Bab 6 Keseruan Sehari Di Pameran Lukisan

Hari itu adalah akhir pekan yang cerah. Lovrin dan Kinora memutuskan untuk pergi ke pameran lukisan yang baru dibuka di pusat kota. Kinora, yang sangat menyukai seni, sudah tidak sabar sejak semalam, sementara Lovrin, yang lebih suka bercanda daripada seni, hanya tertarik karena ingin menghabiskan waktu bersama Kinora dan mungkin sedikit menjahilinya.

Saat mereka masuk ke galeri, Kinora langsung terpesona. “Hei Tengil, oh tidak, maksudku Lihat Lovrin! Lukisan ini menggambarkan pergolakan emosi melalui warna-warna gelapnya. Sangat dalam, bukan?” teriak Kinora bersemangat sambil menunjuk ke sebuah karya abstrak.

Lovrin memiringkan kepalanya, berpura-pura serius. “Hmm… Menurutku ini lukisan tentang nasi goreng yang ditinggal pas hujan,” jawabnya dengan wajah datar.

Kinora melotot. “Lovrin! Serius, dong!”

Tawa kecil Lovrin memenuhi ruangan. “Oke, oke, aku serius. Tapi ya, mungkin saja si pelukis lapar saat membuat ini?”

Setiap kali Kinora mencoba membahas lukisan dengan antusias, Lovrin selalu punya komentar nyeleneh. Ketika Kinora membahas keindahan lanskap di salah satu lukisan, Lovrin malah bertanya apakah itu tempat rahasia untuk sembunyi dari tagihan utang.

Belum lama melihat-lihat pameran, suara perut Kinora yang belum sarapan terdengar begitu riuh, mereka memutuskan untuk pergi sarapan ke sebuah restoran kecil yang tak jauh dari galeri. Lovrin memesan burger besar, sementara Kinora memilih salad dan jus jeruk.

Ketika makan, Lovrin tak henti-hentinya menggoda. Saat Kinora memotong saladnya, Lovrin diam-diam menuangkan sedikit saus cabai ke jus jeruknya. “Minumlah, Kin! Pasti segar,” katanya dengan senyum penuh arti.

Kinora, tanpa curiga, menyeruput jus itu. Seketika wajahnya berubah. “LOVRIN!” teriaknya sambil menahan pedas.

Lovrin tertawa terbahak-bahak. “Maaf, maaf, aku rasa itu pose terbaikmu, reaksi yang kuharapkan!”

Kinora membalas dengan melemparkan selembar daun salad ke wajah Lovrin. “Kau ini selalu saja cari masalah!” katanya sambil terkekeh.

Selanjutnya Kinora kembali mengajak Lovrin masuk ke pameran melihat lukisan lainnya yang belum sempat mereka nikmati keindahannya, suasana seni langsung menyambut mereka. Aula besar dipenuhi lukisan-lukisan indah, dari gaya abstrak, impresionis, hingga realisme. 

Kinora, yang memang menyukai seni, langsung terpikat. Sementara itu, Lovrin lebih sibuk dengan komentar-komentar jahilnya.

“Lihat lukisan ini, Kin,” ucap Lovrin, menunjuk sebuah karya abstrak berwarna cerah. “Menurutku ini menggambarkan kekacauan isi otakmu waktu pagi hari.”

Kinora mendelik, meski pipinya memerah karena menahan tawa. “Lovrin, tolong serius sedikit. Ini seni, bukan bahan candaan.” 

Tapi Lovrin hanya mengangkat bahu. “Aku serius! Seni itu soal interpretasi, kan? Nah, interpretasiku seperti itu.”

Mereka terus berkeliling, dan Kinora benar-benar menikmati setiap karya yang dipamerkan. Namun, di balik ketertarikannya, ia tetap harus menghadapi keisengan Lovrin yang tak kunjung reda. Ketika mereka berhenti di depan sebuah lukisan yang menggambarkan seorang wanita dengan gaun merah berdiri di tengah ladang bunga, Lovrin kembali berulah.

“Kin, lihat deh. Bukannya ini mirip kamu waktu pertama kali kita bertemu? Tersesat, bingung, dan sedikit drama,” ucapnya sambil tertawa kecil.

Kinora memukul pelan lengan Lovrin. “Kalau kamu terus-terusan begini, aku tinggal pulang duluan,” ancamnya, meski tanpa niat serius.

Namun, Lovrin justru semakin menggoda. “Kamu nggak akan tega meninggalkan aku di sini sendirian. Siapa yang akan menuntunku memahami seni ini kalau bukan kamu?”

Meski terkadang mengeluh, Kinora tahu bahwa tanpa Lovrin, hari itu tak akan secerah ini. Di balik leluconnya yang sering kelewatan, Lovrin selalu berhasil membuat segalanya terasa lebih hidup.

Setelah berjam-jam menikmati pameran, mereka memutuskan untuk makan siang di sebuah kafe kecil di dekat galeri. Lovrin memilih meja di pojok yang menghadap jendela besar. Kinora, yang sudah cukup lelah, segera memesan minuman dingin untuk menyegarkan diri.

Saat menunggu makanan datang, Lovrin kembali dengan ide jahilnya. “Kin, aku baru sadar sesuatu.”

“Apa lagi sekarang?” Kinora mendesah, mencoba tidak terlalu berharap banyak.

“Kalau kamu jadi lukisan, kira-kira judulnya apa, ya?” tanya Lovrin dengan nada penuh teka-teki.

Kinora mengerutkan kening. “Kenapa kamu tiba-tiba berpikir seperti itu?”

Lovrin tersenyum lebar. “Karena kamu itu unik, Kin. Aku yakin kalau ada lukisan tentang kamu, pasti penuh makna dan banyak orang bingung menafsirkannya.”

Kinora akhirnya tertawa. “Kalau aku lukisan, kamu itu pelukisnya. Penuh ide aneh dan kadang nggak masuk akal.”

Percakapan mereka terhenti sejenak saat makanan datang. Lovrin, seperti biasa, langsung mencicipi makanan Kinora sebelum menyentuh pesanannya sendiri. “Enak banget! Kok kamu selalu tahu mana makanan yang paling lezat?”

“Karena aku baca menunya dengan teliti, beda sama kamu yang asal pilih,” balas Kinora sambil menarik piringnya menjauh dari tangan Lovrin.

Makan siang itu diwarnai dengan obrolan ringan dan gurauan, hingga akhirnya mereka selesai. Sebelum pergi, Lovrin sempat mengambil selembar tisu dan menggambar wajah Kinora dengan gaya karikatur. “Nah, ini buat kenang-kenangan hari ini,” ujarnya sambil menyerahkan tisu itu pada Kinora.

Kinora hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. “Dasar kamu, Lov.”

Sore menjelang malam, mereka kembali ke galeri untuk melihat sesi pameran terakhir yang menampilkan koleksi khusus dengan cahaya redup dan efek suara. Kali ini, Lovrin sedikit lebih serius. Ia terlihat terpesona oleh sebuah lukisan besar yang menggambarkan perjalanan sebuah kapal di tengah badai.

“Kin, menurutmu, ini lukisan tentang apa?” tanyanya tiba-tiba, nada suaranya jauh lebih tenang dari biasanya.

Kinora tersenyum kecil, senang melihat sisi lain Lovrin. “Mungkin tentang perjalanan hidup. Meskipun badai datang, kapal itu tetap bertahan, dan lihat, ada sinar matahari kecil di ujung sana.”

Lovrin mengangguk pelan. “Kamu benar. Kadang aku merasa seperti kapal itu. Selalu ada badai, tapi juga ada harapan.”

Hari itu berakhir dengan penuh tawa dan keseruan. Meski Lovrin terus menjahili Kinora, mereka tetap menikmati setiap momennya. Lovrin tahu, meski sering membuat Kinora kesal, gadis itu tak pernah benar-benar marah. Sebaliknya, candaan Lovrin justru menjadi bumbu manis dalam hubungan mereka yang penuh warna. Nampaknya, Lovrin dan Kinora juga mulai saling berkata dengan menggunakan nama masing-masing, sepertinya ini pertanda yang baik.