Bab 41"Sayang," Perempuan tua itu menatap lekat wajah menantunya."Mama lihat, dari semua istri Hafiz, kamulah yang paling penurut. Mudah-mudahan Mama tidak salah menilaimu, Nak," ujarnya."Ah, Mama bisa saja," tanggap Naura. Perempuan itu masih merasa sungkan dihadapan ibu mertuanya ini, karena hubungan diantara mereka memang tidak dekat. Bukankah ia baru menikah dengan Hafiz?"Tidak, Nak. Mama percaya kiai Nawawi pasti sudah mendidikmu dengan sangat baik." Wanita tua itu tersenyum penuh arti."Abah hanya melakukan segala hal yang biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada putrinya," sahut Naura merendah. "Anak baik," pujinya. Dia mengelus kepala Naura. "Mama minta maaf ya, dengan kegaduhan yang terjadi di dalam keluarga kami.""Tak apa, Ma. Naura bisa mengerti," ucap Naura meski dengan sedikit berbohong. Dia tak mau ibu mertuanya mengetahui kegalauannya."Alhamdulillah." Ada kelegaan terpancar dari nada suaranya."Oh, ya, Nak, bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja? Jadi Hafiz ti
Bab 42"Ada yang ingin Abang bicarakan dengan Adek," ucapnya pelan. Hafiz menarik nafas berat."Apa itu, Bang?" tanya Azizah."Soal Naura, Dek," sahutnya."Naura? Memangnya ada apa dengan Naura?" tanya Azizah. "Bukankah sekarang dia sudah aman di rumah Abah?""Iya, tapi itu hanya sementara. Abang harus segera menyediakan rumah untuk Naura. Tidak baik terlalu lama tinggal di rumah mertua. Abang takut Naura merasa tidak enak," ujarnya.Sebenarnya bukan hanya itu alasan Hafiz yang ingin memindahkan Naura secepatnya dari rumah orang tuanya. Dia tidak mau kalau sang ibunda mempengaruhi perempuan polos itu untuk membenci istri pertamanya, karena sepanjang pernikahannya dengan istri pertamanya itu, ibunya memang tidak menyukai Azizah."Kalau begitu, Abang harus segera mencari rumah untuk Naura," saran Azizah."Itulah masalahnya, Dek." Laki-laki itu memegang tangan istrinya. "Terus terang uang Abang yang masih tersisa sudah Abang investasikan ke perusahaan Papa Yasmin." Laki-laki itu menggel
Bab 43Zahwa berdecak sebal melihat kedatangan dua orang manusia yang tak ingin ditemuinya itu. Nyatanya keduanya memang datang dan menghampiri mereka. Kalau hanya sekadar Hafiz yang datang, mungkin wanita itu tidak sesebal ini, tetapi besertanya ada Naura, istri ketiganya yang menjadi biang kerok kerepotan Azizah selama beberapa hari ini.Zahwa sendiri juga tak habis pikir, kenapa Hafiz malah menyuruh Azizah yang mencarikan rumah untuk Naura, bukan dia sendiri selaku seorang suami yang memiliki kewajiban dan bertanggung jawab atas semua istrinya? Apakah karena malu atau justru tak memiliki uang untuk menyediakan tempat tinggal yang layak buat istri ketiganya?Wanita itu memegang kuat-kuat tangan Azizah ketika Hafiz mengucapkan salam, seolah ia tidak rela kalau tangan mulus milik Azizah itu merangkum tangan sang suami yang sudah menyakitinya berulang kali.Azizah menjabat tangan suaminya saat ia berhasil melepaskan diri dari pegangan Zahwa. Dia mencium tangan kokoh itu dengan penuh ta
Bab 44Akhirnya Naura berhasil menyelesaikan pekerjaannya, walaupun dengan hati yang masih mendongkol. Lihatlah, kini seisi rumah tampak mulai rapi dan semua perabotan tersusun di tempat yang semestinya.Berhubung tidak memiliki sofa, Naura menghampar karpet di ruang tamu. Hanya itu yang ada di ruang tamunya dan di kamarnya hanya terisi sebuah ranjang, lemari pakaian, meja rias berukuran mungil dan lemari untuk menampung semua koleksi, barang-barang pribadinya.Di dapur hanya ada kitchen set ukuran mungil dengan desain sederhana. Naura yang tidak pandai memasak memilih untuk tidak memenuhi dapurnya dengan berbagai peralatan memasak, kecuali hanya yang penting saja.Hafiz lebih sering membelikannya makanan di luar dan tampaknya dia memang mengerti kalau Naura selama ini hidup dengan kemanjaan, memiliki asisten rumah tangga di rumah orangtuanya dan belum terbiasa hidup sederhana seperti yang sekarang mereka jalani.Perempuan muda itu akhirnya merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tubuhnya
Bab 45"Apalagi yang harus Abang jelaskan? Semua sudah cukup jelas bagi Adek. Abang tidak adil! Abang membeda-bedakan istri yang satu dengan yang lain." Perempuan muda itu menatap tajam suaminya."Kenapa kamu menjadi seperti ini, Sayang? Apa yang membuatmu berubah, hmmm ....""Adek berubah?" Naura menggelengkan kepala. "Abang yang berubah! Dari awal Abang berjanji akan bersikap adil kepada kami bertiga, tapi nyatanya tetap saja istri pertama Abang yang selalu menjadi pusat perhatian.""Siapa bilang? Kalian semua mendapatkan jatah giliran yang sama. Abang mengunjungi kalian tepat waktu, dua hari dalam seminggu. Lantas, dari sudut mana kamu menilai Abang tidak adil?" geram Hafiz. Wajahnya merah padam.Dia tak menyangka Naura menjadi seberani ini. Inilah yang ia takutkan. Gara-gara Naura tinggal di rumah orang tuanya, wanita polos ini menjadi berani memprotes. "Soal pembagian harta itu. Seharusnya Abang bisa, kan, membelikan rumah untuk Naura, bukan cuma ngontrak seperti ini?" bantahn
Bab 46Naura benar-benar merasa terpuruk, apalagi setelah Hafiz pergi dari rumah. Dia merasa sendiri. Tak ada siapapun yang bisa diajak berbagi, bahkan orang tuanya sekalipun. Dia tak mau orang tuanya mengetahui masalah rumah tangganya, apalagi membuat orang tuanya, kiai Nawawi harus berdebat dengan suaminya soal keadilan sang suami yang belum bisa sepenuhnya ia pahami.Entah versi siapa yang benar. Versi kakak kandungnya, ustadz Yazid atau versi suaminya, ustadz Hafiz. Perempuan itu sekarang tak bisa berpikir jernih. Kata-kata sang suami masih terngiang-ngiang di telinganya.Bukan soal menyesal atau tidak dengan pernikahannya. Namun, Naura yang tidak mengetahui soal ini merasa seperti dibohongi. Hafiz tidak pernah terbuka dengannya. Malah, ia mengetahui soal itu dari ibu mertuanya.Pantas saja ibu mertuanya tidak menyukai Azizah. Ternyata begini ceritanya. Naura hanya sanggup merutuk dalam hati.Ah, ya, benar, mereka memang tidak pernah membicarakan soal harta sebelumnya, karena Naur
Bab 47Hafiz mendekatkan dirinya ke dinding. Telinganya tegak, berusaha mendengar suara sang istri yang tengah asyik murojaah. Suara Naura memang merdu. Itu harus dia akui. Hanya sayang, Naura tidak pernah ikut dalam lomba tahfidz manapun. Semua kelebihannya tak ada yang diketahui oleh orang lain kecuali keluarganya, dan tentunya dirinya."Abang!" seru Naura saat melihat Hafiz membuka pintu. Dia baru saja menyelesaikan murojaah.Hafiz mencondongkan badan duduk di hadapan wanita itu. Dia meraih tangan Naura sebelum laki-laki itu meraih tangannya. Dikecupnya jemari wanita itu dengan lembut."Hafalan Adek memang yang terbaik," puji Hafiz. Kini tangannya beralih mengelus kepala Naura."Terima kasih, Bang," lirihnya tersipu malu. "Adek hanya sekedar menjalankan kewajiban untuk menjaga hafalan.""Seharusnya memang begitu," sahut Hafiz. "Kewajiban seorang hafidz adalah menjaga Al-Qur'an yang ada di dalam dada seumur hidupnya."Naura mengangguk. "Insya Allah, Bang."Laki-laki itu merentangkan
Bab 48"Bagaimana, Zaki?" pinta Abah."Zaki hanya terserah Dek Marwiah saja, Abah. Zaki pikir, Putri Abah sudah cukup dewasa dan tahu apa yang harus dia lakukan," sahutnya.Mendengar pernyataan dari Zaki, laki-laki tua itu menganggukkan kepala."Kamu dengar apa kata suamimu, Marwiah?""Dengar, Abah. Marwiah akan jemput anak-anak kemari.""Jemputlah cucu Mama kemari, Nak. Mama sudah rindu dengan mereka."Perempuan itu mengangguk. Dia meraih tangan sang ibu dan menciumnya."Marwiah pulang dulu, Ma. Nanti siang Marwiah akan kembali dengan anak-anak."Perempuan itu menyambar tas dan melangkah keluar dari ruangan itu. Sementara Zaki berjalan mengekor di belakang. Suara deru mobil yang perlahan menghilang dari pendengaran seolah mengingatkan Hafiz dengan tujuannya ke rumah ini."Ada apa, Nak?" tanya Abah. Beliau menangkap gurat kegalauan dari raut wajah putra kesayangannya"Ini soal Naura, Bah.""Ada apa lagi dengan Naura? Bukankah urusan rumah sudah selesai? Azizah tetap berlaku baik, kan
Bab 109 (ekstra part 2)"Serius pakai ini?" tunjuk Azizah pada sebuah motor gede yang terparkir di halaman hotel. Entah darimana orang-orang mereka mendapatkan kendaraan itu."Serius dong! Memangnya kamu nggak mau naik motor?" Matanya lurus menatap istrinya."Mau dong, apalagi sama Kakak!" Perempuan itu tertawa kecil."Pintar!" sahutnya. Emir menaiki motor, kemudian di susul dengan Azizah.Sebenarnya Azizah merasa ragu. Sudah lama ia tidak mengendarai motor, karena selama di Saudi, pergi kemanapun selalu di antar sopir pribadi, di iringi oleh asisten dan para pengawal. Ruang geraknya terbatas. Apalagi motor khas laki-laki ini. Dia tidak pernah mengendarainya.Perempuan itu memeluk erat pinggang suaminya, menempelkan wajahnya di pundak lelaki itu. Azizah merasakan hatinya seperti penuh dengan wangi bunga.Mereka menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel. Di kiri dan kanan bahu jalan, penuh dengan toko dan lapak souvenir khas Bali. Bali memang primadona. Alamnya yang indah, budaya yang kha
Bab 108 (ekstra part 1)Azizah menatap sendu dari balik kaca jendela pesawat. Kota Banjarbaru yang semakin mengecil akhirnya menghilang dari pandangan saat posisi pesawat kian meninggi. Kini mereka tengah berada di atas awan."Sayang...." Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang rampingnya.Perempuan itu berdehem. "Iya, Kak." Azizah memutar tubuhnya menghadap sang suami. Sepasang kakinya berjinjit dengan tangan yang terulur memeluk leher itu."Aku merindukanmu," bisik Emir parau."Terlebih lagi diriku, Sayang." "Yang bener? Jangan-jangan sekarang ini malah merindukan ayahnya Ibrahim?" Sepasang mata kelamnya menatap wajah sang istri. Pipi yang merah merona itu membuatnya tak sabar mendaratkan sebuah kecupan hangat."Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi juga tidak membencinya. Bagiku sekarang ayahnya Ibrahim hanya sekedar sahabat. Jikalau pun kami masih berhubungan baik, itu semua demi Ibrahim....""Percaya kok," sela Emir. Sebenarnya ia hanya ingin memancing, tapi Azizah menyika
Bab 107"Ibrahim bisa bermain kembali dengan adik-adikmu lain kali, Nak. Untuk saat ini, kamu nurut ya, sama Abi. Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan kita bisa kembali ke mari berkunjung ke rumah kakek dan nenekmu ini," bujuk Azizah."Apa memang tidak bisa diundur lagi, Nak?" tanya kiai Rahman. Bukan cuma Ibrahim, dia pun juga serasa tak rela jika harus berpisah kembali secepat ini dengan cucu kesayangannya."Maafkan kami, Abah, tetapi jadwal kegiatan Azizah memang hanya satu hari. Silaturahmi di pesantren Al-Istiqomah dan di rumah Abah." Perempuan itu berusaha memberi pengertian kepada mantan ayah mertuanya."Abah hanya masih kangen dengan Ibrahim. Tidak ada maksud lain," ralat lelaki tua itu."Insya Allah kami akan berkunjung kembali kesini lain kali, Abah," jawab Azizah seraya memijat kepalanya. "Bukannya sok sibuk, tetapi bagaimanapun sebagai seorang istri, harus menuruti apa kata suami. Pagi ini pesawat akan terbang dari Sydney, singgah sebentar di bandara Syamsudin Noor
Bab 106Emir melangkah gontai menuju kamar tempat dia menginap. Tubuhnya benar-benar lelah, pikirannya pun terkuras. Hari ini dia menghadiri beberapa pertemuan, salah satunya adalah peresmian beroperasinya Almeera hotel di Sydney. Seharusnya di acara itu ia didampingi oleh Azizah. Namun sayang, wanita itu tengah berada di pesantren Al-Istiqomah, di tengah keluarga mantan suaminya.Mengingat itu membuat hati Emir berdenyut. Dia percaya seratus persen dengan cinta istrinya, tapi sedikit banyaknya pasti akan terjadi romansa masa lalu mereka. Bagaimanapun, Azizah dan Hafiz berpisah secara baik-baik, bukan karena pertengkaran, tetapi hanya sekedar perbedaan cara pandang terhadap sebuah rumah tangga. Kenangan indah itu akan senantiasa tersimpan di hati."Tuan, agenda besok siang adalah pertemuan dengan para investor di Bali," ujar Alex, asisten pribadinya mengingatkan."Ya, aku tahu itu, Alex. Terima kasih sudah mengingatkan," ujarnya. Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar."Silahkan,
Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A
Bab 104Sepasang netranya menangkap sosok beberapa perempuan yang berlari kecil ke arahnya saat ia baru saja keluar dari mobil. "Azizah!"Telinganya sangat mengenali suara dari balik cadar itu. Marwiah, mantan kakak iparnya. "Kak Marwiah?" ujarnya. Kedua perempuan itu berpelukan. "Apa kabar, Kak?""Baik, Dek. Ayo masuk. Mama dan Abah sudah menunggumu sedari tadi."Kedua perempuan itu berjalan sembari tangan saling merangkul. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang. Rumah ini tidak banyak berubah. Ruang tamu yang luas dengan sofa yang telah disingkirkan membuat ruangan ini kian bertambah luas. Hanya ada karpet yang dihamparkan melapisi lantai seisi ruangan.Seorang laki-laki tua tampak duduk bersandar di salah satu bidang dinding. Azizah mempercepat langkahnya menghampiri laki-laki itu. Ada rasa rindu yang menyesak di hati saat mereka berdekatan. Bagaimanapun, Azizah sudah menganggap lelaki itu seperti orang tuanya sendiri. "Abah," ujar Azizah. Dia merendahkan tubuhnya sembar
Bab 103Hari masih pagi. Tiga unit mobil mewah meluncur meninggalkan halaman sebuah hotel terkenal di kota Banjarmasin. Azizah merasakan dadanya sedikit berdebar. Ada rasa yang tak biasa, mengingat betapa lama dia tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Sembari tetap memangku Rihanna, dia menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tujuh tahun telah berlalu dan begitu banyak hal yang berubah di daerahnya. Entah apalagi kejutan yang akan ditemui sesampainya dia di pesantren Al-Istiqomah.Sebenarnya bukan Azizah tak ingin pulang, apalagi tidak rindu dengan kampung halamannya. Namun, Azizah perlu waktu yang panjang untuk melupakan cintanya kepada ayah Ibrahim itu. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memurnikan cintanya hanya untuk Emir saja.Rihanna duduk dengan manis. Sama seperti ibunya, balita cantik nan menggemaskan berumur dua tahun itu sepertinya juga sangat menikmati perjalanan mereka pagi ini.Jadwal Azizah pagi ini adalah kunjungan ke pondok pesantren Al-Istiqomah Putri
Bab 102Berkat bantuan beberapa orang pengawal, akhirnya Azizah berhasil menembus kerumunan orang-orang dan masuk ke dalam mobil mewahnya. Sebenarnya inilah yang paling dia takutkan. Dia tidak mau kedatangannya menarik perhatian banyak orang, apalagi sampai ke telinga pejabat daerah. Dia tidak mau kepulangannya menjadi bahan berita dan viral di media sosial, apalagi dia melihat banyak orang yang mengarahkan ponsel kepadanya. Azizah mengusap kepala mungil Rihanna demi menenangkan putri kecilnya. Rihanna sudah beberapa kali diajak melakukan perjalanan ke luar negeri, tetapi baru kali ini dia diajak pergi ke negara asal ibunya, Indonesia. "Kita istirahat dulu di hotel, Tuan Putri, setelah itu baru melakukan kunjungan ke pesantren Al-Istiqomah," beritahu Hanum tentang jadwal tuan putrinya."Iya," sahutnya singkat. Mobil terus meluncur dan Azizah tenggelam dalam pikirannya. Sesekali dia menepuk paha putrinya. Rihanna terlihat lelah dan mengantuk.Sepasang matanya fokus dengan pemandanga
Bab 101"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah memberikan keturunan untukku," ujar Emir seraya mencium perut Azizah berulang kali. Rasa lelah dan capek sepulangnya dari Almeera Hotel lenyap tak berbekas saat menerima kado terindah berupa tespek yang memiliki garis dua dari istrinya."Aku bisa memberikan keturunan untuk Kakak, karena kakak sudah begitu kuat mempertahankan diriku. Terima kasih juga, karena Kakak selalu sabar menghadapi kecemburuanku yang terkadang berlebihan," sahut wanita itu. Dia melingkarkan tangan ke leher sang suami, balas mengecup pipi kanan dan kiri suaminya."Kecemburuanmu masih dalam taraf yang wajar, Sayang. Cemburu itu pertanda cinta. Bukankah Sayyidah Aisyah juga seorang wanita pencemburu?" Emir bangkit lantas merangkul pinggang istrinya dan dalam sekali gerakan ia menggendong tubuh istrinya menuju pembaringan."Mulai detik ini, jangan terlalu banyak bergerak ya, Sayang. Banyak istirahat. Biarkan semuanya diurus oleh para asisten kita," pinta Emir."Aku b