Kinora berdiri di depan kaca besar di ruang tamu rumahnya yang sederhana. Cermin itu memantulkan wajahnya yang tampak lelah dan penuh pertanyaan. Matanya yang biasanya cerah kini tampak redup, terperangkap dalam serangkaian pikiran yang membingungkan. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang selama ini tidak pernah terungkap. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu keluarganya dan, lebih spesifik lagi, tentang ayahnya. Ia tahu bahwa ada rahasia besar yang selama ini disembunyikan darinya. Rahasia yang akan mengubah segala yang ia ketahui tentang hidupnya.
Beberapa hari terakhir, Kinora merasakan ketegangan yang aneh di rumah. Ayahnya, Arman, tampak cemas dan sering berbicara dengan orang-orang yang tidak dikenal, sementara ibunya, Mira, lebih sering diam dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Suatu malam, ketika Kinora sedang bersantai di ruang keluarga, ia mendengar percakapan yang tak sengaja ia tangkap antara ayah dan ibunya. Mereka membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan nama "Lovrin", yang tiba-tiba membuat hatinya berdegup kencang.
Lovrin adalah nama yang tak asing baginya. Ada sesuatu dalam nama itu yang menyentuh bagian terdalam hatinya, sebuah kenangan yang terlupakan. Tanpa pikir panjang, Kinora memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut.
Hari itu tiba.
Di dalam ruang kerja ayahnya, Kinora menemukan sebuah map biru tua yang tersembunyi di balik tumpukan berkas. Map itu tampak sudah usang, dengan sudut-sudut yang terlipat dan hampir robek. Ia meraba-raba isinya dan menemukan beberapa dokumen yang membuat hatinya bergetar. Salah satunya adalah surat-surat lama yang tertanggal bertahun-tahun lalu. Ketika ia membuka surat pertama, ia menemukan nama "Lovrin" tercetak dengan jelas. Bukan hanya itu, dalam surat-surat tersebut ada rincian mengenai sebuah perusahaan besar yang didirikan oleh orang tua Lovrin—sebuah perusahaan yang, menurut surat itu, akhirnya jatuh ke tangan seseorang yang sangat dekat dengan keluarga Kinora. Ayahnya.
Kinora terdiam, matanya membelalak. Ia terus membaca, menemukan kebenaran yang lebih mengerikan: "Perusahaan Ayah Lovrin, yang telah lama dikenal sebagai pionir dalam industri tekstil, jatuh ke tangan Arman, yang kala itu bekerja di bawahnya sebagai karyawan senior. Namun, untuk mencapai hal itu, Arman tidak hanya mengandalkan kemampuan profesionalnya. Ia juga memanfaatkan kesempatan yang datang setelah kecelakaan tragis yang menimpa orang tua Lovrin."
Kinora tercekik membaca kalimat itu. Orang tua Lovrin meninggal dalam kecelakaan yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Ia segera mengingat kembali apa yang pernah diceritakan ibunya tentang keluarga Lovrin. Namun, ibu hanya pernah mengatakan bahwa Lovrin adalah teman lama mereka yang kini telah hilang, tak pernah terdengar kabarnya lagi.
Namun, surat-surat yang ada di hadapannya kini membuka kenyataan yang lebih mengerikan: Ayahnya, Arman, terlibat langsung dalam keruntuhan hidup Lovrin. Arman tidak hanya mengambil alih perusahaan itu, tetapi juga berperan dalam kematian kedua orang tua Lovrin. Semua ini membuat Kinora merasa terkejut dan bingung.
Dengan hati berdebar, Kinora melangkah keluar dari ruang kerja, berusaha menenangkan diri. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan pengetahuan baru ini. Bagaimana ia bisa menghadapi ayahnya setelah mengetahui kebenaran yang mengerikan ini?
Kinora menemukan Lovrin di sebuah kafe.
Lovrin terlihat begitu bersemangat saat ditemui Kinora, kedekatan yang terlajalin akhir-akhir ini membuat Lovrin begitu merona. Ia duduk di sebuah meja pojok, dengan secangkir kopi di depannya. Ketika Kinora mendekat, Lovrin menatapnya sejenak.
"Kinora," katanya dengan suara serak. "Sudah lama menungguku?."
"oh, tidak," jawab Kinora pelan. "Tapi... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu."
Lovrin hanya tersenyum miris. "Aku rasa aku tahu apa yang ingin kau tanyakan."
Kinora duduk di depan Lovrin, mencoba menyusun kata-kata. "Aku baru saja tahu sesuatu... sesuatu yang membuatku sangat bingung. Tentang keluargamu... tentang ayahku."
Lovrin menghela napas panjang dan menatap Kinora dengan mata yang penuh kepedihan. "Aku tahu apa yang kau temui, Kinora. Aku tahu kau telah menemukan kenyataan yang selama ini disembunyikan."
Kinora menatap Lovrin dengan cemas. "Bagaimana... bagaimana ayahku bisa melakukan itu padamu? Mengambil perusahaanmu, menyebabkan kematian orang tuamu?"
Lovrin menundukkan kepala, seolah menanggung beban yang sangat berat. "Itu adalah harga yang harus aku bayar untuk sebuah kenyataan pahit. Ayahmu—Arman—dia adalah orang yang bertanggung jawab atas kehilangan orang tuaku. Kecelakaan yang terjadi pada malam itu... bukanlah kecelakaan biasa. Itu adalah bagian dari rencana yang disusun dengan sangat hati-hati untuk merampas segalanya dari keluargaku. Perusahaan yang dibangun oleh ayahku jatuh ke tangan Arman setelah tragedi itu. Dan sejak itu, hidupku berubah selamanya."
Kinora tidak bisa berkata-kata. Ia merasa dunia seolah runtuh di sekitarnya. Ayahnya, yang selama ini ia anggap sebagai figur pelindung dan teladan, ternyata terlibat dalam perbuatan yang sangat kejam. "Tapi... kenapa? Kenapa ayahku melakukan itu?"
Lovrin tersenyum pahit. "Kebanyakan orang melakukan hal-hal yang mereka anggap benar, meskipun itu sangat salah. Arman mungkin berpikir bahwa mengambil alih perusahaan itu adalah langkah yang sah, bahwa itu adalah kesempatan yang tidak bisa disia-siakan. Tapi aku tahu, jauh di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia telah mengorbankan banyak hal untuk mencapai itu. Termasuk aku dan orang tuaku."
Kinora merasa sesak di dada. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan ini, tapi tidak bisa. Ia harus mendengarkan cerita Lovrin hingga tuntas. "Apa yang terjadi setelah itu? Apa yang kau lakukan setelah kehilangan orang tuamu?"
Lovrin menatap jauh ke luar jendela, matanya kosong. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi setelah itu. Aku harus tinggal bersama nenekku, yang juga tidak mampu membantuku banyak. Semua yang aku miliki adalah kenangan pahit dan rasa kehilangan yang mendalam. Aku menjalani hidupku dengan perasaan kosong, tanpa arah, dan selalu mencari cara untuk mengatasi semuanya. Namun, kenyataan tetap tidak bisa diubah."
Kinora menundukkan kepala, merasa hati ini semakin teriris. Ia merasa sangat bersalah. "Aku... aku tidak tahu. Aku tidak pernah tahu betapa besar penderitaanmu."
Lovrin menatap Kinora dengan lembut. "Tidak ada yang bisa kau lakukan, Kinora. Aku sudah lama belajar untuk menerima kenyataan ini. Tetapi apa yang paling sulit adalah melihat orang yang bertanggung jawab atas semuanya, orang yang selama ini kau anggap sebagai teladan, ternyata adalah orang yang menyebabkan kehancuranku."
Kinora memejamkan matanya, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan semua ini. Aku tidak tahu bagaimana harus berbicara dengan ayah setelah mengetahui semuanya."
Lovrin mengangkat bahu. "Terkadang, kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Yang bisa kita lakukan hanyalah mencari cara untuk terus maju, meski itu penuh dengan luka dan penyesalan. Tanyakan pada dirimu sendiri, apakah ayahmu yang sebenarnya—apakah dia yang kau kenal selama ini?"
Kinora tidak menjawab. Ia hanya duduk terdiam, tenggelam dalam pikirannya. Semua yang ia ketahui tentang ayahnya kini dipertanyakan. Ayah yang selama ini ia kagumi ternyata adalah seorang pria yang mampu melakukan hal-hal mengerikan demi kekuasaan dan kesuksesan.
Beberapa minggu kemudian, Kinora akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan ayahnya.
Ia duduk di ruang tamu, menunggu ayahnya pulang dari kantor. Ketika Arman memasuki rumah, Kinora merasa hati ini berdebar kencang. Ia tahu saat ini adalah waktu yang menentukan. Ia harus tahu kebenarannya.
"Ayah," kata Kinora, suaranya agak bergetar. "Aku tahu semuanya."
Arman menatapnya bingung. "Apa maksudmu?"
"Aku tahu apa yang terjadi dengan Lovrin. Aku tahu apa yang terjadi pada orang tuanya. Aku tahu kau yang bertanggung jawab."
Arman terdiam, wajahnya berubah tegang.
Lovrin duduk di tepi jendela ruang tamunya, pandangannya jauh melayang menembus langit senja yang kemerahan. Kota yang sibuk di bawahnya tampak mulai padam, tanda malam datang. Namun, bagi Lovrin, senja ini terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa pahit yang mengendap di hatinya, tidak ada lagi dendam yang membakar jiwa. Segalanya mulai terlihat lebih ringan, meskipun bayang-bayang masa lalu masih sesekali muncul.Di luar sana, Kinora menunggu. Wanita yang telah mengubah hidupnya, yang kini menjadi satu-satunya alasan mengapa ia bisa terus bertahan, meskipun semua kebencian dan kesakitan yang dulu pernah ia rasakan.Kinora, putri dari pria yang telah menjadi musuh terbesar dalam hidupnya. Ayah Kinora adalah orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang merenggut nyawa orang tua Lovrin bertahun-tahun lalu. Kecelakaan itu menyebabkan Lovrin tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya, dikelilingi oleh rasa kehilangan dan kemarahan yang mendalam.Namun, meskipun Kinora adalah darah dagin
Suasana hati Lovrin lumayan bersahabat dia memulai langkah perkuliahan hari itu dengan penuh semangat. Lovrin memang jarang memberikan senyum terbaiknya, terlebih saat dirinya ditinggalkan kedua orang tuanya saat masih berusia lima tahun. Kini dia hidup bersama nenek dan juga pamannya.“Lovrin … apa kau sudah menghabiskan sarapanmu?” tanya sang nenek pada Lovrin.“Sudah, Nek."Masakan Nenek memang juara!” celetuk Lovrin yang tengah mencicipi berbagai hidangan di meja makan.“Tetapi kau mengapa tampak kurus sekali akhir-akhir ini?” canda paman Lovrin.“Ah, Paman. Bisa saja menggodaku.”Mereka memang begitu setiap harinya, terbiasa bergurau satu dengan yang lainnya. Tanpa terasa Lovrin yang diasuh neneknya beranjak dewasa. Neneknya, Nyonya Farida begitu menyayangi Lovrin. Sepeninggal kedua orang tua Lovrin, dialah tempat bersandar bagi sang cucu kesayangan.Semasa sekolah Nyon
Teriknya matahari benar-benar membuat Lovrin sangat kehausan, saat itu juga dia mencari es rumput laut kesukaannya. Biasanya siang-siang begitu pedagang es selalu stan by menjajakan es rumput lau di depan kampus.“Widih, ini panas ampe nusuk kulit rasanya.”“Tenggorokan juga udah seret, es rumput laut kesukaanku pasti ampuh ni.” celetuk Lovrin sambil menyusuri anak tangga menuju depan kampus.Rupanya dari arah selatan, ada sebuah mobil melaju sangat kencang dan hanya membunyikan klakson, pertanda pejalan kaki harus waspada.“Woi, ini jalan punya nenek moyang kau apa?”“Hampir nyawaku melayang, awas kau.”Amarahnya kembali terusik karena melihat pengendara mobil itu, berhenti pas di area parkir kampus. Saat pengendara mobil itu turun dan berbalik badan, ternyata dia adalah Haikal. Lovrin yang mengetahui itu Haikal langsung memberondong dengan pertanyaan dan umpatan.“Kau punya sim d
“Wah gawat, kali ini aku tidak bisa berkelit.” kata Kinora sedikit terburu-buru memacu langkah untuk menuju kelas perkuliahan.Dia tak lagi menghiraukan pak Alman, yang tengah memberikan materi perkuliahan saat itu. Meski detak jantung Kinora kembang kempis karena berjalan dengan terburu-buru, namun dia berusaha tenang mencari tempat duduknya.“Ehem!”“Kinora, what are you doing?” ucap pak Alman, mencoba mengintrogasi Kinora yang masih tak percaya kedatangannya secara diam-diam diketahui oleh dosennya itu.“A … anu Pak, maaf saya terlambat.” sambil menahan malu, dia tetap berdiri dengan posisi tangan yang mengepal karena cemas.“Ok, I don’t know what you think this morning, out please!” seketika pak Alman menyuruh Kinora keluar dari kelas, karena keterlambatan hampir tiga puluh menit.Kali ini Kinora tidak beruntung, dia langsung keluar dari kelas dan memutar arah menuj
Peristiwa beberapa hari yang lalu, saat hujan mengguyur kota dan seisinya hingga mempertemukan Lovrin dan Kinora, dalam situasi yang tidak mengenakan. Kinora benar-benar dipermalukan oleh Lovrin, dia terlihat bak gadis bodoh yang dimarahi habis-habisan dihadapan Lovrin si tengil.Tampang Lovrin begitu bringas, dingin, dan seakan siap menerkam Kinora yang santun juga rupawan. Lovrin tak menunjukkan sikap ramah, bak seorang pangeran yang bertemu dengan seorang putri cantik jelita. Kejadian itu rupanya sempat terlintas kembali di benak Kinora.“Ayora, aku teringat kejadian beberapa hari lalu.” ungkap Kinora pada Ayora yang sibuk mengerjakan tugas perkuliahannya.“Wah, aku jadi ingin tau, memang kejadian apa sih?” selidik Ayora pada Kinora yang mencoba mengingat kembali kejadian itu sambil bingung mengapa dirinya bisa bertemu dengan seorang pria menyebalkan.“Aku tak sengaja saat hujan hari itu menyemprot air hujan ke tubuh seora
Sekian lama menunggu, di dalam bioskop namun Lovrin masih juga belum kembali untuk menonton film. Haikal memutuskan, untuk segera mencari temannya itu.“Rin, Rin … kau tidura atau apa sih di toilet?” tanya Haikal dalam hati sambil grasak-grusuk menelusuri jalan menuju toilet.Haikal melihat ada suara keributan di arah sebelah selatan toilet, lalu dia datang menghampiri perlahan.“Permisi Mbak, ini ada apa ya?” selidik Haikal pada salah satu pengunjung yang kebetulan juga sedang mengamati kekisruhan itu.“Itu lo emas, ada cewek sama cowok yang lagi rebut gara-gara ponsel.” ungkap pengunjung.“Omg … itukan si Lovrin, gawat. Buat masalah apalagi itu anak?”Tebakan Haikal tidak meleset, Lovrin yang memang keras kepala dan minus sopan santun memang telah berulah kembali. Haikal mendekati Lovrin, yang masih saja bersitegang dengan Kionora.“Permisi Mbak, ada apa ini ya? Ini
Hari itu adalah akhir pekan yang cerah. Lovrin dan Kinora memutuskan untuk pergi ke pameran lukisan yang baru dibuka di pusat kota. Kinora, yang sangat menyukai seni, sudah tidak sabar sejak semalam, sementara Lovrin, yang lebih suka bercanda daripada seni, hanya tertarik karena ingin menghabiskan waktu bersama Kinora dan mungkin sedikit menjahilinya.Saat mereka masuk ke galeri, Kinora langsung terpesona. “Hei Tengil, oh tidak, maksudku Lihat Lovrin! Lukisan ini menggambarkan pergolakan emosi melalui warna-warna gelapnya. Sangat dalam, bukan?” teriak Kinora bersemangat sambil menunjuk ke sebuah karya abstrak.Lovrin memiringkan kepalanya, berpura-pura serius. “Hmm… Menurutku ini lukisan tentang nasi goreng yang ditinggal pas hujan,” jawabnya dengan wajah datar.Kinora melotot. “Lovrin! Serius, dong!”Tawa kecil Lovrin memenuhi ruangan. “Oke, oke, aku serius. Tapi ya, mungkin saja si pelukis lapar saat membuat ini?”Setiap kali Kinora mencoba membahas lukisan dengan antusias, Lovrin s
Lovrin duduk di tepi jendela ruang tamunya, pandangannya jauh melayang menembus langit senja yang kemerahan. Kota yang sibuk di bawahnya tampak mulai padam, tanda malam datang. Namun, bagi Lovrin, senja ini terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa pahit yang mengendap di hatinya, tidak ada lagi dendam yang membakar jiwa. Segalanya mulai terlihat lebih ringan, meskipun bayang-bayang masa lalu masih sesekali muncul.Di luar sana, Kinora menunggu. Wanita yang telah mengubah hidupnya, yang kini menjadi satu-satunya alasan mengapa ia bisa terus bertahan, meskipun semua kebencian dan kesakitan yang dulu pernah ia rasakan.Kinora, putri dari pria yang telah menjadi musuh terbesar dalam hidupnya. Ayah Kinora adalah orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang merenggut nyawa orang tua Lovrin bertahun-tahun lalu. Kecelakaan itu menyebabkan Lovrin tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya, dikelilingi oleh rasa kehilangan dan kemarahan yang mendalam.Namun, meskipun Kinora adalah darah dagin
Kinora berdiri di depan kaca besar di ruang tamu rumahnya yang sederhana. Cermin itu memantulkan wajahnya yang tampak lelah dan penuh pertanyaan. Matanya yang biasanya cerah kini tampak redup, terperangkap dalam serangkaian pikiran yang membingungkan. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang selama ini tidak pernah terungkap. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu keluarganya dan, lebih spesifik lagi, tentang ayahnya. Ia tahu bahwa ada rahasia besar yang selama ini disembunyikan darinya. Rahasia yang akan mengubah segala yang ia ketahui tentang hidupnya.Beberapa hari terakhir, Kinora merasakan ketegangan yang aneh di rumah. Ayahnya, Arman, tampak cemas dan sering berbicara dengan orang-orang yang tidak dikenal, sementara ibunya, Mira, lebih sering diam dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Suatu malam, ketika Kinora sedang bersantai di ruang keluarga, ia mendengar percakapan yang tak sengaja ia tangkap antara ayah dan ibunya. Mereka membicarakan sesuatu yang
Hari itu adalah akhir pekan yang cerah. Lovrin dan Kinora memutuskan untuk pergi ke pameran lukisan yang baru dibuka di pusat kota. Kinora, yang sangat menyukai seni, sudah tidak sabar sejak semalam, sementara Lovrin, yang lebih suka bercanda daripada seni, hanya tertarik karena ingin menghabiskan waktu bersama Kinora dan mungkin sedikit menjahilinya.Saat mereka masuk ke galeri, Kinora langsung terpesona. “Hei Tengil, oh tidak, maksudku Lihat Lovrin! Lukisan ini menggambarkan pergolakan emosi melalui warna-warna gelapnya. Sangat dalam, bukan?” teriak Kinora bersemangat sambil menunjuk ke sebuah karya abstrak.Lovrin memiringkan kepalanya, berpura-pura serius. “Hmm… Menurutku ini lukisan tentang nasi goreng yang ditinggal pas hujan,” jawabnya dengan wajah datar.Kinora melotot. “Lovrin! Serius, dong!”Tawa kecil Lovrin memenuhi ruangan. “Oke, oke, aku serius. Tapi ya, mungkin saja si pelukis lapar saat membuat ini?”Setiap kali Kinora mencoba membahas lukisan dengan antusias, Lovrin s
Sekian lama menunggu, di dalam bioskop namun Lovrin masih juga belum kembali untuk menonton film. Haikal memutuskan, untuk segera mencari temannya itu.“Rin, Rin … kau tidura atau apa sih di toilet?” tanya Haikal dalam hati sambil grasak-grusuk menelusuri jalan menuju toilet.Haikal melihat ada suara keributan di arah sebelah selatan toilet, lalu dia datang menghampiri perlahan.“Permisi Mbak, ini ada apa ya?” selidik Haikal pada salah satu pengunjung yang kebetulan juga sedang mengamati kekisruhan itu.“Itu lo emas, ada cewek sama cowok yang lagi rebut gara-gara ponsel.” ungkap pengunjung.“Omg … itukan si Lovrin, gawat. Buat masalah apalagi itu anak?”Tebakan Haikal tidak meleset, Lovrin yang memang keras kepala dan minus sopan santun memang telah berulah kembali. Haikal mendekati Lovrin, yang masih saja bersitegang dengan Kionora.“Permisi Mbak, ada apa ini ya? Ini
Peristiwa beberapa hari yang lalu, saat hujan mengguyur kota dan seisinya hingga mempertemukan Lovrin dan Kinora, dalam situasi yang tidak mengenakan. Kinora benar-benar dipermalukan oleh Lovrin, dia terlihat bak gadis bodoh yang dimarahi habis-habisan dihadapan Lovrin si tengil.Tampang Lovrin begitu bringas, dingin, dan seakan siap menerkam Kinora yang santun juga rupawan. Lovrin tak menunjukkan sikap ramah, bak seorang pangeran yang bertemu dengan seorang putri cantik jelita. Kejadian itu rupanya sempat terlintas kembali di benak Kinora.“Ayora, aku teringat kejadian beberapa hari lalu.” ungkap Kinora pada Ayora yang sibuk mengerjakan tugas perkuliahannya.“Wah, aku jadi ingin tau, memang kejadian apa sih?” selidik Ayora pada Kinora yang mencoba mengingat kembali kejadian itu sambil bingung mengapa dirinya bisa bertemu dengan seorang pria menyebalkan.“Aku tak sengaja saat hujan hari itu menyemprot air hujan ke tubuh seora
“Wah gawat, kali ini aku tidak bisa berkelit.” kata Kinora sedikit terburu-buru memacu langkah untuk menuju kelas perkuliahan.Dia tak lagi menghiraukan pak Alman, yang tengah memberikan materi perkuliahan saat itu. Meski detak jantung Kinora kembang kempis karena berjalan dengan terburu-buru, namun dia berusaha tenang mencari tempat duduknya.“Ehem!”“Kinora, what are you doing?” ucap pak Alman, mencoba mengintrogasi Kinora yang masih tak percaya kedatangannya secara diam-diam diketahui oleh dosennya itu.“A … anu Pak, maaf saya terlambat.” sambil menahan malu, dia tetap berdiri dengan posisi tangan yang mengepal karena cemas.“Ok, I don’t know what you think this morning, out please!” seketika pak Alman menyuruh Kinora keluar dari kelas, karena keterlambatan hampir tiga puluh menit.Kali ini Kinora tidak beruntung, dia langsung keluar dari kelas dan memutar arah menuj
Teriknya matahari benar-benar membuat Lovrin sangat kehausan, saat itu juga dia mencari es rumput laut kesukaannya. Biasanya siang-siang begitu pedagang es selalu stan by menjajakan es rumput lau di depan kampus.“Widih, ini panas ampe nusuk kulit rasanya.”“Tenggorokan juga udah seret, es rumput laut kesukaanku pasti ampuh ni.” celetuk Lovrin sambil menyusuri anak tangga menuju depan kampus.Rupanya dari arah selatan, ada sebuah mobil melaju sangat kencang dan hanya membunyikan klakson, pertanda pejalan kaki harus waspada.“Woi, ini jalan punya nenek moyang kau apa?”“Hampir nyawaku melayang, awas kau.”Amarahnya kembali terusik karena melihat pengendara mobil itu, berhenti pas di area parkir kampus. Saat pengendara mobil itu turun dan berbalik badan, ternyata dia adalah Haikal. Lovrin yang mengetahui itu Haikal langsung memberondong dengan pertanyaan dan umpatan.“Kau punya sim d
Suasana hati Lovrin lumayan bersahabat dia memulai langkah perkuliahan hari itu dengan penuh semangat. Lovrin memang jarang memberikan senyum terbaiknya, terlebih saat dirinya ditinggalkan kedua orang tuanya saat masih berusia lima tahun. Kini dia hidup bersama nenek dan juga pamannya.“Lovrin … apa kau sudah menghabiskan sarapanmu?” tanya sang nenek pada Lovrin.“Sudah, Nek."Masakan Nenek memang juara!” celetuk Lovrin yang tengah mencicipi berbagai hidangan di meja makan.“Tetapi kau mengapa tampak kurus sekali akhir-akhir ini?” canda paman Lovrin.“Ah, Paman. Bisa saja menggodaku.”Mereka memang begitu setiap harinya, terbiasa bergurau satu dengan yang lainnya. Tanpa terasa Lovrin yang diasuh neneknya beranjak dewasa. Neneknya, Nyonya Farida begitu menyayangi Lovrin. Sepeninggal kedua orang tua Lovrin, dialah tempat bersandar bagi sang cucu kesayangan.Semasa sekolah Nyon