Bab 40Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Hafiz langsung membelokkan mobil ke pembatas tengah jalan, lantas berputar arah. Ada kecemasan luar biasa yang bisa ditangkap oleh Azizah."Ada apa, Bang?" tanya Azizah."Nanti kamu akan tahu sendiri, Sayang." jawabnya. Dia masih terus menatap lurus ke jalan.Tak lama kemudian, mobil sampai di kompleks pesantren. Mereka menyusuri jalan-jalan kecil. Azizah mengerjapkan mata saat mobil yang ditumpanginya menyusuri beberapa rumah tempat tinggal para ustadz"Bukannya ini rumah para Ustadz? Kenapa Abang membawa Adek ke sini? Rumah Abang yang ada di sini, kan ditempati oleh Yasmin?" cecar Azizah. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran suaminya.Hafiz menggelengkan kepala. "Bukan ke rumah Abang, Dek.""Lalu?" Azizah menggelengkan kepala, saat mereka melewati rumah yang ditempati oleh Yasmin.Hafiz tak menjawab. Dia terus memajukan mobil hingga akhirnya mereka sampai di satu rumah."Naura?" tebak Azizah"Iya, Sayang," jawab Hafiz. Laki-laki itu meng
Bab 41"Sayang," Perempuan tua itu menatap lekat wajah menantunya."Mama lihat, dari semua istri Hafiz, kamulah yang paling penurut. Mudah-mudahan Mama tidak salah menilaimu, Nak," ujarnya."Ah, Mama bisa saja," tanggap Naura. Perempuan itu masih merasa sungkan dihadapan ibu mertuanya ini, karena hubungan diantara mereka memang tidak dekat. Bukankah ia baru menikah dengan Hafiz?"Tidak, Nak. Mama percaya kiai Nawawi pasti sudah mendidikmu dengan sangat baik." Wanita tua itu tersenyum penuh arti."Abah hanya melakukan segala hal yang biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada putrinya," sahut Naura merendah. "Anak baik," pujinya. Dia mengelus kepala Naura. "Mama minta maaf ya, dengan kegaduhan yang terjadi di dalam keluarga kami.""Tak apa, Ma. Naura bisa mengerti," ucap Naura meski dengan sedikit berbohong. Dia tak mau ibu mertuanya mengetahui kegalauannya."Alhamdulillah." Ada kelegaan terpancar dari nada suaranya."Oh, ya, Nak, bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja? Jadi Hafiz ti
Bab 42"Ada yang ingin Abang bicarakan dengan Adek," ucapnya pelan. Hafiz menarik nafas berat."Apa itu, Bang?" tanya Azizah."Soal Naura, Dek," sahutnya."Naura? Memangnya ada apa dengan Naura?" tanya Azizah. "Bukankah sekarang dia sudah aman di rumah Abah?""Iya, tapi itu hanya sementara. Abang harus segera menyediakan rumah untuk Naura. Tidak baik terlalu lama tinggal di rumah mertua. Abang takut Naura merasa tidak enak," ujarnya.Sebenarnya bukan hanya itu alasan Hafiz yang ingin memindahkan Naura secepatnya dari rumah orang tuanya. Dia tidak mau kalau sang ibunda mempengaruhi perempuan polos itu untuk membenci istri pertamanya, karena sepanjang pernikahannya dengan istri pertamanya itu, ibunya memang tidak menyukai Azizah."Kalau begitu, Abang harus segera mencari rumah untuk Naura," saran Azizah."Itulah masalahnya, Dek." Laki-laki itu memegang tangan istrinya. "Terus terang uang Abang yang masih tersisa sudah Abang investasikan ke perusahaan Papa Yasmin." Laki-laki itu menggel
Bab 43Zahwa berdecak sebal melihat kedatangan dua orang manusia yang tak ingin ditemuinya itu. Nyatanya keduanya memang datang dan menghampiri mereka. Kalau hanya sekadar Hafiz yang datang, mungkin wanita itu tidak sesebal ini, tetapi besertanya ada Naura, istri ketiganya yang menjadi biang kerok kerepotan Azizah selama beberapa hari ini.Zahwa sendiri juga tak habis pikir, kenapa Hafiz malah menyuruh Azizah yang mencarikan rumah untuk Naura, bukan dia sendiri selaku seorang suami yang memiliki kewajiban dan bertanggung jawab atas semua istrinya? Apakah karena malu atau justru tak memiliki uang untuk menyediakan tempat tinggal yang layak buat istri ketiganya?Wanita itu memegang kuat-kuat tangan Azizah ketika Hafiz mengucapkan salam, seolah ia tidak rela kalau tangan mulus milik Azizah itu merangkum tangan sang suami yang sudah menyakitinya berulang kali.Azizah menjabat tangan suaminya saat ia berhasil melepaskan diri dari pegangan Zahwa. Dia mencium tangan kokoh itu dengan penuh ta
Bab 44Akhirnya Naura berhasil menyelesaikan pekerjaannya, walaupun dengan hati yang masih mendongkol. Lihatlah, kini seisi rumah tampak mulai rapi dan semua perabotan tersusun di tempat yang semestinya.Berhubung tidak memiliki sofa, Naura menghampar karpet di ruang tamu. Hanya itu yang ada di ruang tamunya dan di kamarnya hanya terisi sebuah ranjang, lemari pakaian, meja rias berukuran mungil dan lemari untuk menampung semua koleksi, barang-barang pribadinya.Di dapur hanya ada kitchen set ukuran mungil dengan desain sederhana. Naura yang tidak pandai memasak memilih untuk tidak memenuhi dapurnya dengan berbagai peralatan memasak, kecuali hanya yang penting saja.Hafiz lebih sering membelikannya makanan di luar dan tampaknya dia memang mengerti kalau Naura selama ini hidup dengan kemanjaan, memiliki asisten rumah tangga di rumah orangtuanya dan belum terbiasa hidup sederhana seperti yang sekarang mereka jalani.Perempuan muda itu akhirnya merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tubuhnya
Bab 45"Apalagi yang harus Abang jelaskan? Semua sudah cukup jelas bagi Adek. Abang tidak adil! Abang membeda-bedakan istri yang satu dengan yang lain." Perempuan muda itu menatap tajam suaminya."Kenapa kamu menjadi seperti ini, Sayang? Apa yang membuatmu berubah, hmmm ....""Adek berubah?" Naura menggelengkan kepala. "Abang yang berubah! Dari awal Abang berjanji akan bersikap adil kepada kami bertiga, tapi nyatanya tetap saja istri pertama Abang yang selalu menjadi pusat perhatian.""Siapa bilang? Kalian semua mendapatkan jatah giliran yang sama. Abang mengunjungi kalian tepat waktu, dua hari dalam seminggu. Lantas, dari sudut mana kamu menilai Abang tidak adil?" geram Hafiz. Wajahnya merah padam.Dia tak menyangka Naura menjadi seberani ini. Inilah yang ia takutkan. Gara-gara Naura tinggal di rumah orang tuanya, wanita polos ini menjadi berani memprotes. "Soal pembagian harta itu. Seharusnya Abang bisa, kan, membelikan rumah untuk Naura, bukan cuma ngontrak seperti ini?" bantahn
Bab 46Naura benar-benar merasa terpuruk, apalagi setelah Hafiz pergi dari rumah. Dia merasa sendiri. Tak ada siapapun yang bisa diajak berbagi, bahkan orang tuanya sekalipun. Dia tak mau orang tuanya mengetahui masalah rumah tangganya, apalagi membuat orang tuanya, kiai Nawawi harus berdebat dengan suaminya soal keadilan sang suami yang belum bisa sepenuhnya ia pahami.Entah versi siapa yang benar. Versi kakak kandungnya, ustadz Yazid atau versi suaminya, ustadz Hafiz. Perempuan itu sekarang tak bisa berpikir jernih. Kata-kata sang suami masih terngiang-ngiang di telinganya.Bukan soal menyesal atau tidak dengan pernikahannya. Namun, Naura yang tidak mengetahui soal ini merasa seperti dibohongi. Hafiz tidak pernah terbuka dengannya. Malah, ia mengetahui soal itu dari ibu mertuanya.Pantas saja ibu mertuanya tidak menyukai Azizah. Ternyata begini ceritanya. Naura hanya sanggup merutuk dalam hati.Ah, ya, benar, mereka memang tidak pernah membicarakan soal harta sebelumnya, karena Naur
Bab 47Hafiz mendekatkan dirinya ke dinding. Telinganya tegak, berusaha mendengar suara sang istri yang tengah asyik murojaah. Suara Naura memang merdu. Itu harus dia akui. Hanya sayang, Naura tidak pernah ikut dalam lomba tahfidz manapun. Semua kelebihannya tak ada yang diketahui oleh orang lain kecuali keluarganya, dan tentunya dirinya."Abang!" seru Naura saat melihat Hafiz membuka pintu. Dia baru saja menyelesaikan murojaah.Hafiz mencondongkan badan duduk di hadapan wanita itu. Dia meraih tangan Naura sebelum laki-laki itu meraih tangannya. Dikecupnya jemari wanita itu dengan lembut."Hafalan Adek memang yang terbaik," puji Hafiz. Kini tangannya beralih mengelus kepala Naura."Terima kasih, Bang," lirihnya tersipu malu. "Adek hanya sekedar menjalankan kewajiban untuk menjaga hafalan.""Seharusnya memang begitu," sahut Hafiz. "Kewajiban seorang hafidz adalah menjaga Al-Qur'an yang ada di dalam dada seumur hidupnya."Naura mengangguk. "Insya Allah, Bang."Laki-laki itu merentangkan