“Mana duit setoran hari ini?” tanya Ana sambil menadahkan tangan ketika melihat Sasi datang bersama sepeda bututnya.
Dengan takut-takut, Sasi mengangsurkan beberapa lembar uang hasil jualannya kepada Ana. Setelahnya, wanita muda itu menunduk sambil menuntun sepeda ke samping rumah. Dia berjalan memasuki rumah sambil membawa keranjang dagangan, tetapi suara Ana kembali menyapa rungu.“Apa ini?” tanya wanita paruh baya itu sambil menatap tajam Sasi dan menggoyangkan uang di tangannya.“I-itu hasil jualan hari ini, Bu. Dagangan lagi sepi karena hujan.”“Alasan aja. Itu daganganmu tinggal sedikit.” Ana melongok keranjang di tangan Sasi.“Tadi Sasi sedekahkan sama orang yang kekurangan, Bu.”“Dasar anak enggak tahu diri! Hidup kita aja susah malah sedekah-sedekah segala!" Ana menyeret Sasi ke dapur, lalu mendorongnya keras sehingga membuat wanita muda itu tersungkur. “Cuci baju, masak, dan bersihkan rumah sebelum bapakmu pulang!”“I-iya, Bu.”Sasi gegas melakukan perintah Ana. Bukan sekali dua kali dia mendapat perlakuan kasar dari ibu tirinya itu. Namun, sekuat tenaga dia mencoba bertahan karena ayahnya sangat mencintai Ana. Di balik sikap ketus Ana terselip kekaguman Sasi karena wanita itu yang merawatnya sejak kecil setelah ibu kandungnya meninggal.Keringat masih membanjiri dahi dan punggung Sasi ketika melihat sang ayah datang sambil menyunggingkan senyum.“Baru pulang, Yah?” tanya Sasi langsung mencium takzim punggung tangan pria itu. “Sasi bikinin kopi, ya?”Pria itu mengangguk, lalu duduk di sofa sambil membuka sepatu dan melepaskan safari hitamnya. Dia menghela napas berat lalu menyandarkan kepala di sandaran sofa.“Baru pulang, Mas?” tanya Ana keluar kamar sambil membawa kipas bambu. “Kipasnya mati lagi. Panas sampai bajuku lepek kena keringat.”“Sabar, Bu. Nanti kalau aku dapat bonus kita beli kipas angin baru.”“Kapan, Mas? Perasaan dari kemarin bonas-bonus terus, tapi enggak cair-cair juga sampai bosen aku dengernya!"Ana lantas berlalu menuju dapur dan makan sambil mengangkat sebelah kakinya di kursi. Berkali-kali dia mendengkus kesal sambil memasukkan sesuap besar nasi ke mulutnya. Sasi yang melihat hanya geleng-geleng dan tersenyum.“Ini kopinya, Yah. Ayah mau sekalian makan?” tanya Sasi yang dijawab dengan gelengan.“Nanti saja, Sasi. Ayah mau istirahat dulu.”Sasi mengangguk lalu berlalu menuju kamar mandi. Guyuran air dingin terasa menyejukkan ketika menyentuh kepala dan tubuh wanita muda itu. Rasa penat karena mencari tambahan uang untuk masuk kuliah perlahan menghilang. Usai mandi dan berpakaian, Sasi mengajak sang ayah untuk makan.“Gimana daganganmu, Sasi? Habis?” tanya Darma sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.Sasi menggeleng lemah. “Masih ada sisa, Yah. Mungkin karena hujan tadi, jadinya Sasi bagi-bagiin ke orang-orang.”“Enggak apa-apa, Sasi. Namanya berdagang, ya, begitu. Ada kalanya laris manis, ada kalanya sepi, bahkan enggak laku.”Sasi mengangguk, lalu makan dalam diam. Dia menatap wajah Darma lekat dan mendung mulai menggelayut di matanya.“Kenapa, Sasi?”“Enggak, Yah. Enggak ada apa-apa. Sasi cuma ingat Ibu aja.”“Habiskan makannya. Ayah mau istirahat dulu.”Sasi mengangguk lalu meneruskan makan sampai habis dan mencuci piring sebelum beranjak ke kamar. Ketika hendak memejamkan mata, suara teriakan Ana terdengar memekakkan telinga, sehingga wanita muda itu segera berlari menuju kamar kedua orang tuanya.“Mas, bangun! Bangun, Mas!” pekik Ana sambil menepuk pipi Darma, tetapi pria itu masih terpejam.“Ayah kenapa, Bu?” tanya Sasi dengan mata yang mulai mengembun. Dia ikut berjongkok dan melihat pilu sang ayah.“Enggak tahu. Cepet panggil orang dan bawa ke rumah sakit!”Sasi gegas berlari ke luar rumah dan mencari pertolongan. Tak lama kemudian, beberapa tetangga datang dan membawa Darma ke rumah sakit. Selama perjalanan, Ana tak henti meraung sambil menatap sang suami yang terpejam di pangkuannya, sedangkan Sasi tak sanggup lagi berkata-kata, tetapi matanya sudah basah oleh air mata."Apa yang terjadi dengan Ayah? Ya Allah, tolong selamatkan Ayah, hanya dia yang Sasi punya di dunia ini." Sasi memohon dalam hati sambil terus menatap iba pria yang menjadi cinta pertamanya.Sesampainya di rumah sakit, Darma segera mendapatkan penanganan. Ana tak henti menangis sambil memanggil nama sang suami, sedangkan Sasi mengusap punggung wanita itu untuk menenangkannya.“Ayahmu tadi ngeluh sakit pinggangnya, enggak lama jatuh pingsan. Ibu enggak tahu kenapa, Sasi?”“Sabar, Bu. Allah pasti menolong Ayah. Kita jangan berhenti berdoa, ya?”Setengah jam berlalu, seorang dokter keluar dengan raut wajah pias. Dia menghela napas berat lalu menatap sendu Ana dan Sasi yang sudah berurai air mata.“Gimana keadaan suami saya, Dok? Dia baik-baik aja, kan?”“Maaf, Bu. Suami Anda menderita gagal ginjal kronis dan sekarang kondisinya sedang kritis.”“Apa, Dok? Kritis? Enggak mungkin, dia tadi masih baik-baik saja. Dokter jangan bohongi saya. Enggak!” pekik Ana lalu meluruh ke lantai. Sasi yang mendengar tak kalah terkejut dan membekap mulut sambil terhuyung. Pandangannya mengabur dan tiba-tiba gelap datang menyapa.🌹🌹🌹“Sasi, bangun.” Ana berusaha menepuk pipi wanita muda yang terpejam di brankar UGD itu dengan mata sembab.Dengan perlahan, Sasi membuka mata lalu mengedarkan pandangan. Dia beringsut duduk, lalu menatap sendu Ana yang kuyu.“Ayah gimana, Bu?”Ana menggeleng lemah, lalu menghela napas berat. “Apa yang terjadi sama ayahmu, kenapa dia bisa sampai kena gagal ginjal?”Sasi menunduk dalam, lalu meremas jemari. Setetes bulir bening berhasil luruh membasahi jemarinya. Kedua wanita beda generasi itu masih larut dalam kesedihan sampai suara seorang perawat membuat mereka menoleh.“Keluarga Bapak Darma?” tanya perawat itu sambil tersenyum. “Ada yang mau bertemu.”Sasi turun dari brankar dan berjalan beriringan bersama Ana keluar ruang UGD mengikuti perawat tadi. Ternyata mereka diantar menemui seorang pria paruh baya yang tersenyum saat melihat mereka. Pria itu mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri.“Saya Prawira Dirga, orang yang selama ini mempekerjakan Darma.”Ana dan Sasi mengangguk lalu menerima uluran tangan pria itu. “Saya Ana, istrinya Darma dan ini Sasi anaknya.”“Wah, kamu sudah besar rupanya.” Prawira mengusap lembut kepala Sasi yang ditutupi hijab berwarna biru muda itu. “Semoga kamu jadi anak salihah, ya, Sasi.”“Aamiin.”“Sekarang di mana Darma?”Prawira lantas diajak ke ruang perawatan Darma. Pria itu terenyuh melihat Darma yang terbaring lemah sambil memejamkan mata. Beberapa selang tampak menempel di tubuhnya. Prawira mendekat dan langsung berbisik di telinga pria itu.“Aku datang, Darma. Akan aku tunaikan janji yang pernah kuucapkan kepadamu sepuluh tahun lalu.”Prawira keluar ruangan, lalu menelepon seseorang. Tak lama kemudian, pria itu kembali dan mengajak Ana mengobrol di kursi tunggu yang terletak di luar ruangan.“Saya yang akan menanggung semua biaya perawatan Darma selama di sini. Saya juga yang akan membiayai kuliah Sasi sampai dia lulus, tapi dengan satu syarat.”Ana mengernyit, sedangkan Prawira tersenyum sambil menatap Sasi yang menggenggam erat ujung jilbabnya sambil terseduh. Wanita itu akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Apa syaratnya, Pak?”Prawira hendak membuka mulut, tetapi suara ketukan pintu membuatnya gegas beranjak untuk membukanya. Seraut wajah tampak berjalan di belakang pria paruh baya itu lalu mendekati brankar Darma. “Sasi, kenalkan ini Sagara. Dia anak saya.” Gadis itu menoleh, lalu menghapus air matanya dan tersenyum. Dia mengulurkan tangan bermaksud ingin memperkenalkan diri. Namun, Sagara malah membuang muka. “Apa maksud semua ini, Pa? Kenapa Saga disuruh ke sini? Saga pergi aja kalau enggak jelas tujuannya!” “Sabar, Nak.” Prawira menyuruh Ana mendekat mengelilingi Darma. “Saya pernah berjanji kepada Darma sepuluh tahun lalu untuk menikahkan anak saya, Saga dengan Sasi jika sewaktu-waktu dia kenapa-napa.” “Apa!” seru ketiganya bersamaan sambil menatap Prawira. “Papa bercanda, ya? Mana mungkin Saga mau menikah sama cewek yang sebelumnya enggak Saga kenal!” “Tapi, Nak. Ini adalah janji Papa kepada Darma setelah dia menyelamatkan nyawa Papa.” “Tapi enggak gini juga caranya, Pa. Saga menolak keras per
“Kamu, kan, sudah menjadi menantu orang kaya, jadi jangan lupakan Ibu, ya? Minimal kasihlah lima juta sebulan buat memenuhi kebutuhan hidup Ibu.” “Apa maksud Ibu?” “Kamu, tuh, ya, dengerin orang tua ngomong apa enggak, sih? Ibu minta jatah lima juta sebulan buat biaya hidup Ibu.” “Tapi, Bu ….” “Apa! Masih mau perhitungan kamu, ya? Kamu ingat sejak kecil siapa yang ngerawat kamu, ngasih kamu makan, ngasih kamu minum, hah!” seru Ana sambil menoyor kepala Sasi. “Ingat, Bu. Sasi ingat semua kebaikan Ibu. Tapi ….” “Tapi apa, hah! Udah diurusin capek-capek giliran udah nikah enggak mau balas budi. Mau jadi anak durhaka kamu, Sasi!” Ana melangkah cepat meninggalkan makam menuju rumah, sedangkan Sasi selalu mengucapkan istigfar sepanjang perjalanan pulang. Namun, wanita itu tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika melihat sang ibu sudah mengemas baju-bajunya dalam tas dan menaruhnya di depan pintu. “Jangan ke sini kalau kamu enggak bawa apa yang Ibu minta tadi. Ingat itu!” “B
Sagara menyentuh pipi Sasi sambil terus menggumamkan nama Laras. Sasi yang merasakan tangan seseorang gegas membuka mata dan membeliak melihat Sagara tersenyum sambil terus berusaha menyentuhnya. “Aku sayang kamu, Laras. Jangan tinggalin aku lagi, ya?” Sasi berusaha melepaskan tangan sang suami, tetapi Sagara makin keras ingin menyentuh wanita itu. “Kamu mabuk, Mas?” Sagara kembali tersenyum sambil memejamkan mata. “Kamu yang buat aku mabuk cintamu, Laras.” “Aku Sasi, Mas. Bukan Laras.” Sasi mengerahkan kekuatan untuk mendorong Sagara sekuat tenaga sampai membuatnya terjengkang. Wanita itu pun lari keluar kamar, tetapi Sagara mengejar dan mendekapnya dari belakang. Sekencang apa pun Sasi berteriak dan meronta, Sagara terus membawanya ke kamar. Pria itu menarik Sasi ke ranjang dan berusaha mencumbunya. Wanita itu meronta sambil menjauhkan wajah sang suami. “Sadar, Mas. Aku Sasi bukan Laras!” Wanita itu akhirnya terguguk. Sekelip mata Sagara tersadar dan melepaskan Sasi. Pria it
Sasi terguguk sambil mendekap erat selimut yang menutupi dadanya. Malam ini menjadi saksi pilunya raga wanita itu menerima cinta yang diagung-agungkan Sagara atas nama Laras. Sang suami terus menggemakan nama wanita lain saat mencumbunya tadi. Hatinya sakit bagai ditusuk sembilu. Sakit sampai terasa sesak. Sakit, tetapi tak berdarah. Dia menoleh dan tangisnya makin pecah saat menatap wajah Sagara yang pulas di sampingnya. Wanita itu beringsut bangkit sambil menahan perih pada bagian inti tubuhnya. Dia memunguti pakaian yang tercecer, lantas memakainya. Lalu, berjalan tertatih menuju kamar mandi dan kembali terguguk di sana sambil luruh ke lantai. "Sebegitu besarnyakah rasa cintamu untuknya, Mas? Sampai kamu tanpa sadar menyakiti hatiku."Setelah meluapkan kesedihannya, Sasi menyudahi ritual mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat malam untuk menentramkan hatinya. Segala kelesah dia adukan kepada-Nya sambil berurai air mata. Mulutnya tak henti membaca istigfar dan zikir lai
Raut Sagara berubah drastis ketika mendengar pertanyaan sang istri. Dia yang tadinya didera rasa bersalah mendadak dipenuhi amarah. Sagara menatap tajam wanita di depannya sambil menggeram kesal, tetapi mengingat kejadian semalam membuat pria itu langsung pergi ke kamar maninggalkan Sasi. Sasi yang diperam tanya langsung menyusul dan kembali mengulang pertanyaan. “Siapa laras, Mas? Aku berhak tahu karena … semalam kamu menyebut namanya penuh cinta.” Perlahan wanita itu menunduk dalam setelah menurunkan nada bicaranya di akhir kelimat. Bulir bening menetes membasahi kedua tanganmya yang saling bertaut. Sagara makin diperam rasa bersalah melihat wanita itu terseduh. Tangannya terulur hendak menyentuh lengan Sasi, tetapi wanita segera berbalik dan berlalu meninggalkan kamar. Sebuah nama yang mampu meruntuhkan harga diri seorang istri. Satu nama yang tertanam kuat di hati dan pikiran Sagara. Dan satu nama yang secara sadar atau tidak dia ucapkan dengan penuh cinta. Sasi tak sanggup lagi
Sasi bingung dengan ucapan Sagara. Dia berusaha mencerna lima kalimat yang keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya suara bas Sagara kembali menyapa.“Buruan!”Wanita itu tergagap lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju dalam sekejap. Setelah siap, Sasi menemui sang suami yang masih duduk di sofa sambil membuka ponsel. Sagara menoleh ketika merasa ada yang berdiri di dekatnya. Sejenak dia geming untuk menikmati wajah teduh milik wanita itu. Meskipun tanpa riasan, tetapi wajah Sasi yang putih benar-benar membuat Sagara merasakan gelenyar yang tak biasa. Dia menggeleng lemah lalu bangkit dari duduk dan berjalan dulu menuju meja makan di rumah utama.“Kalian mau ke mana rapi sekali?” tanya Prawira melihat Sasi yang memakai gamis berwarna lavender dengan hijab senada.“Kampus.”Jawaban singkat Sagara memantik senyum simpul di wajah pria paruh baya itu. Dia lantas melihat sang menantu yang masih sibuk mengambilkan nasi untuk Prawira dan Sagara."Semog
Pagi buta usai melaksanakan salat dua rakaat, Sasi gegas membersihkan rumah dan mandi. Setelahnya dia membangunkan sang suami lalu menyiapkan baju. Sementara Sagara mandi, wanita itu berganti baju. Dia terus mengulas senyum saat mematut diri di depan cermin. Gamis biru mint dengan motif abstrak di bagian bawah tampak serasi dengan hijab biru tua yang dia kenakan. Ketika keluar kamar, dia tergemap karena melihat Sagara berdiri di ambang pintu hanya menggunakan handuk sebatas pinggang. Buru-buru Sasi menundukkan pandangan lalu keluar kamar. Setelah kejadian yang memilukan tempo hari, Sagara memilih tidur di sofa jika pulang malam hari. Dia berjanji akan menjaga jarak sementara waktu dengan sang istri agar tidak menyakitinya lagi. Namun, Sagara masih enggan untuk melakukan percakapan dengan Sasi.Usai Sagara rapi berpakaian, mereka menuju rumah utama dan mulai sarapan dalam diam. Seperti biasa Sasi mengambilkan nasi untuk mertua dan suaminya. “Tiap pagi berangkat kuliahnya bareng Sa
Sagara tergagap dan segera meletakkan ponsel ke sofa sebelum menatap Sasi. Binar bahagia dan senyum yang sempat terpatri di bibir pria itu lesap seketika. Melihat wajah masam sang suami, Sasi segera mengangsurkan kopi di tangannya dan melirik sekilas ponsel yang tergeletak di sofa.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Apa itu yang namanya Laras?”Sagara yang hendak menyesap kopi langsung berhenti. Dia menatap lekat wanita yang berdiri di depannya sebelum menyeringai. Lalu, kembali melanjutkan menyesap kopi dan menatap keluar jendela.Merasa diabaikan, Sasi membuang pandangan sejenak sebelum kembali menatap lekat sang suami yang masih menatap keluar jendela. Kedua matanya sudah megembun karena sesak yang membebat rongga dada.Tak sanggup lagi menahan sakit, Sasi memilih untuk berlalu. Namun, suara bariton Sagara berhasil menghentikan langkahnya.“Iya, dialah Laras. Wanita yang sampai kapan pun akan selalu ada di hatiku, meskipun kamu adalah istriku.”Wanita mana yang tak sakit ha