Aku merasa seakan terjebak dalam mimpi buruk. Semua yang kuketahui tentang diriku sendiri selama ini ternyata hanyalah kepingan kecil dari kebenaran yang lebih besar—dan lebih berbahaya.
Aku bukan hanya Alya, gadis desa yang hidup sederhana. Aku adalah Alya Pratama, putri seorang pengusaha besar yang menghilang secara misterius. Dan sekarang, Mahendra mengatakan bahwa ada orang yang tidak ingin aku ditemukan. Jantungku berdetak lebih cepat. “Siapa yang tidak ingin aku ditemukan?” tanyaku dengan suara nyaris berbisik. Mahendra menghela napas panjang. “Aku belum tahu pasti. Tapi setelah ayahmu menghilang, banyak pihak yang berkepentingan dengan kekayaannya. Orang-orang yang ingin mengambil alih bisnisnya, yang mungkin juga bertanggung jawab atas kejatuhannya.” Aku menelan ludah. “Jadi… kalau mereka tahu aku masih hidup, aku bisa dalam bahaya?” Mahendra menatapku tajam. “Kemungkinan besar, ya.” Aku mengusap wajahku dengan tangan gemetar. Ini terlalu banyak untuk diproses dalam satu hari. Aku hanya seorang gadis biasa yang datang ke kota untuk bekerja. Aku tidak pernah membayangkan akan terlibat dalam sesuatu sebesar ini. “Tapi aku tidak mengerti,” kataku akhirnya. “Kalau memang aku adalah pewarisnya, kenapa tidak ada yang mencariku selama ini?” Mahendra berpikir sejenak. “Ada kemungkinan seseorang menyembunyikanmu dengan sengaja. Bisa jadi Damar Pratama sendiri yang melakukannya, untuk melindungimu.” Aku merasa kepalaku semakin berat. Sebelum aku sempat mengatakan apa pun, Mahendra tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah jendela besar di ruangannya. “Kau harus berhati-hati mulai sekarang, Alya.” Aku mengangkat wajah, menatap punggungnya yang tegap. “Apa maksud Anda?” Dia berbalik, ekspresinya dingin namun serius. “Sejak aku mulai menyelidik tentangmu, aku merasa ada yang mengawasi. Bisa jadi mereka juga tahu kau sudah ditemukan.” Aku menelan ludah. “Mereka… siapa?” Mahendra menggeleng. “Belum jelas. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu.” Hatiku berdebar. Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku merasa… aman. Untuk pertama kalinya sejak aku mengetahui kebenaran ini, aku tidak merasa sendirian. Namun, sebelum aku sempat berbicara lagi, ponsel Mahendra bergetar. Dia mengernyit sebelum mengangkatnya. “Apa?” tanyanya dengan nada tegas. Aku tidak bisa mendengar suara dari seberang, tapi ekspresi Mahendra berubah dalam hitungan detik. Rahangnya mengeras, matanya menajam. “Siapkan mobil. Aku akan segera ke sana,” katanya, lalu menutup telepon. Aku menatapnya dengan bingung. “Ada apa?” Dia menatapku tajam. “Seseorang baru saja mencoba menyusup ke dalam sistem perusahaan.” Aku membelalakkan mata. “Apa maksudnya?” “Data tentangmu,” katanya pelan, tetapi penuh tekanan. “Seseorang berusaha mendapatkan informasi tentang siapa dirimu.” Aku merinding. Aku tidak tahu siapa yang sedang mengincarku, tapi satu hal pasti—aku sudah masuk dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang kubayangkan. Dan aku tidak tahu bagaimana cara keluar darinya. Aku merasakan bulu kudukku meremang. Ada seseorang yang berusaha mencari tahu tentangku? Dadaku berdebar kencang. Ini bukan lagi sekadar cerita masa lalu atau spekulasi tentang identitasku. Ini nyata. Aku menatap Mahendra, yang kini tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Ekspresinya begitu serius, wajahnya tampak semakin tegang. “Aku ingin tahu siapa pelakunya dalam waktu 24 jam,” katanya tajam sebelum menutup panggilan. Aku menggigit bibir. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Mahendra menatapku lekat-lekat. “Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian. Mulai sekarang, kau harus tinggal di tempat yang lebih aman.” Aku terkejut. “Maksud Anda…?” “Kau akan tinggal di rumahku.” Aku membelalakkan mata. “Apa?” Mahendra bersandar di kursinya dan menatapku dengan ekspresi penuh keyakinan. “Aku tidak bisa mengambil risiko. Jika seseorang berusaha melacak mu, bukan tidak mungkin mereka akan bertindak lebih jauh. Tinggal di rumahku adalah pilihan terbaik.” Aku menggeleng. “Tapi… itu tidak mungkin. Aku tidak bisa tinggal di rumah Anda, Tuan Mahendra. Aku hanya pegawai biasa.” “Kau bukan sekadar pegawai biasa, Alya,” katanya serius. “Kau adalah pewaris Damar Pratama. Jika sesuatu terjadi padamu, situasi ini bisa menjadi lebih buruk.” Aku menggigit bibir. Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini terlalu tiba-tiba. Mahendra sepertinya menyadari kegelisahanku. “Aku tidak akan memaksamu jika kau benar-benar menolak, tapi aku hanya ingin memastikan kau aman.” Aku terdiam. Selama ini, aku hidup sederhana di desa, tanpa tahu siapa diriku sebenarnya. Sekarang, aku tiba-tiba menjadi pusat perhatian orang-orang yang tidak ku ketahui. Jika benar ada yang mengincar ku, aku tidak bisa hanya diam dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku menarik napas dalam-dalam. “Baiklah.” Mahendra mengangkat alisnya. “Kau setuju?” Aku mengangguk pelan. “Aku tidak punya pilihan lain, bukan?” Senyum tipis terukir di wajahnya. “Bagus. Aku akan mengatur segalanya.” --- Malam itu, aku mengemas beberapa barang yang kumiliki dan mengikuti Mahendra ke rumahnya. Begitu aku tiba, aku langsung tertegun. Rumah itu lebih tepat disebut mansion—megah, modern, dan begitu luas. Aku tidak pernah menginjakkan kaki di tempat semewah ini sebelumnya. Mahendra membuka pintu dan memberi isyarat agar aku masuk. “Mulai sekarang, anggap saja ini rumahmu.” Aku menelan ludah, melangkah masuk dengan hati-hati. Interiornya didominasi warna putih dan abu-abu, dengan perabotan mahal yang tertata rapi. “Ini kamarmu,” katanya sambil membuka sebuah pintu di lantai atas. Aku melangkah masuk dan kembali dibuat terkejut. Kamar itu lebih besar dari rumah kecil yang ku tinggali di desa. Ada ranjang empuk, lemari besar, dan balkon dengan pemandangan kota yang indah. “Aku tidak tahu harus bilang apa…” kataku pelan. Mahendra menatapku. “Kau tidak perlu merasa tidak nyaman. Aku melakukan ini untuk keamananmu.” Aku mengangguk, meskipun masih sulit percaya bahwa aku sekarang tinggal di rumah pria yang begitu berkuasa sepertinya. “Aku akan meningkatkan keamanan rumah ini,” lanjutnya. “Mulai sekarang, kau tidak boleh keluar sendirian. Jika ada yang mencurigakan, segera beri tahu aku.” Aku menelan ludah dan mengangguk. Hidupku berubah dalam hitungan hari. Aku hanya berharap, aku bisa menghadapi semua ini. Tanpa tahu bahwa malam itu, di luar sana… seseorang sedang mengawasi rumah ini. Seseorang yang sedang menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.Aku tidak bisa tidur.Meskipun kamar ini sangat nyaman dan jauh lebih mewah dari tempat tinggalku sebelumnya, ada sesuatu yang mengganjal di dadaku.Perasaan gelisah yang tidak bisa kuabaikan.Aku memandang ke luar jendela. Malam begitu sunyi, tetapi entah mengapa, aku merasa seperti sedang diawasi.Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran aneh itu. Mungkin aku hanya paranoid setelah semua yang terjadi.Aku membaringkan diri di ranjang dan mencoba memejamkan mata.Namun, tiba-tiba—Tap.Aku terlonjak.Itu suara sesuatu di luar.Aku menahan napas, menajamkan telinga. Tidak ada suara lain. Mungkin hanya ranting yang tertiup angin?Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba kembali tidur.Tapi kemudian, suara itu terdengar lagi.Tap… tap…Sekarang aku yakin, itu bukan suara angin atau ranting yang jatuh.Jantungku berdebar kencang. Aku bangkit perlahan dan berjalan ke arah jendela. Dengan hati-hati, aku mengintip keluar.Di bawah sana, samar-samar, aku melihat sosok seseorang ber
Aku menatap surat di tanganku dengan perasaan bercampur aduk. Tulisan itu begitu jelas—seolah-olah seseorang ingin memperingatkanku agar tidak mempercayai Mahendra.Tapi kenapa?Aku menoleh ke arahnya, mencari jawaban di matanya yang tajam dan dingin. Mahendra tidak menunjukkan tanda-tanda panik atau gelisah. Ia hanya menatapku dengan tatapan penuh arti, seakan sedang menunggu reaksiku.“Apa kau tahu siapa yang mengirimkan ini?” tanyaku, suaraku bergetar.Mahendra mengambil surat itu dari tanganku, membaca isi pesannya dengan ekspresi tanpa emosi. “Belum,” jawabnya singkat. “Tapi aku akan mencari tahu.”Aku menggigit bibir. Aku ingin mempercayainya, tapi kata-kata dalam surat itu terus bergema di kepalaku.Jangan percaya siapa pun. Bahkan pria yang melindungimu.“Aku hanya ingin tahu,” kataku pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi, Mahendra? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Mahendra menatapku cukup lama sebelum menghela napas dan bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati jendel
Suasana dalam gudang menjadi semakin tegang. Mahendra berdiri tegap, sorot matanya tajam menatap pria yang menculikku. Aku bisa melihat amarah yang membara dalam dirinya."Apa maumu?" tanya Mahendra dengan suara dingin.Pria itu—sebut saja dia Leonard—tersenyum tipis, seolah menikmati situasi ini. "Kau tahu apa yang kumau, Mahendra. Aku ingin sesuatu yang kau miliki… atau lebih tepatnya, sesuatu yang pernah menjadi milikku."Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya?Mahendra mengepalkan tangan. "Ini bukan tentang Alya, kan? Dia tidak ada hubungannya dengan kita!""Tapi dia gadis istimewa bagimu, bukan?" Leonard menyeringai. "Aku hanya ingin melihat seberapa jauh kau bisa melindunginya."Aku merasakan tubuhku menegang. Apa aku hanya alat untuk menguji Mahendra?Tiba-tiba, tanpa peringatan, Mahendra bergerak cepat. Dalam sekejap, ia menerjang ke arah Leonard, mencoba merebut pistol yang terselip di pinggang pria itu. Mereka bergulat sengit, suara hantaman tinju dan geraman memenuhi udara.
Malam semakin larut, tetapi pikiranku masih berputar tentang semua kejadian yang baru saja kami lalui. Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap secangkir teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh salah satu petugas keamanan di safe house ini. Mahendra berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan ekspresi serius. Hujan mulai turun, menciptakan suara rintik-rintik yang menenangkan, kontras dengan ketegangan di dalam ruangan. “Kau belum tidur?” tanyanya tanpa menoleh. Aku menghela napas. “Sulit tidur setelah semua yang terjadi. Aku masih merasa seperti di dalam mimpi buruk.” Mahendra akhirnya berbalik, lalu berjalan mendekat dan duduk di sofa di hadapanku. Matanya menatapku dalam, seolah ingin memastikan aku benar-benar baik-baik saja. “Maafkan aku, Alya. Aku gagal melindungimu dari awal,” katanya lirih. Aku menggeleng. “Tidak. Kau datang tepat waktu. Jika kau tidak datang… aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.” Mahendra terdiam sejenak, lalu dengan ragu, dia mengulurkan ta
Aku masih berdiri di tempatku, mencoba mencerna kata-kata Mahendra.Mantan tunangannya?Aku menatapnya, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut, tapi wajahnya tetap dingin, seolah topik ini bukan sesuatu yang ingin dia bahas.“Tunggu dulu…” Aku mengerutkan kening. “Mantan tunangan? Kalian hampir menikah?”Mahendra menatapku sekilas, lalu berjalan ke arah minibar di ruang tamu dan menuangkan segelas air putih. Dia meneguknya perlahan sebelum menjawab, “Ya. Tapi itu masa lalu.”Aku menunggu dia melanjutkan, tapi tidak ada kata-kata tambahan darinya.“Apa yang terjadi?” tanyaku akhirnya.Mahendra menatapku sejenak, lalu menghela napas. “Hubungan kami diatur oleh keluarga. Bukan karena cinta, hanya demi bisnis.”Aku sedikit terkejut. “Jadi… kau tidak mencintainya?”Dia terdiam beberapa detik sebelum menggeleng pelan. “Tidak.”Jawaban itu seharusnya membuatku lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku merasa… tidak yakin.---Malamnya, aku duduk di balkon kamar
Ruangan terasa sunyi. Aku masih bisa merasakan genggaman tangan Mahendra di pergelanganku, tapi pikiranku melayang ke banyak arah. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini.Raisa menatap kami berdua dengan mata penuh emosi. Rahangnya mengeras, dan aku bisa melihat kilatan amarah bercampur kesedihan di wajahnya.“Aku mengerti sekarang,” katanya lirih, tapi suaranya penuh luka. “Kau benar-benar telah menggantikanku, Mahen.”Mahendra melepaskan genggamannya perlahan, lalu menghela napas berat. “Raisa, ini bukan tentang menggantikan siapa pun. Kita sudah berakhir.”“Tapi aku masih mencintaimu!” Raisa berseru, suaranya pecah. “Aku menyesal telah meninggalkanmu dulu. Aku bodoh karena membiarkan kita berpisah.”Aku merasa semakin tidak nyaman. Aku tidak ingin berada di antara mereka. Ini adalah urusan mereka, dan aku hanyalah orang luar yang tiba-tiba terjebak di tengahnya.“Aku akan pulang,” kataku cepat, melangkah ke pintu.Tapi sebelum aku bisa keluar, Mahendra sekali lagi me
Aku menggenggam ponselku erat. Meskipun aku sudah mematikan layar, kata-kata dalam pesan itu seolah masih berkelebat di pikiranku."Kau pikir dia benar-benar mencintaimu? Kau hanya mainannya untuk saat ini."Siapa yang mengirim pesan itu? Raisa? Atau seseorang yang bahkan lebih berbahaya?Aku mencoba mengabaikannya, tapi rasa gelisah menyelimutiku sepanjang malam. Aku bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak.Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak menceritakan hal ini kepada Mahendra. Aku tidak ingin membuatnya khawatir atau malah memunculkan pertengkaran antara dia dan Raisa jika memang dia pelakunya.Namun, rasa penasaran itu terus mengusik pikiranku.Siapa pun yang mengirim pesan ini… dia pasti tahu tentang hubunganku dengan Mahendra.---Saat aku tiba di kantor pagi itu, suasana terasa sedikit berbeda. Beberapa karyawan menatapku dengan cara yang aneh—seolah-olah mereka tahu sesuatu yang tidak aku ketahui.Aku berjalan menuju meja kerjaku, tapi sebelum aku sempat duduk, Rina—r
Aku masih terduduk di sofa ruang kerja Mahendra, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Raisa benar-benar kehilangan kendali tadi. Tapi yang lebih menggangguku adalah ucapannya. "Gadis itu tidak akan pernah bisa menggantikan aku." Kenapa dia begitu yakin bahwa Mahendra masih punya perasaan untuknya? Apakah aku hanya pengganti sementara? Aku menatap Mahendra yang kini berdiri di depan jendela, menatap kota dengan ekspresi serius. Aku ingin bertanya, ingin mendapatkan kepastian, tapi sebelum aku sempat bicara, dia lebih dulu berbalik. "Mulai hari ini, kau akan mendapatkan perlindungan ekstra," katanya. Aku mengernyit. "Maksudmu?" "Aku sudah menyewa pengawal pribadi untukmu," katanya tanpa ragu. Aku terkejut. "Mahendra, aku tidak butuh pengawal!" Dia mendekat, menatapku tajam. "Aku tidak akan mengambil risiko. Setelah berita ini menyebar, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang membencimu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Aku menggig
Aku masih bisa merasakan adrenalin mengalir deras di tubuhku. Mobil melaju kencang di jalanan gelap, meninggalkan gudang yang kini sudah pasti dikepung musuh."Mereka siapa sebenarnya?" aku bertanya dengan napas tersengal. "Dan kenapa mereka bisa menemukan kita?"Adrian menatap ke kaca spion dengan rahang mengeras. "Itu yang harus kita cari tahu."Reynand, yang duduk di kursi belakang dengan luka di lengannya, merintih pelan. Sierra merobek bagian bawah bajunya dan menekannya ke luka Reynand untuk menghentikan pendarahan."Kita butuh tempat untuk berlindung," kata Sierra dengan nada tegas. "Nggak mungkin kita terus melarikan diri tanpa rencana."Reynand mengangguk. "Aku tahu tempatnya."Adrian meliriknya sekilas melalui kaca spion. "Dimana?""Ada rumah aman di luar kota. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke sana, tapi tempat itu benar-benar aman. Paling tidak untuk sementara."Aku bisa merasakan kelegaan kecil di dalam hatiku. Setidaknya kami punya tujuan.Mobil terus melaju di jalana
Mobil kami akhirnya melambat setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam. Udara malam mulai menusuk, dan aku bisa merasakan ketegangan di dalam mobil yang masih belum hilang. Reynand duduk diam di kursinya, matanya tajam menatap jalanan, sementara Sierra terlihat sibuk memeriksa pistolnya, memastikan setiap peluru siap digunakan.Aku menoleh ke Adrian. “Kita mau ke mana?” tanyaku, suaraku masih sedikit bergetar setelah kejaran brutal tadi.Adrian menatap ke kaca spion sebentar sebelum menjawab, “Reynand bilang dia tahu tempat aman. Aku percaya padanya.”Aku mengerutkan dahi, lalu menatap Reynand. “Kita bakal ke mana?”Reynand akhirnya menoleh padaku. “Sebuah tempat persembunyian. Hanya orang-orang tertentu yang tahu lokasinya.”Aku masih curiga, tapi mengangguk. Aku tahu, untuk saat ini, kami tidak punya pilihan lain.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunannya tampak terbengkalai, dengan dinding beton yang mulai retak dan p
Mobil melesat di jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berkelebat melewati kaca jendela yang sebagian retak akibat tembakan. Aku masih berusaha mengatur napas, sementara tangan Reynand tetap menggenggam pergelangan tanganku erat, seolah takut aku akan menghilang begitu saja.“Tahan setirnya sebentar!” teriak Reynand pada Adrian, lalu dengan sigap ia membuka jendela dan mengarahkan pistolnya ke belakang.DOR! DOR! DOR!Aku melihat salah satu mobil yang mengejar kami kehilangan kendali dan menabrak trotoar, tapi dua mobil lainnya masih memburu tanpa ampun.“Brengsek, mereka tidak mau menyerah!” geram Adrian sambil membanting setir ke kanan, memasuki jalan kecil yang nyaris kosong.Sierra mengetuk layar ponselnya dengan cepat. “Aku akan mencoba mematikan lampu lalu lintas di jalur utama, bikin kekacauan, mungkin mereka kehilangan jejak kita.”Aku menggigit bibirku, merasa sedikit lega karena Sierra selalu punya cara untuk membuat segalanya lebih kacau bagi musuh.Tapi harapa
Aku tidak bisa tidur malam itu. Pikiranku berputar-putar memikirkan semua yang baru saja terungkap. Om Martin… orang yang selama ini kuanggap sebagai pelindung ternyata menyembunyikan sesuatu dariku.Aku duduk di balkon kamar hotel tempat kami menginap. Kota di bawah sana masih hidup dengan cahaya lampu dan suara kendaraan yang tak pernah berhenti. Tapi bagiku, semuanya terasa hening.“Aku tahu kau tidak akan bisa tidur.”Aku menoleh. Reynand berdiri di ambang pintu, bersandar dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Cahaya dari kamar menerangi wajahnya yang penuh perhatian.Aku memaksakan senyum. “Bagaimana aku bisa tidur setelah semua ini?”Dia berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahku. Angin malam menyentuh wajahku, tapi kehadirannya membuatku merasa sedikit lebih hangat.“Kau masih ragu?” tanyanya pelan.Aku menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingin semua ini tidak nyata. Aku ingin percaya kalau Om Martin benar-benar menyayangiku… bukan karena ada sesuatu yang dise
Aku masih berdiri terpaku, memandangi Sierra dengan mata membelalak.“Saudara kembar?” suaraku nyaris berbisik.Sierra mengangguk pelan, ekspresinya tenang, seolah dia sudah siap menghadapi reaksiku. “Ya, Laura. Aku adalah saudaramu. Dan sudah waktunya kau mengetahui semuanya.”Aku berusaha memproses kata-katanya, tapi rasanya seperti otakku menolak untuk menerimanya. Ini tidak masuk akal. Jika aku punya saudara kembar, mengapa aku tidak pernah tahu?Reynand tampak tidak percaya. “Aku tidak pernah mendengar hal seperti ini sebelumnya. Dan aku sudah menyelidiki latar belakang Laura cukup lama.”Sierra tersenyum kecil. “Karena ini adalah rahasia yang dijaga ketat oleh orang-orang yang ingin mengendalikan hidupnya.”Aku menggelengkan kepala, mencoba mencari kepastian. “Bagaimana… bagaimana aku bisa mempercayaimu?”Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu lagi—sebuah foto lama yang sudah agak pudar. Dia menyerahkannya padaku dengan pelan.Tanganku gemetar saat aku menerimanya.Itu ada
Pertarungan masih berlangsung sengit. Ruangan penuh dengan suara tembakan, dentingan besi bertemu, dan jeritan kesakitan. Aku menekan kain ke luka Selena, mencoba menghentikan pendarahannya.“Apa kau bisa bertahan?” tanyaku.Dia mengangguk lemah. “Aku tidak mau mati di sini…”Aku menoleh, mencari Reynand dan yang lainnya. Liam dan Tristan bertarung berdampingan, masing-masing melumpuhkan lawan dengan cepat dan efisien. Reynand berada di sudut ruangan, menahan seseorang dengan tangan kosong, wajahnya penuh amarah.Tiba-tiba, sesuatu bergerak di pinggir penglihatanku.Seseorang sedang berusaha kabur.Dan aku mengenali siluet itu.Adrian.Darahku mendidih. Setelah semua yang terjadi, dia masih berusaha melarikan diri? Tidak akan!Aku berlari, menerobos medan pertempuran, mengabaikan teriakan Reynand di belakangku. “Jangan gegabah, Laura!”Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang.Aku mengikuti Adrian ke lorong gelap, napasku memburu. Aku bisa mendengar langkah kakinya di depan, cepat dan te
Malam semakin larut, tapi ketegangan di dalam rumah ini terasa begitu pekat. Kami semua bersiap menghadapi serangan yang akan datang, tapi ada sesuatu yang terasa… aneh.Aku berdiri di dekat Reynand, sementara ayah, Tristan, dan Selena sibuk berdiskusi tentang strategi. Aku bisa melihat wajah-wajah mereka yang serius, penuh kewaspadaan. Tapi di antara semua itu, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.“Laura, kau baik-baik saja?” Reynand berbisik di sampingku.Aku menoleh dan mengangguk. “Aku hanya merasa ada sesuatu yang janggal.”Reynand menatapku dalam, lalu menoleh ke arah ayah dan yang lainnya. Sepertinya dia juga merasakan hal yang sama.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu belakang. Semua orang langsung menegang.“Siapa itu?” bisik Selena.Tristan memberi isyarat agar kami tetap diam. Dengan gerakan hati-hati, dia berjalan menuju pintu belakang, mengintip melalui celah kecil di jendela.Lalu, sebelum kami bisa bereaksi…BRAK!Pintu itu didobrak dari luar, dan dala
Aku masih terpaku, jantungku berdetak kencang saat menatap pria yang berdiri di hadapanku. Ayah. Aku tak pernah menyangka akan melihatnya lagi, apalagi dalam situasi seperti ini.Reynand masih menggenggam tanganku erat, seolah takut aku akan runtuh sewaktu-waktu. Aku bisa merasakan ketegangannya, begitu juga dengan Tristan, Arya, dan Selena yang menatap ayahku dengan waspada.“Apa maksudmu aku dalam bahaya?” suaraku nyaris bergetar.Ayah menghela napas panjang, lalu menatap sekeliling. “Ini bukan tempat yang aman untuk membicarakannya. Kita harus pergi.”Aku ragu. Bertahun-tahun aku hidup tanpa kehadiran ayah, dan sekarang dia datang begitu saja, menyuruhku mengikutinya?Selena tampak tidak percaya. “Tunggu dulu, bagaimana kami bisa yakin bahwa kau bisa dipercaya?”Ayah menatapnya tajam. “Aku adalah satu-satunya alasan kalian masih hidup sekarang.”Selena membuka mulut, tapi tidak ada yang keluar. Dia jelas tidak menyukai sikap ayahku, tapi dia juga tidak bisa menyangkal bahwa polisi
Aku masih memeluk Reynand erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang meski lemah, tetap memberi ketenangan. Tapi aku sadar, ini belum selesai.Selena menendang pistol Adrian menjauh, memastikan dia tidak bisa bergerak lagi. Tristan dan Arya juga berjaga-jaga, tapi ekspresi mereka masih penuh kewaspadaan.“Apa kita harus menunggu polisi?” Arya berbisik.Selena menggeleng. “Tidak. Kita harus pergi sekarang.”Aku menatapnya dengan bingung. “Kenapa? Bukankah lebih baik jika Adrian ditangkap?”Selena menghela napas. “Kalau kita menunggu polisi, kita bisa terjebak dalam permainan ini lebih lama. Adrian punya banyak orang di luar sana, dan aku tidak yakin mereka tidak akan mencoba menyelamatkannya sebelum polisi datang.”Aku menggigit bibir. Itu masuk akal.Reynand menatapku dengan mata setengah terbuka. “Kita harus pergi, Laura.”Aku tidak ingin meninggalkannya di sini. Tapi aku juga tahu, kami harus bertahan.Akhirnya, aku mengangguk. “Baiklah. Kita keluar dari sini.”Tristan dan Arya memban