Bab 43Zahwa berdecak sebal melihat kedatangan dua orang manusia yang tak ingin ditemuinya itu. Nyatanya keduanya memang datang dan menghampiri mereka. Kalau hanya sekadar Hafiz yang datang, mungkin wanita itu tidak sesebal ini, tetapi besertanya ada Naura, istri ketiganya yang menjadi biang kerok kerepotan Azizah selama beberapa hari ini.Zahwa sendiri juga tak habis pikir, kenapa Hafiz malah menyuruh Azizah yang mencarikan rumah untuk Naura, bukan dia sendiri selaku seorang suami yang memiliki kewajiban dan bertanggung jawab atas semua istrinya? Apakah karena malu atau justru tak memiliki uang untuk menyediakan tempat tinggal yang layak buat istri ketiganya?Wanita itu memegang kuat-kuat tangan Azizah ketika Hafiz mengucapkan salam, seolah ia tidak rela kalau tangan mulus milik Azizah itu merangkum tangan sang suami yang sudah menyakitinya berulang kali.Azizah menjabat tangan suaminya saat ia berhasil melepaskan diri dari pegangan Zahwa. Dia mencium tangan kokoh itu dengan penuh ta
Bab 44Akhirnya Naura berhasil menyelesaikan pekerjaannya, walaupun dengan hati yang masih mendongkol. Lihatlah, kini seisi rumah tampak mulai rapi dan semua perabotan tersusun di tempat yang semestinya.Berhubung tidak memiliki sofa, Naura menghampar karpet di ruang tamu. Hanya itu yang ada di ruang tamunya dan di kamarnya hanya terisi sebuah ranjang, lemari pakaian, meja rias berukuran mungil dan lemari untuk menampung semua koleksi, barang-barang pribadinya.Di dapur hanya ada kitchen set ukuran mungil dengan desain sederhana. Naura yang tidak pandai memasak memilih untuk tidak memenuhi dapurnya dengan berbagai peralatan memasak, kecuali hanya yang penting saja.Hafiz lebih sering membelikannya makanan di luar dan tampaknya dia memang mengerti kalau Naura selama ini hidup dengan kemanjaan, memiliki asisten rumah tangga di rumah orangtuanya dan belum terbiasa hidup sederhana seperti yang sekarang mereka jalani.Perempuan muda itu akhirnya merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tubuhnya
Bab 45"Apalagi yang harus Abang jelaskan? Semua sudah cukup jelas bagi Adek. Abang tidak adil! Abang membeda-bedakan istri yang satu dengan yang lain." Perempuan muda itu menatap tajam suaminya."Kenapa kamu menjadi seperti ini, Sayang? Apa yang membuatmu berubah, hmmm ....""Adek berubah?" Naura menggelengkan kepala. "Abang yang berubah! Dari awal Abang berjanji akan bersikap adil kepada kami bertiga, tapi nyatanya tetap saja istri pertama Abang yang selalu menjadi pusat perhatian.""Siapa bilang? Kalian semua mendapatkan jatah giliran yang sama. Abang mengunjungi kalian tepat waktu, dua hari dalam seminggu. Lantas, dari sudut mana kamu menilai Abang tidak adil?" geram Hafiz. Wajahnya merah padam.Dia tak menyangka Naura menjadi seberani ini. Inilah yang ia takutkan. Gara-gara Naura tinggal di rumah orang tuanya, wanita polos ini menjadi berani memprotes. "Soal pembagian harta itu. Seharusnya Abang bisa, kan, membelikan rumah untuk Naura, bukan cuma ngontrak seperti ini?" bantahn
Bab 46Naura benar-benar merasa terpuruk, apalagi setelah Hafiz pergi dari rumah. Dia merasa sendiri. Tak ada siapapun yang bisa diajak berbagi, bahkan orang tuanya sekalipun. Dia tak mau orang tuanya mengetahui masalah rumah tangganya, apalagi membuat orang tuanya, kiai Nawawi harus berdebat dengan suaminya soal keadilan sang suami yang belum bisa sepenuhnya ia pahami.Entah versi siapa yang benar. Versi kakak kandungnya, ustadz Yazid atau versi suaminya, ustadz Hafiz. Perempuan itu sekarang tak bisa berpikir jernih. Kata-kata sang suami masih terngiang-ngiang di telinganya.Bukan soal menyesal atau tidak dengan pernikahannya. Namun, Naura yang tidak mengetahui soal ini merasa seperti dibohongi. Hafiz tidak pernah terbuka dengannya. Malah, ia mengetahui soal itu dari ibu mertuanya.Pantas saja ibu mertuanya tidak menyukai Azizah. Ternyata begini ceritanya. Naura hanya sanggup merutuk dalam hati.Ah, ya, benar, mereka memang tidak pernah membicarakan soal harta sebelumnya, karena Naur
Bab 47Hafiz mendekatkan dirinya ke dinding. Telinganya tegak, berusaha mendengar suara sang istri yang tengah asyik murojaah. Suara Naura memang merdu. Itu harus dia akui. Hanya sayang, Naura tidak pernah ikut dalam lomba tahfidz manapun. Semua kelebihannya tak ada yang diketahui oleh orang lain kecuali keluarganya, dan tentunya dirinya."Abang!" seru Naura saat melihat Hafiz membuka pintu. Dia baru saja menyelesaikan murojaah.Hafiz mencondongkan badan duduk di hadapan wanita itu. Dia meraih tangan Naura sebelum laki-laki itu meraih tangannya. Dikecupnya jemari wanita itu dengan lembut."Hafalan Adek memang yang terbaik," puji Hafiz. Kini tangannya beralih mengelus kepala Naura."Terima kasih, Bang," lirihnya tersipu malu. "Adek hanya sekedar menjalankan kewajiban untuk menjaga hafalan.""Seharusnya memang begitu," sahut Hafiz. "Kewajiban seorang hafidz adalah menjaga Al-Qur'an yang ada di dalam dada seumur hidupnya."Naura mengangguk. "Insya Allah, Bang."Laki-laki itu merentangkan
Bab 48"Bagaimana, Zaki?" pinta Abah."Zaki hanya terserah Dek Marwiah saja, Abah. Zaki pikir, Putri Abah sudah cukup dewasa dan tahu apa yang harus dia lakukan," sahutnya.Mendengar pernyataan dari Zaki, laki-laki tua itu menganggukkan kepala."Kamu dengar apa kata suamimu, Marwiah?""Dengar, Abah. Marwiah akan jemput anak-anak kemari.""Jemputlah cucu Mama kemari, Nak. Mama sudah rindu dengan mereka."Perempuan itu mengangguk. Dia meraih tangan sang ibu dan menciumnya."Marwiah pulang dulu, Ma. Nanti siang Marwiah akan kembali dengan anak-anak."Perempuan itu menyambar tas dan melangkah keluar dari ruangan itu. Sementara Zaki berjalan mengekor di belakang. Suara deru mobil yang perlahan menghilang dari pendengaran seolah mengingatkan Hafiz dengan tujuannya ke rumah ini."Ada apa, Nak?" tanya Abah. Beliau menangkap gurat kegalauan dari raut wajah putra kesayangannya"Ini soal Naura, Bah.""Ada apa lagi dengan Naura? Bukankah urusan rumah sudah selesai? Azizah tetap berlaku baik, kan
Bab 49Azizah justru sangat diuntungkan dengan pernikahan kedua dan ketiga suaminya. Alih-alih menderita karena suaminya menikah lagi, malah dia menjadi wanita kaya dan belakangan memiliki usaha sendiri. Azizah semakin berkembang dari waktu ke waktu!Sampai saat ini kehidupannya tetap sama. Semua aset sang suami masih atas nama suami atau keluarga besar mereka. Puluhan tahun dia mendampingi Sang Kiai, tetapi dia tidak mendapatkan apapun selain bonus tidak dipoligami seumur hidupnya. Itupun setelah dia melahirkan Hafiz yang sekarang menjadi pemegang tongkat estafet pesantren Al Istiqomah.Perempuan itu menghela nafas. matanya melirik jam dinding dan waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Ah, ternyata ia sudah melamun begitu lama."Aminah, panggilnya saat perempuan berumur 30 tahunan itu melintas di hadapannya."Iya, Ummi. Ada apa?" Wanita itu mendekat."Tolong siapkan kamar Marwiah dan satu buah kamar di sampingnya. Mulai hari ini Marwiah dan kedua anaknya akan tinggal di sini."Meskipun wani
Bab 50Setelah menjemput Farhan dan Wafa dari sekolah, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan ke rumah orang tuanya. Farhan yang baru berusia 8 tahun dan Wafa berumur 5 tahun. Farhan duduk di kelas 3 madrasah ibtidaiyah dan Wafa di Raudhatul Athfal.Kedua bocah itu nampak sangat bahagia saat diberitahu bahwa mereka akan menginap di rumah kakek dan neneknya. Marwiah hanya tersenyum miris."Kalian masih terlalu kecil untuk mengetahui masalah diantara orang tua kalian," gumam Marwiah dalam hati.Sementara sang suami juga tengah asyik dalam pikirannya sendiri, terus mengemudikan mobil. Sebentar lagi mereka sampai di tempat tujuan."Farhan, Wafa, nanti di rumah kakek, kalian harus sopan ya. Nggak boleh ... Marwiah sengaja menggantung ucapannya."Nggak boleh nakal, Ma!" sahut Wafa cepat. Anak itu memang sangat lincah.Celotehan Wafa sangat mendominasi di setiap kesempatan, menurun dari sifat ibunya. Sementara Farhan, anaknya lebih kalem. Anak lelaki itu bahkan sedari tadi hanya diam dan men