Cahaya yang menyilaukan dari layar komputer memantul pada kedua bola mata Freya yang tampak lelah. Freya harus menyipitkan matanya untuk bisa melihat keyboard. Tatapannya kosong dan tidak fokus.
Ketukan keyboard yang berirama sangat kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Freya merasa seperti akan tenggelam dalam lautan emosi yang begitu kuat. Dia merasakan kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan.Bukti-bukti pengkhianatan Marcus yang begitu kuat terus membayangi pikirannya. Freya tidak bisa melupakannya. Seperti hantu yang terus membayanginya, hingga dia merasa seperti tidak bisa lagi hidup dengan tenangNaluri jurnalistiknya yang biasanya tajam terasa tumpul, dan ia mendapati dirinya menatap layar dengan tatapan kosong, tersesat dalam lautan emosi.“Kenapa dia tega melakukan hal ini?” Freya melempar pertanyaan retoris pada dirinya sendiri yang saat ini merasa kalut.Rasa marah, kecewa dan kebingungan terjalin dalam sebuah simpul yang semakin mengencang setiap saat.Jauh di lubuk hatinya, Freya mengetahui kebenarannya, tetapi entah bagaimana ada benih penyangkalan yang mengakar kuat, menolak untuk mengakui kenyataan yang menyakitkan ituFreya menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri. Ia tidak ingin menangis. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya kepada siapa pun.Ponselnya berdengung. Freya melirik ke bawah, dan jantungnya berdetak kencang ketika ia melihat nama Marcus muncul di layar.Freya ragu-ragu sejenak, lalu ia akhirnya membuka pesan teks itu."Hai, sayang" tulis Marcus. "Kamu lagi apa sekarang? Aku rindu."Freya memejamkan matanya, menahan air matanya. Ia ingin membalas pesan itu, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa.Ia membuka matanya dan menatap foto Marcus yang ada di layar kunci ponselnya. Wajah Marcus yang dulu selalu menjadi penyemangatnya kini membuatnya mual.Ironi dari situasi ini menghantamnya seperti sebuah pukulan di perutnya. Bagaimana mungkin pria dalam foto itu adalah orang yang sama yang telah menghancurkan kepercayaannya? Wanita itu mengatupkan rahangnya, menahan air matanya.Bulir air matanya berkumpul dan mencari celah untuk bisa terjun, Freya menahan nafasnya sebisa mungkin ia tidak menunjukkan emosinya di tempat kerja.Ruang redaksi terlihat ramai di sekelilingnya, para reporter mengetik dengan gusar, telepon berdering, dan gumaman percakapan di kejauhan yang menyatu dalam hiruk-pikuk kehidupan yang terus berlanjut meskipun ia sedang mengalami gejolak batin.Meja kerja Freya, yang biasanya menjadi pusat komando untuk berita-berita terbaru, kini terasa seperti sebuah pulau yang terombang-ambing di tengah badai emosi.Pemimpin redaksinya, Sandra, mendekat, kekhawatiran tergambar di wajahnya. "Freya, aku lihat kamu tidak seperti biasanya. Apakah semuanya baik-baik saja?"Freya memaksakan sebuah senyuman tipis, berusaha menutupi keresahan di dalam dirinya. "Aku hanya mengalami hari yang berat, Sandra. Banyak hal yang harus kukerjakan dengan kasus baru ini."Sandra mengamati Freya sejenak, tatapannya menelusuri raut wajah yang sangat melekat pada Freya. "Kamu memang jurnalis yang luar biasa, Freya, tapi kamu bukan robot. Jika kamu butuh waktu untuk menenangkan diri, aku bisa mengatur semuanya di sini. Pulanglah lebih awal, beristirahatlah. Kita semua punya jatah cuti."Freya ragu-ragu, beban emosinya hampir meledak. "Terima kasih atas perhatiannya Sandra, tapi aku bisa mengatasinya. Artikel ini sangat penting."Sandra meletakkan tangannya di bahu Freya, ekspresinya melembut. "Beritanya akan tetap ada besok. Sayangi dirimu sendiri. Kamu berhak untuk beristirahat."Saat Sandra berjalan pergi, Freya merasakan ada gumpalan di tenggorokannya. Pergulatan batin antara tampilan profesionalnya dan badai emosi di dalam dirinya telah mencapai titik puncaknya.Dia memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam, dan sejenak, dia membiarkan tembok pertahanan dirinya runtuh.“Aku tidak percaya pada apa yang telah terjadi hari ini, aku terlihat lemah. Tapi kenapa Marcus melakukan itu padaku? Sebenarnya apa yang terlintas di kepalanya saat melakukan itu?” gumam Freya.Freya duduk lemas di kursinya, menatap kosong ke layar komputernya. Dia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang ke masa lalu.Dia mengingat saat-saat bahagia bersama Marcus, dan bagaimana dia begitu yakin bahwa mereka akan bersama selamanya. Tapi sekarang, semua itu hanyalah mimpi.Air mata mulai mengalir, menyusuri jalan sunyi di pipinya. Dia mencoba menahannya, tetapi tidak bisa. Dia merasa hancur dan kesepian. Dia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan apa yang telah tersisa dari kejadian ini.Tiba-tiba ia teringat kata-kata Sandra, ia mengatakan kepadanya bahwa terkadang saat seseorang merasa terpojok tanpa jalan keluar, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mundur dan mengambil waktu untuk diri sendiri. Bukan karena lemah, tetapi untuk menemukan kekuatan baru.Freya tahu bahwa Sandra benar. Dia tidak bisa terus bekerja dalam kondisi seperti ini. Dia perlu meluangkan waktu untuk menyembuhkan diri sendiri.Ia melemparkan pandangannya ke sekeliling ruang redaksi. Semua orang tampak sibuk dengan pekerjaan mereka. Mereka tidak menyadari bahwa Freya sedang berjuang dengan perasaannya.Ruang redaksi terus berjalan tanpa henti, tetapi bagi Freya, momen penuh ketidakberdayaan yang tak terduga ini menandai awal dari sebuah perjalanan untuk mengakui kebenaran yang menyakitkan yang tidak bisa ia hindari selamanya.Gerbong kereta bawah tanah melesat dan berguncang di sepanjang rel, setiap goncangan membangkitkan gejolak dalam diri Freya. Freya duduk di salah satu sudut gerbong, bersandar di dinding. Ia menutup mata dan mencoba untuk menenangkan diri, tetapi setiap goncangan kereta hanya membuat pikirannya semakin kacau. Ia merasa sendirian dan terisolasi di tengah keramaian. Seperti orang asing di dunia ini yang penuh sesak ini. Freya membuka mata dan menatap ke luar jendela Kedua matanya mengamati dengan seksama terowongan yang telah dilalui. Ia melihat terowongan yang gelap dan berkelok-kelok. "Rasanya seperti sedang berada di dalam mimpi buruk" pikir Freya. Ia membayangkan diri sendiri berjalan sendirian di terowongan yang gelap itu. Tidak tahu kemana ia harus pergi. Yang gadis itu tahu bahwa saat ini ia harus terus berjalan. “Stasiun berikutnya Bellbarrow, pintu sebelah kanan akan terbuka” Suara announcer membuyarkan lamunan Freya. Ia melihat ke luar jendela dan melihat bahwa kereta su
"Mau apa lagi kamu?" tanya Freya, suaranya terdengar dingin. Apartemen Freya terasa seperti penjara yang penuh dengan keputusasaan. Saat dia menjawab panggilan Marcus, ia merasa seperti sedang dikurung dalam kenangan yang menyakitkan. Udara terasa pekat dengan kata-kata yang tak terucap, dan dia menguatkan diri untuk percakapan yang tengah berlangsung. Marcus: "Freya, kita perlu bicara. Aku pikir tidak ada gunanya membuat masalah menjadi serumit ini." Freya: "Rumit? Marcus, kamu telah menjalani kehidupan ganda. Jangan mencoba menutup-nutupinya." Marcus: "Freya, please. Aku tidak pernah ingin membuatmu terluka. Kamu harus mengerti, keadaan terjadi diluar kendali." Rahang Freya mengencang. "Di luar kendali? Kenapa bisa sampai di luar kendali, hah? Kamu udah gak mampu berpikir lagi kah sampai bisa terjebak di keadaan seperti ini?” “Bagaimana dengan kita, Marcus? Bagaimana dengan kehidupan yang telah kita bangun bersama?" sambung Freya. Marcus: "Aku tahu aku salah, Freya, tapi aku
Apartemen Freya adalah tempat yang nyaman dan tenang. Dindingnya berwarna putih bersih, dengan furnitur kayu yang sederhana. Di sudut ruangan, terdapat sebuah sofa berwarna biru muda yang menjadi tempat favorit Freya untuk bersantai.Malam itu, Freya duduk di sofa, menatap keluar jendela nya dengan tatapan kosong. Pakaian yang dikenakan Freya sejak ia izin pulang cepat dari kantor nampak kusut dan kotor, ia tidak peduli dengan penampilannya usai menangis selama berjam-jam.Freya masih memikirkan percakapannya dengan Marcus. Kata-kata itu masih terngiang di telinganya, seperti sebuah mantra yang menyakitkan."Aku tidak pernah ingin menyakitimu," kata Marcus.Freya juga memikirkan permintaan Marcus untuk berbaikan. Ia ingin sekali mempercayainya, tetapi ia tidak yakin bisa melakukannya."Aku tidak yakin aku bisa memaafkanmu," gumam Freya.Freya tahu bahwa Marcus menyesal atas apa yang telah terjadi. Tetapi ia juga tahu bahwa penyesalan tidak akan bisa mengembalikan apa yang telah hilan
Mata Freya terbelalak saat ia menelusuri artikel, laporan, dan investigasi yang merinci praktik-praktik yang mencurigakan dari perusahaan Marcus. "Pantas saja dia sangat ingin segera memperbaiki keadaan. Dia sedang melakukan permainan yang berbahaya." pikir Freya Perusahaan investigasi swasta tersebut telah menemukan jejak dugaan penipuan, penggelapan dan kegiatan curang yang terjalin dalam struktur kerajaan keuangan Marcus. Freya menatap layar laptopnya dengan penuh perhatian. Di hadapannya, tersaji dokumen-dokumen hasil investigasi perusahaan swasta. Dokumen-dokumen itu berisi bukti-bukti yang sangat kuat tentang dugaan penipuan, penggelapan, dan kegiatan curang yang dilakukan oleh Marcus. Freya merasa terkejut dan marah. Ia tidak menyangka bahwa Marcus, pebisnis sukses yang selama ini ia kagumi, ternyata terlibat dalam hal-hal yang ilegal. Sangat jauh berbeda dengan pebisnis sukses yang selama ini Freya kagumi. Freya menghela napas dengan berat. Ia merasa seperti dunianya te
Siang hari berubah menjadi malam saat Freya membenamkan dirinya dalam labirin dunia rahasia Marcus. Pesan-pesan berkode dan tulisan-tulisan terenkripsi menyita perhatiannya, menariknya lebih dalam ke dalam lingkaran penuh tipu daya. Dalam upayanya mencari keadilan, dia secara tidak sengaja telah menjadi seorang detektif, menyingkap lapisan-lapisan jaringan dugaan kriminal.Kenyataan menghantam kesadarannya ketika dia melirik jam dan menyadari bahwa dia telah mengurung diri di apartemennya selama berhari-hari. Pencahayaan yang redup di kamarnya dan udara yang pengap menjadi pengingat akan isolasi yang ia rasakan. Pandangan Freya tertuju pada cermin besar yang menempel pada dinding. Cermin itu memantulkan penampilannya yang acak-acakan. Ia masih mengenakan pakaian kerja yang terakhir kali ia menginjakkan kaki di kantor redaksi.Freya tertegun melihat penampilannya di cermin. Ia tampak seperti orang asing. Wajahnya pucat dan matanya merah, tanda bahwa ia telah mengalami banyak tekana
Harapan Freya untuk mengungkap kebenaran tertunda ketika sosok yang tidak asing muncul di ambang pintu kantornya. Freya mendongak dari layar komputernya dan melihat Adrian Kingsley, teman SMA-nya yang kini berubah. Sosok Adrian yang gempal berubah menjadi pria tinggi dan tegap, dengan bahu yang lebar dan otot-otot yang terbentuk. Namun sorot matanya yang teduh dan alisnya yang lebat tidak berubah. Rasa terkejut dan penasaran muncul di matanya saat ia menyapanya. "Adrian? Apa yang membawamu ke sini?" tanya Freya. Freya sontak berdiri di belakang mejanya, menatap Adrian dengan heran. Ia tidak menyangka bahwa Adrian akan datang mengunjunginya. Ekspresi Adrian adalah perpaduan antara kekhawatiran dan kehati-hatian saat dia melangkah masuk ke kantornya, menutup pintu di belakangnya. Adrian berjalan ke arah Freya, wajahnya menunjukkan keseriusan. Ia tahu bahwa ia harus menjelaskan situasinya kepada Freya, tetapi ia tidak tahu bagaimana ia harus memulainya. "Freya, boleh aku minta wa
Sandra, pemimpin redaksi Freya, memasuki ruangan dengan setumpuk kertas di tangannya. Ia tampak sibuk dan terburu-buru. "Freya, aku butuh laporan-laporan itu di meja kerja sebelum tengah hari. Para investor akan datang untuk rapat," ujar Sandra. Freya melirik Adrian, yang duduk di kursi di depannya. Ia merasa ragu-ragu untuk melanjutkan percakapan mereka, karena ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. "Aku akan segera melakukannya, Sandra," ujar Freya. Sandra mengangguk, lalu pergi meninggalkan ruangan. Setelah Sandra pergi, Adrian menatap Freya dengan ekspresi serius. Ia tahu bahwa Freya harus fokus pada pekerjaannya, tetapi ia juga ingin melanjutkan percakapan mereka. "Aku mengerti bahwa kau harus menyelesaikan pekerjaanmu," tutur Adrian. "Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini untukmu jika kau membutuhkanku." Freya tersenyum tipis. "Terima kasih, Adrian." Freya lalu berdiri dari kursinya dan mulai mengerjakan laporan-laporan yang diberikan Sandra. Adrian masih du
Seketika ruangan menjadi terasa hening, Freya duduk di ujung mejanya, menatap kosong ke depan. Pikirannya berkecamuk, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Kerumitan situasinya sangat membebani dirinya, dia mondar-mandir di ruangan kantornya, keinginan untuk mendapatkan keadilan bertarung dengan bahaya yang mengancam. Freya ingin melakukan sesuatu, tapi dia takut. Dia takut akan bahaya yang mengancamnya jika dia mengekspos Marcus. Dia juga takut akan konsekuensinya jika ia membiarkan dugaan tindak kriminal Marcus berlanjut. "Adrian, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," katanya, berhenti di depan Adrian yang berdiri di ambang pintu. "Aku ingin Marcus membayar perbuatannya, tapi aku tidak bisa mengabaikan bahayanya. Mengekspos Marcus terasa seperti berjalan di atas seutas tali."