Saat mereka melesat menuju bangunan yang ditinggalkan, naluri Adrian tersentak oleh rasa tidak nyaman yang semakin meningkat. Nampaknya bayang-bayang malam membayang mengancam, menimbulkan keraguan akan keselamatan mereka. Freya melirik Adrian, sorot matanya menyiratkan kekhawatirannya. "Kita masih diikuti," gumam Adrian, genggaman tangannya menguat pada kemudi saat dia menelusuri jalanan yang gelap. Jantung Freya berdegup kencang, pikirannya berpacu dengan berbagai kemungkinan. "Bagaimana mereka bisa menemukan kita begitu cepat?" Pandangan Adrian beralih ke kaca spion, matanya menyipit ketika ia melihat sebuah mobil membuntuti mereka, lampu depannya seperti mata yang menyilaukan di malam hari. "Bukan hanya itu," kata Adrian dengan muram, suaranya terdengar gusar. "Ada alat pelacak di dalam mobil." ujarnya sambil melirik ke arah benda kecil yang tertempel di spion mobilnya. Mata Freya membelalak karena khawatir, menyadari betapa gawatnya situasi mereka. "Mereka mengetahui setiap
Arus air yang deras menyelimuti mobil, menarik dan menyeretnya bagai pasukan musuh yang tak kenal lelah. Di dalam, jantung Adrian berdegup kencang dengan campuran rasa takut sekaligus teguh saat ia memeluk Freya erat-erat, tangannya menjadi perisai pelindung di sekeliling tubuh Freya yang gemetar. "Freya, pegang erat-erat," teriak Adrian di atas deru sungai, suaranya terdengar putus asa. Freya berpegangan erat pada Adrian, matanya terbelalak karena ketakutan tetapi juga ada tekad yang kuat yang tercermin dalam tatapannya. Dia mengangguk, kepercayaannya pada Adrian tidak tergoyahkan bahkan dalam menghadapi situasi yang berbahaya ini. Pikiran Adrian dipenuhi dengan berbagai kemungkinan saat dia mengamati bagian dalam mobil. Matanya tertuju pada jendela, penghalang kaca di antara mereka dan potensi keselamatan. Tanpa ragu-ragu, dia menguatkan diri dan memberikan pukulan kuat ke jendela dengan sikunya. Kaca itu awalnya memberikan perlawanan, keras kepala dan membatu. Adrian mengertakk
"Adrian, kau benar-benar orang tidak tahu diuntung. Sekarang kau tidak bisa lari kemanapun! Inilah akibatnya jika kau mengkhianatiku—"Brag!Mata Adrian terbelalak, sisa-sisa mimpi buruknya masih tersisa seperti rasa pahit di mulutnya. Dadanya berdebar-debar setiap kali menarik napas, ritme yang cepat menggambarkan kekacauan mimpinya. Tempat itu terasa sesak, udara terasa berat dengan bobot rasa takutnya.Adrian terbangun dengan sisa-sisa mimpinya yang mengerikan, bayangan samar seorang pria berbadan tegap dengan suara mengerikan masih menggema di telinganya.Ia beberapa kali memeriksa wajahnya untuk memastikan bahwa yang barusan terjadi hanya mimpi buruk. Pukulan keras yang ia rasakan dalam mimpinya seolah membawa nyawanya yang melayang menubruk tubuhnya dengan keras."Adrian, bangun! Adrian—apa jkau baik-baik saja?" bisikan Freya yang mendesak menembus kabut pikirannya, tangan lembutnya menggoyangkan bahu Adrian dengan tekanan yang lembut.Adrian mengerjap, mencoba melepaskan bayang
Mesin mengeluarkan rengekan frustrasi saat Adrian berulang kali menekan pedal gas dan memutar kunci, tetapi mobil itu tetap tidak bergerak. Dia melirik sekilas ke indikator bensin, memastikan bahwa bensinnya masih setengah penuh."Tangki bensinnya tidak kosong, jadi ada apa dengan mobil ini?" Adrian bergumam, alisnya berkerut kesal.Freya duduk di kursi penumpang, mengintip ke arahnya dengan perasaan khawatir dan tidak sabar. "Yah, kita tidak bisa membuat benda itu hidup hanya dengan menatapnya," katanya datar.Adrian menghela napas frustrasi, mengusap-usap rambutnya. "Aku tahu, aku tahu. Tapi ini hanya keberuntungan kita, bukan? Menemukan mobil di tempat antah berantah, dan ternyata tidak berfungsi," gerutunya, terdengar kecewa.Mereka memutuskan untuk meninggalkan mobil dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, memasuki hutan lebat yang membentang di depan. Udara terasa pekat dengan aroma daun-daun basah, dan gemerisik samar satwa liar menambah suasana mencekam."Aku benci be
Ruang redaksi yang bising dipenuhi dengan energi berbagai kabar yang menunggu untuk disampaikan pada publik. Komputer yang menyala dan mengeluarkan dengung, bunyi ketukan keyboard dengan ritme cepat hingga suara telepon berdering tanpa henti. Para reporter sibuk menelpon sumber, menulis artikel, dan mengedit video. Suasananya penuh dengan semangat. Setelah lulus dari bangku perkuliahan 5 tahun lalu, Freya mendedikasikan hidupnya dalam dunia jurnalisme. Ia duduk di mejanya yang berantakan, dikelilingi oleh tumpukan kertas dan layar komputer dengan cahaya yang redup. Freya sedang mengerjakan artikel tentang korupsi di pemerintahan daerah. Sudah berminggu-minggu ia habiskan untuk menyelidiki kasus ini. Dia tahu bahwa artikel ini penting, jadi dia bersemangat untuk segera membagikannya dengan publik. Freya percaya bahwa masyarakat berhak untuk mengetahui kebenaran tentang apa yang terjadi di pemerintahan mereka Ketika gadis itu yang sedang mendalami materi terbarunya, pop-up noti
Cahaya yang menyilaukan dari layar komputer memantul pada kedua bola mata Freya yang tampak lelah. Freya harus menyipitkan matanya untuk bisa melihat keyboard. Tatapannya kosong dan tidak fokus. Ketukan keyboard yang berirama sangat kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Freya merasa seperti akan tenggelam dalam lautan emosi yang begitu kuat. Dia merasakan kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan. Bukti-bukti pengkhianatan Marcus yang begitu kuat terus membayangi pikirannya. Freya tidak bisa melupakannya. Seperti hantu yang terus membayanginya, hingga dia merasa seperti tidak bisa lagi hidup dengan tenang Naluri jurnalistiknya yang biasanya tajam terasa tumpul, dan ia mendapati dirinya menatap layar dengan tatapan kosong, tersesat dalam lautan emosi. “Kenapa dia tega melakukan hal ini?” Freya melempar pertanyaan retoris pada dirinya sendiri yang saat ini merasa kalut. Rasa marah, kecewa dan kebingungan terjalin dalam sebuah simpul yang semakin mengencang setiap saat
Gerbong kereta bawah tanah melesat dan berguncang di sepanjang rel, setiap goncangan membangkitkan gejolak dalam diri Freya. Freya duduk di salah satu sudut gerbong, bersandar di dinding. Ia menutup mata dan mencoba untuk menenangkan diri, tetapi setiap goncangan kereta hanya membuat pikirannya semakin kacau. Ia merasa sendirian dan terisolasi di tengah keramaian. Seperti orang asing di dunia ini yang penuh sesak ini. Freya membuka mata dan menatap ke luar jendela Kedua matanya mengamati dengan seksama terowongan yang telah dilalui. Ia melihat terowongan yang gelap dan berkelok-kelok. "Rasanya seperti sedang berada di dalam mimpi buruk" pikir Freya. Ia membayangkan diri sendiri berjalan sendirian di terowongan yang gelap itu. Tidak tahu kemana ia harus pergi. Yang gadis itu tahu bahwa saat ini ia harus terus berjalan. “Stasiun berikutnya Bellbarrow, pintu sebelah kanan akan terbuka” Suara announcer membuyarkan lamunan Freya. Ia melihat ke luar jendela dan melihat bahwa kereta su
"Mau apa lagi kamu?" tanya Freya, suaranya terdengar dingin. Apartemen Freya terasa seperti penjara yang penuh dengan keputusasaan. Saat dia menjawab panggilan Marcus, ia merasa seperti sedang dikurung dalam kenangan yang menyakitkan. Udara terasa pekat dengan kata-kata yang tak terucap, dan dia menguatkan diri untuk percakapan yang tengah berlangsung. Marcus: "Freya, kita perlu bicara. Aku pikir tidak ada gunanya membuat masalah menjadi serumit ini." Freya: "Rumit? Marcus, kamu telah menjalani kehidupan ganda. Jangan mencoba menutup-nutupinya." Marcus: "Freya, please. Aku tidak pernah ingin membuatmu terluka. Kamu harus mengerti, keadaan terjadi diluar kendali." Rahang Freya mengencang. "Di luar kendali? Kenapa bisa sampai di luar kendali, hah? Kamu udah gak mampu berpikir lagi kah sampai bisa terjebak di keadaan seperti ini?” “Bagaimana dengan kita, Marcus? Bagaimana dengan kehidupan yang telah kita bangun bersama?" sambung Freya. Marcus: "Aku tahu aku salah, Freya, tapi aku