Ruang redaksi yang bising dipenuhi dengan energi berbagai kabar yang menunggu untuk disampaikan pada publik.
Komputer yang menyala dan mengeluarkan dengung, bunyi ketukan keyboard dengan ritme cepat hingga suara telepon berdering tanpa henti.Para reporter sibuk menelpon sumber, menulis artikel, dan mengedit video. Suasananya penuh dengan semangat.Setelah lulus dari bangku perkuliahan 5 tahun lalu, Freya mendedikasikan hidupnya dalam dunia jurnalisme.Ia duduk di mejanya yang berantakan, dikelilingi oleh tumpukan kertas dan layar komputer dengan cahaya yang redup.Freya sedang mengerjakan artikel tentang korupsi di pemerintahan daerah. Sudah berminggu-minggu ia habiskan untuk menyelidiki kasus ini.Dia tahu bahwa artikel ini penting, jadi dia bersemangat untuk segera membagikannya dengan publik.Freya percaya bahwa masyarakat berhak untuk mengetahui kebenaran tentang apa yang terjadi di pemerintahan merekaKetika gadis itu yang sedang mendalami materi terbarunya, pop-up notifikasi kotak masuk email pada layar komputer mengganggu ritme kerjanya.Dengan asumsi bahwa itu adalah petunjuk lain untuk berita yang akan datang, ia segera membuka kotak masuknya, tetapi malah menemukan berita yang tidak terduga.Baris subjeknya berbunyi "Breaking News" yang dikirimkan dari pengguna bernama Marcus Wilder."Marcus? Kenapa dia harus repot-repot mengirim email? Dia kan bisa langsung chat aku" batin Freya.Naluri jurnalistiknya langsung bereaksi, dan ia membuka email tersebut dengan harapan menemukan petunjuk penting. Namun, yang ia temukan adalah kabar yang menyesakkan dada.Email yang berisi screenshot pesan antara Marcus dan seorang wanita lain, yang mengungkapkan hubungan rahasia yang penuh dengan rayuan dan janji manis.Tangan Freya gemetar saat dia menelusuri bukti-bukti lainnya. Dinding-dinding kemampuan investigasinya runtuh, meninggalkan rasa sakit yang begitu dalam.Freya mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa itu semua hanya kesalahpahaman, tetapi bukti yang ada malah semakin menguatkan keyakinannya bahwa Marcus telah mengkhianatinya."Mereka pergi berlibur bersama?!" pekik Freya saat menemukan foto Marcus dan wanita lain.Tak kuasa menahan badai emosi, Freya bangkit dari kursinya, meninggalkan hiruk-pikuk ruang redaksi di belakangnya.Freya bergegas mencari ketenangan di ruang meeting terdekat, ia merebahkan diri di kursi, air mata mengalir deras di pipinya.Beban pengkhianatan seolah menekan dadanya, ia meraih ponsel yang ada di dalam saku celananya. Jari-jari Freya bergetar memanggil nomor Marcus dengan perasaan campur aduk antara marah dan tidak percaya.Setiap dering terasa sangat panjang sampai Marcus menjawab, suaranya bergema di sepanjang telepon.Freya: "Marcus, kita perlu bicara. Sekarang."Freya berbicara dengan suara yang bergetar.Marcus: "Ada apa? Aku lagi sibuk"Freya: "Kamu lagi sibuk? Aku juga, Marcus, dan ini sangat penting. Bisa jelaskan apa maksud dari pesan yang dikirimkan ke email ku?"Marcus: "Freya, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Ada penjelasannya."Marcus terdengar gugup.Freya: "Aku seorang wartawan, Mark! Aku berurusan dengan penjelasan untuk mencari nafkah. Sebaiknya kamu punya alasan yang bagus."Klik.Freya tidak sanggup berbicara lama-lama dengan Marcus dan langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia membenamkan wajahnya di antara lengannya diatas meja, saat ini masalah pribadinya mengganggu profesionalismenya dalam dunia kerja.Sebuah berita utama tentang kehidupan pribadinya yang tidak pernah ia duga, terkuak di dalam ruang redaksi yang ramai.Cahaya yang menyilaukan dari layar komputer memantul pada kedua bola mata Freya yang tampak lelah. Freya harus menyipitkan matanya untuk bisa melihat keyboard. Tatapannya kosong dan tidak fokus. Ketukan keyboard yang berirama sangat kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Freya merasa seperti akan tenggelam dalam lautan emosi yang begitu kuat. Dia merasakan kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan. Bukti-bukti pengkhianatan Marcus yang begitu kuat terus membayangi pikirannya. Freya tidak bisa melupakannya. Seperti hantu yang terus membayanginya, hingga dia merasa seperti tidak bisa lagi hidup dengan tenang Naluri jurnalistiknya yang biasanya tajam terasa tumpul, dan ia mendapati dirinya menatap layar dengan tatapan kosong, tersesat dalam lautan emosi. “Kenapa dia tega melakukan hal ini?” Freya melempar pertanyaan retoris pada dirinya sendiri yang saat ini merasa kalut. Rasa marah, kecewa dan kebingungan terjalin dalam sebuah simpul yang semakin mengencang setiap saat
Gerbong kereta bawah tanah melesat dan berguncang di sepanjang rel, setiap goncangan membangkitkan gejolak dalam diri Freya. Freya duduk di salah satu sudut gerbong, bersandar di dinding. Ia menutup mata dan mencoba untuk menenangkan diri, tetapi setiap goncangan kereta hanya membuat pikirannya semakin kacau. Ia merasa sendirian dan terisolasi di tengah keramaian. Seperti orang asing di dunia ini yang penuh sesak ini. Freya membuka mata dan menatap ke luar jendela Kedua matanya mengamati dengan seksama terowongan yang telah dilalui. Ia melihat terowongan yang gelap dan berkelok-kelok. "Rasanya seperti sedang berada di dalam mimpi buruk" pikir Freya. Ia membayangkan diri sendiri berjalan sendirian di terowongan yang gelap itu. Tidak tahu kemana ia harus pergi. Yang gadis itu tahu bahwa saat ini ia harus terus berjalan. “Stasiun berikutnya Bellbarrow, pintu sebelah kanan akan terbuka” Suara announcer membuyarkan lamunan Freya. Ia melihat ke luar jendela dan melihat bahwa kereta su
"Mau apa lagi kamu?" tanya Freya, suaranya terdengar dingin. Apartemen Freya terasa seperti penjara yang penuh dengan keputusasaan. Saat dia menjawab panggilan Marcus, ia merasa seperti sedang dikurung dalam kenangan yang menyakitkan. Udara terasa pekat dengan kata-kata yang tak terucap, dan dia menguatkan diri untuk percakapan yang tengah berlangsung. Marcus: "Freya, kita perlu bicara. Aku pikir tidak ada gunanya membuat masalah menjadi serumit ini." Freya: "Rumit? Marcus, kamu telah menjalani kehidupan ganda. Jangan mencoba menutup-nutupinya." Marcus: "Freya, please. Aku tidak pernah ingin membuatmu terluka. Kamu harus mengerti, keadaan terjadi diluar kendali." Rahang Freya mengencang. "Di luar kendali? Kenapa bisa sampai di luar kendali, hah? Kamu udah gak mampu berpikir lagi kah sampai bisa terjebak di keadaan seperti ini?” “Bagaimana dengan kita, Marcus? Bagaimana dengan kehidupan yang telah kita bangun bersama?" sambung Freya. Marcus: "Aku tahu aku salah, Freya, tapi aku
Apartemen Freya adalah tempat yang nyaman dan tenang. Dindingnya berwarna putih bersih, dengan furnitur kayu yang sederhana. Di sudut ruangan, terdapat sebuah sofa berwarna biru muda yang menjadi tempat favorit Freya untuk bersantai.Malam itu, Freya duduk di sofa, menatap keluar jendela nya dengan tatapan kosong. Pakaian yang dikenakan Freya sejak ia izin pulang cepat dari kantor nampak kusut dan kotor, ia tidak peduli dengan penampilannya usai menangis selama berjam-jam.Freya masih memikirkan percakapannya dengan Marcus. Kata-kata itu masih terngiang di telinganya, seperti sebuah mantra yang menyakitkan."Aku tidak pernah ingin menyakitimu," kata Marcus.Freya juga memikirkan permintaan Marcus untuk berbaikan. Ia ingin sekali mempercayainya, tetapi ia tidak yakin bisa melakukannya."Aku tidak yakin aku bisa memaafkanmu," gumam Freya.Freya tahu bahwa Marcus menyesal atas apa yang telah terjadi. Tetapi ia juga tahu bahwa penyesalan tidak akan bisa mengembalikan apa yang telah hilan
Mata Freya terbelalak saat ia menelusuri artikel, laporan, dan investigasi yang merinci praktik-praktik yang mencurigakan dari perusahaan Marcus. "Pantas saja dia sangat ingin segera memperbaiki keadaan. Dia sedang melakukan permainan yang berbahaya." pikir Freya Perusahaan investigasi swasta tersebut telah menemukan jejak dugaan penipuan, penggelapan dan kegiatan curang yang terjalin dalam struktur kerajaan keuangan Marcus. Freya menatap layar laptopnya dengan penuh perhatian. Di hadapannya, tersaji dokumen-dokumen hasil investigasi perusahaan swasta. Dokumen-dokumen itu berisi bukti-bukti yang sangat kuat tentang dugaan penipuan, penggelapan, dan kegiatan curang yang dilakukan oleh Marcus. Freya merasa terkejut dan marah. Ia tidak menyangka bahwa Marcus, pebisnis sukses yang selama ini ia kagumi, ternyata terlibat dalam hal-hal yang ilegal. Sangat jauh berbeda dengan pebisnis sukses yang selama ini Freya kagumi. Freya menghela napas dengan berat. Ia merasa seperti dunianya te
Siang hari berubah menjadi malam saat Freya membenamkan dirinya dalam labirin dunia rahasia Marcus. Pesan-pesan berkode dan tulisan-tulisan terenkripsi menyita perhatiannya, menariknya lebih dalam ke dalam lingkaran penuh tipu daya. Dalam upayanya mencari keadilan, dia secara tidak sengaja telah menjadi seorang detektif, menyingkap lapisan-lapisan jaringan dugaan kriminal.Kenyataan menghantam kesadarannya ketika dia melirik jam dan menyadari bahwa dia telah mengurung diri di apartemennya selama berhari-hari. Pencahayaan yang redup di kamarnya dan udara yang pengap menjadi pengingat akan isolasi yang ia rasakan. Pandangan Freya tertuju pada cermin besar yang menempel pada dinding. Cermin itu memantulkan penampilannya yang acak-acakan. Ia masih mengenakan pakaian kerja yang terakhir kali ia menginjakkan kaki di kantor redaksi.Freya tertegun melihat penampilannya di cermin. Ia tampak seperti orang asing. Wajahnya pucat dan matanya merah, tanda bahwa ia telah mengalami banyak tekana
Harapan Freya untuk mengungkap kebenaran tertunda ketika sosok yang tidak asing muncul di ambang pintu kantornya. Freya mendongak dari layar komputernya dan melihat Adrian Kingsley, teman SMA-nya yang kini berubah. Sosok Adrian yang gempal berubah menjadi pria tinggi dan tegap, dengan bahu yang lebar dan otot-otot yang terbentuk. Namun sorot matanya yang teduh dan alisnya yang lebat tidak berubah. Rasa terkejut dan penasaran muncul di matanya saat ia menyapanya. "Adrian? Apa yang membawamu ke sini?" tanya Freya. Freya sontak berdiri di belakang mejanya, menatap Adrian dengan heran. Ia tidak menyangka bahwa Adrian akan datang mengunjunginya. Ekspresi Adrian adalah perpaduan antara kekhawatiran dan kehati-hatian saat dia melangkah masuk ke kantornya, menutup pintu di belakangnya. Adrian berjalan ke arah Freya, wajahnya menunjukkan keseriusan. Ia tahu bahwa ia harus menjelaskan situasinya kepada Freya, tetapi ia tidak tahu bagaimana ia harus memulainya. "Freya, boleh aku minta wa
Sandra, pemimpin redaksi Freya, memasuki ruangan dengan setumpuk kertas di tangannya. Ia tampak sibuk dan terburu-buru. "Freya, aku butuh laporan-laporan itu di meja kerja sebelum tengah hari. Para investor akan datang untuk rapat," ujar Sandra. Freya melirik Adrian, yang duduk di kursi di depannya. Ia merasa ragu-ragu untuk melanjutkan percakapan mereka, karena ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. "Aku akan segera melakukannya, Sandra," ujar Freya. Sandra mengangguk, lalu pergi meninggalkan ruangan. Setelah Sandra pergi, Adrian menatap Freya dengan ekspresi serius. Ia tahu bahwa Freya harus fokus pada pekerjaannya, tetapi ia juga ingin melanjutkan percakapan mereka. "Aku mengerti bahwa kau harus menyelesaikan pekerjaanmu," tutur Adrian. "Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini untukmu jika kau membutuhkanku." Freya tersenyum tipis. "Terima kasih, Adrian." Freya lalu berdiri dari kursinya dan mulai mengerjakan laporan-laporan yang diberikan Sandra. Adrian masih du