Angin pagi kota besar terasa berbeda dari desaku. Tidak ada aroma sawah yang basah oleh embun, tidak ada suara ayam berkokok atau ibu-ibu bercengkrama di depan rumah. Yang ada hanya suara kendaraan yang tak henti-hentinya menderu, hiruk-pikuk manusia, serta gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungku yang berdebar tak karuan. Di hadapanku, berdiri Mahendra Group, salah satu perusahaan terbesar di negeri ini. Gedungnya begitu megah, dengan dinding kaca besar yang memantulkan cahaya matahari pagi. Aku mendongak, merasa begitu kecil di tengah kemegahan ini. "Jangan ragu, Alya," gumamku pada diri sendiri. "Ini demi Ibu dan Adik." Aku merapatkan genggamanku pada tali tas selempang kecil yang kubawa. Aku datang ke kota ini bukan karena ingin, tetapi karena keadaan memaksaku. Hutang keluarga kami menumpuk setelah Ayah meninggal, dan satu-satunya cara agar bisa bertahan adalah dengan bekerja. Dan hari ini, aku mendapat kesempatan langka: wawancara kerja di Mahendra Group. Dengan langkah ragu, aku memasuki gedung. Lantai marmer putih berkilauan di bawah lampu kristal yang tergantung di langit-langit. Orang-orang berlalu-lalang dengan cepat, mengenakan pakaian formal dan membawa berkas-berkas penting. Aku menelan ludah. Apa aku bisa bekerja di tempat sebesar ini? Aku mendekati meja resepsionis. Seorang wanita dengan seragam blazer hitam berdiri di sana, sibuk mengetik sesuatu di komputernya. "Permisi," kataku pelan. Wanita itu melirikku sekilas, lalu menaikkan alisnya. "Ya?" "Aku datang untuk wawancara kerja," ujarku sambil menyerahkan surat panggilan wawancara yang kuterima kemarin. Ia mengambil surat itu, membaca sekilas, lalu melirik penampilanku dari atas ke bawah. Aku tahu aku tampak berbeda dari pelamar lainnya. Blus putih polos dan rok panjang yang kukenakan mungkin terlalu sederhana dibandingkan pakaian pegawai di sini yang tampak mahal dan elegan. "Lantai 25," katanya singkat. "Langsung ke ruang wawancara." Aku mengangguk cepat. "Terima kasih." Dengan langkah hati-hati, aku berjalan menuju lift. Ketika pintu lift terbuka, aku melangkah masuk bersama beberapa orang lainnya. Aku mencoba berdiri diam di sudut, berusaha tidak menarik perhatian. Saat sampai di lantai 25, aku keluar dan menemukan lorong luas dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota dari ketinggian. Aku berjalan pelan, membaca papan nama di depan setiap ruangan. Namun, sebelum aku sempat mengetuk pintu ruang wawancara, suara ‘ting’ dari lift kembali terdengar. Aku menoleh. Seorang pria melangkah keluar. Jantungku seketika berdegup lebih kencang. Dia… luar biasa tampan. Tinggi, tegap, dengan jas hitam yang terjahit sempurna di tubuhnya. Rahangnya tegas, hidungnya tinggi, dan mata hitamnya menatap lurus ke depan dengan ekspresi dingin. Rambutnya disisir rapi ke belakang, memperlihatkan dahinya yang sempurna. Tatapannya tajam dan penuh wibawa. Orang-orang yang berlalu-lalang di lorong itu secara refleks menundukkan kepala saat pria itu lewat. Aku menelan ludah. Siapa dia? Saat langkah pria itu mendekat, ia tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menatapku. Alisku mengernyit. Kenapa dia melihatku seperti itu? "Apa kau pegawai baru?" suaranya rendah dan dalam. Aku mengerjap, mencoba menguasai diri. "A-aku datang untuk wawancara kerja, Tuan," jawabku gugup. Tatapan pria itu semakin tajam. Matanya menelisik wajahku dengan seksama, seakan sedang mencari sesuatu. Lalu, ekspresinya berubah—dari datar menjadi dingin, nyaris seperti kemarahan. "Kau..." Ia melangkah lebih dekat hingga aku bisa mencium aroma maskulin khasnya. "Apa kau tidak mengenaliku?" Aku mengerutkan kening. "Mengenalimu?" Aku menatapnya lebih lama, mencoba mengingat, tetapi tak ada satu pun ingatan yang muncul di kepalaku. Alih-alih menjawab, pria itu mencibir. "Tentu saja. Seharusnya aku tidak berharap terlalu banyak." Aku semakin bingung. Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, pria itu sudah berbalik dan berjalan pergi dengan langkah tegap. Aku hanya bisa berdiri mematung, didera kebingungan yang semakin dalam. Setelah pria itu pergi, aku masih berdiri mematung di tempat. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang dingin, sesuatu yang membuat dadaku terasa sesak meskipun aku tidak tahu alasannya. Siapa dia? Aku mencoba mengingat apakah aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, tapi tidak ada satu pun kenangan yang muncul di kepalaku. Lagipula, aku baru pertama kali datang ke kota ini. Tidak mungkin aku mengenal pria seperti dia. Aku menggelengkan kepala, berusaha mengabaikan pikiranku yang bercabang. Aku harus fokus. Aku datang ke sini untuk wawancara kerja, bukan untuk memikirkan pria asing yang bahkan tidak aku kenal. Aku menghela napas panjang, lalu mengetuk pintu ruangan wawancara. Setelah mendapat izin untuk masuk, aku membuka pintu dengan hati-hati. Ruangan itu cukup luas, dengan jendela besar yang memberikan pemandangan kota. Seorang pria paruh baya dengan kemeja rapi duduk di balik meja, ditemani seorang wanita yang sepertinya adalah asisten HRD. Aku menundukkan kepala dengan sopan. "Selamat pagi, Pak, Bu." Pria itu mengamati berkas yang kubawa. "Silakan duduk, Nona Alya." Aku duduk dengan hati-hati, merasakan gugup yang semakin menjadi-jadi. "Jadi, Nona Alya berasal dari desa, ya?" pria itu membaca data yang kuberikan. Aku mengangguk. "Iya, Pak. Saya baru pindah ke kota untuk mencari pekerjaan." Pria itu mengangguk pelan, lalu melanjutkan pertanyaannya. Aku berusaha menjawab dengan tenang, meskipun sesekali tanganku sedikit berkeringat. Aku harus mendapatkan pekerjaan ini. Aku tidak boleh gagal. Wawancara berlangsung sekitar lima belas menit. Aku tidak tahu apakah jawabanku cukup meyakinkan, tapi pria itu tampak mempertimbangkannya. "Kami akan menghubungi Anda kembali jika ada keputusan," katanya akhirnya. Aku mengangguk. "Terima kasih atas kesempatannya, Pak." Setelah keluar dari ruangan, aku menghela napas lega. Aku melangkah ke luar gedung dengan perasaan campur aduk. Aku tidak tahu apakah aku akan diterima atau tidak, tapi setidaknya aku sudah mencoba. Namun, ketika aku berjalan melewati trotoar, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depanku. Aku tertegun. Mobil hitam mengilap dengan kaca gelap itu tampak begitu mencolok di antara kendaraan lainnya. Pintu mobil terbuka, dan seseorang keluar. Jantungku berdebar. Pria itu lagi. Pria tampan dengan jas hitam yang kutemui di lantai 25. Aku menegang saat dia berjalan mendekat, ekspresinya tetap dingin dan tidak terbaca. "Alya," katanya pelan, tapi penuh tekanan. Aku membelalakkan mata. Bagaimana dia tahu namaku? "Kau mengenalku?" tanyaku lirih. Dia menatapku lama, sebelum akhirnya menghela napas pelan. "Lebih dari yang kau kira." Aku semakin bingung. Tapi sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, pria itu sudah berjalan kembali ke dalam mobilnya. Aku hanya bisa berdiri diam, didera kebingungan yang semakin dalam. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa aku merasa ada sesuatu yang belum aku ketahui?Aku masih berdiri mematung di trotoar, menatap mobil hitam mengilap yang semakin menjauh. Dadaku terasa sesak, pikiranku dipenuhi tanda tanya. Lebih dari yang kau kira. Kata-kata pria itu terngiang di kepalaku. Aku tidak mengerti. Aku baru pertama kali datang ke kota ini. Aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Lalu, bagaimana mungkin dia mengenalku? Aku menghela napas panjang dan memijat pelipisku. Jangan dipikirkan, Alya. Fokus pada tujuanmu. Aku melangkah menuju halte bus, berencana kembali ke tempat kos sederhana yang kusewa di pinggiran kota. Aku masih harus mencari pekerjaan lain jika wawancara tadi tidak membuahkan hasil. Aku tidak bisa menggantungkan harapan pada satu kesempatan saja. Namun, sebelum aku sempat naik ke dalam bus, ponselku bergetar di dalam tas. Nomor tidak dikenal. Aku mengernyit. Siapa yang meneleponku? "Hallo?" "Sore, Nona Alya. Ini dari Mahendra Group." Aku langsung menegakkan punggung. "I-iya, Pak?" "Kami ingin menginformasikan bahwa Anda
Aku tidak tahu sejak kapan perasaanku mulai berubah. Awalnya, aku hanya merasa gugup setiap kali berhadapan dengan Mahendra. Namun, kini aku mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan atasan dan bawahan. Setiap kali aku menatap matanya yang tajam, ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatiku—perasaan yang bahkan tidak bisa aku jelaskan. Namun, aku tahu satu hal: Mahendra bukan pria biasa. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Sesuatu yang berkaitan denganku. --- Hari ini, aku kembali ke kantor lebih awal dari biasanya. Aku ingin menyelesaikan beberapa dokumen sebelum Mahendra datang. Namun, baru saja aku duduk di mejaku, aku mendengar suara percakapan dari dalam ruang CEO. “Apa kau yakin ini keputusan yang tepat?” Suara pria lain yang tidak kukenal terdengar dari balik pintu. “Aku sudah memutuskannya,” jawab Mahendra dengan nada dingin. “Tapi kau tahu siapa dia, kan?” Aku terdiam. Siapa yang mereka bicarakan? Aku tidak berniat menguping, tetapi l
Sejak percakapan di pantry, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku.Aku mulai mempertanyakan banyak hal yang selama ini kuanggap biasa. Kenapa aku tidak mirip dengan Ayah dan Ibu? Kenapa Mahendra menanyakan hal aneh seperti itu?Aku tidak bisa diam saja.Aku harus mencari tahu.---Malam itu, setelah pulang kerja, aku menelepon Ibu. Suaranya terdengar ceria seperti biasa, tetapi entah kenapa, ada kegelisahan yang mengendap dalam hatiku.“Ibu, boleh aku tanya sesuatu?” tanyaku hati-hati.“Tentu saja, Nak. Ada apa?”Aku menggigit bibirku sebelum akhirnya bertanya, “Ibu… aku ini anak kandung Ibu dan Ayah, kan?”Sejenak, keheningan menyelimuti percakapan kami.“Nak, kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?” Suara Ibu terdengar ragu.Jantungku berdegup kencang. “Aku hanya ingin tahu, Bu. Tolong jujur.”Ibu terdiam. Aku bisa mendengar napasnya yang sedikit tidak teratur dari seberang telepon.“Alya… kami selalu menyayangimu.”Aku langsung tahu jawabannya dari nada suara Ibu.Aku
Aku merasa seakan terjebak dalam mimpi buruk. Semua yang kuketahui tentang diriku sendiri selama ini ternyata hanyalah kepingan kecil dari kebenaran yang lebih besar—dan lebih berbahaya. Aku bukan hanya Alya, gadis desa yang hidup sederhana. Aku adalah Alya Pratama, putri seorang pengusaha besar yang menghilang secara misterius. Dan sekarang, Mahendra mengatakan bahwa ada orang yang tidak ingin aku ditemukan. Jantungku berdetak lebih cepat. “Siapa yang tidak ingin aku ditemukan?” tanyaku dengan suara nyaris berbisik. Mahendra menghela napas panjang. “Aku belum tahu pasti. Tapi setelah ayahmu menghilang, banyak pihak yang berkepentingan dengan kekayaannya. Orang-orang yang ingin mengambil alih bisnisnya, yang mungkin juga bertanggung jawab atas kejatuhannya.” Aku menelan ludah. “Jadi… kalau mereka tahu aku masih hidup, aku bisa dalam bahaya?” Mahendra menatapku tajam. “Kemungkinan besar, ya.” Aku mengusap wajahku dengan tangan gemetar. Ini terlalu banyak untuk diproses dalam sat
Aku tidak bisa tidur.Meskipun kamar ini sangat nyaman dan jauh lebih mewah dari tempat tinggalku sebelumnya, ada sesuatu yang mengganjal di dadaku.Perasaan gelisah yang tidak bisa kuabaikan.Aku memandang ke luar jendela. Malam begitu sunyi, tetapi entah mengapa, aku merasa seperti sedang diawasi.Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran aneh itu. Mungkin aku hanya paranoid setelah semua yang terjadi.Aku membaringkan diri di ranjang dan mencoba memejamkan mata.Namun, tiba-tiba—Tap.Aku terlonjak.Itu suara sesuatu di luar.Aku menahan napas, menajamkan telinga. Tidak ada suara lain. Mungkin hanya ranting yang tertiup angin?Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba kembali tidur.Tapi kemudian, suara itu terdengar lagi.Tap… tap…Sekarang aku yakin, itu bukan suara angin atau ranting yang jatuh.Jantungku berdebar kencang. Aku bangkit perlahan dan berjalan ke arah jendela. Dengan hati-hati, aku mengintip keluar.Di bawah sana, samar-samar, aku melihat sosok seseorang ber
Aku menatap surat di tanganku dengan perasaan bercampur aduk. Tulisan itu begitu jelas—seolah-olah seseorang ingin memperingatkanku agar tidak mempercayai Mahendra.Tapi kenapa?Aku menoleh ke arahnya, mencari jawaban di matanya yang tajam dan dingin. Mahendra tidak menunjukkan tanda-tanda panik atau gelisah. Ia hanya menatapku dengan tatapan penuh arti, seakan sedang menunggu reaksiku.“Apa kau tahu siapa yang mengirimkan ini?” tanyaku, suaraku bergetar.Mahendra mengambil surat itu dari tanganku, membaca isi pesannya dengan ekspresi tanpa emosi. “Belum,” jawabnya singkat. “Tapi aku akan mencari tahu.”Aku menggigit bibir. Aku ingin mempercayainya, tapi kata-kata dalam surat itu terus bergema di kepalaku.Jangan percaya siapa pun. Bahkan pria yang melindungimu.“Aku hanya ingin tahu,” kataku pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi, Mahendra? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Mahendra menatapku cukup lama sebelum menghela napas dan bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekati jendel
Suasana dalam gudang menjadi semakin tegang. Mahendra berdiri tegap, sorot matanya tajam menatap pria yang menculikku. Aku bisa melihat amarah yang membara dalam dirinya."Apa maumu?" tanya Mahendra dengan suara dingin.Pria itu—sebut saja dia Leonard—tersenyum tipis, seolah menikmati situasi ini. "Kau tahu apa yang kumau, Mahendra. Aku ingin sesuatu yang kau miliki… atau lebih tepatnya, sesuatu yang pernah menjadi milikku."Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya?Mahendra mengepalkan tangan. "Ini bukan tentang Alya, kan? Dia tidak ada hubungannya dengan kita!""Tapi dia gadis istimewa bagimu, bukan?" Leonard menyeringai. "Aku hanya ingin melihat seberapa jauh kau bisa melindunginya."Aku merasakan tubuhku menegang. Apa aku hanya alat untuk menguji Mahendra?Tiba-tiba, tanpa peringatan, Mahendra bergerak cepat. Dalam sekejap, ia menerjang ke arah Leonard, mencoba merebut pistol yang terselip di pinggang pria itu. Mereka bergulat sengit, suara hantaman tinju dan geraman memenuhi udara.
Malam semakin larut, tetapi pikiranku masih berputar tentang semua kejadian yang baru saja kami lalui. Aku duduk di sofa ruang tamu, menatap secangkir teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh salah satu petugas keamanan di safe house ini. Mahendra berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan ekspresi serius. Hujan mulai turun, menciptakan suara rintik-rintik yang menenangkan, kontras dengan ketegangan di dalam ruangan. “Kau belum tidur?” tanyanya tanpa menoleh. Aku menghela napas. “Sulit tidur setelah semua yang terjadi. Aku masih merasa seperti di dalam mimpi buruk.” Mahendra akhirnya berbalik, lalu berjalan mendekat dan duduk di sofa di hadapanku. Matanya menatapku dalam, seolah ingin memastikan aku benar-benar baik-baik saja. “Maafkan aku, Alya. Aku gagal melindungimu dari awal,” katanya lirih. Aku menggeleng. “Tidak. Kau datang tepat waktu. Jika kau tidak datang… aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.” Mahendra terdiam sejenak, lalu dengan ragu, dia mengulurkan ta
Malam itu, aku duduk di dalam mobil Om Martin, jari-jariku bermain di ujung gaun yang kukenakan. Hawa dingin dari AC menyelimuti tubuhku, tapi pikiranku justru terasa panas, berputar-putar memikirkan semua yang telah terjadi hari ini."Kamu capek?" suara Om Martin terdengar lembut, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan melihatnya tersenyum, tatapan matanya yang teduh membuat dadaku berdesir.Aku menggeleng pelan. "Nggak, aku cuma... banyak mikir aja."Dia mengangguk seakan mengerti. "Kalau ada yang ingin diceritakan, aku siap mendengar."Aku menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. "Aku cuma merasa aneh. Rasanya... terlalu nyaman berada di dekat Om. Seperti ada sesuatu yang mengisi ruang kosong di hatiku. Tapi di sisi lain, aku takut kalau ini hanya perasaan sesaat."Om Martin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku juga merasakannya, Laura. Aku tahu aku bukan ayahmu, dan aku tidak akan pernah bisa menggantikannya. Tapi kalau keberadaanku bisa membuatmu merasa lebih baik, aku berse
Laura menatap sosok di hadapannya dengan napas tertahan. Jantungnya berdebar kencang saat dia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Orang itu berdiri di ambang pintu, matanya menatap Laura dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan."Kamu... kenapa bisa ada di sini?" suara Laura bergetar.Pria itu tersenyum kecil, langkahnya mendekat. "Aku selalu ada di sekitarmu, hanya saja kau tidak pernah menyadarinya."Reno yang berdiri di samping Laura menatap pria itu dengan sorot tajam. "Siapa dia, Laura?"Laura menggeleng, seakan mencoba mengusir kebingungan di kepalanya. "Aku... aku tidak tahu. Aku pernah mengenalnya, tapi aku tidak mengerti kenapa dia muncul sekarang."Pria itu tertawa kecil, suara rendahnya penuh misteri. "Laura, aku tidak muncul tiba-tiba. Aku datang karena waktunya sudah tepat. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui."Ketegangan semakin meningkat. Reno maju selangkah, posisinya protektif di depan Laura. "Aku tidak peduli siapa kamu. Kalau niatmu buruk, sebaiknya p
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana tegang di dalam ruangan yang dipenuhi oleh ketegangan yang menggantung. Laura menatap pria di depannya, napasnya tercekat saat kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu menggema di kepalanya."Aku sudah tahu semuanya, Laura," kata pria itu dengan suara berat dan tajam.Jantung Laura berdebar kencang. "Maksudmu apa?" tanyanya, mencoba tetap tenang.Pria itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakkannya di atas meja. Dengan tangan gemetar, Laura mengambilnya dan membuka isinya. Matanya melebar saat melihat foto-foto di dalamnya. Itu adalah foto dirinya bersama seseorang dari masa lalunya—seseorang yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupnya."Bagaimana kau mendapatkan ini?" suaranya bergetar, campuran antara marah dan ketakutan.Pria itu tersenyum tipis. "Aku punya sumberku sendiri. Dan aku yakin, kau tahu bahwa seseorang sedang mengincarmu."Laura menelan ludah. Dia tahu persis siapa yang dimaksud pria itu. Sosok yang seharus
Laura merasa jantungnya berdetak kencang saat melihat seseorang dari masa lalunya muncul tiba-tiba di depan pintu apartemennya. Pria itu berdiri dengan wajah serius, seolah membawa kabar buruk yang akan mengubah segalanya. "Kita perlu bicara," katanya dengan nada mendesak.Sementara itu, di tempat lain, Arya dan Reza sedang mencoba menghubungi Laura setelah menyadari ada sesuatu yang aneh dengan pesan yang dikirimkannya sebelumnya. Liam yang biasanya ceria juga terlihat lebih serius. "Aku nggak suka firasat ini," gumamnya sambil menggenggam ponselnya erat.Di dalam apartemen, Laura menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. "Kenapa kamu di sini? Aku pikir kita sudah selesai bertahun-tahun lalu," katanya dengan suara bergetar.Pria itu, yang ternyata adalah mantan kekasih Laura yang menghilang tanpa jejak, menghela napas panjang. "Aku tahu aku banyak salah, tapi aku kembali karena ada sesuatu yang harus kau tahu. Ini tentang keluargamu… tentang ayahmu."Kata-katanya langsung membuat
Malam semakin larut, tetapi suasana justru semakin tegang. Napasku memburu, pikiranku berputar cepat. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi—seseorang yang seharusnya sudah lama menghilang dari kehidupanku.Dia berdiri di sana, bersandar santai di pintu belakang ruangan ini, seakan kedatangannya adalah hal yang wajar. Senyumnya tipis, nyaris seperti ejekan.“Lama tidak bertemu, Laura,” suaranya tenang, tapi dingin.Aku menelan ludah. “Kenapa kau di sini?”Dia tidak langsung menjawab. Malah, dia melangkah maju dengan perlahan, membuat jantungku berdebar lebih kencang. Reno dan Arya sudah bersiap siaga di sampingku, siap melakukan apa pun jika keadaan memburuk.“Kau tahu, aku selalu tertarik melihat bagaimana kau berkembang setelah semua yang terjadi,” katanya sambil menatapku tajam. “Aku hanya ingin melihat sendiri apakah kau masih sekuat dulu… atau justru lebih lemah.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.”Dia tertawa kecil. “Permainan? Ah,
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit hitam pekat tanpa bintang, seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin terlihat. Di dalam ruangan yang remang, suasana penuh ketegangan.Laura menatap seseorang di depannya dengan napas memburu. Sosok itu tersenyum samar, tatapannya sulit ditebak."Kau pasti tak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?" suara baritonnya terdengar begitu akrab, tapi ada sesuatu yang janggal di baliknya.Laura menelan ludah. "Kenapa kau ada di sini? Apa maumu?"Sosok itu hanya menghela napas, lalu berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Setiap langkahnya bergema di ruangan yang sepi.Di saat bersamaan, di tempat lain, Reno berlari menerobos lorong sempit, mencoba mencari Laura. Ada firasat buruk yang mengusiknya sejak tadi. Jantungnya berdebar kencang, dan tanpa sadar, tangannya mengepal erat.Sementara itu, di dalam ruangan, Laura berusaha tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. Sosok itu kini berdiri di hadapannya, menyodorkan
Malam itu, suasana di sekitar mereka begitu mencekam. Angin bertiup kencang, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Langkah kaki yang terburu-buru menggema di gang sempit, memantulkan bayang-bayang mereka yang bergerak dengan waspada."Kita tidak bisa terus seperti ini. Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita," bisik Adrian dengan napas terengah-engah.Laura menggigit bibirnya, matanya memantau sekitar. "Aku tahu. Tapi kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di belakang semua ini. Aku tidak bisa lari tanpa jawaban."Tiba-tiba, ponsel Laura bergetar. Sebuah pesan anonim muncul di layar: *“Jangan percaya siapa pun. Bahkan dia yang kau pikir bisa melindungimu.”*Darah Laura berdesir. Siapa yang mengirim pesan ini? Dia menatap Adrian yang tengah memeriksa keadaan sekitar, kemudian menggenggam ponselnya erat.***Sementara itu, di tempat lain, seseorang sedang mengamati layar monitor dengan senyum penuh arti. Sosok pria bertubuh tegap dengan bekas luka di alisny
Aku bisa merasakan darahku berdesir lebih cepat dari biasanya. Udara di ruangan ini terasa semakin menekan. Aku berdiri di antara Adrian dan pria misterius itu, sementara para pria bersenjata yang baru saja masuk membentuk barisan di belakangnya."Apa yang sebenarnya kau inginkan?" suaraku terdengar lebih tajam dari yang kukira.Pria itu tersenyum kecil, seolah menikmati situasi ini. "Aku hanya ingin memberimu jawaban, Laura. Jawaban yang selama ini kau cari."Aku mengepalkan tangan. "Kau bilang ayahku bukan orang yang selama ini kukira. Apa maksudmu?!"Dia menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat dengan langkah santai. "Ayahmu adalah bagian dari organisasi rahasia, Laura. Organisasi yang selama ini kau anggap musuh."Aku mencengkeram lengan Adrian dengan kuat, mencoba menenangkan diri."Kau bohong."Dia menggeleng pelan. "Aku tahu ini sulit diterima. Tapi kau harus tahu… bukan hanya ayahmu yang terlibat."Aku menatapnya tajam. "Maksudmu apa?"Dia menatapku dalam-dalam, lalu berka
Aku menatap pria di depanku dengan napas memburu. Cahaya bulan menyorot wajahnya, dan aku tak bisa mempercayai penglihatanku."Kau..." suaraku hampir bergetar. "Ini tidak mungkin. Kau seharusnya sudah mati."Dia hanya menyeringai, wajahnya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya—hanya saja ada bekas luka panjang di pelipisnya, seakan membuktikan bahwa dia telah melalui sesuatu yang buruk."Kau benar-benar mengira aku mati?" suaranya terdengar penuh ejekan. "Kau naif sekali."Jantungku berdetak semakin cepat. Sierra, Adrian, dan Reynand masih bertarung di dalam rumah. Aku harus berpikir cepat."Apa maumu?" aku berusaha tetap tenang.Dia mendekat, berjongkok agar bisa menatapku lebih jelas. "Aku hanya ingin mengobrol. Kau tahu, tentang masa lalu kita. Dan... tentang bagaimana aku masih hidup."Aku merasakan dingin menjalar di tulang punggungku. Ini bukan sekadar pertemuan kebetulan. Dia ada di sini karena alasan tertentu.Sebelum aku bisa merespons, aku mendengar suara langkah k