Teriknya matahari benar-benar membuat Lovrin sangat kehausan, saat itu juga dia mencari es rumput laut kesukaannya. Biasanya siang-siang begitu pedagang es selalu stan by menjajakan es rumput lau di depan kampus.
“Widih, ini panas ampe nusuk kulit rasanya.”
“Tenggorokan juga udah seret, es rumput laut kesukaanku pasti ampuh ni.” celetuk Lovrin sambil menyusuri anak tangga menuju depan kampus.
Rupanya dari arah selatan, ada sebuah mobil melaju sangat kencang dan hanya membunyikan klakson, pertanda pejalan kaki harus waspada.
“Woi, ini jalan punya nenek moyang kau apa?”
“Hampir nyawaku melayang, awas kau.”
Amarahnya kembali terusik karena melihat pengendara mobil itu, berhenti pas di area parkir kampus. Saat pengendara mobil itu turun dan berbalik badan, ternyata dia adalah Haikal. Lovrin yang mengetahui itu Haikal langsung memberondong dengan pertanyaan dan umpatan.
“Kau punya sim dari kappa, hah?”
“Kau tau ini jalanan umum, ramai pejalan kaki.”
“Iya aku tau. Aku minta maaf.” ucap Haikal sembari merangkul bahu temannya Lovrin.
Lovrin agaknya masih tak terima dengan insiden yang hampir saja melukainya. Bahkan, saat Haikal mencoba merangkul dan mengajaknya ke kantin dia tetap sinis.
“Ayolah kita bisa makan dan minum dahulu di kantin.”
“Aku yang traktir.” ajak Haikal pada Lovrin yang masih bersikap acuh.
“Kau tak perlu menyogokku dengan makan dan minum. Aku sudah makan tadi.”
Penolakan itu tak diragukan lagi, keluar dari mulut seorang Lovrin. Dia tak pernah membiasakan diri untuk menerima ajakan seseorang, secara cuma-cuma atau gratis. Baginya, kebiasaan senang makan jerih payah orang lain tak akan membuat dirinya bangga.
“Eh, Lovrin. Aku tak bermaksud jahat padamu.”
“Aku ingin kita berteman itu saja.”
“Sampai kapan kau jadi robot, tanpa berteman dengan siapa pun.” Haikal mencoba mematahkan tingkah keras kepala Lovrin.
Haikal yang juga sudah jengah melihat kelakuan Lovrin, berjalan perlahan meninggalkan Lovrin di parkiran. Lalu tak lama Lovrin berjalan, menyusul Haikal ke kantin kampus. Dia mulai bersikap ramah pada Haikal. Haikal cukup baik dan tidak terlalu buruk bila dijadikan teman.
“Tumben kau mau menyusulku kemari.”
“Apa arah angimu sudah berubah?” ledek Haikal pada Lovrin yang duduk di hadapannya.
“Diam kau!” tukas Lovrin cepat seolah tak ingin sikap ramahnya jadi bahan olokan Haikal.
Mereka memesan minuman dan makanan siang itu, karena sudah jam makan siang tentu perut mereka sudah berteriak minta diisi. Haikal menceritakan kejadian buruk yang dialaminya hari itu. Dia ingin menyelesaikan skripsi untuk segera lulus dari perkuliahan, mengingat dia adalah harapan orang tuanya, meneruskan bisnis kuliner yang jadi tumpuan keluarganya.
Ternyata bisnis kuliner itu nyaris bangkrut karena ada pembengkakkan tagihan pajak yang belum bisa dibayar oleh keluarga Haikal. Tagihan pajak yang sudah lama, sekitar lima tahun membuat usaha kuliner tidak beroperasi maksimal. Sebelum berangkat ke kampus, orang pajak menelepon Haikal untuk segera melunasi tagihan pajak.
“Bagaimana aku membayar tagihan hampir miliaran rupiah.”
“Aku berusaha agar usaha kuliner keluargaku tetap berjalan.”
“Agar tidak terjadi pemecatan karyawan besar-besaran di resto milik keluargaku.”
“Kau ada ide, Rin?
“Aku belum ada ide apa-apa.”
“Cobalah kau konsultasi dahulu atau lakukan pendekatan dengan orang pajak.”
“Wah, kalau begitu aku akan konsultasi dahulu.”
“Aku tak bisa mengandalkan ayahku, dia sedang sakit.”
Seusai pertemuan Haikal dan Lovrin, keduanya kembali mengikuti perkuliahan hingga sesi sore selesai. Lovrin adalah mahasiswa jurusan teknik arsitektur, sementara Haikal adalah mahasiswa jurusan manajemen bisnis. Meski mereka berbeda jurusan, tetapi hobi membaca novel horor membuat mereka bisa akrab.
Seperti biasa Lovrin menaiki angkutan umum untuk pulang ke rumah. Tubuh tegapnya seakan tak menunjukkan ke penatan yang teramat. Lovrin bekerja paruh waktu, bahkan nyaris waktu istirahatnya juga tersita karena kesibukan yang luar biasa. Meskipun dia bekerja hanya sebagai kurir pengantar pizza, itu tidak menjadikannya malu atau rendah diri.
“Hai sayang kau sudah pulang?” sambut Nyonya Farida sembari menonton acara televisi kesayangannya.
“Hmm … iya, Nek aku baru pulang.” Senyum tipis itu tampak manis menghiasi wajah Lovrin yang tampak lelah.
“Ayo bersihkan tubuhmu, lalu kita santap udang saus tiram kesukaanmu.” ungkap sang nenek pada Lovrin.
Saatnya makan malam dan semua berkumpul di meja makan sambil berbincang ala keluaga Lovrin.
“Rin, kapan kau akan lulus?” tanya sang paman pada Lovrin.
“Aku tak tau pasti, tetapi aku sudah mengajukan judul skripsiku.”
“Bagus, kau akan segera bekerja lebih baik daripada sekarang.”
Mendengar ucapan pamannya, Lovrin sempat diam tak meneruskan makannya. Dia benar-benar menyadari, keluarganya saat itu memang butuh pemasukan lebih karena neneknya yang sudah renta, sering bolak-balik ke rumah sakit untuk pengobatan. Sementara pamannya juga bekerja hanya sebagai karyawan pabrik minuman kemasan saja.
Lovrin teringat masa kecilnya saat berumur tiga tahun, dia selalu menghabiskan akhir pekan bersama ayah dan ibunya. Keluarga mereka sangat harmonis dan bahagia sampai berita buruk itu, menghancurkan kehidupan Lovrin dan keluarganya.
Tak ada yang menyangka, ayah dan ibu Lovrin pergi selamanya dalam kecelakaan maut enam belas tahun yang lalu. Luka itu, yang menyebabkan Lovrin harus ikut berjuang menghidupi keluarganya. Apalagi hidup di kota besar, membutuhkan pemasukan yang juga besar, agar seimbang dengan biaya hidup yang dikeluarkan.
Lovrin tak berselera lagi melanjutkan makannya, dia cenderung memilih keluar menghirup udara segar di luar rumah, agar tak menampakkan wajah sedih di hadapan nenek dan pamannya. Dia berjalan seorang diri, menyusuri keramaian kota malam itu.
Diterangi gemerlapnya lampu-lampu kota dan toko-toko yang masih buka dua puluh empat jam. Sesekali Lovrin mengehela napas panjang, dan memejamkan matanya yang sipit. Kentara rasa haru yang menyelimutinya malam itu, tat kala mengingat kedua orang tuanya yang telah tiada.
Lovrin memang sulit untuk menangis, apalagi baginya seorang laki-laki harus bisa menghadapi kepahitan hidup. Tak ada tempat untuk air mata, yang ada hanya segelumat rasa rindu untuk kedua orang tuanya. Dia termasuk pria yang rajin beribadah, dan dia masih mengingat pesan kedua orang tuanya saat itu. Mereka berpesan, agar Lovrin selalu salat tepat waktu dan berbuat kebaikan pada orang lain.
Lovrin benar-benar menikmati pemandangan kota, lantunan lagu dari pengamen jalanan menambah sahdu suasana hati Lovrin. Lovrin terbiasa seperti itu, menikmati kesendirian dan tak mau membuat orang-orang di sekitarnya merasakan kerisauan hatinya.
Malam kian larut, dan akhirnya Lovrin beranjak dari tempat duduk yang ada di pinggir jalanan kota. Dia kembali pulang ke rumah sambil membawakan dimsum kesukaan neneknya.
“Nek, Nek!” panggil Lovrin mencari-cari keberadaan neneknya.
“Lovrin, apa yang kau bawa?”
“Aku menyukainya, ini dimsum favoritku.” Sambar nenek sambil mencicipi dimsum yang telah dibawakan oleh Lovrin.
“Wah gawat, kali ini aku tidak bisa berkelit.” kata Kinora sedikit terburu-buru memacu langkah untuk menuju kelas perkuliahan.Dia tak lagi menghiraukan pak Alman, yang tengah memberikan materi perkuliahan saat itu. Meski detak jantung Kinora kembang kempis karena berjalan dengan terburu-buru, namun dia berusaha tenang mencari tempat duduknya.“Ehem!”“Kinora, what are you doing?” ucap pak Alman, mencoba mengintrogasi Kinora yang masih tak percaya kedatangannya secara diam-diam diketahui oleh dosennya itu.“A … anu Pak, maaf saya terlambat.” sambil menahan malu, dia tetap berdiri dengan posisi tangan yang mengepal karena cemas.“Ok, I don’t know what you think this morning, out please!” seketika pak Alman menyuruh Kinora keluar dari kelas, karena keterlambatan hampir tiga puluh menit.Kali ini Kinora tidak beruntung, dia langsung keluar dari kelas dan memutar arah menuj
Peristiwa beberapa hari yang lalu, saat hujan mengguyur kota dan seisinya hingga mempertemukan Lovrin dan Kinora, dalam situasi yang tidak mengenakan. Kinora benar-benar dipermalukan oleh Lovrin, dia terlihat bak gadis bodoh yang dimarahi habis-habisan dihadapan Lovrin si tengil.Tampang Lovrin begitu bringas, dingin, dan seakan siap menerkam Kinora yang santun juga rupawan. Lovrin tak menunjukkan sikap ramah, bak seorang pangeran yang bertemu dengan seorang putri cantik jelita. Kejadian itu rupanya sempat terlintas kembali di benak Kinora.“Ayora, aku teringat kejadian beberapa hari lalu.” ungkap Kinora pada Ayora yang sibuk mengerjakan tugas perkuliahannya.“Wah, aku jadi ingin tau, memang kejadian apa sih?” selidik Ayora pada Kinora yang mencoba mengingat kembali kejadian itu sambil bingung mengapa dirinya bisa bertemu dengan seorang pria menyebalkan.“Aku tak sengaja saat hujan hari itu menyemprot air hujan ke tubuh seora
Sekian lama menunggu, di dalam bioskop namun Lovrin masih juga belum kembali untuk menonton film. Haikal memutuskan, untuk segera mencari temannya itu.“Rin, Rin … kau tidura atau apa sih di toilet?” tanya Haikal dalam hati sambil grasak-grusuk menelusuri jalan menuju toilet.Haikal melihat ada suara keributan di arah sebelah selatan toilet, lalu dia datang menghampiri perlahan.“Permisi Mbak, ini ada apa ya?” selidik Haikal pada salah satu pengunjung yang kebetulan juga sedang mengamati kekisruhan itu.“Itu lo emas, ada cewek sama cowok yang lagi rebut gara-gara ponsel.” ungkap pengunjung.“Omg … itukan si Lovrin, gawat. Buat masalah apalagi itu anak?”Tebakan Haikal tidak meleset, Lovrin yang memang keras kepala dan minus sopan santun memang telah berulah kembali. Haikal mendekati Lovrin, yang masih saja bersitegang dengan Kionora.“Permisi Mbak, ada apa ini ya? Ini
Hari itu adalah akhir pekan yang cerah. Lovrin dan Kinora memutuskan untuk pergi ke pameran lukisan yang baru dibuka di pusat kota. Kinora, yang sangat menyukai seni, sudah tidak sabar sejak semalam, sementara Lovrin, yang lebih suka bercanda daripada seni, hanya tertarik karena ingin menghabiskan waktu bersama Kinora dan mungkin sedikit menjahilinya.Saat mereka masuk ke galeri, Kinora langsung terpesona. “Hei Tengil, oh tidak, maksudku Lihat Lovrin! Lukisan ini menggambarkan pergolakan emosi melalui warna-warna gelapnya. Sangat dalam, bukan?” teriak Kinora bersemangat sambil menunjuk ke sebuah karya abstrak.Lovrin memiringkan kepalanya, berpura-pura serius. “Hmm… Menurutku ini lukisan tentang nasi goreng yang ditinggal pas hujan,” jawabnya dengan wajah datar.Kinora melotot. “Lovrin! Serius, dong!”Tawa kecil Lovrin memenuhi ruangan. “Oke, oke, aku serius. Tapi ya, mungkin saja si pelukis lapar saat membuat ini?”Setiap kali Kinora mencoba membahas lukisan dengan antusias, Lovrin s
Kinora berdiri di depan kaca besar di ruang tamu rumahnya yang sederhana. Cermin itu memantulkan wajahnya yang tampak lelah dan penuh pertanyaan. Matanya yang biasanya cerah kini tampak redup, terperangkap dalam serangkaian pikiran yang membingungkan. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang selama ini tidak pernah terungkap. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu keluarganya dan, lebih spesifik lagi, tentang ayahnya. Ia tahu bahwa ada rahasia besar yang selama ini disembunyikan darinya. Rahasia yang akan mengubah segala yang ia ketahui tentang hidupnya.Beberapa hari terakhir, Kinora merasakan ketegangan yang aneh di rumah. Ayahnya, Arman, tampak cemas dan sering berbicara dengan orang-orang yang tidak dikenal, sementara ibunya, Mira, lebih sering diam dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Suatu malam, ketika Kinora sedang bersantai di ruang keluarga, ia mendengar percakapan yang tak sengaja ia tangkap antara ayah dan ibunya. Mereka membicarakan sesuatu yang
Lovrin duduk di tepi jendela ruang tamunya, pandangannya jauh melayang menembus langit senja yang kemerahan. Kota yang sibuk di bawahnya tampak mulai padam, tanda malam datang. Namun, bagi Lovrin, senja ini terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa pahit yang mengendap di hatinya, tidak ada lagi dendam yang membakar jiwa. Segalanya mulai terlihat lebih ringan, meskipun bayang-bayang masa lalu masih sesekali muncul.Di luar sana, Kinora menunggu. Wanita yang telah mengubah hidupnya, yang kini menjadi satu-satunya alasan mengapa ia bisa terus bertahan, meskipun semua kebencian dan kesakitan yang dulu pernah ia rasakan.Kinora, putri dari pria yang telah menjadi musuh terbesar dalam hidupnya. Ayah Kinora adalah orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang merenggut nyawa orang tua Lovrin bertahun-tahun lalu. Kecelakaan itu menyebabkan Lovrin tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya, dikelilingi oleh rasa kehilangan dan kemarahan yang mendalam.Namun, meskipun Kinora adalah darah dagin
Suasana hati Lovrin lumayan bersahabat dia memulai langkah perkuliahan hari itu dengan penuh semangat. Lovrin memang jarang memberikan senyum terbaiknya, terlebih saat dirinya ditinggalkan kedua orang tuanya saat masih berusia lima tahun. Kini dia hidup bersama nenek dan juga pamannya.“Lovrin … apa kau sudah menghabiskan sarapanmu?” tanya sang nenek pada Lovrin.“Sudah, Nek."Masakan Nenek memang juara!” celetuk Lovrin yang tengah mencicipi berbagai hidangan di meja makan.“Tetapi kau mengapa tampak kurus sekali akhir-akhir ini?” canda paman Lovrin.“Ah, Paman. Bisa saja menggodaku.”Mereka memang begitu setiap harinya, terbiasa bergurau satu dengan yang lainnya. Tanpa terasa Lovrin yang diasuh neneknya beranjak dewasa. Neneknya, Nyonya Farida begitu menyayangi Lovrin. Sepeninggal kedua orang tua Lovrin, dialah tempat bersandar bagi sang cucu kesayangan.Semasa sekolah Nyon
Lovrin duduk di tepi jendela ruang tamunya, pandangannya jauh melayang menembus langit senja yang kemerahan. Kota yang sibuk di bawahnya tampak mulai padam, tanda malam datang. Namun, bagi Lovrin, senja ini terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa pahit yang mengendap di hatinya, tidak ada lagi dendam yang membakar jiwa. Segalanya mulai terlihat lebih ringan, meskipun bayang-bayang masa lalu masih sesekali muncul.Di luar sana, Kinora menunggu. Wanita yang telah mengubah hidupnya, yang kini menjadi satu-satunya alasan mengapa ia bisa terus bertahan, meskipun semua kebencian dan kesakitan yang dulu pernah ia rasakan.Kinora, putri dari pria yang telah menjadi musuh terbesar dalam hidupnya. Ayah Kinora adalah orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang merenggut nyawa orang tua Lovrin bertahun-tahun lalu. Kecelakaan itu menyebabkan Lovrin tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya, dikelilingi oleh rasa kehilangan dan kemarahan yang mendalam.Namun, meskipun Kinora adalah darah dagin
Kinora berdiri di depan kaca besar di ruang tamu rumahnya yang sederhana. Cermin itu memantulkan wajahnya yang tampak lelah dan penuh pertanyaan. Matanya yang biasanya cerah kini tampak redup, terperangkap dalam serangkaian pikiran yang membingungkan. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang selama ini tidak pernah terungkap. Sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu keluarganya dan, lebih spesifik lagi, tentang ayahnya. Ia tahu bahwa ada rahasia besar yang selama ini disembunyikan darinya. Rahasia yang akan mengubah segala yang ia ketahui tentang hidupnya.Beberapa hari terakhir, Kinora merasakan ketegangan yang aneh di rumah. Ayahnya, Arman, tampak cemas dan sering berbicara dengan orang-orang yang tidak dikenal, sementara ibunya, Mira, lebih sering diam dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Suatu malam, ketika Kinora sedang bersantai di ruang keluarga, ia mendengar percakapan yang tak sengaja ia tangkap antara ayah dan ibunya. Mereka membicarakan sesuatu yang
Hari itu adalah akhir pekan yang cerah. Lovrin dan Kinora memutuskan untuk pergi ke pameran lukisan yang baru dibuka di pusat kota. Kinora, yang sangat menyukai seni, sudah tidak sabar sejak semalam, sementara Lovrin, yang lebih suka bercanda daripada seni, hanya tertarik karena ingin menghabiskan waktu bersama Kinora dan mungkin sedikit menjahilinya.Saat mereka masuk ke galeri, Kinora langsung terpesona. “Hei Tengil, oh tidak, maksudku Lihat Lovrin! Lukisan ini menggambarkan pergolakan emosi melalui warna-warna gelapnya. Sangat dalam, bukan?” teriak Kinora bersemangat sambil menunjuk ke sebuah karya abstrak.Lovrin memiringkan kepalanya, berpura-pura serius. “Hmm… Menurutku ini lukisan tentang nasi goreng yang ditinggal pas hujan,” jawabnya dengan wajah datar.Kinora melotot. “Lovrin! Serius, dong!”Tawa kecil Lovrin memenuhi ruangan. “Oke, oke, aku serius. Tapi ya, mungkin saja si pelukis lapar saat membuat ini?”Setiap kali Kinora mencoba membahas lukisan dengan antusias, Lovrin s
Sekian lama menunggu, di dalam bioskop namun Lovrin masih juga belum kembali untuk menonton film. Haikal memutuskan, untuk segera mencari temannya itu.“Rin, Rin … kau tidura atau apa sih di toilet?” tanya Haikal dalam hati sambil grasak-grusuk menelusuri jalan menuju toilet.Haikal melihat ada suara keributan di arah sebelah selatan toilet, lalu dia datang menghampiri perlahan.“Permisi Mbak, ini ada apa ya?” selidik Haikal pada salah satu pengunjung yang kebetulan juga sedang mengamati kekisruhan itu.“Itu lo emas, ada cewek sama cowok yang lagi rebut gara-gara ponsel.” ungkap pengunjung.“Omg … itukan si Lovrin, gawat. Buat masalah apalagi itu anak?”Tebakan Haikal tidak meleset, Lovrin yang memang keras kepala dan minus sopan santun memang telah berulah kembali. Haikal mendekati Lovrin, yang masih saja bersitegang dengan Kionora.“Permisi Mbak, ada apa ini ya? Ini
Peristiwa beberapa hari yang lalu, saat hujan mengguyur kota dan seisinya hingga mempertemukan Lovrin dan Kinora, dalam situasi yang tidak mengenakan. Kinora benar-benar dipermalukan oleh Lovrin, dia terlihat bak gadis bodoh yang dimarahi habis-habisan dihadapan Lovrin si tengil.Tampang Lovrin begitu bringas, dingin, dan seakan siap menerkam Kinora yang santun juga rupawan. Lovrin tak menunjukkan sikap ramah, bak seorang pangeran yang bertemu dengan seorang putri cantik jelita. Kejadian itu rupanya sempat terlintas kembali di benak Kinora.“Ayora, aku teringat kejadian beberapa hari lalu.” ungkap Kinora pada Ayora yang sibuk mengerjakan tugas perkuliahannya.“Wah, aku jadi ingin tau, memang kejadian apa sih?” selidik Ayora pada Kinora yang mencoba mengingat kembali kejadian itu sambil bingung mengapa dirinya bisa bertemu dengan seorang pria menyebalkan.“Aku tak sengaja saat hujan hari itu menyemprot air hujan ke tubuh seora
“Wah gawat, kali ini aku tidak bisa berkelit.” kata Kinora sedikit terburu-buru memacu langkah untuk menuju kelas perkuliahan.Dia tak lagi menghiraukan pak Alman, yang tengah memberikan materi perkuliahan saat itu. Meski detak jantung Kinora kembang kempis karena berjalan dengan terburu-buru, namun dia berusaha tenang mencari tempat duduknya.“Ehem!”“Kinora, what are you doing?” ucap pak Alman, mencoba mengintrogasi Kinora yang masih tak percaya kedatangannya secara diam-diam diketahui oleh dosennya itu.“A … anu Pak, maaf saya terlambat.” sambil menahan malu, dia tetap berdiri dengan posisi tangan yang mengepal karena cemas.“Ok, I don’t know what you think this morning, out please!” seketika pak Alman menyuruh Kinora keluar dari kelas, karena keterlambatan hampir tiga puluh menit.Kali ini Kinora tidak beruntung, dia langsung keluar dari kelas dan memutar arah menuj
Teriknya matahari benar-benar membuat Lovrin sangat kehausan, saat itu juga dia mencari es rumput laut kesukaannya. Biasanya siang-siang begitu pedagang es selalu stan by menjajakan es rumput lau di depan kampus.“Widih, ini panas ampe nusuk kulit rasanya.”“Tenggorokan juga udah seret, es rumput laut kesukaanku pasti ampuh ni.” celetuk Lovrin sambil menyusuri anak tangga menuju depan kampus.Rupanya dari arah selatan, ada sebuah mobil melaju sangat kencang dan hanya membunyikan klakson, pertanda pejalan kaki harus waspada.“Woi, ini jalan punya nenek moyang kau apa?”“Hampir nyawaku melayang, awas kau.”Amarahnya kembali terusik karena melihat pengendara mobil itu, berhenti pas di area parkir kampus. Saat pengendara mobil itu turun dan berbalik badan, ternyata dia adalah Haikal. Lovrin yang mengetahui itu Haikal langsung memberondong dengan pertanyaan dan umpatan.“Kau punya sim d
Suasana hati Lovrin lumayan bersahabat dia memulai langkah perkuliahan hari itu dengan penuh semangat. Lovrin memang jarang memberikan senyum terbaiknya, terlebih saat dirinya ditinggalkan kedua orang tuanya saat masih berusia lima tahun. Kini dia hidup bersama nenek dan juga pamannya.“Lovrin … apa kau sudah menghabiskan sarapanmu?” tanya sang nenek pada Lovrin.“Sudah, Nek."Masakan Nenek memang juara!” celetuk Lovrin yang tengah mencicipi berbagai hidangan di meja makan.“Tetapi kau mengapa tampak kurus sekali akhir-akhir ini?” canda paman Lovrin.“Ah, Paman. Bisa saja menggodaku.”Mereka memang begitu setiap harinya, terbiasa bergurau satu dengan yang lainnya. Tanpa terasa Lovrin yang diasuh neneknya beranjak dewasa. Neneknya, Nyonya Farida begitu menyayangi Lovrin. Sepeninggal kedua orang tua Lovrin, dialah tempat bersandar bagi sang cucu kesayangan.Semasa sekolah Nyon