Gerbong kereta bawah tanah melesat dan berguncang di sepanjang rel, setiap goncangan membangkitkan gejolak dalam diri Freya.
Freya duduk di salah satu sudut gerbong, bersandar di dinding. Ia menutup mata dan mencoba untuk menenangkan diri, tetapi setiap goncangan kereta hanya membuat pikirannya semakin kacau.
Ia merasa sendirian dan terisolasi di tengah keramaian. Seperti orang asing di dunia ini yang penuh sesak ini. Freya membuka mata dan menatap ke luar jendela
Kedua matanya mengamati dengan seksama terowongan yang telah dilalui. Ia melihat terowongan yang gelap dan berkelok-kelok. "Rasanya seperti sedang berada di dalam mimpi buruk" pikir Freya.
Ia membayangkan diri sendiri berjalan sendirian di terowongan yang gelap itu. Tidak tahu kemana ia harus pergi. Yang gadis itu tahu bahwa saat ini ia harus terus berjalan.
“Stasiun berikutnya Bellbarrow, pintu sebelah kanan akan terbuka”
Suara announcer membuyarkan lamunan Freya. Ia melihat ke luar jendela dan melihat bahwa kereta sudah mendekati stasiun.
Freya berdiri dan meraih tasnya. Ia siap untuk turun dari kereta dan menghadapi dunia nyata.
Saat kereta berhenti di stasiunnya, ia melangkah keluar ke peron.
Angin dingin yang menerpa wajahnya terasa seperti tamparan keras yang menyadarkannya akan kenyataan pahit yang baru saja dialaminya.
Ia mulai merasakan kesedihan dan rasa kecewa menyelimutinya kembali."Ah dadaku terasa sesak!" batin Freya.
Nafasnya mulai terasa berat saat ia berjalan menyusuri tangga stasiun, seolah paru-parunya sedang dihimpit oleh dua dinding besar.
Freya berusaha menaiki tangga dengan nafas yang terengah-engah, melewati labirin terowongan yang mengarah ke pintu keluar, bunyi ketukan sepatu haknya yang teratur menjadi irama bagi badai emosi di dalam dirinya.
Sesampainya di gedung apartemennya, Freya menaiki lift menuju lantai 27 dengan langkah yang mulai tidak beraturan, seolah-olah tubuhnya sedang dirasuki oleh kekuatan lain.
Sesampainya di depan pintu kamarnya, ia menempelkan akses dan menarik gagang pintu.
Pintu kamarnya berayun terbuka ke sebuah ruang yang dulunya terasa seperti surga. Sekarang, tempat itu tampak seperti medan perang di mana emosinya berkecamuk.
Freya melepas sepatunya dengan kasar, seolah-olah ingin melepaskan segala beban yang ada di tubuhnya. Ia berjalan melewati ruang tamu dengan langkah yang tidak beraturan, seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa seperti berada di sebuah dunia yang asing, dan tidak lagi mengenali dirinya sendiri.
Freya menjatuhkan badannya dan duduk di sofa, wajahnya dibenamkan pada kedua telapak tangannya. Ia mulai menangis dengan keras, meluapkan segala emosi yang selama ini dipendamnya sejak di kantor.
Air matanya mulai berhenti mengalir, Freya mengangkat kepalanya dan menatap kosong ke depan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun ia bertekad untuk menghadapinya. Ia tidak akan membiarkan kenyataan pahit ini menghancurkannya.
Warna-warna furniture yang senada dan cahaya lampu yang lembut terasa seperti penghinaan bagi emosinya yang sedang meluap.
Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, beban hari itu terasa begitu berat, seolah-olah akan membuatnya runtuh.
Dengan rasa frustasi yang tiba-tiba meledak, Freya menarik mantelnya lalu melemparkannya ke sofa.
Freya berdiri di tengah ruang tamunya, memandangi mantelnya yang tergeletak di sofa. Ia merasa seperti ingin menghancurkannya, seolah-olah itu adalah penyebab semua masalahnya.
Kemarahan yang telah mendidih dari dasar kini meluap, dan ia mendapati dirinya melempar mantelnya kembali dengan sekuat tenaga.
Mantel itu melayang di udara, lalu jatuh ke lantai dengan suara berdebum. Freya menatapnya dengan puas, seolah-olah telah menyelesaikan sesuatu.
Freya berjalan ke arah kamar tidurnya. Ruangan yang dulunya terasa seperti surga, kini tampak seperti neraka baginya.
Rasa frustrasinya belum sepenuhnya hilang. Ia masih merasa marah dan kesal, seolah-olah ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya.
Rasanya luapan emosi dalam dada Freya mulai meluap lagi, gadis itu langsung ambruk di tempat tidur. Kasur empuk menahan beban berat badannya, memberikan jeda sejenak dari kenyataan pahit yang dihadapinya.
Freya menarik lututnya mendekat ke dada dan meringkuk di tempat tidur, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut yang tebal. Ia mulai menangis tersedu-sedu lagi, melepaskan segala emosi yang selama ini dipendamnya sejak kejadian tadi.
Bantal-bantal diatas kasurnya meredam tangisannya yang tersedu-sedu ketika ia bergulat dengan rasa sakit akibat pengkhianatan dan hancurnya cinta yang ia kira akan bertahan selamanya.
Freya merasa seperti dunianya telah runtuh. Ia merasa seperti telah dikhianati dan ditinggalkan. Ia merasa seperti tidak ada lagi yang bisa dipercaya.
Di dalam ruangan apartemennya, Freya menyerah pada kerentanan yang ada di balik penampilan luarnya yang profesional. Gelombang emosi meradang, meninggalkannya terkuras dan hampa.
Freya berbaring di tempat tidur selama berjam-jam, membiarkan emosinya mengalir. Ia tidak tahu berapa lama ia akan menangis, namun akhirnya ia merasa lega.
Saat tangisnya mulai mereda, ponselnya tiba-tiba berdengung di atas lemari.
"Sial, aku lupa menyalakan mode pesawat!" umpat Freya. Ia benci diganggu disaat ia ingin sendiri saja dengan pikirannya.
Dengan menghela napas berat, ia meraihnya, jari-jarinya mengusap layar dan melihat nama Marcus berkedip dalam huruf tebal.
Dering itu menggema di seluruh ruangan, dan untuk sesaat, Freya ragu-ragu. Kemudian, dengan menarik napas panjang, ia menjawab "Mau apa lagi kamu?"
Suara Marcus, yang dulunya merupakan sumber kenyamanan, kini terasa menggantung di udara, menjadi pengingat yang menghantui akan kenyataan pahit yang dihadapi Freya.
"Mau apa lagi kamu?" tanya Freya, suaranya terdengar dingin. Apartemen Freya terasa seperti penjara yang penuh dengan keputusasaan. Saat dia menjawab panggilan Marcus, ia merasa seperti sedang dikurung dalam kenangan yang menyakitkan. Udara terasa pekat dengan kata-kata yang tak terucap, dan dia menguatkan diri untuk percakapan yang tengah berlangsung. Marcus: "Freya, kita perlu bicara. Aku pikir tidak ada gunanya membuat masalah menjadi serumit ini." Freya: "Rumit? Marcus, kamu telah menjalani kehidupan ganda. Jangan mencoba menutup-nutupinya." Marcus: "Freya, please. Aku tidak pernah ingin membuatmu terluka. Kamu harus mengerti, keadaan terjadi diluar kendali." Rahang Freya mengencang. "Di luar kendali? Kenapa bisa sampai di luar kendali, hah? Kamu udah gak mampu berpikir lagi kah sampai bisa terjebak di keadaan seperti ini?” “Bagaimana dengan kita, Marcus? Bagaimana dengan kehidupan yang telah kita bangun bersama?" sambung Freya. Marcus: "Aku tahu aku salah, Freya, tapi aku
Apartemen Freya adalah tempat yang nyaman dan tenang. Dindingnya berwarna putih bersih, dengan furnitur kayu yang sederhana. Di sudut ruangan, terdapat sebuah sofa berwarna biru muda yang menjadi tempat favorit Freya untuk bersantai.Malam itu, Freya duduk di sofa, menatap keluar jendela nya dengan tatapan kosong. Pakaian yang dikenakan Freya sejak ia izin pulang cepat dari kantor nampak kusut dan kotor, ia tidak peduli dengan penampilannya usai menangis selama berjam-jam.Freya masih memikirkan percakapannya dengan Marcus. Kata-kata itu masih terngiang di telinganya, seperti sebuah mantra yang menyakitkan."Aku tidak pernah ingin menyakitimu," kata Marcus.Freya juga memikirkan permintaan Marcus untuk berbaikan. Ia ingin sekali mempercayainya, tetapi ia tidak yakin bisa melakukannya."Aku tidak yakin aku bisa memaafkanmu," gumam Freya.Freya tahu bahwa Marcus menyesal atas apa yang telah terjadi. Tetapi ia juga tahu bahwa penyesalan tidak akan bisa mengembalikan apa yang telah hilan
Mata Freya terbelalak saat ia menelusuri artikel, laporan, dan investigasi yang merinci praktik-praktik yang mencurigakan dari perusahaan Marcus. "Pantas saja dia sangat ingin segera memperbaiki keadaan. Dia sedang melakukan permainan yang berbahaya." pikir Freya Perusahaan investigasi swasta tersebut telah menemukan jejak dugaan penipuan, penggelapan dan kegiatan curang yang terjalin dalam struktur kerajaan keuangan Marcus. Freya menatap layar laptopnya dengan penuh perhatian. Di hadapannya, tersaji dokumen-dokumen hasil investigasi perusahaan swasta. Dokumen-dokumen itu berisi bukti-bukti yang sangat kuat tentang dugaan penipuan, penggelapan, dan kegiatan curang yang dilakukan oleh Marcus. Freya merasa terkejut dan marah. Ia tidak menyangka bahwa Marcus, pebisnis sukses yang selama ini ia kagumi, ternyata terlibat dalam hal-hal yang ilegal. Sangat jauh berbeda dengan pebisnis sukses yang selama ini Freya kagumi. Freya menghela napas dengan berat. Ia merasa seperti dunianya te
Siang hari berubah menjadi malam saat Freya membenamkan dirinya dalam labirin dunia rahasia Marcus. Pesan-pesan berkode dan tulisan-tulisan terenkripsi menyita perhatiannya, menariknya lebih dalam ke dalam lingkaran penuh tipu daya. Dalam upayanya mencari keadilan, dia secara tidak sengaja telah menjadi seorang detektif, menyingkap lapisan-lapisan jaringan dugaan kriminal.Kenyataan menghantam kesadarannya ketika dia melirik jam dan menyadari bahwa dia telah mengurung diri di apartemennya selama berhari-hari. Pencahayaan yang redup di kamarnya dan udara yang pengap menjadi pengingat akan isolasi yang ia rasakan. Pandangan Freya tertuju pada cermin besar yang menempel pada dinding. Cermin itu memantulkan penampilannya yang acak-acakan. Ia masih mengenakan pakaian kerja yang terakhir kali ia menginjakkan kaki di kantor redaksi.Freya tertegun melihat penampilannya di cermin. Ia tampak seperti orang asing. Wajahnya pucat dan matanya merah, tanda bahwa ia telah mengalami banyak tekana
Harapan Freya untuk mengungkap kebenaran tertunda ketika sosok yang tidak asing muncul di ambang pintu kantornya. Freya mendongak dari layar komputernya dan melihat Adrian Kingsley, teman SMA-nya yang kini berubah. Sosok Adrian yang gempal berubah menjadi pria tinggi dan tegap, dengan bahu yang lebar dan otot-otot yang terbentuk. Namun sorot matanya yang teduh dan alisnya yang lebat tidak berubah. Rasa terkejut dan penasaran muncul di matanya saat ia menyapanya. "Adrian? Apa yang membawamu ke sini?" tanya Freya. Freya sontak berdiri di belakang mejanya, menatap Adrian dengan heran. Ia tidak menyangka bahwa Adrian akan datang mengunjunginya. Ekspresi Adrian adalah perpaduan antara kekhawatiran dan kehati-hatian saat dia melangkah masuk ke kantornya, menutup pintu di belakangnya. Adrian berjalan ke arah Freya, wajahnya menunjukkan keseriusan. Ia tahu bahwa ia harus menjelaskan situasinya kepada Freya, tetapi ia tidak tahu bagaimana ia harus memulainya. "Freya, boleh aku minta wa
Sandra, pemimpin redaksi Freya, memasuki ruangan dengan setumpuk kertas di tangannya. Ia tampak sibuk dan terburu-buru. "Freya, aku butuh laporan-laporan itu di meja kerja sebelum tengah hari. Para investor akan datang untuk rapat," ujar Sandra. Freya melirik Adrian, yang duduk di kursi di depannya. Ia merasa ragu-ragu untuk melanjutkan percakapan mereka, karena ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. "Aku akan segera melakukannya, Sandra," ujar Freya. Sandra mengangguk, lalu pergi meninggalkan ruangan. Setelah Sandra pergi, Adrian menatap Freya dengan ekspresi serius. Ia tahu bahwa Freya harus fokus pada pekerjaannya, tetapi ia juga ingin melanjutkan percakapan mereka. "Aku mengerti bahwa kau harus menyelesaikan pekerjaanmu," tutur Adrian. "Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini untukmu jika kau membutuhkanku." Freya tersenyum tipis. "Terima kasih, Adrian." Freya lalu berdiri dari kursinya dan mulai mengerjakan laporan-laporan yang diberikan Sandra. Adrian masih du
Seketika ruangan menjadi terasa hening, Freya duduk di ujung mejanya, menatap kosong ke depan. Pikirannya berkecamuk, mencoba memahami apa yang telah terjadi. Kerumitan situasinya sangat membebani dirinya, dia mondar-mandir di ruangan kantornya, keinginan untuk mendapatkan keadilan bertarung dengan bahaya yang mengancam. Freya ingin melakukan sesuatu, tapi dia takut. Dia takut akan bahaya yang mengancamnya jika dia mengekspos Marcus. Dia juga takut akan konsekuensinya jika ia membiarkan dugaan tindak kriminal Marcus berlanjut. "Adrian, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," katanya, berhenti di depan Adrian yang berdiri di ambang pintu. "Aku ingin Marcus membayar perbuatannya, tapi aku tidak bisa mengabaikan bahayanya. Mengekspos Marcus terasa seperti berjalan di atas seutas tali."
Laboratorium biologi SMA Grapevine dipenuhi dengan suara-suara remaja yang sedang berdiskusi dan gemerincing alat uji lab. Aroma khas dari hewan mati masih tercium, bercampur dengan bau kertas dan tinta. Meja-meja yang sudah usang penuh dengan coretan, tanda-tanda dari semangat remaja yang menggebu-gebu. Di depan ruangan, papan tulis penuh dengan gambar-gambar anatomi tubuh yang menakjubkan. Miss Andrew, guru biologi yang penuh semangat, bercerita tentang sel dan gen. Gambar-gambar yang diproyeksikan di layar membuat para siswa terpana, seolah-olah mereka baru saja melihat rahasia kehidupan. Ruang kelas menjadi tempat para siswa belajar dan bereksplorasi. Bisikan dan tawa para siswa terdengar di antara percakapan serius. Mikroskop tampak seperti gerbang menuju dunia misterius yang tersembunyi dari mata telanjang manusia. Derit bangku dan gemerisik jas lab terdengar saat para siswa belajar tentang kehidupan. Di tengah-tengah keramaian itu, Freya berjalan dengan anggun. Rambut
Mesin mengeluarkan rengekan frustrasi saat Adrian berulang kali menekan pedal gas dan memutar kunci, tetapi mobil itu tetap tidak bergerak. Dia melirik sekilas ke indikator bensin, memastikan bahwa bensinnya masih setengah penuh."Tangki bensinnya tidak kosong, jadi ada apa dengan mobil ini?" Adrian bergumam, alisnya berkerut kesal.Freya duduk di kursi penumpang, mengintip ke arahnya dengan perasaan khawatir dan tidak sabar. "Yah, kita tidak bisa membuat benda itu hidup hanya dengan menatapnya," katanya datar.Adrian menghela napas frustrasi, mengusap-usap rambutnya. "Aku tahu, aku tahu. Tapi ini hanya keberuntungan kita, bukan? Menemukan mobil di tempat antah berantah, dan ternyata tidak berfungsi," gerutunya, terdengar kecewa.Mereka memutuskan untuk meninggalkan mobil dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, memasuki hutan lebat yang membentang di depan. Udara terasa pekat dengan aroma daun-daun basah, dan gemerisik samar satwa liar menambah suasana mencekam."Aku benci be
"Adrian, kau benar-benar orang tidak tahu diuntung. Sekarang kau tidak bisa lari kemanapun! Inilah akibatnya jika kau mengkhianatiku—"Brag!Mata Adrian terbelalak, sisa-sisa mimpi buruknya masih tersisa seperti rasa pahit di mulutnya. Dadanya berdebar-debar setiap kali menarik napas, ritme yang cepat menggambarkan kekacauan mimpinya. Tempat itu terasa sesak, udara terasa berat dengan bobot rasa takutnya.Adrian terbangun dengan sisa-sisa mimpinya yang mengerikan, bayangan samar seorang pria berbadan tegap dengan suara mengerikan masih menggema di telinganya.Ia beberapa kali memeriksa wajahnya untuk memastikan bahwa yang barusan terjadi hanya mimpi buruk. Pukulan keras yang ia rasakan dalam mimpinya seolah membawa nyawanya yang melayang menubruk tubuhnya dengan keras."Adrian, bangun! Adrian—apa jkau baik-baik saja?" bisikan Freya yang mendesak menembus kabut pikirannya, tangan lembutnya menggoyangkan bahu Adrian dengan tekanan yang lembut.Adrian mengerjap, mencoba melepaskan bayang
Arus air yang deras menyelimuti mobil, menarik dan menyeretnya bagai pasukan musuh yang tak kenal lelah. Di dalam, jantung Adrian berdegup kencang dengan campuran rasa takut sekaligus teguh saat ia memeluk Freya erat-erat, tangannya menjadi perisai pelindung di sekeliling tubuh Freya yang gemetar. "Freya, pegang erat-erat," teriak Adrian di atas deru sungai, suaranya terdengar putus asa. Freya berpegangan erat pada Adrian, matanya terbelalak karena ketakutan tetapi juga ada tekad yang kuat yang tercermin dalam tatapannya. Dia mengangguk, kepercayaannya pada Adrian tidak tergoyahkan bahkan dalam menghadapi situasi yang berbahaya ini. Pikiran Adrian dipenuhi dengan berbagai kemungkinan saat dia mengamati bagian dalam mobil. Matanya tertuju pada jendela, penghalang kaca di antara mereka dan potensi keselamatan. Tanpa ragu-ragu, dia menguatkan diri dan memberikan pukulan kuat ke jendela dengan sikunya. Kaca itu awalnya memberikan perlawanan, keras kepala dan membatu. Adrian mengertakk
Saat mereka melesat menuju bangunan yang ditinggalkan, naluri Adrian tersentak oleh rasa tidak nyaman yang semakin meningkat. Nampaknya bayang-bayang malam membayang mengancam, menimbulkan keraguan akan keselamatan mereka. Freya melirik Adrian, sorot matanya menyiratkan kekhawatirannya. "Kita masih diikuti," gumam Adrian, genggaman tangannya menguat pada kemudi saat dia menelusuri jalanan yang gelap. Jantung Freya berdegup kencang, pikirannya berpacu dengan berbagai kemungkinan. "Bagaimana mereka bisa menemukan kita begitu cepat?" Pandangan Adrian beralih ke kaca spion, matanya menyipit ketika ia melihat sebuah mobil membuntuti mereka, lampu depannya seperti mata yang menyilaukan di malam hari. "Bukan hanya itu," kata Adrian dengan muram, suaranya terdengar gusar. "Ada alat pelacak di dalam mobil." ujarnya sambil melirik ke arah benda kecil yang tertempel di spion mobilnya. Mata Freya membelalak karena khawatir, menyadari betapa gawatnya situasi mereka. "Mereka mengetahui setiap
Saat sosok bayangan itu mendekati mobil Adrian, siluetnya yang mengancam tampak semakin besar, membayangi mereka seperti teror yang menakutkan. Udara menjadi pekat dengan ketegangan, setiap tarikan napas diwarnai dengan gelombang ketakutan. Jantung Adrian berdegup kencang di dalam rongga dadanya, suaranya seperti genderang yang menabuh kegelisahan di tengah keheningan malam. Tangan Freya mengencang di sekitar tangan Adrian, jari-jarinya dingin dan berkeringat dengan energi gugup. Cahaya lembut bulan memancarkan bayangan menakutkan, mempermainkan mata mereka saat sosok itu semakin mendekat. Apakah itu benar-benar makhluk yang tidak berbahaya, atau sesuatu yang lebih jahat yang bersembunyi di kegelapan? Tatapan mereka terkunci, terbelalak karena ketakutan, saat sosok itu mulai terlihat - makhluk kecil berbulu yang melesat melintasi jalan setapak yang diterangi cahaya bulan. Rasa lega membanjiri seluruh tubuh mereka. "Itu hanya tupai," seru Freya, tawanya membahana seperti lonceng di
Adrian tersentak dari tidurnya, napasnya tersengal-sengal dan terengah-engah, sisa-sisa dari mimpi buruk yang menjeratnya dalam cengkeraman. Bayangan menakutkan masih melekat di tepi kesadarannya, sebuah pengingat akan kegelapan yang menghantui mimpinya. Saat dia mengedipkan mata dari sisa-sisa tidurnya, Adrian mendapati dirinya diselimuti oleh cahaya lembut sinar bulan, dunia di sekelilingnya bermandikan pendaran cahaya yang lembut. Di sampingnya, kehadiran Freya terasa seperti mercusuar pelipur lara, sentuhannya terasa hangat di dahinya yang berkerut. Suaranyanya bagai melodi yang menenangkan di tengah kekacauan pikirannya, memecah keheningan seperti bisikan di malam hari. "Apakah semuanya baik-baik saja?" Kata-kata Freya menggantung di udara, menjadi pertanyaan lembut yang diwarnai dengan keprihatinan. Tatapannya, yang dipenuhi dengan intensitas yang tenang, mencari jejak-jejak gejolak yang mengganggu tidurnya. Tenggorokan Adrian tercekat oleh gelombang emosi, jantungnya tera
Saat Blake bergegas memacu motornya melewati jalanan yang berliku-liku, sebuah perasaan yang mendesak mendorongnya untuk terus maju. Deru mesin kendaraannya bergema di trotoar, masing-masing mendengungkan irama ritme tekad dan keputusasaan. Malam seakan-akan menutup pandangan di sekelilingnya, bayang-bayang menari-nari di ujung penglihatannya, membisikkan rahasia tentang malapetaka yang akan datang. Tiba-tiba saat ia berbelok di sebuah tikungan, jalannya berpotongan dengan tatapan marah Calypso. Mata gadis itu berkobar dengan intensitas yang membuat Blake merinding. Gadis itu berdiri diujung pertigaan jalan sambil melipat tangannya di depan dada, bagian kanan dan kiri jalan ditutup oleh deretan mobil sedan hitam dan beberapa antek-anteknya. Sebelum dia bisa bereaksi, tangan Calypso melesat, mencengkeram kerah baju Blake dengan genggaman yang kuat. Sentuhannya yang tiba-tiba membuat adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya, seluruh inderanya terpacu hingga mencapai puncaknya.
Tangan Adrian mencengkeram kemudi dengan penuh tujuan, kulit kemudi bergetar pelan di bawah tekanan tekadnya saat dia tiba-tiba membelokkan mobil ke kiri. Sebuah jalan yang bertentangan dengan petunjuk Blake, namun Adrian merasa harus mengambilnya.Suasana di dalam kendaraan menjadi semakin padat, hampir mencekik, seolah-olah kecemasan kolektif mereka telah menjelma menjadi penumpang keempat.Tatapan Freya melirik ke arahnya, memperhatikan garis keras rahangnya, garis tegas dari mulutnya yang menunjukkan komitmennya untuk melindungi. Freya merasakan tarian denyut nadinya di bawah kulitnya yang tidak menentu, sebuah simfoni kacau yang dimainkan antara kepercayaan terhadap naluri Adrian dan ketakutan akan konsekuensi yang tidak diketahui. Sisi wajah Adrian dari samping menjadi siluet diantara lampu-lampu jalan yang mereka lewati, terukir dengan intensitas yang meyakinkan sekaligus menakutkan.“Adrian, apa yang membuatmu tidak percaya pada informasi dari Blake?” tanya Freya.“Mungkin
Jantung Adrian berdegup kencang saat bibir mereka bertemu. Nafas Freya yang lembut dan hangat membelai mulutnya, membuat bulu kuduknya merinding. Dia merasakan tangan Freya menjalar ke dadanya, jari-jarinya saling bertautan, telapak tangan mereka saling menempel erat. Sentuhan itu mengirimkan percikan listrik ke seluruh nadinya, membuatnya merasa hidup dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Lidah mereka saling bertautan dalam sebuah tarian yang menari-nari, menjelajahi setiap sudut mulut satu sama lain. Gigi mereka beradu dengan lucu sebelum menarik diri, hanya untuk bertabrakan lagi, mengirimkan getaran kenikmatan di tulang belakangnya.Tangan Freya yang lain bergerak ke leher Adrian, membelit rambutnya, menariknya lebih dekat lagi. Dia mengerang pelan dalam ciuman itu, nafasnya terasa panas dan berat di bibir Adrian. Aroma parfum Freya memenuhi lubang hidungnya - aroma bunga manis yang bercampur dengan rasa asin di lidahnya, membuatnya semakin liar. Adrian meraih