir, merasa semakin tidak nyaman. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”Mahendra menoleh padaku, matanya penuh keyakinan. “Aku tidak akan membiarkan mereka menang.”Kami berangkat ke sebuah tempat rahasia—sebuah ruangan khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang terdekat Mahendra. Ruangan ini penuh dengan l
Malam yang seharusnya menjadi momen romantis kini berubah menjadi sesuatu yang menegangkan. Mahendra meremas amplop hitam di tangannya, ekspresi wajahnya begitu gelap dan tajam. Damar berdiri di dekatnya, waspada, seolah siap menghadapi bahaya kapan saja.Aku sendiri masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Ancaman ini… ditujukan kepada siapa? Kepada Mahendra, atau kepadaku?“Ayo kita pergi dari sini,” kata Damar tegas.Mahendra menoleh ke arahku, matanya penuh kekhawatiran. “Kau baik-baik saja?”Aku menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungku yang masih berpacu cepat. “Aku… aku baik-baik saja.”Mahendra menggenggam tanganku erat dan membawaku masuk ke dalam mobil. Damar duduk di kursi depan bersama sopir, sementara aku dan Mahendra di belakang.Saat mobil mulai melaju, aku menoleh ke luar jendela, merasa waspada dengan setiap kendaraan yang melintas. Siapa pun yang mengirimkan ancaman ini pasti tidak main-main.“Kau kenal seseorang yang mungkin ingin menyakitimu?” t
Aku masih terduduk di sofa ruang kerja Mahendra, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Raisa benar-benar kehilangan kendali tadi. Tapi yang lebih menggangguku adalah ucapannya. "Gadis itu tidak akan pernah bisa menggantikan aku." Kenapa dia begitu yakin bahwa Mahendra masih punya perasaan untuknya? Apakah aku hanya pengganti sementara? Aku menatap Mahendra yang kini berdiri di depan jendela, menatap kota dengan ekspresi serius. Aku ingin bertanya, ingin mendapatkan kepastian, tapi sebelum aku sempat bicara, dia lebih dulu berbalik. "Mulai hari ini, kau akan mendapatkan perlindungan ekstra," katanya. Aku mengernyit. "Maksudmu?" "Aku sudah menyewa pengawal pribadi untukmu," katanya tanpa ragu. Aku terkejut. "Mahendra, aku tidak butuh pengawal!" Dia mendekat, menatapku tajam. "Aku tidak akan mengambil risiko. Setelah berita ini menyebar, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang membencimu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Aku menggig
Aku menggenggam ponselku erat. Meskipun aku sudah mematikan layar, kata-kata dalam pesan itu seolah masih berkelebat di pikiranku."Kau pikir dia benar-benar mencintaimu? Kau hanya mainannya untuk saat ini."Siapa yang mengirim pesan itu? Raisa? Atau seseorang yang bahkan lebih berbahaya?Aku mencoba mengabaikannya, tapi rasa gelisah menyelimutiku sepanjang malam. Aku bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak.Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak menceritakan hal ini kepada Mahendra. Aku tidak ingin membuatnya khawatir atau malah memunculkan pertengkaran antara dia dan Raisa jika memang dia pelakunya.Namun, rasa penasaran itu terus mengusik pikiranku.Siapa pun yang mengirim pesan ini… dia pasti tahu tentang hubunganku dengan Mahendra.---Saat aku tiba di kantor pagi itu, suasana terasa sedikit berbeda. Beberapa karyawan menatapku dengan cara yang aneh—seolah-olah mereka tahu sesuatu yang tidak aku ketahui.Aku berjalan menuju meja kerjaku, tapi sebelum aku sempat duduk, Rina—r