“Wah gawat, kali ini aku tidak bisa berkelit.” kata Kinora sedikit terburu-buru memacu langkah untuk menuju kelas perkuliahan.
Dia tak lagi menghiraukan pak Alman, yang tengah memberikan materi perkuliahan saat itu. Meski detak jantung Kinora kembang kempis karena berjalan dengan terburu-buru, namun dia berusaha tenang mencari tempat duduknya.
“Ehem!”
“Kinora, what are you doing?” ucap pak Alman, mencoba mengintrogasi Kinora yang masih tak percaya kedatangannya secara diam-diam diketahui oleh dosennya itu.
“A … anu Pak, maaf saya terlambat.” sambil menahan malu, dia tetap berdiri dengan posisi tangan yang mengepal karena cemas.
“Ok, I don’t know what you think this morning, out please!” seketika pak Alman menyuruh Kinora keluar dari kelas, karena keterlambatan hampir tiga puluh menit.
Kali ini Kinora tidak beruntung, dia langsung keluar dari kelas dan memutar arah menuju kantin kampus. Dia memesan beberapa menu sarapan pagi, dalam hatinya masih menyisakan rasa malu bercampur resah, mengingat perkuliahan hari itu adalah salah satu mata kuliah favoritnya, dengan dosen yang juga kompeten dalam hal tersebut. Selain itu Kinora merasa, sudah ketinggalan jauh untuk materi perkuliahan, yang diberikan oleh pak Alman sebab Kinora sempat absen gara-gara sakit tipes.
“Gila! pake acara telat.”umpat Kinora saat akan mencicipi sarapan paginya.
“Sudah tau aku beberapa kali tidak mengikuti perkuliahan, tapi malah begini!” jerit gadis berambut hitam legam panjang terurai tersebut.
Apalah daya, kejadian itu telah usai, dan Kinora hanya bisa pasrah menerima nasib, kalau hari itu dia benar-benar terlambat memasuki kelas. Tangannya tak berhenti memainkan sedotan hitam, dengan gerakkan mengaduk minuman tak tentu arah. Kinora tampak menghela napas panjang agar pikirannya kembali waras.
Senyum seakan menghilang usai kejadian di kelas tadi, tiba-tiba dari arah depan Ayora melirik ke arah Kinora yang tengah tidak bersemangat.
“Kinora!”
“Hai, Kinora. Ada apa denganmu?”
Rupanya Kinora tidak terlalu mendengarkan suara di sekitarnya, dia hanya tampak sibuk berpikir menerawang, memanjangkan angan-angan agar dia bisa secepatnya menyelesaikan tugas akhir, dan bersiap untuk meninggalkan dunia perkuliahan.
“Ya ampun Kinora, dari tadi Aku panggil-panggil kamu diam saja.”
“Ada apa denganmu? ayolah kejadian di kelas tadi hanya ketidak beruntungamu saja hari ini.” ucap gadis bertubuh tinggi semampai yang kebetulan idola para lelaki di kampusnya.
“Ya tuhan, rasanya aku ingin menghilang saja saat Pak Alman memarahiku di hadapan puluhan mahasiswa.”
“Aku juga merasa telah banyak ketinggalan materi perkuliahan yang diberikan Pak Alman.” ungkap Kinora pada sahabatnya Ayora seketika.
“Ya, ya, ya …. aku tau itu.”
“Tapi apa dengan bersikap berlebihan begin,i masalahmu akan berkurang? aku rasa No.” imbuh Ayora guna menyemangati Kinora yang sepertinya kehilangan percaya dirinya.
Ada saatnya, dimana Kinora terlihat begitu serius dengan kegagalan yang dihadapinya, namun Kinora lebih sering menampakkan senyum indah nan memikat. Entah mengapa, kali ini dia begitu gusar, seakan kejadian pengusiran di kelas adalah tragedi berdarah dalam hidupnya.
Kinora lalu memilih pulang ke rumah untuk menenangkan diri, wajah sendu kentara menghiasi ronanya. Kinora sang putri kesayangan, memang begitu lembut hati. Dia jarang mengungkapkan perasaannya pada keluarga. Dia adalah tipe perempuan kalem, namun tangguh menghadapi segala persoalan hidup.
Sedari kecil Kinora sering merasa, kedua orang tuanya terlalu sibuk mengurusi pekerjaan mereka masing-masing. Di saat seperti itu Kinora hanya berteman dengan seekor kucing Persia miliknya, dan beberapa orang asisten rumah tangga. Rasanya tidak perlu, mengungkapkan keluh kesah apapun kepada mereka, yang penting bagi Kinora adalah orang tuanya selalu memenuhi kebutuhannya untuk melukis, sebab Kinora memiliki hobi melukis dari kecil.
Keluarganya yang terpandang di kota tersebut, memang tak diragukan lagi reputasinya. Memiliki perusahaan ternama, dengan berbagai bisnis lainnya membuat Kinora tidak pernah mengalami kesulitan ekonomi. Dia nyaris memiliki kehidupan sempurna, dengan apa yang telah dia dapatkan dari kekayaan tersebut.
Sang pewaris perusahaan dan bisnis itu merasa hidupnya bukan untuk bisnis, tetapi dia ingin sekali mewujudkan mimpinya, untuk menjadi seorang designer ternama, menyadari bakatnya ada di design dan seni melukis dia yakin akan keputusan yang dia pilih nantinya. Perjalanan itu tak akan mudah, karena sang ayah tak pernah merestui niatnya menjadi seorang designer.
Gurita bisnis keluarga Kinora memang membutuhkan pewaris, pewaris yang siap mengembangkan segalanya. Kinora sering merasa tak sepaham dengan ayah dan ibunya, yang selalu mengarahkannya ke dunia bisnis. Kegiatan yang tidak disukai KInora yaitu berbasa- basi pada investor merayu mereka untuk mau menanamkan saham, hal ini berbanding terbalik dengan ke piawaian sang ayah, dalam berbisnis puluhan tahun.
Selama perjalanan, wajah serius Kinora masih terpasang diliputi kegalauan hati yang luar biasa. Kinora khawatir, ayahnya semakin memaksa dia untuk menekuni dunia bisnis. Terlebih sampai saat ini, Kinora masih berusaha membuktikan bila dirinya mampu merintis kesuksesan, sebagai seorang designer ternama.
“Fiuh … aku bersiap untuk jadi bulan-bulanan Papa.”
“Kalau aku tidak bisa membuktikan kemampuanku untuk menjadi seorang designer, tamatlah aku.” kata-katanya mulai tak terkontrol. Pikiran Kinora dipenuhi kecemasan bahwa sang ayah akan benar-benar memaksanya menekuni bisnis.
“Tak akan aku biarkan Papa memaksakan kehendaknya lagi padaku.” gumam Kinora melampiaskan kegundahan hatinya dan sesekali memukul stir mobilnya.
Kondisi hujan yang begitu deras, membuat jarak pandang Kinora menjadi terbatas. Siang beranjak sore tepatnya pukul 17.05Wib hujan tiba-tiba mengguyur kota dan seisinya. Kinora sangan berhati-hati membawa mobil tunggangannya. Sampai sesat terdengar suara gaduh, bercampur gemuruh yang datang saat itu.
"Sialan!"
"Apa jalanan ini milik Ibumu?" teriak seorang pria dari jarak tak terlalu jauh dari laju kendaraan Kinora.
“Turun! Kau akan tau berurusan dengan siapa kali ini.”
"Sorry, aku tak sengaja."terang Kinora sambil tergesa-gesa menepikan mobil miliknya dan bergegas turun.
"Maafkan aku." mata sayu Kinora terlihat memohon maaf dengan tulus.
Sorot mata tajam nan bringas, terpancar jelas di raut pria bertubuh kekar tersebut. Tak henti dia mengumpat Kinora, karena tubuhnya terkena cipratan air hujan.
“Waduh, apa yang harus aku lakukan?” tanya Kinora polos sambil berusaha membersihkan baju pria itu.
“Hei, wanita teledor. Jangan kau sentuh aku!” lagi-lagi pria itu tak terima atas perlakuan Kinora terhadapnya.
“Maaf …. Maaf!”
“Aku tak bermaksud kurang ajar padamu, aku hanya ingin membantu membersihkan pakaianmu.” ungkap Kinora mencoba menjelaskan.
Ternyata diketahui pria itu ialah Lovrin si tengil. Tingkahnya memang selalu memunculkan kejengkelan, bagi yang baru bertemu dengannya. Sang dewa penghancur hati dengan omongan-omongan yang terdengar spontan, namun cukup kasar tentu saja membuat siapapun yang bertemu pertama kali, akan malas berurusan dengannya. Bisa jadi ini juga termasuk ketidak beruntungan Kinora, yang terpaksa harus bertemu pria menyebalkan seperti Lovrin.
Peristiwa beberapa hari yang lalu, saat hujan mengguyur kota dan seisinya hingga mempertemukan Lovrin dan Kinora, dalam situasi yang tidak mengenakan. Kinora benar-benar dipermalukan oleh Lovrin, dia terlihat bak gadis bodoh yang dimarahi habis-habisan dihadapan Lovrin si tengil.Tampang Lovrin begitu bringas, dingin, dan seakan siap menerkam Kinora yang santun juga rupawan. Lovrin tak menunjukkan sikap ramah, bak seorang pangeran yang bertemu dengan seorang putri cantik jelita. Kejadian itu rupanya sempat terlintas kembali di benak Kinora.“Ayora, aku teringat kejadian beberapa hari lalu.” ungkap Kinora pada Ayora yang sibuk mengerjakan tugas perkuliahannya.“Wah, aku jadi ingin tau, memang kejadian apa sih?” selidik Ayora pada Kinora yang mencoba mengingat kembali kejadian itu sambil bingung mengapa dirinya bisa bertemu dengan seorang pria menyebalkan.“Aku tak sengaja saat hujan hari itu menyemprot air hujan ke tubuh seora
Sekian lama menunggu, di dalam bioskop namun Lovrin masih juga belum kembali untuk menonton film. Haikal memutuskan, untuk segera mencari temannya itu.“Rin, Rin … kau tidura atau apa sih di toilet?” tanya Haikal dalam hati sambil grasak-grusuk menelusuri jalan menuju toilet.Haikal melihat ada suara keributan di arah sebelah selatan toilet, lalu dia datang menghampiri perlahan.“Permisi Mbak, ini ada apa ya?” selidik Haikal pada salah satu pengunjung yang kebetulan juga sedang mengamati kekisruhan itu.“Itu lo emas, ada cewek sama cowok yang lagi rebut gara-gara ponsel.” ungkap pengunjung.“Omg … itukan si Lovrin, gawat. Buat masalah apalagi itu anak?”Tebakan Haikal tidak meleset, Lovrin yang memang keras kepala dan minus sopan santun memang telah berulah kembali. Haikal mendekati Lovrin, yang masih saja bersitegang dengan Kionora.“Permisi Mbak, ada apa ini ya? Ini
Hari itu adalah akhir pekan yang cerah. Lovrin dan Kinora memutuskan untuk pergi ke pameran lukisan yang baru dibuka di pusat kota. Kinora, yang sangat menyukai seni, sudah tidak sabar sejak semalam, sementara Lovrin, yang lebih suka bercanda daripada seni, hanya tertarik karena ingin menghabiskan waktu bersama Kinora dan mungkin sedikit menjahilinya.Saat mereka masuk ke galeri, Kinora langsung terpesona. “Hei Tengil, oh tidak, maksudku Lihat Lovrin! Lukisan ini menggambarkan pergolakan emosi melalui warna-warna gelapnya. Sangat dalam, bukan?” teriak Kinora bersemangat sambil menunjuk ke sebuah karya abstrak.Lovrin memiringkan kepalanya, berpura-pura serius. “Hmm… Menurutku ini lukisan tentang nasi goreng yang ditinggal pas hujan,” jawabnya dengan wajah datar.Kinora melotot. “Lovrin! Serius, dong!”Tawa kecil Lovrin memenuhi ruangan. “Oke, oke, aku serius. Tapi ya, mungkin saja si pelukis lapar saat membuat ini?”Setiap kali Kinora mencoba membahas lukisan dengan antusias, Lovrin s
Kinora berdiri di depan kaca besar di ruang tamu rumahnya yang sederhana. Cermin itu memantulkan wajahnya yang tampak lelah dan penuh pertanyaan. Matanya yang biasanya cerah kini tampak redup, terperangkap dalam serangkaian pikiran yang membingungkan. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang selama ini tidak pernah terungkap. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu keluarganya dan, lebih spesifik lagi, tentang ayahnya. Ia tahu bahwa ada rahasia besar yang selama ini disembunyikan darinya. Rahasia yang akan mengubah segala yang ia ketahui tentang hidupnya.Beberapa hari terakhir, Kinora merasakan ketegangan yang aneh di rumah. Ayahnya, Arman, tampak cemas dan sering berbicara dengan orang-orang yang tidak dikenal, sementara ibunya, Mira, lebih sering diam dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Suatu malam, ketika Kinora sedang bersantai di ruang keluarga, ia mendengar percakapan yang tak sengaja ia tangkap antara ayah dan ibunya. Mereka membicarakan sesuatu yang
Lovrin duduk di tepi jendela ruang tamunya, pandangannya jauh melayang menembus langit senja yang kemerahan. Kota yang sibuk di bawahnya tampak mulai padam, tanda malam datang. Namun, bagi Lovrin, senja ini terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa pahit yang mengendap di hatinya, tidak ada lagi dendam yang membakar jiwa. Segalanya mulai terlihat lebih ringan, meskipun bayang-bayang masa lalu masih sesekali muncul.Di luar sana, Kinora menunggu. Wanita yang telah mengubah hidupnya, yang kini menjadi satu-satunya alasan mengapa ia bisa terus bertahan, meskipun semua kebencian dan kesakitan yang dulu pernah ia rasakan.Kinora, putri dari pria yang telah menjadi musuh terbesar dalam hidupnya. Ayah Kinora adalah orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang merenggut nyawa orang tua Lovrin bertahun-tahun lalu. Kecelakaan itu menyebabkan Lovrin tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya, dikelilingi oleh rasa kehilangan dan kemarahan yang mendalam.Namun, meskipun Kinora adalah darah dagin
Suasana hati Lovrin lumayan bersahabat dia memulai langkah perkuliahan hari itu dengan penuh semangat. Lovrin memang jarang memberikan senyum terbaiknya, terlebih saat dirinya ditinggalkan kedua orang tuanya saat masih berusia lima tahun. Kini dia hidup bersama nenek dan juga pamannya.“Lovrin … apa kau sudah menghabiskan sarapanmu?” tanya sang nenek pada Lovrin.“Sudah, Nek."Masakan Nenek memang juara!” celetuk Lovrin yang tengah mencicipi berbagai hidangan di meja makan.“Tetapi kau mengapa tampak kurus sekali akhir-akhir ini?” canda paman Lovrin.“Ah, Paman. Bisa saja menggodaku.”Mereka memang begitu setiap harinya, terbiasa bergurau satu dengan yang lainnya. Tanpa terasa Lovrin yang diasuh neneknya beranjak dewasa. Neneknya, Nyonya Farida begitu menyayangi Lovrin. Sepeninggal kedua orang tua Lovrin, dialah tempat bersandar bagi sang cucu kesayangan.Semasa sekolah Nyon
Teriknya matahari benar-benar membuat Lovrin sangat kehausan, saat itu juga dia mencari es rumput laut kesukaannya. Biasanya siang-siang begitu pedagang es selalu stan by menjajakan es rumput lau di depan kampus.“Widih, ini panas ampe nusuk kulit rasanya.”“Tenggorokan juga udah seret, es rumput laut kesukaanku pasti ampuh ni.” celetuk Lovrin sambil menyusuri anak tangga menuju depan kampus.Rupanya dari arah selatan, ada sebuah mobil melaju sangat kencang dan hanya membunyikan klakson, pertanda pejalan kaki harus waspada.“Woi, ini jalan punya nenek moyang kau apa?”“Hampir nyawaku melayang, awas kau.”Amarahnya kembali terusik karena melihat pengendara mobil itu, berhenti pas di area parkir kampus. Saat pengendara mobil itu turun dan berbalik badan, ternyata dia adalah Haikal. Lovrin yang mengetahui itu Haikal langsung memberondong dengan pertanyaan dan umpatan.“Kau punya sim d
Lovrin duduk di tepi jendela ruang tamunya, pandangannya jauh melayang menembus langit senja yang kemerahan. Kota yang sibuk di bawahnya tampak mulai padam, tanda malam datang. Namun, bagi Lovrin, senja ini terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa pahit yang mengendap di hatinya, tidak ada lagi dendam yang membakar jiwa. Segalanya mulai terlihat lebih ringan, meskipun bayang-bayang masa lalu masih sesekali muncul.Di luar sana, Kinora menunggu. Wanita yang telah mengubah hidupnya, yang kini menjadi satu-satunya alasan mengapa ia bisa terus bertahan, meskipun semua kebencian dan kesakitan yang dulu pernah ia rasakan.Kinora, putri dari pria yang telah menjadi musuh terbesar dalam hidupnya. Ayah Kinora adalah orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang merenggut nyawa orang tua Lovrin bertahun-tahun lalu. Kecelakaan itu menyebabkan Lovrin tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya, dikelilingi oleh rasa kehilangan dan kemarahan yang mendalam.Namun, meskipun Kinora adalah darah dagin
Kinora berdiri di depan kaca besar di ruang tamu rumahnya yang sederhana. Cermin itu memantulkan wajahnya yang tampak lelah dan penuh pertanyaan. Matanya yang biasanya cerah kini tampak redup, terperangkap dalam serangkaian pikiran yang membingungkan. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang selama ini tidak pernah terungkap. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu keluarganya dan, lebih spesifik lagi, tentang ayahnya. Ia tahu bahwa ada rahasia besar yang selama ini disembunyikan darinya. Rahasia yang akan mengubah segala yang ia ketahui tentang hidupnya.Beberapa hari terakhir, Kinora merasakan ketegangan yang aneh di rumah. Ayahnya, Arman, tampak cemas dan sering berbicara dengan orang-orang yang tidak dikenal, sementara ibunya, Mira, lebih sering diam dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Suatu malam, ketika Kinora sedang bersantai di ruang keluarga, ia mendengar percakapan yang tak sengaja ia tangkap antara ayah dan ibunya. Mereka membicarakan sesuatu yang
Hari itu adalah akhir pekan yang cerah. Lovrin dan Kinora memutuskan untuk pergi ke pameran lukisan yang baru dibuka di pusat kota. Kinora, yang sangat menyukai seni, sudah tidak sabar sejak semalam, sementara Lovrin, yang lebih suka bercanda daripada seni, hanya tertarik karena ingin menghabiskan waktu bersama Kinora dan mungkin sedikit menjahilinya.Saat mereka masuk ke galeri, Kinora langsung terpesona. “Hei Tengil, oh tidak, maksudku Lihat Lovrin! Lukisan ini menggambarkan pergolakan emosi melalui warna-warna gelapnya. Sangat dalam, bukan?” teriak Kinora bersemangat sambil menunjuk ke sebuah karya abstrak.Lovrin memiringkan kepalanya, berpura-pura serius. “Hmm… Menurutku ini lukisan tentang nasi goreng yang ditinggal pas hujan,” jawabnya dengan wajah datar.Kinora melotot. “Lovrin! Serius, dong!”Tawa kecil Lovrin memenuhi ruangan. “Oke, oke, aku serius. Tapi ya, mungkin saja si pelukis lapar saat membuat ini?”Setiap kali Kinora mencoba membahas lukisan dengan antusias, Lovrin s
Sekian lama menunggu, di dalam bioskop namun Lovrin masih juga belum kembali untuk menonton film. Haikal memutuskan, untuk segera mencari temannya itu.“Rin, Rin … kau tidura atau apa sih di toilet?” tanya Haikal dalam hati sambil grasak-grusuk menelusuri jalan menuju toilet.Haikal melihat ada suara keributan di arah sebelah selatan toilet, lalu dia datang menghampiri perlahan.“Permisi Mbak, ini ada apa ya?” selidik Haikal pada salah satu pengunjung yang kebetulan juga sedang mengamati kekisruhan itu.“Itu lo emas, ada cewek sama cowok yang lagi rebut gara-gara ponsel.” ungkap pengunjung.“Omg … itukan si Lovrin, gawat. Buat masalah apalagi itu anak?”Tebakan Haikal tidak meleset, Lovrin yang memang keras kepala dan minus sopan santun memang telah berulah kembali. Haikal mendekati Lovrin, yang masih saja bersitegang dengan Kionora.“Permisi Mbak, ada apa ini ya? Ini
Peristiwa beberapa hari yang lalu, saat hujan mengguyur kota dan seisinya hingga mempertemukan Lovrin dan Kinora, dalam situasi yang tidak mengenakan. Kinora benar-benar dipermalukan oleh Lovrin, dia terlihat bak gadis bodoh yang dimarahi habis-habisan dihadapan Lovrin si tengil.Tampang Lovrin begitu bringas, dingin, dan seakan siap menerkam Kinora yang santun juga rupawan. Lovrin tak menunjukkan sikap ramah, bak seorang pangeran yang bertemu dengan seorang putri cantik jelita. Kejadian itu rupanya sempat terlintas kembali di benak Kinora.“Ayora, aku teringat kejadian beberapa hari lalu.” ungkap Kinora pada Ayora yang sibuk mengerjakan tugas perkuliahannya.“Wah, aku jadi ingin tau, memang kejadian apa sih?” selidik Ayora pada Kinora yang mencoba mengingat kembali kejadian itu sambil bingung mengapa dirinya bisa bertemu dengan seorang pria menyebalkan.“Aku tak sengaja saat hujan hari itu menyemprot air hujan ke tubuh seora
“Wah gawat, kali ini aku tidak bisa berkelit.” kata Kinora sedikit terburu-buru memacu langkah untuk menuju kelas perkuliahan.Dia tak lagi menghiraukan pak Alman, yang tengah memberikan materi perkuliahan saat itu. Meski detak jantung Kinora kembang kempis karena berjalan dengan terburu-buru, namun dia berusaha tenang mencari tempat duduknya.“Ehem!”“Kinora, what are you doing?” ucap pak Alman, mencoba mengintrogasi Kinora yang masih tak percaya kedatangannya secara diam-diam diketahui oleh dosennya itu.“A … anu Pak, maaf saya terlambat.” sambil menahan malu, dia tetap berdiri dengan posisi tangan yang mengepal karena cemas.“Ok, I don’t know what you think this morning, out please!” seketika pak Alman menyuruh Kinora keluar dari kelas, karena keterlambatan hampir tiga puluh menit.Kali ini Kinora tidak beruntung, dia langsung keluar dari kelas dan memutar arah menuj
Teriknya matahari benar-benar membuat Lovrin sangat kehausan, saat itu juga dia mencari es rumput laut kesukaannya. Biasanya siang-siang begitu pedagang es selalu stan by menjajakan es rumput lau di depan kampus.“Widih, ini panas ampe nusuk kulit rasanya.”“Tenggorokan juga udah seret, es rumput laut kesukaanku pasti ampuh ni.” celetuk Lovrin sambil menyusuri anak tangga menuju depan kampus.Rupanya dari arah selatan, ada sebuah mobil melaju sangat kencang dan hanya membunyikan klakson, pertanda pejalan kaki harus waspada.“Woi, ini jalan punya nenek moyang kau apa?”“Hampir nyawaku melayang, awas kau.”Amarahnya kembali terusik karena melihat pengendara mobil itu, berhenti pas di area parkir kampus. Saat pengendara mobil itu turun dan berbalik badan, ternyata dia adalah Haikal. Lovrin yang mengetahui itu Haikal langsung memberondong dengan pertanyaan dan umpatan.“Kau punya sim d
Suasana hati Lovrin lumayan bersahabat dia memulai langkah perkuliahan hari itu dengan penuh semangat. Lovrin memang jarang memberikan senyum terbaiknya, terlebih saat dirinya ditinggalkan kedua orang tuanya saat masih berusia lima tahun. Kini dia hidup bersama nenek dan juga pamannya.“Lovrin … apa kau sudah menghabiskan sarapanmu?” tanya sang nenek pada Lovrin.“Sudah, Nek."Masakan Nenek memang juara!” celetuk Lovrin yang tengah mencicipi berbagai hidangan di meja makan.“Tetapi kau mengapa tampak kurus sekali akhir-akhir ini?” canda paman Lovrin.“Ah, Paman. Bisa saja menggodaku.”Mereka memang begitu setiap harinya, terbiasa bergurau satu dengan yang lainnya. Tanpa terasa Lovrin yang diasuh neneknya beranjak dewasa. Neneknya, Nyonya Farida begitu menyayangi Lovrin. Sepeninggal kedua orang tua Lovrin, dialah tempat bersandar bagi sang cucu kesayangan.Semasa sekolah Nyon