BUSSINES TRIP
Hari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku. Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank. Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji. “Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja. “Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan. “Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu. Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar. “Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu. “Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali. “Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arkana berkomentar. “Papi yakin kalau Aruna enggak akan bawa cowok ke apartemennya ….” Reyzio mengompori. “Kamu yakin, adik kamu yang ambisius itu ada waktu main-main sama cowok?” Papi Arkana mengembalikan pertanyaan Reyzio. “Buktinya dia sampai jarang sarapan untuk bisa tepat waktu sampai di kantor, apalagi yang berhubungan dengan klien—adik kamu concern banget.” Mami Zara menambahkan. Papi Arkana dan mami Zara percaya kalau antusiasme Aruna dalam mengemban jabatannya yang baru adalah karena ambisius bukan karena sedang jatuh cinta. Reyzio dan Narashima tidak berkomentar lagi, memilih menghabiskan sarapan paginya. Sementara itu meski mengemudikan mobilnya sendiri, Aruna sampai di kantor lebih awal. Dia pergi ke ruangannya dulu untuk mendelegasikan beberapa tugas kepada Tasya dan Tezaar. Setelah dua asistennya keluar dari ruangan, Aruna pergi ke toilet yang masih berada di dalam ruangannya untuk merapihkan make up, pakaian dan menambahkan parfum yang dia semprotkan di bajunya. “Jangan berubah ya, tetap cantik kaya gini …,” kata Aruna bicara pada cermin yang memantulkan sosok dirinya. Setelah itu Aruna keluar dari ruangannya melewati meja sang asisten. “Semangat Bu!” Tezaar berseru memberi semangat. “Semoga sukses Bu!” Tasya ikutan berseru. Terselip makna dibalik kalimat penyemangat tersebut, mereka tahu kalau Aruna akan melakukan kunjungan ke pabrik bersama Leonhard. Aruna mengerutkan kening heran karena tidak biasa dua asistennya memberi semangat seperti ini. Beberapa saat kemudian Aruna sampai di lobby, dia duduk di salah satu sofa sembari mematuti layar ponsel. Dia tidak ingin satu detik pun terlewat pesan maupun panggilan telepon dari Leonhard yang tadi mengatakan akan menghubunginya jika sudah dekat dengan kantor. Tiba-tiba ponselnya berbunyi memunculkan nama Leonhard di layar. “Hallo!” Aruna langsung menjawab di nada panggil pertama. “Bu Aruna, sebentar lagi mobil saya memasuki pelataran kantor ….” Leonhard memberitahu. “Baik, Pak … saya ke lobby sekarang,” balas Aruna padahal dia sudah berada di lobby. Setelah panggilan telepon terputus, Aruna merapihkan kembali pakaiannya dengan mengusap bagian bokong untuk menghilangkan kusut setelah tadi dia duduk. Melangkah penuh percaya diri menggunakan heelsnya membuat tubuh Aruna semakin jenjang dan terlihat seksi. Leonhard yang berada di kabin belakang mobil yang tengah melaju mendekat ke lobby tanpa sadar memaku tatap pada sosok seksi itu dan baru dia sadari kalau yang berhasil mengalihkan perhatiannya adalah Aruna setelah mobil sampai di depan lobby. “Selamat pagi Pak Leon,” sapa Aruna saat memasuki mobil lalu duduk di samping Leonhard yang tatap matanya jadi tertuju pada paha Aruna karena pencil skirt gadis itu tersingkap sedikit ke atas ketika duduk. “Pagi …,” balas Leonhard kemudian membuang pandangannya ke arah lain. Dia segan karena Aruna adalah anak dari klien bisnisnya, pria itu juga mengutuk matanya yang lancang memandangi paha mulus Aruna. Tidak ada percakapan tercipta selama beberapa menit karena Leonhard tampak anteng menatap ke luar jendela sebelah kiri sementara Aruna ada di sebelah kananya membuat Aruna bertanya-tanya kenapa Leonhard jadi tidak bersahabat. Lama-lama AC mobil yang bekerja maksimal membuat paha Aruna terasa dingin, dia baru sadar kalau roknya tersingkap lalu berusaha menurunkannya sedikit sambil duduk. Pergerakan Aruna itu mengambil alih perhatian Leonhard yang kemudian membuka jasnya lalu dia sampirkan di paha Aruna. “Dingin ya,” kata Leonhard asal bicara mengalihkan kesan mesum yang mungkin ditangkap Aruna saat dia menyelimuti paha Aruna menggunakan jasnya. “Iya ….” Aruna tertawa kering. “Kok dia tahu? Ya ampun, perhatian banget sih,” sambungnya di dalam hati. Padahal papi dan keempat kakaknya begitu menyayangi Aruna meski sering iseng, mereka selalu melindungi Aruna, memperlakukan Aruna seperti seorang ratu. Menggendong Aruna ke kamar saat Aruna tertidur di mobil sepulangnya mereka dari bepergian, membukakan pintu mobil untuk Aruna, rela memberikan jaket atau mantelnya saat udara dingin. Meski begitu, Aruna masih saja merasa kalau perlakuan Leonhard ini adalah salah satu bentuk perhatian yang sampai membuatnya berbunga-bunga dan mabuk kepayang, mungkin karena Aruna telah mencintai pria itu. “Kepala bagian produksi namanya pak Robby, Pak Leon bisa banyak bertanya nanti sama beliau.” Aruna membuat topik pembicaraan. Dan karena sekarang paha Aruna telah tertutup jas, Leonhard jadi bisa menyerongkan sedikit posisi tubuhnya demi bisa menatap wajah Aruna untuk menanggapi topik pembicaraan tersebut. Leonhard dan Aruna larut dalam obrolan seputar pabrik dan bahan baku yang akan mereka survei sekarang. Aruna pandai menutupi perasaanya, dia tidak canggung atau gugup menghadapi Leonhard bahkan berani menatap mata indah pria itu. Sebagai lawan bicara, Leonhard merasa nyaman dan senang mengobrol dengan Aruna yang cerdas dan pintar dalam menyampaikan sebuah informasi serta bijak dalam menanggapi pendapatnya. Ada satu hal yang menarik perhatian Leonhard ketika mengobrol dengan Aaruna, gadis itu tidak berhenti mengusap pelan ibu jarinya di bagian kerah jas yang menyelimuti paha. Usapan Aruna begitu lembut seringan bulu seolah gadis itu sedang mengusap salah satu bagian tubuh Leonhard, setidaknya itu yang terbesit dalam benak Leonhard. Waktu berlalu, puluhan kilometer telah terlewati dan tanpa terasa mereka hampir sampai di tempat tujuan. “Loh kok … jalannya jadi rusak gini ya, perasaan sebulan lalu masih bagus,” gumam Aruna saat merasakan goncangan kuat di dalam mobil padahal mobil mewah Leonhard memiliki suspensi yang paling bagus di antara mobil mewah lainnya. Leonhard tidak bisa berkomentar karena dia tidak tahu bagaimana keadaan sebulan lalu. “Maaf Pak, Bu!” seru sang driver karena salah mengambil jalan membuat guncangan semakin dahsyat dan karena hal itu Aruna bergerak mencari pegangan di saat yang sama Leonhard mengulurkan tangannya untuk membantu Aruna. Refleks Aruna menggenggam tangan Leonhard cukup erat sementara satu tangan pria itu menahan tubuh Aruna agar tidak tersungkur ke depan. Posisi meresahkan di mana Leonhard setengah memeluknya itu membuat Aruna menahan nafas, dalam hati Aruna berharap kalau waktu berhenti berputar. “Emm … maaf, Pak ….” Aruna mendongak membuat wajah mereka begitu dekat sampai Aruna dapat mencium aroma mint dari nafas Leonhard. “Bu Aruna baik-baik aja?” Pria itu malah bertanya balik disertai raut khawatir dengan kerutan di antara alis dan sorot mata teduh. “Iya ….” Aruna menjauh, melepaskan diri dari Leonhard karena sialnya jalan yang dilalui sudah lebih baik tidak sejelek tadi. Aruna merapihkan pakaiannya, setengah mati menyembunyikan segala perasaan yang bergejolak di dada. Dia tidak ingin Leonhard tahu kalau telah tumbuh sebongkah cinta di hatinya untuk pria itu, Aruna gengsi. Sampai di pabrik, Aruna dan Leonhard disambut pak Robby yang berdiri tepat di samping mobil Leonhard yang baru saja berhenti. Leonhard turun dari pintu di sampingnya begitu juga Aruna namun ternyata tekstur tanah di parkiran pabrik sangat buruk , sama seperti jalanan yang mereka lewati tadi sementara saat ini Aruna menggunakan heels. Aruna menatap nanar heels mahalnya sampai sebuah tangan terulur ke depan menyadarkan gadis itu. “Ayo … saya bantu.” Leonhard tidak memiliki maksud apapun, dia tulus ingin membantu. Aruna mendongak lalu tersenyum, dengan senang hati menerima bantuan Leonhard, menggenggam tangan pria itu untuk turun dari mobil. “Selamat siang Bu Aruna … Pak Leon,” sapa pak Robby ramah. “Siang Pak!” sahut Leonhard dan Aruna kompak sembari berjabat tangan. “Pak … kok jalanannya jadi jelek gini? Satu bulan lalu waktu saya datang masih bagus.” Aruna bertanya setengah menggerutu. “Kemarin ada banjir bandang yang membuat tanahnya basah yang kemudian dilalui mobil-mobil besar jadi ketika mengering tanahnya akan membentuk jejak ban … itu yang membuat jalannya jadi rusak.” Pak Robby menjelaskan. “Oh ….” Aruna bergumam. “Dan mohon maaf nih, Bu … pabrik yang kita kunjungi ada di belakang melewati jalan seperti ini … bugy car tidak bisa digunakan di jalan bertekstur seperti ini jadi mau tidak mau kita harus berjalan kaki … apa Bu Aruna perlu saya carikan sendal jepit?” Pak Robby menawarkan. “Hah? Sendal jepitnya merek apa, Pak?” Sempat-sempatnya Aruna bertanya demikian. Maklum saja, dia anak konglomerat. Sendal jepit yang biasa dia gunakan seharga belasan juta. Pak Robby tertawa. “Sendal jepit biasa yang ada di warung.” Leonhard menoleh menatap Aruna. “Saya ada sepatu kets di mobil tapi ukurannya besar ….” “Enggak usah, aku pake sepatu ini aja.” Aruna memutuskan tidak menerima bantuan dua pria tersebut dari pada menggunakan sepatu yang tidak sesuai dengan ukuran dan kepribadiannya. “Kalau begitu mari ….” Pak Robby merentangkan tangan ke depan lantas berjalan lebih dulu memandu Aruna dan Leonhard. Cara jalan Aruna jadi tertatih membuatnya lambat dan sesekali nyaris tersungkur. Leonhard adalah pria yang sabar, dia tidak merasa kesal dengan keadaan Aruna malah prihatin. “Silahkan pegang tangan saya untuk berpegangan,” kata Leonhard mengulurkan tangannya. Aruna menatap Leonhard sebentar sebelum akhirnya menerima bantuan pria itu dengan melingkarkan tangan di lengan berotot milik Leonhard. Tadinya Aruna mengutuk banjir yang telah membuat jalanan rusak tapi sekarang dia malah mensyukurinya. Namun sampai di sini pun, Leonhard masih belum merasakan getaran apapun kepada Aruna. Dia hanya bersikap sebagai pria sejati yang harus membantu seorang perempuan terlebih Aruna adalah anak dari klien bisnisnya dan orang yang akan selalu berhubungan intens dengannya untuk urusan bisnis selama beberapa waktu ke depan. Perlu diketahui kalau sesungguhnya Leonhard adalah tipe pria yang tidak mudah tergoda oleh wanita.Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu.Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard.Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar.“Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan.“Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah.“Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju.“Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap.Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik.Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun
“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
Pagi sekali Aruna dan dua asistennya sudah memenuhi ruang meeting di gedung AG Group yang dipimpin oleh Arkana Gunadhya.Mereka sedang menyiapkan rapat penting untuk merumuskan kontrak bisnis antara AG Group dengan perusahaan yang dikelola oleh Leonhard.Selang berapa lama tim support datang, Aruna berkoordinasi dengan mereka untuk memberikan data yang nanti akan ditampilkan.Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Leonhard datang bersama orang-orang dari perusahaannya yang berkepentingan dalam proyek ini.“Selamat pagi!” sapa Leonhard saat memasuki ruang meeting.Sontak semua orang termasuk Aruna menoleh ke arahnya.“Pagi!” sahut Aruna serta yang lain bersamaan.Leonhard melangkah mendekati Aruna yang berdiri di ujung meja rapat sedang menyiapkan data di MacBook papinya.Sementara satu orang dari tim support mempersilahkan rombongan yang membersamai Leonhard untuk sarapan pagi di ruangan sebelah.“Hai …,” sapa Leonhard sembari menatap Aruna lekat.Aruna merasa tatapan Leon
Meeting dilanjutkan keesokan harinya tapi tanpa papi Arkana yang telah memiliki janji dengan klien lain.Meski begitu tetap dilakukan secara serius dan kondusif.Seperti meeting kemarin, meeting hari ini pun Leonhard dan Aruna duduk bersisian.Tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut karena Leonhard yang tidak memiliki Sourching Spesialist turun langsung dalam memilih bahan baku sehingga pasti selalu berhubungan dengan Aruna.Hanya Tasya dan Tezaar yang peka kalau ada benih-benih cinta di antara Leonhard dan Aruna, pasalnya dari tatapan serta gesture tubuh Leonhard setiap kali bicara dengan Aruna menunjukkan kekaguman dan minat yang besar.Pernah tanpa sadar Leonhard terus menatap Aruna yang tengah menjelaskan sesuatu.Semua orang juga menatap Aruna tapi tatapan Leonhard berbeda, matanya berbinar dengan seulas senyum di bibir.“Fix … pak Leon juga suka sama bu Aruna.” Tezaar berkomentar.“Sssttt ….” Tasya mendesis, menempelkan telunjuknya di bibir karena suara Tezaar nyari
“Congratulation!” seru keempat kakak laki-laki Aruna sambil menyalakan conveti ke arah Aruna membuat tubuh mungil itu dihujani kertas warna-warna berukuran kecil.Langkah Aruna yang baru saja sampai di meja sebuah restoran mewah yang terdapat di sebuah hotel berbintang lima langsung berhenti lalu diam mematung dengan ekspresi kesal menatap satu persatu kakak laki-lakinya yang jahil sementara kedua kakak ipar membantu Aruna membersihkan kertas conveti yang melekat di wajah, rambut dan pakaiannya.Sementara papi dan mami yang mengikuti Aruna dari belakang malah tergelak menertawakannya.“Udah Kak … makasih.” Aruna menghela pelan tangan Naraya-istri dari kakak pertamanya.“Sudah Kak, biarin.” Aruna kemudian menghela pelan tangan Anasera-istri dari kakak keduanya.Wajah si bungsu mengerut dengan bibir mengerucut karena kesal.“Cieee … gitu aja marah, kita ‘kan mau merayakan.” Ghazanvar-sang kakak pertama menarik tangan Aruna yang masih berdiri di samping meja makan besar yang telah
Mobil yang ditumpangi Leonhard sampai di rumah, dia merogoh saku celana lalu memakai cincin nikahnya setelah melihat mobil sang istri terparkir di halaman.Dia turun tepat ketika mobil mewah itu berhenti lalu melangkah gontai masuk ke dalam rumah.Kepala asisten rumah tangga membukakan pintu.“Nyonya ada di ruang makan menunggu Tuan,” kata pria paruh baya itu seraya mengambil alih tas dari tangan Leonhard.Leonhard tidak memberikan respon, hanya menyerahkan tasnya dengan ekspresi malas.Seiring langkahnya menuju ruang makan, Leonhard berusaha melengkungkan senyum hingga akhirnya dia bisa memberikan senyum terbaik saat tatapannya bertemu dengan tatapan sang istri.“Hai Leon,” sapa Nova Lyra Handoko-anak dari crazy rich Surabaya yang dia nikahi setahun lalu karena perjodohan yang membawanya ke Indonesia-kampung halaman sang mami untuk mengelola perusahaan milik sang papi yang telah bergabung dengan perusahaan milik pak Handoko yang tidak lain adalah ayah mertuanya.“Hai Nova, kap
Meeting dilanjutkan keesokan harinya tapi tanpa papi Arkana yang telah memiliki janji dengan klien lain.Meski begitu tetap dilakukan secara serius dan kondusif.Seperti meeting kemarin, meeting hari ini pun Leonhard dan Aruna duduk bersisian.Tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut karena Leonhard yang tidak memiliki Sourching Spesialist turun langsung dalam memilih bahan baku sehingga pasti selalu berhubungan dengan Aruna.Hanya Tasya dan Tezaar yang peka kalau ada benih-benih cinta di antara Leonhard dan Aruna, pasalnya dari tatapan serta gesture tubuh Leonhard setiap kali bicara dengan Aruna menunjukkan kekaguman dan minat yang besar.Pernah tanpa sadar Leonhard terus menatap Aruna yang tengah menjelaskan sesuatu.Semua orang juga menatap Aruna tapi tatapan Leonhard berbeda, matanya berbinar dengan seulas senyum di bibir.“Fix … pak Leon juga suka sama bu Aruna.” Tezaar berkomentar.“Sssttt ….” Tasya mendesis, menempelkan telunjuknya di bibir karena suara Tezaar nyari
Pagi sekali Aruna dan dua asistennya sudah memenuhi ruang meeting di gedung AG Group yang dipimpin oleh Arkana Gunadhya.Mereka sedang menyiapkan rapat penting untuk merumuskan kontrak bisnis antara AG Group dengan perusahaan yang dikelola oleh Leonhard.Selang berapa lama tim support datang, Aruna berkoordinasi dengan mereka untuk memberikan data yang nanti akan ditampilkan.Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Leonhard datang bersama orang-orang dari perusahaannya yang berkepentingan dalam proyek ini.“Selamat pagi!” sapa Leonhard saat memasuki ruang meeting.Sontak semua orang termasuk Aruna menoleh ke arahnya.“Pagi!” sahut Aruna serta yang lain bersamaan.Leonhard melangkah mendekati Aruna yang berdiri di ujung meja rapat sedang menyiapkan data di MacBook papinya.Sementara satu orang dari tim support mempersilahkan rombongan yang membersamai Leonhard untuk sarapan pagi di ruangan sebelah.“Hai …,” sapa Leonhard sembari menatap Aruna lekat.Aruna merasa tatapan Leon
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu.Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard.Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar.“Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan.“Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah.“Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju.“Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap.Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik.Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun
BUSSINES TRIPHari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku.Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank.Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji.“Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja.“Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan.“Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu.Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar.“Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu.“Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali.“Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arka
Aruna mengemudikan mobil Narashima pulang ke rumah, jalanan masih saja macet padahal jam pulang kerja sudah lewat.Seharusnya tadi pagi dia minta diantar driver, bukannya malah main masuk mobil saja.Butuh waktu satu setengah jam sampai di rumah dan keadaan rumah sudah sepi dengan beberapa lampu padam.Saat Aruna melewati ruang televisi, tiba-tiba lampu menyala, seketika sosok papi memenuhi pandangan matanya maka langkah Aruna pun berhenti.“Sayang … sini duduk dulu, kita ngobrol sebentar.” Papi menepuk space kosong di sofa panjang.Aruna mengembuskan nafas, raut lelah kentara sekali di wajah cantiknya.Lelah bukan karena bekerja melainkan berperang dengan mood buruknya seharian ini.“Kamu capek?” Papi Arkana bertanya.“Bangeeeet! Ternyata kerjaan pak Bagas banyak banget ya … Pantesan aja sering lembur, Aruna kira biar bisa dapet uang lembur yang besar ….” Aruna tampak menyesal telah berpikir negatif kepada bosnya yang dulu.“Kamu itu ya, negatif thinkiiiiing aja.” Papi Arkan
“Pagi Bu …,” sapa Tasya dan Tezaar kompak.Mereka berdua adalah asisten Aruna.“Pagi … kamu udah berhasil hubungi pak Robby?” Aruna bertanya kepada Tezaar.“Sudah Bu, beliau siap menerima kedatangan Ibu dan pak Leon.” Tezaar menjawab lugas.“Oke … terus Sya, kamu tolong bantu saya analisis data yang kemarin ya … nanti saya periksa kembali pulang dari pabrik.” Aruna memberi perintah kepada Tasya.“Baik, Bu!” Tasya menyahut.“Saya tunggu pak Leon di bawah aja ya, biar langsung pergi.” Aruna berujar lagi sambil melirik arlojinya.“Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menimpali.Aruna kembali ke lantai satu menunggu Leonhard di lobby.Setelah duduk selama satu jam di sana, dia mulai gelisah lalu memeriksa ponselnya untuk menghubungi Leonhard.Namun sayang ponselnya mati, lupa diisi daya karena dipeluk semalaman.“Yaaaah … ada-ada aja.” Aruna mengesah.Dia mengeluarkan powerbank dari dalam tas dan kembali melorotkan bahu karena powerbank ya juga kehabisan daya.“Pak! Punya charg