“Apa yang kamu lakukan, Sasi!”Sagara mendadak mendekat dan langsung menyambar ponsel yang masih dipegang oleh Sasi. Lalu, menjauh dan kembali mendengarkan sang penelepon dengan wajah merah menahan amarah. Pria itu hanya mengangguk sekali sebelum mematikan panggilan dan menghampiri istrinya.“Jangan pernah lagi angkat telepon milikku, Sasi!”Sagara mendengkus kesal sebelum berlalu meninggalkan kamar dengan membanting pintu. Sasi terlonjak kaget dan menggeleng lemah melihat sikap suaminya itu. Sekejap mata, ucapan sang penelepon kembali terngiang di telinga.“Kalau benar apa yang dibilang orang tadi, berarti Laras sekarang ada di ....” Sasi membekap mulut karena tak sampai hati meneruskan ucapannya sendiri. Dia langsung terduduk lemas di sofa dan menatap hampa tembok di depannya. “Apakah Mas Saga akan menemuinya juga setelah tahu apa yang terjadi kepada Laras?”Sasi menggeleng berulang kali sebelum menghela napas panjang. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sejak awal juga
Sagara langsung berdiri di samping ranjang sambil mengepalkan kedua tangannya. Wajah lelah yang sejak tadi tergambar telah berubah menjadi amarah. Suara dengkus napas kasar disertai gigi yang bergemelatuk menambah kesan bahwa pria itu sedang dalam mode sangat marah.Melihat sikap suaminya, Sasi ketakutan. Wanita itu menunduk sambil memilin jari. Lalu, melirik Sagara yang menyambar bantal dan berjalan menuju sofa.“Mas, kamu belum jawab pertanyaan aku tadi? Apa kamu tadi bertemu dengan Laras?”Sagara menoleh sekilas sebelum berbaring di sofa dengan posisi membelakangi ranjang. Melihat itu, Sasi tahu bahwa suaminya enggan untuk membahas masalah yang berkaitan dengan Laras. Wanita itu meremas kuat selimut. Lagi, pengabaian yang diberikan sang suami menggoreskan luka di hatinya.“Seberapa berarti dia bagimu, Mas? Bahkan kehadiranku saja tidak mampu mengubah kuatnya cinta yang tertanam di hatimu untuknya.”Sasi menatap sendu punggung sang suami. tampak napas yang teratur menandakan ba
Sasi membekap mulut, sedetik kemudian bulir bening yang telah menutupi mata berderai membasahi pipi putihnya. Dia segera berbalik dan berlari keluar gedung sambil membawa hati yang tercabik.Sasi berhenti di dekat pintu kaca dan menyandarkan tubuh ringkihnya sejenak. Lalu, tubuh bergetar itu luruh ke bawah bersamaan dengan isak tangis tertahan. Masih jelas terbayang dalam ingatan apa yang telah dilakukan Sagara kepada Laras. Tatapan penuh cinta itu tak pernah sekali pun ditunjukkan kepadanya. Tawa bahagia itu tak pernah sekali pun tersaji saat bersama dengannya. Lalu, saat pria yang berstatus sebagai suami Sasi itu menyematkan kecupan di pipi dan kening Laras, runtuh sudah air mata Sasi.Istri mana yang tidak sakit hati melihat suaminya masih begitu mencintai wanita masa lalunya. Begitu pula dengan yang dirasakan Sasi. Namun, bisa apa dia jika sejak awal saja Sagara sudah mengatakan kebenciannya kepada sang istri.Usai melampiaskan tangisnya, Sasi segera menghapus air matanya, bang
“Mana duit setoran hari ini?” tanya Ana sambil menadahkan tangan ketika melihat Sasi datang bersama sepeda bututnya. Dengan takut-takut, Sasi mengangsurkan beberapa lembar uang hasil jualannya kepada Ana. Setelahnya, wanita muda itu menunduk sambil menuntun sepeda ke samping rumah. Dia berjalan memasuki rumah sambil membawa keranjang dagangan, tetapi suara Ana kembali menyapa rungu. “Apa ini?” tanya wanita paruh baya itu sambil menatap tajam Sasi dan menggoyangkan uang di tangannya. “I-itu hasil jualan hari ini, Bu. Dagangan lagi sepi karena hujan.” “Alasan aja. Itu daganganmu tinggal sedikit.” Ana melongok keranjang di tangan Sasi. “Tadi Sasi sedekahkan sama orang yang kekurangan, Bu.” “Dasar anak enggak tahu diri! Hidup kita aja susah malah sedekah-sedekah segala!" Ana menyeret Sasi ke dapur, lalu mendorongnya keras sehingga membuat wanita muda itu tersungkur. “Cuci baju, masak, dan bersihkan rumah sebelum bapakmu pulang!” “I-iya, Bu.” Sasi gegas melakukan perintah Ana. Buka
Prawira hendak membuka mulut, tetapi suara ketukan pintu membuatnya gegas beranjak untuk membukanya. Seraut wajah tampak berjalan di belakang pria paruh baya itu lalu mendekati brankar Darma. “Sasi, kenalkan ini Sagara. Dia anak saya.” Gadis itu menoleh, lalu menghapus air matanya dan tersenyum. Dia mengulurkan tangan bermaksud ingin memperkenalkan diri. Namun, Sagara malah membuang muka. “Apa maksud semua ini, Pa? Kenapa Saga disuruh ke sini? Saga pergi aja kalau enggak jelas tujuannya!” “Sabar, Nak.” Prawira menyuruh Ana mendekat mengelilingi Darma. “Saya pernah berjanji kepada Darma sepuluh tahun lalu untuk menikahkan anak saya, Saga dengan Sasi jika sewaktu-waktu dia kenapa-napa.” “Apa!” seru ketiganya bersamaan sambil menatap Prawira. “Papa bercanda, ya? Mana mungkin Saga mau menikah sama cewek yang sebelumnya enggak Saga kenal!” “Tapi, Nak. Ini adalah janji Papa kepada Darma setelah dia menyelamatkan nyawa Papa.” “Tapi enggak gini juga caranya, Pa. Saga menolak keras per
“Kamu, kan, sudah menjadi menantu orang kaya, jadi jangan lupakan Ibu, ya? Minimal kasihlah lima juta sebulan buat memenuhi kebutuhan hidup Ibu.” “Apa maksud Ibu?” “Kamu, tuh, ya, dengerin orang tua ngomong apa enggak, sih? Ibu minta jatah lima juta sebulan buat biaya hidup Ibu.” “Tapi, Bu ….” “Apa! Masih mau perhitungan kamu, ya? Kamu ingat sejak kecil siapa yang ngerawat kamu, ngasih kamu makan, ngasih kamu minum, hah!” seru Ana sambil menoyor kepala Sasi. “Ingat, Bu. Sasi ingat semua kebaikan Ibu. Tapi ….” “Tapi apa, hah! Udah diurusin capek-capek giliran udah nikah enggak mau balas budi. Mau jadi anak durhaka kamu, Sasi!” Ana melangkah cepat meninggalkan makam menuju rumah, sedangkan Sasi selalu mengucapkan istigfar sepanjang perjalanan pulang. Namun, wanita itu tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika melihat sang ibu sudah mengemas baju-bajunya dalam tas dan menaruhnya di depan pintu. “Jangan ke sini kalau kamu enggak bawa apa yang Ibu minta tadi. Ingat itu!” “B
Sagara menyentuh pipi Sasi sambil terus menggumamkan nama Laras. Sasi yang merasakan tangan seseorang gegas membuka mata dan membeliak melihat Sagara tersenyum sambil terus berusaha menyentuhnya. “Aku sayang kamu, Laras. Jangan tinggalin aku lagi, ya?” Sasi berusaha melepaskan tangan sang suami, tetapi Sagara makin keras ingin menyentuh wanita itu. “Kamu mabuk, Mas?” Sagara kembali tersenyum sambil memejamkan mata. “Kamu yang buat aku mabuk cintamu, Laras.” “Aku Sasi, Mas. Bukan Laras.” Sasi mengerahkan kekuatan untuk mendorong Sagara sekuat tenaga sampai membuatnya terjengkang. Wanita itu pun lari keluar kamar, tetapi Sagara mengejar dan mendekapnya dari belakang. Sekencang apa pun Sasi berteriak dan meronta, Sagara terus membawanya ke kamar. Pria itu menarik Sasi ke ranjang dan berusaha mencumbunya. Wanita itu meronta sambil menjauhkan wajah sang suami. “Sadar, Mas. Aku Sasi bukan Laras!” Wanita itu akhirnya terguguk. Sekelip mata Sagara tersadar dan melepaskan Sasi. Pria it
Sasi terguguk sambil mendekap erat selimut yang menutupi dadanya. Malam ini menjadi saksi pilunya raga wanita itu menerima cinta yang diagung-agungkan Sagara atas nama Laras. Sang suami terus menggemakan nama wanita lain saat mencumbunya tadi. Hatinya sakit bagai ditusuk sembilu. Sakit sampai terasa sesak. Sakit, tetapi tak berdarah. Dia menoleh dan tangisnya makin pecah saat menatap wajah Sagara yang pulas di sampingnya. Wanita itu beringsut bangkit sambil menahan perih pada bagian inti tubuhnya. Dia memunguti pakaian yang tercecer, lantas memakainya. Lalu, berjalan tertatih menuju kamar mandi dan kembali terguguk di sana sambil luruh ke lantai. "Sebegitu besarnyakah rasa cintamu untuknya, Mas? Sampai kamu tanpa sadar menyakiti hatiku."Setelah meluapkan kesedihannya, Sasi menyudahi ritual mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat malam untuk menentramkan hatinya. Segala kelesah dia adukan kepada-Nya sambil berurai air mata. Mulutnya tak henti membaca istigfar dan zikir lai