Aruna menempelkan ponselnya ke dada, mata terpejam dan bibirnya tersenyum setelah membalas pesan dari Leonhard padahal tidak ada kalimat romantis dalam percakapan singkat itu tapi Aruna rasanya seperti sedang pacaran dengan Leonhard.
Aruna pernah menyukai beberapa lelaki, tapi Leonhard berbeda. Pria matang itu berhasil membuat Aruna jadi aneh seperti ini. Aruna mengotak-ngatik ponselnya membuka lagi ruang pesan dengan Leonhard kemudian pergi ke profil pria itu untuk melihat dengan jelas foto profil Leonhard yang tengah main golf, padahal hanya sebagian wajahnya yang terlihat tapi dalam pandangan Aruna-Leonhard sungguh luar biasa tampan. Aruna mengusap layar ponselnya menggunakan ibu jari dan mata yang berbinar. Beberapa detik kemudian dia sadar akan kegilaan yang dilakukannya, Aruna terkekeh sembari menutup wajah menggunakan satu tangan lantas menjatuhkan punggung di atas kasur. “Kayanya papi pasti setuju kalau aku pacaran sama Leon ….” Aruna bicara sendiri. “Emm … tapi enggak, papi enggak boleh tahu apalagi keempat kakak bangsul … mereka pasti ngetes-ngetes Leon ….” Aruna bermonolog. “Ah … tapi cewek tipe Leon seperti apa sih?” Aruna mulai membuka sosial media mencari tahu pria seperti apa Leonhard sebenarnya. Zaman sekarang, tidak ada manusia di dunia ini yang tidak memiliki sosial media minimal Twitter atau F******k. Lama Aruna mencari tapi dia tidak menemukan satupun media sosial milik Leonhard. “Gila, ini cowok manusia gua apa?” Aruna semakin penasaran, dia mengetik nama Leonhard di G****e lalu keluar fotonya tapi hanya foto-foto yang diambil paparazi saat dia menghadiri sebuah acara bergengsi dalam bidang bisnis dan ekonomi. Ada juga artikel tentang pria itu di berbagai kanal media online bisnis yang menceritakan pencapaiannya dalam bisnis. Aruna semakin kagum, dia semakin jatuh cinta setelah jatuh cinta pada pandangan pertama saat meeting kemarin. Malam ini, Aruna tidur sambil memeluk ponselnya dengan layar menampilkan foto Leonhard. Dia bangun setelah tiga alarm yang dipasangnya berbunyi, Aruna memang kesulitan bangun pagi tapi dia selalu berusaha untuk bangun pagi apalagi setelah bekerja di kantor papi Arkana. Usai melakukan ritual pagi di kamar mandi, Aruna mempersiapkan dirinya dengan baik. Memilih pakaian terbaik, memoles wajahnya dengan make up tipis tidak berlebihan tapi harus terlihat cantik, muda dan segar karena dia memiliki janji dengan Leonhard untuk pergi ke pabrik bahan baku yang terletak di pinggiran kota Jakarta. Dan karena persiapannya yang luar biasa itu, Aruna jadi kesiangan sarapan pagi. Kedua orang tua dan kedua kakak laki-lakinya yang belum menikah hampir menyelesaikan sarapan pagi saat Aruna sampai di ruang makan. “Mi … Pi … Aruna enggak sempet sarapan pagi, Aruna ada janji sama pak Leon mau ke pabrik pagi ini ….” Aruna meraih satu helai roti kemudian mengecup pipi mami, papi dan kedua kakak laki-lakinya kemudian lari menuju ruang tamu di mana pintu utama berada dengan mulut mengapit roti. “Jangan pakai mobil aku ya, Na … aku juga buru-buru!” seru Narashima karena dia telah meminta driver untuk memposisikan mobilnya di bagian paling luar agar mudah keluar. Namun sayang, Aruna tidak mendengar pesan sang kakak jadi dia masuk ke dalam mobil yang berada paling luar karena kebetulan mesinnya menyala yang itu berarti kunci mobilnya ada di dalam. Aruna melesat membawa mobil milik Narashima keluar dari halaman rumah kedua orang tuanya yang luas. Tidak berapa lama, anggota keluarga yang tersisa berturut-turut keluar dari dalam rumah untuk pergi melakukan kegiatan hari ini. “Yaaaah, si Aruna kebangetan ya … mobil aku malah dipake!” Narashima bersungut-sungut saat tidak melihat mobilnya terparkir. “Maaf Pak … mobilnya tadi dibawa non Aruna saat saya lagi cuci tangan di toilet,” kata driver Narashima. Narashima mengembuskan nafas kasar, ada peraturan di mana setiap anggota keluarga dilarang keras memarahi pegawai apapun kesalahannya kecuali memberi teguran dengan nada rendah tapi untuk itu pun Narashima tidak memiliki waktu. “Pakai mobil Papi aja,” kata papi Arkana memberi solusi. “Ya udah, Nara pamit.” Narashima mengecup pipi mami lalu melakukan tos kepalan tangan dengan sang papi sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil yang terparkir paling luar. “Rey pergi ya, Pi … Mi ….” Reyzio pamit lantas masuk ke mobil miliknya dengan driver di kursi kemudi. “Kita pakai mobil Aruna, enggak apa-apa ‘kan sayang?” Papi Arkana membuka pintu penumpang di kabin depan untuk mami Zara. Mami Zara tergelak. “Mami sih enggak apa-apa, tapi masa Papi yang badan kekar dan macho gini nyetir mobil yang penuh dengan pernak-pernik cewek.” Mami Zara berujar seraya masuk ke dalam mobil. Papi Arkana baru sadar kalau interior mobil Aruna penuh dengan pernak-pernik lucu berwarna pink sampai kaca spion tengahnya saja terdapat banyak mute-mute termasuk tombol engine untuk menyalakan mesin. “Hadeuuuh ….” Papi Arkana tertawa menggelengkan kepalanya. “Pi … kasian Aruna, kayanya kita beliin dia apartemen yang deket sama kantor aja biar enggak keteteran setiap pergi kerja … soalnya Mami perhatikan, dia sering pulang malam terus pergi pagi banget … kalau dia tinggal di apartemen ‘kan dia enggak perlu buru-buru gini ….” Mami Zara mengungkapkan keresahannya. “Nanti dia bawa cowok masuk lagi ke apartemennya ….” Papi Arkana terdengar tidak setuju. “Cowok yang mana sih, Pi? Dia kerja keras gitu untuk membuktikan kalau dia juga bisa sehebat papi dan kakak-kakaknya, mana ada waktu untuk pacaran.” Mami Zara setengah bersarkasme. Papi Arkana tidak berkomentar, dia tengah berpikir sembari fokus mengemudi menuju rumah sakit milik sang istri. Salah satu perlakuan romantis papi Arkana kepada sang istri adalah setiap hari sebisa mungkin mengantarnya bekerja meski mereka memiliki mobil dan driver masing-masing.“Pagi Bu …,” sapa Tasya dan Tezaar kompak.Mereka berdua adalah asisten Aruna.“Pagi … kamu udah berhasil hubungi pak Robby?” Aruna bertanya kepada Tezaar.“Sudah Bu, beliau siap menerima kedatangan Ibu dan pak Leon.” Tezaar menjawab lugas.“Oke … terus Sya, kamu tolong bantu saya analisis data yang kemarin ya … nanti saya periksa kembali pulang dari pabrik.” Aruna memberi perintah kepada Tasya.“Baik, Bu!” Tasya menyahut.“Saya tunggu pak Leon di bawah aja ya, biar langsung pergi.” Aruna berujar lagi sambil melirik arlojinya.“Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menimpali.Aruna kembali ke lantai satu menunggu Leonhard di lobby.Setelah duduk selama satu jam di sana, dia mulai gelisah lalu memeriksa ponselnya untuk menghubungi Leonhard.Namun sayang ponselnya mati, lupa diisi daya karena dipeluk semalaman.“Yaaaah … ada-ada aja.” Aruna mengesah.Dia mengeluarkan powerbank dari dalam tas dan kembali melorotkan bahu karena powerbank ya juga kehabisan daya.“Pak! Punya charg
Aruna mengemudikan mobil Narashima pulang ke rumah, jalanan masih saja macet padahal jam pulang kerja sudah lewat.Seharusnya tadi pagi dia minta diantar driver, bukannya malah main masuk mobil saja.Butuh waktu satu setengah jam sampai di rumah dan keadaan rumah sudah sepi dengan beberapa lampu padam.Saat Aruna melewati ruang televisi, tiba-tiba lampu menyala, seketika sosok papi memenuhi pandangan matanya maka langkah Aruna pun berhenti.“Sayang … sini duduk dulu, kita ngobrol sebentar.” Papi menepuk space kosong di sofa panjang.Aruna mengembuskan nafas, raut lelah kentara sekali di wajah cantiknya.Lelah bukan karena bekerja melainkan berperang dengan mood buruknya seharian ini.“Kamu capek?” Papi Arkana bertanya.“Bangeeeet! Ternyata kerjaan pak Bagas banyak banget ya … Pantesan aja sering lembur, Aruna kira biar bisa dapet uang lembur yang besar ….” Aruna tampak menyesal telah berpikir negatif kepada bosnya yang dulu.“Kamu itu ya, negatif thinkiiiiing aja.” Papi Arkan
BUSSINES TRIPHari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku.Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank.Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji.“Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja.“Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan.“Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu.Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar.“Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu.“Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali.“Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arka
Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu.Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard.Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar.“Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan.“Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah.“Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju.“Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap.Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik.Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun
“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
Pagi sekali Aruna dan dua asistennya sudah memenuhi ruang meeting di gedung AG Group yang dipimpin oleh Arkana Gunadhya.Mereka sedang menyiapkan rapat penting untuk merumuskan kontrak bisnis antara AG Group dengan perusahaan yang dikelola oleh Leonhard.Selang berapa lama tim support datang, Aruna berkoordinasi dengan mereka untuk memberikan data yang nanti akan ditampilkan.Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Leonhard datang bersama orang-orang dari perusahaannya yang berkepentingan dalam proyek ini.“Selamat pagi!” sapa Leonhard saat memasuki ruang meeting.Sontak semua orang termasuk Aruna menoleh ke arahnya.“Pagi!” sahut Aruna serta yang lain bersamaan.Leonhard melangkah mendekati Aruna yang berdiri di ujung meja rapat sedang menyiapkan data di MacBook papinya.Sementara satu orang dari tim support mempersilahkan rombongan yang membersamai Leonhard untuk sarapan pagi di ruangan sebelah.“Hai …,” sapa Leonhard sembari menatap Aruna lekat.Aruna merasa tatapan Leon
Meeting dilanjutkan keesokan harinya tapi tanpa papi Arkana yang telah memiliki janji dengan klien lain.Meski begitu tetap dilakukan secara serius dan kondusif.Seperti meeting kemarin, meeting hari ini pun Leonhard dan Aruna duduk bersisian.Tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut karena Leonhard yang tidak memiliki Sourching Spesialist turun langsung dalam memilih bahan baku sehingga pasti selalu berhubungan dengan Aruna.Hanya Tasya dan Tezaar yang peka kalau ada benih-benih cinta di antara Leonhard dan Aruna, pasalnya dari tatapan serta gesture tubuh Leonhard setiap kali bicara dengan Aruna menunjukkan kekaguman dan minat yang besar.Pernah tanpa sadar Leonhard terus menatap Aruna yang tengah menjelaskan sesuatu.Semua orang juga menatap Aruna tapi tatapan Leonhard berbeda, matanya berbinar dengan seulas senyum di bibir.“Fix … pak Leon juga suka sama bu Aruna.” Tezaar berkomentar.“Sssttt ….” Tasya mendesis, menempelkan telunjuknya di bibir karena suara Tezaar nyari
Pagi sekali Aruna dan dua asistennya sudah memenuhi ruang meeting di gedung AG Group yang dipimpin oleh Arkana Gunadhya.Mereka sedang menyiapkan rapat penting untuk merumuskan kontrak bisnis antara AG Group dengan perusahaan yang dikelola oleh Leonhard.Selang berapa lama tim support datang, Aruna berkoordinasi dengan mereka untuk memberikan data yang nanti akan ditampilkan.Saat jam menunjukkan pukul delapan pagi, Leonhard datang bersama orang-orang dari perusahaannya yang berkepentingan dalam proyek ini.“Selamat pagi!” sapa Leonhard saat memasuki ruang meeting.Sontak semua orang termasuk Aruna menoleh ke arahnya.“Pagi!” sahut Aruna serta yang lain bersamaan.Leonhard melangkah mendekati Aruna yang berdiri di ujung meja rapat sedang menyiapkan data di MacBook papinya.Sementara satu orang dari tim support mempersilahkan rombongan yang membersamai Leonhard untuk sarapan pagi di ruangan sebelah.“Hai …,” sapa Leonhard sembari menatap Aruna lekat.Aruna merasa tatapan Leon
“By the way, ini ‘kan bukan jam kerja … Pak Leon panggil saya Aruna aja … lagian usia kita terpaut jauh lebih tua Pak Leon.” Aruna mulai mencoba untuk lebih dekat dengan Leonhard.“Baiklah, tapi saya juga enggak mau dipanggil dengan sebutan Bapak ya … usia kita enggak beda jauh kok jadi panggil saya Leon aja.” Leonhard memberi syarat.“Ya ampun … pake aku kamu juga enggak?” Aruna membatin.“Kita santai aja ya kalau lagi berdua atau di luar jam kerja … karena mungkin kita akan terhubung selama beberapa tahun ke depan,” cetus Leonhard seolah bisa mendengar apa kata hati Aruna.“Okeee … ide bagus.” Aruna pun setuju.Bersamaan dengan itu soto pesanan mereka sampai.“Kamu benar, sotonya enak ….” Leonhard berujar setelah menghabiskan satu mangkuk soto.“Syukurlah kalau kamu suka,” kata Aruna lega.Eee … cieee, sekarang mereka sudah menggunakan panggilan aku kamu sebentar lagi mungkin sayang.Sepertinya Aruna sedang dikelilingi keberuntungan kar
“Mohon maaf hanya ada satu kamar … tapi saya jamin aman, tidak akan ada penggerebekan,” kata resepsionis saat Aruna meminta dua kamar untuk dirinya dan Leonhard.Leonhard dan Aruna saling menatap.“Apa ada hotel lain sekitar sini?” Leonhard bertanya kepada sang resepsionis.“Enggak ada.” Dan pria resepsionis serta Aruna kompak menjawab.“Kalau tidak mau tidur di bed yang sama, saya bisa sediakan bed tambahan … kamarnya cukup luas kok dan saya jamin aman,” ulang pria itu lagi di akhir kalimat.“Bukan gitu … masalahnya kami bukan pasangan.” Aruna bergumam meski sebenarnya hatinya jumpalitan di dalam sana.“Wahai semesta … mengapa engkau kooperatif sekali,” kata Aruna di dalam hati, ingin rasanya menjerit bahagia. “Ya siapa tahu setelah pulang dari sini jadi pasangan,” kata pria muda di balik meja resepsionis diakhiri tawa kering karena baik Leonhard dan Aruna memberikan tatapan malas.“Pak Leon keberatan enggak kalau kita satu kamar?” Aruna bertanya dengan tampang datar biasa y
“Pagi Pak Leon,” sapa Aruna ketika membuka pintu mobil.Senyum manis merekah di bibirnya yang dipoles liptint warna pink.“Pagi Bu Aruna,” balas Leonhard hangat dan ramah.“Papi baru aja pergi anter mami ke Bali jadi Pak Leon enggak perlu minta ijin,” kata Aruna menyambung pembicaraan tadi malam sebelum sempat Leonhard bersuara tentang mampir untuk pamit kepada kliennya tersebut.“Oh ….” Leonhard tertawa dan lagi-lagi suara bariton seksinya membuat Aruna ingin dijamah pria itu di atas ranjang.Bayangkan saja, Aruna dengan hormon remaja menginjak dewasanya belum pernah disentuh oleh pria asing manapun bahkan ciuman pertama belum pernah dia dapatkan.Itu karena Aruna memiliki lima bodyguard yang selalu mengekangnya. “Baiklah,” sambung Leonhard mengerti.Mobil pun melaju usai driver memasukan koper Aruna ke kabin belakang.Leonhard mengamati cara berpakaian Aruna yang lebih casual tapi tetap tidak meninggalkan kesan old money.Aruna tidak memakai stelan blazer dengan pinsil sk
Aruna mengawasi Leonhard dan pak Robby dari jauh, dia tidak bisa membantu pak Robby untuk mendapatkan tender ini karena sang klien datang langsung menilai.Dan entah karena kharisma atau kejelian Leonhard serta insting kuat yang dimilikinya sampai mampu membuat pak Robby kelabakan menjawab pertanyaan pria itu.Aruna bisa melihat raut kecewa di wajah tampan Leonhard.Beberapa saat kemudian pak Robby dan Leonhard datang mendekati Aruna yang berdiri di pintu keluar.“Terimakasih pak Robby, akan saya pertimbangkan hasil survei kali ini ….” Leonhard tidak ingin berlama-lama, dia menjabat tangan pak Robby untuk berpamitan.“Mungkin nanti saya yang akan menginfokan kepada Pak Robby hasil dari keputusan Pak Leon,” kata Aruna menjadi penengah.“Ya … itu bagus,” balas Leonhard setuju.“Baik, Pak Leon … Bu Aruna … saya tunggu kabar baiknya,” ujar pak Robby penuh harap.Pak Robby mengantar Aruna dan Leonhard ke area depan pabrik.Sama seperti perginya, saat kembali ke parkiran mobil pun
BUSSINES TRIPHari yang ditunggu-tunggu Aruna akhirnya tiba, dia dan Leonhard akan melakukan kunjungan ke salah satu pabrik yang memproduksi bahan baku.Tadi malam Aruna telah mengisi daya batre ponselnya berikut dengan powerbank.Sambil berdandan dia sering kali mengecek ponsel untuk memastikan tidak ada chat dari Leonhard yang membatalkan janji.“Mi … Pi … Aruna pergi ya, Aruna mau ke pabrik sama pak Leon.” Aruna mengecup pipi papi dan mami kemudian bibirnya mengapit satu helai roti yang baru saja diambil dari piring saji di atas meja.“Sayang, kapan kamu mau pindah ke apartemen?” Mami berteriak dari ruang makan karena Aruna telah melesat cepat menuju pintu depan.“Nanti aja!” Aruna balas berteriak sebelum melewati pintu.Mami mengembuskan nafas panjang sementara papi menggelengkan kepala samar.“Kenapa Aruna boleh tinggal di apartemen tapi Nara enggak?” Narashima terdengar menggerutu.“Iya … enggak adil.” Reyzio menimpali.“Nanti kalian bawa cewek ke apartemen.” Papi Arka
Aruna mengemudikan mobil Narashima pulang ke rumah, jalanan masih saja macet padahal jam pulang kerja sudah lewat.Seharusnya tadi pagi dia minta diantar driver, bukannya malah main masuk mobil saja.Butuh waktu satu setengah jam sampai di rumah dan keadaan rumah sudah sepi dengan beberapa lampu padam.Saat Aruna melewati ruang televisi, tiba-tiba lampu menyala, seketika sosok papi memenuhi pandangan matanya maka langkah Aruna pun berhenti.“Sayang … sini duduk dulu, kita ngobrol sebentar.” Papi menepuk space kosong di sofa panjang.Aruna mengembuskan nafas, raut lelah kentara sekali di wajah cantiknya.Lelah bukan karena bekerja melainkan berperang dengan mood buruknya seharian ini.“Kamu capek?” Papi Arkana bertanya.“Bangeeeet! Ternyata kerjaan pak Bagas banyak banget ya … Pantesan aja sering lembur, Aruna kira biar bisa dapet uang lembur yang besar ….” Aruna tampak menyesal telah berpikir negatif kepada bosnya yang dulu.“Kamu itu ya, negatif thinkiiiiing aja.” Papi Arkan
“Pagi Bu …,” sapa Tasya dan Tezaar kompak.Mereka berdua adalah asisten Aruna.“Pagi … kamu udah berhasil hubungi pak Robby?” Aruna bertanya kepada Tezaar.“Sudah Bu, beliau siap menerima kedatangan Ibu dan pak Leon.” Tezaar menjawab lugas.“Oke … terus Sya, kamu tolong bantu saya analisis data yang kemarin ya … nanti saya periksa kembali pulang dari pabrik.” Aruna memberi perintah kepada Tasya.“Baik, Bu!” Tasya menyahut.“Saya tunggu pak Leon di bawah aja ya, biar langsung pergi.” Aruna berujar lagi sambil melirik arlojinya.“Baik, Bu.” Tasya dan Tezaar kompak menimpali.Aruna kembali ke lantai satu menunggu Leonhard di lobby.Setelah duduk selama satu jam di sana, dia mulai gelisah lalu memeriksa ponselnya untuk menghubungi Leonhard.Namun sayang ponselnya mati, lupa diisi daya karena dipeluk semalaman.“Yaaaah … ada-ada aja.” Aruna mengesah.Dia mengeluarkan powerbank dari dalam tas dan kembali melorotkan bahu karena powerbank ya juga kehabisan daya.“Pak! Punya charg