“Congratulation!” seru keempat kakak laki-laki Aruna sambil menyalakan conveti ke arah Aruna membuat tubuh mungil itu dihujani kertas warna-warna berukuran kecil.
Langkah Aruna yang baru saja sampai di meja sebuah restoran mewah yang terdapat di sebuah hotel berbintang lima langsung berhenti lalu diam mematung dengan ekspresi kesal menatap satu persatu kakak laki-lakinya yang jahil sementara kedua kakak ipar membantu Aruna membersihkan kertas conveti yang melekat di wajah, rambut dan pakaiannya. Sementara papi dan mami yang mengikuti Aruna dari belakang malah tergelak menertawakannya. “Udah Kak … makasih.” Aruna menghela pelan tangan Naraya-istri dari kakak pertamanya. “Sudah Kak, biarin.” Aruna kemudian menghela pelan tangan Anasera-istri dari kakak keduanya. Wajah si bungsu mengerut dengan bibir mengerucut karena kesal. “Cieee … gitu aja marah, kita ‘kan mau merayakan.” Ghazanvar-sang kakak pertama menarik tangan Aruna yang masih berdiri di samping meja makan besar yang telah dikelilingi seluruh anggota keluarga. Aruna akhirnya duduk dengan masih menunjukan ekspresi wajah ditekuk. “Pake conveti segala ah, aku ‘kan cuma naik jabatan jadi Sourching Spesialist bukan jadi Kepala Departemen Procurement.” Aruna mengibas-ngibas kertas conveti yang memenuhi pundaknya. “Jangankan naik jabatan … kamu bisa bangun pagi aja ‘kan kita rayain,” seloroh Arnawarma-sang kakak kedua membuat bibir Aruna mencebik menggemaskan. Semua tertawa tapi tidak dengan Aruna, meski begitu raut kesal Aruna telah menghilang setelah menyadari dibalik keisengan keempat kakak laki-lakinya ada sayang yang banyak untuknya. “Mbak, aku mau pesen menu paling mahal di sini,” kata Aruna kepada pelayan wanita yang baru saja datang membawa buku menu. “Baik, Kak.” Dengan senang hati sang pelayan menuliskan pesanan Aruna disusul pesanan anggota keluarga yang lain. Malam ini papi Arkana membuat pesta perayaan atas promosi Aruna. Pasalnya Aruna yang setelah lulus kuliah ditempatkan sebagai Sourching Asistant di perusahaan milik papinya sendiri dalam waktu delapan bulan saja mampu melakukan pekerjaan dengan excelent sampai atasannya yang menjabat sebagai Sourching Spesialist yang telah pensiun perhari ini memilih Aruna sebagai penggantinya. Tidak ada nepotisme dalam hal ini, Aruna benar-benar kerja keras untuk bisa mendapatkan kursi tersebut dan semua orang di perusahaan mengakuinya. Tidak seperti keempat kakak Aruna yang langsung memegang jabatan sebagai CEO di setiap perusahaan milik kakek dan papi, si bungsu malah dipekerjakan di level menengah sampai harus mati-matian untuk mendapatkan posisi level pimpinan. “Papi bangga sama kamu, sayang ….” Adalah papi Arkana yang serius dengan kalimatnya tersebut. Papi Arkana sebenarnya ingin Aruna membuka butik, coffeshop, atau menduduki jabatan Direktur Humas di Rumah Sakit milik istrinya dengan job desk ringan. Beliau tidak ingin Aruna lelah bekerja karena sesungguhnya apapun di dunia ini bisa beliau berikan untuk sang putri tercinta. Tapi Aruna bersikeras ingin bekerja di perusahaan sang papi karena sesuai dengan jurusan yang dia ambil saat kuliah. Jadilah papi Arkana menempatkan Aruna di level bawah agar menyerah namun ternyata si bungsu yang merupakan perempuan satu-satunya ini adalah perempuan tangguh seperti sang mami. “Iya donk, Arunaaaa …,” ujarnya sembari menepuk dada jumawa. Papi dan mami tertawa bangga sementara keempat kakaknya merotasi bola mata malas. “Pi, ada satu klien yang cukup potensial … tapi Zio lagi banyak proyek … yang ini Zio limpahkan ke perusahaan Papi ya.” Reyzio-kakak ketiga Aruna malah membahas bisnis. “Kalau gitu, ini proyek pertama kamu sebagai Sourching Spesialist.” Papi Arkana langsung memberikan tantangan kepada Aruna berharap sang putri menyerah. “Oke! Siapa takut.” Tapi Aruna malah menantang. “Untung ya pembagian waris diatur kalau anak laki-laki dapet yang paling besar karena kalau enggak ada aturan itu kayanya seluruh perusahaan papi dikuasai dia yang ambis,” celoteh Narashima-kakak keempat Aruna. Mami Zara langsung memberikan tatapan peringatan. “Ya iyalah, Sorry ya aku enggak kaya kalian … cowok tapi hidupnya penuh drama romantis.” Aruna meledek ingin puas membalas kejahilan kakak-kakaknya. “Hey! Jangan sesumbar, sayang … kamu belum aja mengenal cinta, jangan sampai sekalinya mengenal cinta-eeeh, drama berdarah-darah ….” Ghazanvar menimpali. “Nangis-nangis bombay,” sambung Arnawarma. “Gimana Aruna mau punya cowok kalau baru aja ada cowok yang deketin Aruna langsung kalian datengin terus diancam-ancam,” kata Aruna ketus dan mereka semua kembali tertawa. “Nanti Mami cariin yang terbaik,” kata mami Zara memberi solusi. “Enggak ah, Aruna mau cari sendiri … boleh ya Mi … Pi … Please ….” Aruna menyatukan kedua tangan di depan dada dengan tampang memelas. Bagi Aruna menikah hanya bisa dilakukan satu kali seumur hidup sesuai dengan moto keluarga Gunadhya jadi harus dengan orang yang dia cintai dan yang cintanya besar untuknya. “Memangnya ada cowok yang kamu suka?” pancing papi Arkana penasaran. “Belum ada sih, tapi sekalinya ada … Papi sama Abang Ghaza, Mas Nawa, Kak Zio, Mas Nara jangan aneh-aneh ya … enggak kasian apa sama Aruna yang ngejomblo terus belum pernah ciuman dan masih perawan ini.” “Hey!” “Shut up!” “Ow … ow … ow!” “Aruna!” Seru keempat kakaknya dengan ekspresi memperingati dan tatapan tajam sementara sang papi telah mengepalkan tangan di bawah meja mendengar celotehan Aruna karena membayangkan putrinya disentuh oleh pria asing brengsek sebelum janur kuning melengkung. Aruna dan mami serta kedua kakak ipar Aruna tertawa meningkahi sikap kelima pria yang begitu posesif kepada Aruna. *** Selama seminggu Aruna mempersiapkan segala sesuatu untuk presentasi di depan klien hari ini. Dia harus sempurna, harus bisa menaklukan tantangan papi yang selalu meremehkannya. Setidaknya itu yang Aruna rasakan karena papi selalu saja menganggapnya seperti boneka dari bahan porselen yang rapuh. Aruna datang lebih awal ke ruang meeting guna berkoordinasi dengan tim support memberikan data terbaru yang akan ditampilkan nanti karena Aruna sendiri yang akan presentasi. Tidak berselang lama para atasannya yang merupakan para pimpinan di Departemen Procurement satu persatu memasuki ruangan rapat. “Semangat Aruna!” seru pak Beny-Dephead Procurement seraya mengepalkan tangan ke udara. Aruna mengedipkan satu matanya memberitahu kalau dia begitu tenang menghadapi ini. Aruna menganut kepercayaan jika segala sesuatu harus dilakukan dengan tenang dan kepala dingin agar berjalan lancar dan mendapatkan hasil maksimal jadi Aruna berusaha keras mengumpulkan bahan presentasi terbaik agar dia percaya diri dalam menyampaikannya. Tidak berselang lama, dari kejauhan suara papi Arkana terdengar. Beliau seperti sedang mengobrol dengan seseorang yang juga memiliki suara berat. Entah kenapa semakin dekat suara itu terdengar jantung Aruna mulai menaikkan tempo debaran. Aruna menerka-nerka bagaimana paras dari suara bariton yang saat tertawa terdengar sangat seksi itu. Papi Arkana masuk lebih dulu diikuti sang klien bernama Leonhard Mikael yang mampu membuat Aruna menahan nafas dan memaku tatap padanya. Demi Tuhan, meski memiliki papi dan empat kakak laki setampan Dewa Yunani tapi saat ini tepat di depan Aruna-pria bernama Leonhard Mikael jauh lebih tampan. “Aruna … kenalkan, ini pak Leon … calon klien kita.” Suara papi Arkana menyadarkan Aruna. Sebisa mungkin Aruna menutupi segala keterpesonaannya kepada Leonhard dengan menunjukkan tampang datar. Menundukan pandangan, menyambut jabatan tangan pria itu kemudian mendongak disertai senyum tipis. “Selamat pagi Pak Leon … selamat datang di AG Group, mari kita mulai meetingnya,” sapa Aruna bersikap biasa saja. Berulang kali Aruna menarik nafas lalu mengembuskannya perlahan guna menetralkan debar jantung yang masih menggila. Dia tidak boleh terdistraksi, Aruna harus bisa membalas pesona Leonhard yang berhasil memikatnya dengan kemampuan yang dia miliki agar pria itu menandatangani kontrak bisnis sehingga mereka bisa terus bertemu. Aruna mendapat motivasi tambahan untuk melakukan presentasi, gadis itu tampak memukau saat menunjukkan bahan-bahan baku yang akan digunakan untuk membuat product yang diinginkan klien. Presentasi Aruna begitu lengkap sampai ke analisis pasar dan Market share yang tentu saja hal tersebut membuat Leonhard terpukau. Tanpa sadar para atasan Aruna bertepuk tangan usai Aruna selesai melakukan presentasi. Aruna sampai terkejut, diam-diam tersenyum bangga sambil melangkah ke kursinya. “Sepertinya saya tidak perlu mempertimbangkannya lagi … selain AG Group adalah perusahaan terbaik dalam bidang ini, saya juga baru menyaksikan presentasi yang luar biasa dan lengkap … tapi saya memiliki satu kebiasaan ….” Kalimat Leonhard menggantung. “Apa itu?” Papi Arkana bertanya. “Saya harus melihat langsung bahan baku dibuat di pabriknya dan setelah cocok baru kita akan menandatangani kontrak kemudian setelah kontrak berjalan, saya juga akan memeriksa prosesnya secara berkala.” Leonhard berujar dengan nada tegas. Papi Arkana tertawa. “Beberapa klien melakukan hal yang sama, jadi tidak masalah … Aruna akan memfasilitasinya.” Papi Arkana mengarahkan pandangan pada Aruna diikuti Leonhard. “Hem?” Aruna mendongak mengangkat kedua alisnya karena mendengar namanya dipanggil sementara dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan sang papi dengan Leonhard. “Pak Leon suka dengan presentasi kamu tapi dia harus survei langsung bahan baku ke pabrik … kamu fasilitasi ya,” kata papi Arkana membuat hati Aruna membuncah akan perasaan bahagia karena itu berarti harapannya terkabul. Dia akan betemu dan berkomunikasi secara intens dengan pria tampan yang mampu menggetarkan hatinya itu. “Siap, Pak!” Aruna menyahut sembari menganggukan sedikit kepalanya. “Yes … Yes … Yes …,” batin Aruna teriak kegirangan. Sampai detik ini, Aruna masih mengira kalau Leonhard Mikael adalah seorang pria lajang yang ambisius seperti dirinya.Mobil yang ditumpangi Leonhard sampai di rumah, dia merogoh saku celana lalu memakai cincin nikahnya setelah melihat mobil sang istri terparkir di halaman.Dia turun tepat ketika mobil mewah itu berhenti lalu melangkah gontai masuk ke dalam rumah.Kepala asisten rumah tangga membukakan pintu.“Nyonya ada di ruang makan menunggu Tuan,” kata pria paruh baya itu seraya mengambil alih tas dari tangan Leonhard.Leonhard tidak memberikan respon, hanya menyerahkan tasnya dengan ekspresi malas.Seiring langkahnya menuju ruang makan, Leonhard berusaha melengkungkan senyum hingga akhirnya dia bisa memberikan senyum terbaik saat tatapannya bertemu dengan tatapan sang istri.“Hai Leon,” sapa Nova Lyra Handoko-anak dari crazy rich Surabaya yang dia nikahi setahun lalu karena perjodohan yang membawanya ke Indonesia-kampung halaman sang mami untuk mengelola perusahaan milik sang papi yang telah bergabung dengan perusahaan milik pak Handoko yang tidak lain adalah ayah mertuanya.“Hai Nova, kap
Aruna menempelkan ponselnya ke dada, mata terpejam dan bibirnya tersenyum setelah membalas pesan dari Leonhard padahal tidak ada kalimat romantis dalam percakapan singkat itu tapi Aruna rasanya seperti sedang pacaran dengan Leonhard.Aruna pernah menyukai beberapa lelaki, tapi Leonhard berbeda.Pria matang itu berhasil membuat Aruna jadi aneh seperti ini.Aruna mengotak-ngatik ponselnya membuka lagi ruang pesan dengan Leonhard kemudian pergi ke profil pria itu untuk melihat dengan jelas foto profil Leonhard yang tengah main golf, padahal hanya sebagian wajahnya yang terlihat tapi dalam pandangan Aruna-Leonhard sungguh luar biasa tampan.Aruna mengusap layar ponselnya menggunakan ibu jari dan mata yang berbinar.Beberapa detik kemudian dia sadar akan kegilaan yang dilakukannya, Aruna terkekeh sembari menutup wajah menggunakan satu tangan lantas menjatuhkan punggung di atas kasur.“Kayanya papi pasti setuju kalau aku pacaran sama Leon ….” Aruna bicara sendiri.“Emm … tapi enggak,
“Pagi Bu …,” sapa Tasya dan Tezaar kompak.Mereka berdua adalah asisten Aruna.“Pagi … kamu udah berhasil hubungi pak Robby?” Aruna bertanya kepada Tezaar.“Sudah Bu, beliau siap menerima kedatangan Ibu dan pak Leon.” Tezaar menjawab lugas.“Oke … terus Sya, kamu tolong bantu saya analisis data yang kemarin ya … nanti saya periksa kembali pulang dari pabrik.” Aruna memberi perintah kepada Tasya.“Baik, Bu!” Tasya menyahut.“Saya tunggu pak Leon di bawah aja ya, biar langsung pergi.” Aruna berujar lagi sambil melirik arlojinya.“Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menimpali.Aruna kembali ke lantai satu menunggu Leonhard di lobby.Setelah duduk selama satu jam di sana, dia mulai gelisah lalu memeriksa ponselnya untuk menghubungi Leonhard.Namun sayang ponselnya mati, lupa diisi daya karena dipeluk semalaman.“Yaaaah … ada-ada aja.” Aruna mengesah.Dia mengeluarkan powerbank dari dalam tas dan kembali melorotkan bahu karena powerbank ya juga kehabisan daya.“Pak! Punya charg
Aruna mengemudikan mobil Narashima pulang ke rumah, jalanan masih saja macet padahal jam pulang kerja sudah lewat.Seharusnya tadi pagi dia minta diantar driver, bukannya malah main masuk mobil saja.Butuh waktu satu setengah jam sampai di rumah dan keadaan rumah sudah sepi dengan beberapa lampu padam.Saat Aruna melewati ruang televisi, tiba-tiba lampu menyala, seketika sosok papi memenuhi pandangan matanya maka langkah Aruna pun berhenti.“Sayang … sini duduk dulu, kita ngobrol sebentar.” Papi menepuk space kosong di sofa panjang.Aruna mengembuskan nafas, raut lelah kentara sekali di wajah cantiknya.Lelah bukan karena bekerja melainkan berperang dengan mood buruknya seharian ini.“Kamu capek?” Papi Arkana bertanya.“Bangeeeet! Ternyata kerjaan pak Bagas banyak banget ya … Pantesan aja sering lembur, Aruna kira biar bisa dapet uang lembur yang besar ….” Aruna tampak menyesal telah berpikir negatif kepada bosnya yang dulu.“Kamu itu ya, negatif thinkiiiiing aja.” Papi Arkan
BUSSINES TRIPHari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku.Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank.Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji.“Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja.“Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan.“Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu.Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar.“Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu.“Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali.“Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arka
Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu.Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard.Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar.“Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan.“Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah.“Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju.“Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap.Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik.Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun
“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
Meeting dilanjutkan keesokan harinya tapi tanpa papi Arkana yang telah memiliki janji dengan klien lain.Meski begitu tetap dilakukan secara serius dan kondusif.Seperti meeting kemarin, meeting hari ini pun Leonhard dan Aruna duduk bersisian.Tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut karena Leonhard yang tidak memiliki Sourching Spesialist turun langsung dalam memilih bahan baku sehingga pasti selalu berhubungan dengan Aruna.Hanya Tasya dan Tezaar yang peka kalau ada benih-benih cinta di antara Leonhard dan Aruna, pasalnya dari tatapan serta gesture tubuh Leonhard setiap kali bicara dengan Aruna menunjukkan kekaguman dan minat yang besar.Pernah tanpa sadar Leonhard terus menatap Aruna yang tengah menjelaskan sesuatu.Semua orang juga menatap Aruna tapi tatapan Leonhard berbeda, matanya berbinar dengan seulas senyum di bibir.“Fix … pak Leon juga suka sama bu Aruna.” Tezaar berkomentar.“Sssttt ….” Tasya mendesis, menempelkan telunjuknya di bibir karena suara Tezaar nyari
Pagi sekali Aruna dan dua asistennya sudah memenuhi ruang meeting di gedung AG Group yang dipimpin oleh Arkana Gunadhya.Mereka sedang menyiapkan rapat penting untuk merumuskan kontrak bisnis antara AG Group dengan perusahaan yang dikelola oleh Leonhard.Selang berapa lama tim support datang, Aruna berkoordinasi dengan mereka untuk memberikan data yang nanti akan ditampilkan.Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Leonhard datang bersama orang-orang dari perusahaannya yang berkepentingan dalam proyek ini.“Selamat pagi!” sapa Leonhard saat memasuki ruang meeting.Sontak semua orang termasuk Aruna menoleh ke arahnya.“Pagi!” sahut Aruna serta yang lain bersamaan.Leonhard melangkah mendekati Aruna yang berdiri di ujung meja rapat sedang menyiapkan data di MacBook papinya.Sementara satu orang dari tim support mempersilahkan rombongan yang membersamai Leonhard untuk sarapan pagi di ruangan sebelah.“Hai …,” sapa Leonhard sembari menatap Aruna lekat.Aruna merasa tatapan Leon
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu.Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard.Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar.“Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan.“Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah.“Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju.“Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap.Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik.Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun
BUSSINES TRIPHari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku.Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank.Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji.“Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja.“Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan.“Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu.Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar.“Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu.“Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali.“Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arka
Aruna mengemudikan mobil Narashima pulang ke rumah, jalanan masih saja macet padahal jam pulang kerja sudah lewat.Seharusnya tadi pagi dia minta diantar driver, bukannya malah main masuk mobil saja.Butuh waktu satu setengah jam sampai di rumah dan keadaan rumah sudah sepi dengan beberapa lampu padam.Saat Aruna melewati ruang televisi, tiba-tiba lampu menyala, seketika sosok papi memenuhi pandangan matanya maka langkah Aruna pun berhenti.“Sayang … sini duduk dulu, kita ngobrol sebentar.” Papi menepuk space kosong di sofa panjang.Aruna mengembuskan nafas, raut lelah kentara sekali di wajah cantiknya.Lelah bukan karena bekerja melainkan berperang dengan mood buruknya seharian ini.“Kamu capek?” Papi Arkana bertanya.“Bangeeeet! Ternyata kerjaan pak Bagas banyak banget ya … Pantesan aja sering lembur, Aruna kira biar bisa dapet uang lembur yang besar ….” Aruna tampak menyesal telah berpikir negatif kepada bosnya yang dulu.“Kamu itu ya, negatif thinkiiiiing aja.” Papi Arkan
“Pagi Bu …,” sapa Tasya dan Tezaar kompak.Mereka berdua adalah asisten Aruna.“Pagi … kamu udah berhasil hubungi pak Robby?” Aruna bertanya kepada Tezaar.“Sudah Bu, beliau siap menerima kedatangan Ibu dan pak Leon.” Tezaar menjawab lugas.“Oke … terus Sya, kamu tolong bantu saya analisis data yang kemarin ya … nanti saya periksa kembali pulang dari pabrik.” Aruna memberi perintah kepada Tasya.“Baik, Bu!” Tasya menyahut.“Saya tunggu pak Leon di bawah aja ya, biar langsung pergi.” Aruna berujar lagi sambil melirik arlojinya.“Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menimpali.Aruna kembali ke lantai satu menunggu Leonhard di lobby.Setelah duduk selama satu jam di sana, dia mulai gelisah lalu memeriksa ponselnya untuk menghubungi Leonhard.Namun sayang ponselnya mati, lupa diisi daya karena dipeluk semalaman.“Yaaaah … ada-ada aja.” Aruna mengesah.Dia mengeluarkan powerbank dari dalam tas dan kembali melorotkan bahu karena powerbank ya juga kehabisan daya.“Pak! Punya charg