Bab 45"Apalagi yang harus Abang jelaskan? Semua sudah cukup jelas bagi Adek. Abang tidak adil! Abang membeda-bedakan istri yang satu dengan yang lain." Perempuan muda itu menatap tajam suaminya."Kenapa kamu menjadi seperti ini, Sayang? Apa yang membuatmu berubah, hmmm ....""Adek berubah?" Naura menggelengkan kepala. "Abang yang berubah! Dari awal Abang berjanji akan bersikap adil kepada kami bertiga, tapi nyatanya tetap saja istri pertama Abang yang selalu menjadi pusat perhatian.""Siapa bilang? Kalian semua mendapatkan jatah giliran yang sama. Abang mengunjungi kalian tepat waktu, dua hari dalam seminggu. Lantas, dari sudut mana kamu menilai Abang tidak adil?" geram Hafiz. Wajahnya merah padam.Dia tak menyangka Naura menjadi seberani ini. Inilah yang ia takutkan. Gara-gara Naura tinggal di rumah orang tuanya, wanita polos ini menjadi berani memprotes. "Soal pembagian harta itu. Seharusnya Abang bisa, kan, membelikan rumah untuk Naura, bukan cuma ngontrak seperti ini?" bantahn
Bab 46Naura benar-benar merasa terpuruk, apalagi setelah Hafiz pergi dari rumah. Dia merasa sendiri. Tak ada siapapun yang bisa diajak berbagi, bahkan orang tuanya sekalipun. Dia tak mau orang tuanya mengetahui masalah rumah tangganya, apalagi membuat orang tuanya, kiai Nawawi harus berdebat dengan suaminya soal keadilan sang suami yang belum bisa sepenuhnya ia pahami.Entah versi siapa yang benar. Versi kakak kandungnya, ustadz Yazid atau versi suaminya, ustadz Hafiz. Perempuan itu sekarang tak bisa berpikir jernih. Kata-kata sang suami masih terngiang-ngiang di telinganya.Bukan soal menyesal atau tidak dengan pernikahannya. Namun, Naura yang tidak mengetahui soal ini merasa seperti dibohongi. Hafiz tidak pernah terbuka dengannya. Malah, ia mengetahui soal itu dari ibu mertuanya.Pantas saja ibu mertuanya tidak menyukai Azizah. Ternyata begini ceritanya. Naura hanya sanggup merutuk dalam hati.Ah, ya, benar, mereka memang tidak pernah membicarakan soal harta sebelumnya, karena Naur
Bab 47Hafiz mendekatkan dirinya ke dinding. Telinganya tegak, berusaha mendengar suara sang istri yang tengah asyik murojaah. Suara Naura memang merdu. Itu harus dia akui. Hanya sayang, Naura tidak pernah ikut dalam lomba tahfidz manapun. Semua kelebihannya tak ada yang diketahui oleh orang lain kecuali keluarganya, dan tentunya dirinya."Abang!" seru Naura saat melihat Hafiz membuka pintu. Dia baru saja menyelesaikan murojaah.Hafiz mencondongkan badan duduk di hadapan wanita itu. Dia meraih tangan Naura sebelum laki-laki itu meraih tangannya. Dikecupnya jemari wanita itu dengan lembut."Hafalan Adek memang yang terbaik," puji Hafiz. Kini tangannya beralih mengelus kepala Naura."Terima kasih, Bang," lirihnya tersipu malu. "Adek hanya sekedar menjalankan kewajiban untuk menjaga hafalan.""Seharusnya memang begitu," sahut Hafiz. "Kewajiban seorang hafidz adalah menjaga Al-Qur'an yang ada di dalam dada seumur hidupnya."Naura mengangguk. "Insya Allah, Bang."Laki-laki itu merentangkan
Bab 48"Bagaimana, Zaki?" pinta Abah."Zaki hanya terserah Dek Marwiah saja, Abah. Zaki pikir, Putri Abah sudah cukup dewasa dan tahu apa yang harus dia lakukan," sahutnya.Mendengar pernyataan dari Zaki, laki-laki tua itu menganggukkan kepala."Kamu dengar apa kata suamimu, Marwiah?""Dengar, Abah. Marwiah akan jemput anak-anak kemari.""Jemputlah cucu Mama kemari, Nak. Mama sudah rindu dengan mereka."Perempuan itu mengangguk. Dia meraih tangan sang ibu dan menciumnya."Marwiah pulang dulu, Ma. Nanti siang Marwiah akan kembali dengan anak-anak."Perempuan itu menyambar tas dan melangkah keluar dari ruangan itu. Sementara Zaki berjalan mengekor di belakang. Suara deru mobil yang perlahan menghilang dari pendengaran seolah mengingatkan Hafiz dengan tujuannya ke rumah ini."Ada apa, Nak?" tanya Abah. Beliau menangkap gurat kegalauan dari raut wajah putra kesayangannya"Ini soal Naura, Bah.""Ada apa lagi dengan Naura? Bukankah urusan rumah sudah selesai? Azizah tetap berlaku baik, kan
Bab 49Azizah justru sangat diuntungkan dengan pernikahan kedua dan ketiga suaminya. Alih-alih menderita karena suaminya menikah lagi, malah dia menjadi wanita kaya dan belakangan memiliki usaha sendiri. Azizah semakin berkembang dari waktu ke waktu!Sampai saat ini kehidupannya tetap sama. Semua aset sang suami masih atas nama suami atau keluarga besar mereka. Puluhan tahun dia mendampingi Sang Kiai, tetapi dia tidak mendapatkan apapun selain bonus tidak dipoligami seumur hidupnya. Itupun setelah dia melahirkan Hafiz yang sekarang menjadi pemegang tongkat estafet pesantren Al Istiqomah.Perempuan itu menghela nafas. matanya melirik jam dinding dan waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Ah, ternyata ia sudah melamun begitu lama."Aminah, panggilnya saat perempuan berumur 30 tahunan itu melintas di hadapannya."Iya, Ummi. Ada apa?" Wanita itu mendekat."Tolong siapkan kamar Marwiah dan satu buah kamar di sampingnya. Mulai hari ini Marwiah dan kedua anaknya akan tinggal di sini."Meskipun wani
Bab 50Setelah menjemput Farhan dan Wafa dari sekolah, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan ke rumah orang tuanya. Farhan yang baru berusia 8 tahun dan Wafa berumur 5 tahun. Farhan duduk di kelas 3 madrasah ibtidaiyah dan Wafa di Raudhatul Athfal.Kedua bocah itu nampak sangat bahagia saat diberitahu bahwa mereka akan menginap di rumah kakek dan neneknya. Marwiah hanya tersenyum miris."Kalian masih terlalu kecil untuk mengetahui masalah diantara orang tua kalian," gumam Marwiah dalam hati.Sementara sang suami juga tengah asyik dalam pikirannya sendiri, terus mengemudikan mobil. Sebentar lagi mereka sampai di tempat tujuan."Farhan, Wafa, nanti di rumah kakek, kalian harus sopan ya. Nggak boleh ... Marwiah sengaja menggantung ucapannya."Nggak boleh nakal, Ma!" sahut Wafa cepat. Anak itu memang sangat lincah.Celotehan Wafa sangat mendominasi di setiap kesempatan, menurun dari sifat ibunya. Sementara Farhan, anaknya lebih kalem. Anak lelaki itu bahkan sedari tadi hanya diam dan men
Bab 51Hari Senin adalah hari yang dinantikan oleh Azizah, karena di hari itu adalah hari gilirannya, jadwal kunjungan Hafiz ke rumahnya. Bukan soal rindu dan perasaan sebangsanya yang membuat dia begitu ingin bertemu dengan sang suami, tetapi menyoal masalah ustadz Zaki yang berkunjung ke toko demi bertemu dengan istri mudanya."Abang ...."Wajah laki-laki itu terlihat bersinar saat melihat sang istri yang menyambut kedatangannya di teras rumah. Pagi masih berselimut embun dan sepagi itu dia sudah berada di rumah Azizah. Dia sengaja menyempatkan diri datang pagi-pagi, hanya demi untuk sarapan bersama istri tercinta.Lelah dan tekanan batin yang dialaminya saat di rumah orang tuanya sedikit terobati saat perempuan muda itu mencium tangannya penuh takzim. Azizah tak pernah berubah. Dia masih menjalankan kewajibannya sebagai istri, meski banyak masalah menghantam rumah tangga mereka.Laki-laki itu mencium kening istrinya sekilas, lalu merentangkan tangan, menggendong tubuh mungil itu me
Bab 52Hafiz berusaha mengibaskan pikiran-pikiran gila itu dari otaknya. Mana mungkin tubuhnya dibelah menjadi tiga? Justru yang ada, dia yang mati. Hahaha ....Belajar dari poligami yang dilakukan oleh Rasulullah, Hafiz merasa dirinya begitu kerdil. Dia belum bisa menjadi imam yang baik untuk ketiga istrinya. Terbukti sampai saat ini, di antara mereka seringkali terjadi persaingan, silang pendapat dan kecemburuan yang berlebihan.Apakah memang poligami berpotensi untuk saling menyakiti? Atau memang dia belum cukup ilmunya? Kalau dia memang belum cukup ilmunya, kenapa Allah menunjukkan jalan sehingga dia bisa memiliki istri lebih dari satu?Bukan hanya dia, tetapi juga ustadz Zaki, Abang iparnya. Pernikahan dengan Dania yang berbuntut panjang menjadi pisah rumah antara ustadz Zaki dengan istri pertamanya.Poligami yang berhasil bisa membuat nyaman semua istri dan juga suaminya. Akan tetapi, apakah kenyamanan itu bisa diciptakan dalam rumah tangganya sendiri? Apakah keinginan itu tidak