Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.
Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu. Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard. Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar. “Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan. “Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah. “Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju. “Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap. Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik. Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun Leonhard membantu Aruna melewati jalan jelek dengan merelakan tangannya dipeluk, digenggam sampai dicengkeram gadis cantik itu. Begitu bokong mereka duduk di kabin belakang mobil, Aruna langsung mengajak Leonhard berdiskusi. “Gimana menurut Pak Leon? Apa Pak Leon setuju kalau kita menggunakan bahan baku dari sini?” Leonhard menoleh menatap Aruna sembari menyerongkan posisi duduknya membuat lulut mereka bertemu dan sepertinya Leonhard tidak menyadari hal itu. “Dari yang saya tangkap tadi, banyak sekali kekurangannya … dari harga sangat murah tapi saya tidak melihat adanya quality control yang baik di sana sehingga hasil dari produksi bahan baku diragukan kualitasnya ….” Leonhard memberi jeda, matanya menatap Aruna lekat. Tersirat perasaan segan yang bisa ditangkap dengan baik oleh Aruna. “Saya mengerti Pak,” kata Aruna maklum. “Maaf ya Bu, saya harus melakukan yang terbaik untuk proyek ini karena ini proyek besar.” Aruna tersenyum lebar yang membuatnya tampak semakin cantik sebelum akhirnya merespon ucapan Leonhard. “It’s oke … saya kagum lho sama Bapak karena mau turun langsung survei ke pabrik … biasanya bagian Sourching spesialist seperti saya yang survei.” Leonhard tertawa kecil, suara bariton seksinya membuat bulu kuduk Aruna meremang. Tapi Aruna tidak bohong, dia semakin jatuh cinta setelah melihat kinerja Leonhard untuk perusahaannya. Pria itu tanpa segan mencecar pak Robby dengan banyak pertanyaan untuk memastikan kalau bahan baku yang akan digunakan adalah yang terbaik. “Saya baru saja memecat Sourching Spesialis karena terbukti mendapat suap dari klien.” Leonhard jadi curhat. “Ooh ….” Aruna bergumam. “Sebenarnya ada satu pabrik lagi penghasil bahan baku terbaik tapi ada di kota kecil di Jawa Tengah ….” Kalimat Aruna menggantung. “Itu berarti akan ada cost untuk pengiriman.” Aruna menganggukan kepala membenarkan ucapan Leonhard. “Kalau Pak Leon mau survei … bisa saya antar.” Ekspresi wajah dan gesture tubuh Aruna tampak biasa saja tapi sesungguhnya di dalam hati dia sedang harap-harap cemas menunggu keputusan Leonhard, apakah mereka akan melakukan bisnis trip ke luar kota atau tidak dan Aruna sangat berharap kalau Leonhard mengiyakan. Beberapa saat hening, Leonhard tampak berpikir. “Apa Bu Aruna ada waktu?” Leonhard akhirnya bertanya. “Tentu ada … apa sih yang enggak buat kamu, sayang.” Yang hanya bisa Aruna ungkapkan di dalam hati. “Pak Leon bisanya hari apa? Biar saya atur jadwal saya.” Padahal Aruna tidak memiliki jadwal, Leonhard adalah satu-satunya klien pegangannya karena Aruna baru menduduki jabatan ini, Aruna hanya ingin terlihat sibuk. “Bagaimana kalau besok? Besok saya tidak memiliki jadwal meeting tapi apa kita harus menginap?” Ingin rasanya Aruna salto mendengar pertanyaan itu. “Sepertinya begitu tapi kalau urusan kita cepat selesai dan memungkinkan untuk kembali ke Jakarta … kita bisa langsung pulang.” “Baiklah … tapi sepertinya kita harus pergi lebih pagi.” “Setuju, tapi bagaimana kalau Pak Leon jemput saya ke rumah?” “Oh begitu?” Leonhard terkekeh. “Apa perlu saya juga minta ijin sama pak Arkana karena akan membawa anak gadisnya ke luar kota?” sambung Leonhard bermaksud bercanda sama sekali bukan ingin menggoda. Aruna jadi tersipu, beruntung dia memiliki pipi berwarna pink alami jadi saat merona seperti sekarang tidak terlalu kentara. “Baiklah Bu Aruna, Terimakasih untuk hari ini … sampai jumpa besok, saya jemput ke rumah pagi sekali.” Mobil telah berhenti tepat di lobby gedung kantor AG Group. “Sampai bertemu besok, Pak Leon ….” Aruna membalas sambil membuka pintu mobil lalu turun. Aruna langsung masuk ke dalam gedung, tidak memberikan lambaian tangan atau menunggu mobil Leonhard keluar dari pelataran parkir pasalnya dia sudah tidak dapat menahan senyum berbunga-bunga di bibirnya. “Ih si ibu kenapa?” gumam Intan-sang resepsionis bertanya-tanya setelah Aruna melewati mejanya. *** “Bagaimana survei kamu tadi sama pak Leon?” Papi Arkana bertanya di tengah makan malam. Tumben sekali Aruna bisa makan malam bersama papi mami tapi sayang kedua kakaknya yang belum menikah masih memiliki urusan di luar sehingga mereka harus makan malam tanpa Reyzio dan Narashima. “Pak Leon itu ketat banget, Pi … dia banyak maunya … yang biasanya pak Robby lolos-lolos aja kalau disurvei klien, kali ini kelabakan Pi … dia banyak enggak bisa jawab pertanyaan pak Leon.” Aruna menceritakan. “Wah … karena ya anak muda itu, dia berarti concern banget sama keberlangsungan perusahaannya.” Papi Arkana berpendapat. “Terus gimana? Gagal donk ambil bahan baku dari pak Robby … tapi kita masih punya satu cadangan pabrik lagi, kan?” Aruna menganggukan kepala merespon cepat ucapan papi Arkana. “Udah Aruna tawarkan … dan dia bersedia survei dulu.” Aruna memberikan penjelasan. “Kapan? Sama kamu?” Papi Arkana bertanya. “Besok … mau Papi yang anter pak Leon?” Dalam hati Aruna berharap sang papi menjawab tidak. “Papi ada acara … ya ‘kan Mi?” Papi Arkana mencolek dagu istrinya yang sedari tadi diam saja. “Tahu ah, kalian itu mentang-mentang satu kantor … sebentar-sebentar ngomongin bisnis, apalagi kalau udah ada abang Ghaza, mas Nawa, kak Rey sama mas Nara … Mami dicuekin.” Mami Zara mengerucutkan bibirnya, matanya mendelik manja. Papi Arkana dan Aruna tergelak. “Jangan gitu atuh Mi ….” Aruna membujuk. “Cieee, marah … kesel … ‘kan besok kita mau ke Bali,” kata papi Arkana mengingatkan. “Ada apa di Bali?” Aruna bertanya. “Ada seminar dari IDI berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan … mami sebagai pemilik Rumah Sakit harus hadir dan tentunya dianter Papi biar sekalian honeymoon.” Papi Arkana menunjukkan tampang jenaka mengangkat kedua alisnya berkali-kali. “Iiiih jijik … udah tua juga.” Aruna bergidig. Mami Zara dan papi Arkana tergelak sebagai respon kegelian Aruna. “Jadi kamu aja yang temenin pak Leon ya, ‘kan itu calon klien kamu … kamu tunjukin kemampuan kamu, tapi kalau kamu nyerah … Silahkan lambaikan tangan ke kamera.” “Apaan sih, Pi … ah, udah Aruna bilang enggak ada kata menyerah pokoknya.” Aruna bangkit dari kursi. “Aruna udah selesai makan malamnya, Aruna mau tidur karena besok pagi banget pak Leon jemput … pokoknya Aruna enggak mau punya adik ya, jangan macem-macem Papi sama Mami di Bali.” Mami Zara dan papi Arkana kembali mencetuskan gelak tawa saat Aruna membawa langkahnya pergi dari ruang makan menuju kamar. Sampai di kamar, Aruna langsung mengeluarkan koper untuk menyiapkan segala keperluan bisnis trip ke luar kota bersama Leonhard. Dia mengobrak-abrik lemarinya mencari baju tidur semi lingery two pieces untu dikenakan nanti. Aruna akan mengkondisikan kalau mereka menginap dan kalau bisa tidur satu kamar. “Kayanya aku jodoh sama pak Leon, buktinya semesta selalu memberi jalan … bisa-bisanya pak Leon enggak sreg sama bahan baku dari pabrik pak Robby ….” Aruna bermonolog, pipinya kembali merona mengingat kalimat bercanda Leonhard tentang pamit kepada papi Arkana karena akan membawanya keluar kota. “Ya ampun … dia tuh udah kaya pacar aja.” Aruna menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan sembari menghentakan kedua kaki. Aruna masih percaya kalau Leonhard adalah pria single, pasalnya tidak ada cincin di jari manis pria itu dan seharian bersama Leonhard—Aruna tidak melihat pria itu mendapat panggilan telepon atau chat dari kekasih atau istri. Aruna duduk di samping Leonhard selama perjalanan pulang dan pergi ke pabrik, matanya langsung jeli ketika mengetahui Leonhard mendapat pesan dan pesan-pesan yang masuk itu berasal dari orang kantor atau klien dan tidak ada satu pesan dari seorang wanita membuat Aruna semakin yakin kalau Leonhard itu pacarable. Lalu, apakah yang akan terjadi di antara mereka saat perjalanan bisnis nanti? Ikutin terus ceritanya ya, jangan mikir yang berat-berat dulu biar enggak stress 😛 Karena kalau bisa ringan kenapa harus dibuat berat? 😁“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
Pagi sekali Aruna dan dua asistennya sudah memenuhi ruang meeting di gedung AG Group yang dipimpin oleh Arkana Gunadhya.Mereka sedang menyiapkan rapat penting untuk merumuskan kontrak bisnis antara AG Group dengan perusahaan yang dikelola oleh Leonhard.Selang berapa lama tim support datang, Aruna berkoordinasi dengan mereka untuk memberikan data yang nanti akan ditampilkan.Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Leonhard datang bersama orang-orang dari perusahaannya yang berkepentingan dalam proyek ini.“Selamat pagi!” sapa Leonhard saat memasuki ruang meeting.Sontak semua orang termasuk Aruna menoleh ke arahnya.“Pagi!” sahut Aruna serta yang lain bersamaan.Leonhard melangkah mendekati Aruna yang berdiri di ujung meja rapat sedang menyiapkan data di MacBook papinya.Sementara satu orang dari tim support mempersilahkan rombongan yang membersamai Leonhard untuk sarapan pagi di ruangan sebelah.“Hai …,” sapa Leonhard sembari menatap Aruna lekat.Aruna merasa tatapan Leon
Meeting dilanjutkan keesokan harinya tapi tanpa papi Arkana yang telah memiliki janji dengan klien lain.Meski begitu tetap dilakukan secara serius dan kondusif.Seperti meeting kemarin, meeting hari ini pun Leonhard dan Aruna duduk bersisian.Tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut karena Leonhard yang tidak memiliki Sourching Spesialist turun langsung dalam memilih bahan baku sehingga pasti selalu berhubungan dengan Aruna.Hanya Tasya dan Tezaar yang peka kalau ada benih-benih cinta di antara Leonhard dan Aruna, pasalnya dari tatapan serta gesture tubuh Leonhard setiap kali bicara dengan Aruna menunjukkan kekaguman dan minat yang besar.Pernah tanpa sadar Leonhard terus menatap Aruna yang tengah menjelaskan sesuatu.Semua orang juga menatap Aruna tapi tatapan Leonhard berbeda, matanya berbinar dengan seulas senyum di bibir.“Fix … pak Leon juga suka sama bu Aruna.” Tezaar berkomentar.“Sssttt ….” Tasya mendesis, menempelkan telunjuknya di bibir karena suara Tezaar nyari
“Congratulation!” seru keempat kakak laki-laki Aruna sambil menyalakan conveti ke arah Aruna membuat tubuh mungil itu dihujani kertas warna-warna berukuran kecil.Langkah Aruna yang baru saja sampai di meja sebuah restoran mewah yang terdapat di sebuah hotel berbintang lima langsung berhenti lalu diam mematung dengan ekspresi kesal menatap satu persatu kakak laki-lakinya yang jahil sementara kedua kakak ipar membantu Aruna membersihkan kertas conveti yang melekat di wajah, rambut dan pakaiannya.Sementara papi dan mami yang mengikuti Aruna dari belakang malah tergelak menertawakannya.“Udah Kak … makasih.” Aruna menghela pelan tangan Naraya-istri dari kakak pertamanya.“Sudah Kak, biarin.” Aruna kemudian menghela pelan tangan Anasera-istri dari kakak keduanya.Wajah si bungsu mengerut dengan bibir mengerucut karena kesal.“Cieee … gitu aja marah, kita ‘kan mau merayakan.” Ghazanvar-sang kakak pertama menarik tangan Aruna yang masih berdiri di samping meja makan besar yang telah
Mobil yang ditumpangi Leonhard sampai di rumah, dia merogoh saku celana lalu memakai cincin nikahnya setelah melihat mobil sang istri terparkir di halaman.Dia turun tepat ketika mobil mewah itu berhenti lalu melangkah gontai masuk ke dalam rumah.Kepala asisten rumah tangga membukakan pintu.“Nyonya ada di ruang makan menunggu Tuan,” kata pria paruh baya itu seraya mengambil alih tas dari tangan Leonhard.Leonhard tidak memberikan respon, hanya menyerahkan tasnya dengan ekspresi malas.Seiring langkahnya menuju ruang makan, Leonhard berusaha melengkungkan senyum hingga akhirnya dia bisa memberikan senyum terbaik saat tatapannya bertemu dengan tatapan sang istri.“Hai Leon,” sapa Nova Lyra Handoko-anak dari crazy rich Surabaya yang dia nikahi setahun lalu karena perjodohan yang membawanya ke Indonesia-kampung halaman sang mami untuk mengelola perusahaan milik sang papi yang telah bergabung dengan perusahaan milik pak Handoko yang tidak lain adalah ayah mertuanya.“Hai Nova, kap
Aruna menempelkan ponselnya ke dada, mata terpejam dan bibirnya tersenyum setelah membalas pesan dari Leonhard padahal tidak ada kalimat romantis dalam percakapan singkat itu tapi Aruna rasanya seperti sedang pacaran dengan Leonhard.Aruna pernah menyukai beberapa lelaki, tapi Leonhard berbeda.Pria matang itu berhasil membuat Aruna jadi aneh seperti ini.Aruna mengotak-ngatik ponselnya membuka lagi ruang pesan dengan Leonhard kemudian pergi ke profil pria itu untuk melihat dengan jelas foto profil Leonhard yang tengah main golf, padahal hanya sebagian wajahnya yang terlihat tapi dalam pandangan Aruna-Leonhard sungguh luar biasa tampan.Aruna mengusap layar ponselnya menggunakan ibu jari dan mata yang berbinar.Beberapa detik kemudian dia sadar akan kegilaan yang dilakukannya, Aruna terkekeh sembari menutup wajah menggunakan satu tangan lantas menjatuhkan punggung di atas kasur.“Kayanya papi pasti setuju kalau aku pacaran sama Leon ….” Aruna bicara sendiri.“Emm … tapi enggak,
Meeting dilanjutkan keesokan harinya tapi tanpa papi Arkana yang telah memiliki janji dengan klien lain.Meski begitu tetap dilakukan secara serius dan kondusif.Seperti meeting kemarin, meeting hari ini pun Leonhard dan Aruna duduk bersisian.Tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut karena Leonhard yang tidak memiliki Sourching Spesialist turun langsung dalam memilih bahan baku sehingga pasti selalu berhubungan dengan Aruna.Hanya Tasya dan Tezaar yang peka kalau ada benih-benih cinta di antara Leonhard dan Aruna, pasalnya dari tatapan serta gesture tubuh Leonhard setiap kali bicara dengan Aruna menunjukkan kekaguman dan minat yang besar.Pernah tanpa sadar Leonhard terus menatap Aruna yang tengah menjelaskan sesuatu.Semua orang juga menatap Aruna tapi tatapan Leonhard berbeda, matanya berbinar dengan seulas senyum di bibir.“Fix … pak Leon juga suka sama bu Aruna.” Tezaar berkomentar.“Sssttt ….” Tasya mendesis, menempelkan telunjuknya di bibir karena suara Tezaar nyari
Pagi sekali Aruna dan dua asistennya sudah memenuhi ruang meeting di gedung AG Group yang dipimpin oleh Arkana Gunadhya.Mereka sedang menyiapkan rapat penting untuk merumuskan kontrak bisnis antara AG Group dengan perusahaan yang dikelola oleh Leonhard.Selang berapa lama tim support datang, Aruna berkoordinasi dengan mereka untuk memberikan data yang nanti akan ditampilkan.Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Leonhard datang bersama orang-orang dari perusahaannya yang berkepentingan dalam proyek ini.“Selamat pagi!” sapa Leonhard saat memasuki ruang meeting.Sontak semua orang termasuk Aruna menoleh ke arahnya.“Pagi!” sahut Aruna serta yang lain bersamaan.Leonhard melangkah mendekati Aruna yang berdiri di ujung meja rapat sedang menyiapkan data di MacBook papinya.Sementara satu orang dari tim support mempersilahkan rombongan yang membersamai Leonhard untuk sarapan pagi di ruangan sebelah.“Hai …,” sapa Leonhard sembari menatap Aruna lekat.Aruna merasa tatapan Leon
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu.Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard.Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar.“Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan.“Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah.“Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju.“Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap.Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik.Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun
BUSSINES TRIPHari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku.Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank.Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji.“Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja.“Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan.“Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu.Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar.“Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu.“Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali.“Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arka
Aruna mengemudikan mobil Narashima pulang ke rumah, jalanan masih saja macet padahal jam pulang kerja sudah lewat.Seharusnya tadi pagi dia minta diantar driver, bukannya malah main masuk mobil saja.Butuh waktu satu setengah jam sampai di rumah dan keadaan rumah sudah sepi dengan beberapa lampu padam.Saat Aruna melewati ruang televisi, tiba-tiba lampu menyala, seketika sosok papi memenuhi pandangan matanya maka langkah Aruna pun berhenti.“Sayang … sini duduk dulu, kita ngobrol sebentar.” Papi menepuk space kosong di sofa panjang.Aruna mengembuskan nafas, raut lelah kentara sekali di wajah cantiknya.Lelah bukan karena bekerja melainkan berperang dengan mood buruknya seharian ini.“Kamu capek?” Papi Arkana bertanya.“Bangeeeet! Ternyata kerjaan pak Bagas banyak banget ya … Pantesan aja sering lembur, Aruna kira biar bisa dapet uang lembur yang besar ….” Aruna tampak menyesal telah berpikir negatif kepada bosnya yang dulu.“Kamu itu ya, negatif thinkiiiiing aja.” Papi Arkan
“Pagi Bu …,” sapa Tasya dan Tezaar kompak.Mereka berdua adalah asisten Aruna.“Pagi … kamu udah berhasil hubungi pak Robby?” Aruna bertanya kepada Tezaar.“Sudah Bu, beliau siap menerima kedatangan Ibu dan pak Leon.” Tezaar menjawab lugas.“Oke … terus Sya, kamu tolong bantu saya analisis data yang kemarin ya … nanti saya periksa kembali pulang dari pabrik.” Aruna memberi perintah kepada Tasya.“Baik, Bu!” Tasya menyahut.“Saya tunggu pak Leon di bawah aja ya, biar langsung pergi.” Aruna berujar lagi sambil melirik arlojinya.“Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menimpali.Aruna kembali ke lantai satu menunggu Leonhard di lobby.Setelah duduk selama satu jam di sana, dia mulai gelisah lalu memeriksa ponselnya untuk menghubungi Leonhard.Namun sayang ponselnya mati, lupa diisi daya karena dipeluk semalaman.“Yaaaah … ada-ada aja.” Aruna mengesah.Dia mengeluarkan powerbank dari dalam tas dan kembali melorotkan bahu karena powerbank ya juga kehabisan daya.“Pak! Punya charg