“Kamu, kan, sudah menjadi menantu orang kaya, jadi jangan lupakan Ibu, ya? Minimal kasihlah lima juta sebulan buat memenuhi kebutuhan hidup Ibu.”
“Apa maksud Ibu?”“Kamu, tuh, ya, dengerin orang tua ngomong apa enggak, sih? Ibu minta jatah lima juta sebulan buat biaya hidup Ibu.”“Tapi, Bu ….”“Apa! Masih mau perhitungan kamu, ya? Kamu ingat sejak kecil siapa yang ngerawat kamu, ngasih kamu makan, ngasih kamu minum, hah!” seru Ana sambil menoyor kepala Sasi.“Ingat, Bu. Sasi ingat semua kebaikan Ibu. Tapi ….”“Tapi apa, hah! Udah diurusin capek-capek giliran udah nikah enggak mau balas budi. Mau jadi anak durhaka kamu, Sasi!”Ana melangkah cepat meninggalkan makam menuju rumah, sedangkan Sasi selalu mengucapkan istigfar sepanjang perjalanan pulang. Namun, wanita itu tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika melihat sang ibu sudah mengemas baju-bajunya dalam tas dan menaruhnya di depan pintu.“Jangan ke sini kalau kamu enggak bawa apa yang Ibu minta tadi. Ingat itu!”“Bu ….”Ana beranjak ke dalam lalu membanting pintu sehingga membuat Sasi terlonjak. Perlahan air mata wanita itu luruh seiring rasa sesak yang membebat dada. Tak berapa lama, datang sebuah mobil yang berhenti di depan rumah Sasi. Prawira turun dan berjalan mendekati Sasi.“Saya tahu bagaimana perasaan kamu, Sasi. Tapi sekarang kewajiban kamu adalah berbakti kepada Sagara. Ayo, kita pergi! Nanti kamu bisa menemui ibumu sewaktu-waktu.”Akhirnya dengan berat hati, Sasi meraih tas jinjing dan pergi bersama Prawira. Dia menatap sekali lagi rumah yang sudah memberinya berjuta-juta kenangan dengan hati berat, lalu setetes air mata luruh bersamaan dengan deru mobil yang meninggalkan rumah Sasi.Selama pejalanan, Sasi hanya menunduk sambil meremas kuat jemarinya. Seumur-umur baru kali ini dia pergi jauh dari rumah sendirian. Rasanya sungguh berbeda. Senang, sedih, takut, dan tertantang bercampur aduk menjadi satu.“Sasi, kalau kamu ngantuk tidur aja. Perjalanan kita agak jauh soalnya.”“I-iya, Pak.”Sasi dengan takut-takut melirik Sagara yang duduk di belakang kemudi lalu kembali menunduk ketika pria itu balik melihatnya lewat kaca spion."Ya Allah, sungguh ini takdir yang buat aku bingung harus bersyukur atau tidak. Aku bersyukur karena bertemu Pak Prawira, tetapi aku bingung karena menikah dengan pria yang baru pertama kali melihatnya. Semoga saja aku bisa menjadi istri yang baik kelak." Sasi bermonolog dalam hati sambil meremas kuat ujung jilbabnya.Setelah menempuh perjalanan selama empat jam yang melelahkan, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang sangat besar. Pagar besi dengan teralis yang rumit menjulang tinggi sebagai pemandangan pertama yang tertangkap mata. Begitu gerbang itu terbuka, halaman luas dengan hamparan rumput hijau di sisi kiri begitu memanjakan, ditambah air mancur di sudutnya menambah asri rumah itu. Mobil terus bergerak maju sampai berhenti di depan garasi.“Kita sudah sampai, Sasi.”Wanita itu mengangguk lalu turun dari mobil sambil mengedarkan pandangan. “Mashaallah besarnya rumah ini, Pak.”“Alhamdulillah. Ini hanya titipan Allah, saya hanya menjaganya saja. Ayo, masuk!”Sasi mengikuti Prawira berjalan menuju ruang tamu, lagi-lagi wanita itu merasa takjub dengan isi rumah yang begitu mewah. Melewati ruang keluarga, ruang makan, dan dapur akhirnya Sasi dibawa Prawira menuju halaman belakang yang terdapat kolam renang besar. Mereka terus berjalan sampai tiba di sebuah rumah yang ukurannya lebih kecil daripada tadi, tetapi fasilitasnya tak kalah lengkap.“Ini akan jadi rumah kamu sama Sagara nantinya.”“I-ini, Pak?”“Iya. Sagara yang merancang dan membangunnya sendiri karena dia tak ingin tinggal di rumah saya, ingin mandiri katanya. Anehnya, dia enggak mau jauh dari saya, takut saya kesepian katanya.”Prawira terkekeh, sedangkan Sasi hanya mengulas senyum. Dia mengedarkan pandangan dan kembali terpana dengan desain bangunan pilihan sang suami. Rumah itu mempunyai pintu dan jendela kaca yang besar menghadap hamparan sawah hijau di depannya, belum lagi terdapat sungai kecil yang suara gemericik airnya bisa menjadi penenang di kala jiwa sedang lara.“Istirahatlah, Sasi. Sebentar lagi Sagara pasti ke sini. Kalau kamu mau makan ke dalam saja, ya?”“I-iya, Pak.”“Panggil saja Papa, Sasi. Sama seperti Sagara memanggil saya.” Sasi mengangguk lalu mengantarkan Prawira sampai ke pintu.Sepeninggal pria itu, Sasi menjelajah isi rumah. Meskipun bangunan itu minimalis, tetapi tergolong lengkap karena ada ruang tamu mungil, ruang makan yang menyatu dengan dapur, kamar mandi, tempat laundry, dan satu kamar tidur. Sasi mengempaskan tubuh ke sofa di ruang tamu sambil menatap sawah di depannya.“Benar-benar seperti di kampung.”Wanita itu mengulas senyum, kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Namun, senyum itu lindap ketika mendengar suara pintu digeser dan Sagara masuk sambil mendengkus kesal.Pria itu terus berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sasi yang tak tahu harus bagaimana menyusul pria itu dan menunggunya di depan pintu. Ketika Sagara sudah selesai mandi dan membuka pintu, dia sangat terkejut.“Mau apa kamu?”“Ehm, Mas mau dibikinin minum?”“Terserah.”Sagara berjalan melewati Sasi sambil mengusap kepalanya yang basah. Dia hanya memakai handuk sebatas pinggang ke bawah dan sukses membuat Sasi menahan malu sampai menunduk untuk menyembunyikan rona merah di wajahnya. Dia pun beranjak ke dapur untuk membuat dua cangkir teh dan membawanya ke meja makan.Tak lama kemudian, Sagara keluar kamar dan duduk di meja makan sambil menyesap pelan teh hangatnya. Sasi ragu-ragu duduk di depan sang suami dan ikut minum. Suasana canggung melingkupi keduanya, sehingga mereka hanya diam.Setelah minumannya habis, Sagara bangkit dan hendak berlalu, tetapi Sasi menyusul. Melihat sang istri mengekor membuat pria itu geram. Mendadak dia berbalik, lantas mencengkeram kuat dagu Sasi dan memepetnya ke dinding.“Mau apa kamu!” sentak Sagara sambil menghunuskan tatapan tajam.“Ma-maaf, Mas. Aku … aku hanya.”Sagara melepaskan cengkeramannya sambil menyentak agak keras sehingga Sasi hampir tersungkur.“Gara-gara perjanjian konyol itu, terpaksa aku harus menikahimu! Tak tahukah kamu betapa bencinya aku kepadamu, hah!”Pria itu keluar rumah setelah berteriak meluapkan amarahnya. Sasi hanya geming dengan tubuh gemetar hebat. Dia lantas luruh ke lantai dan terguguk. Ana dan sang suami sudah berhasil menggoreskan luka di hati wanita itu, sehingga dia merasakan lara yang teramat sangat.“Aku juga enggak tahu jika semuanya akan seperti ini. Lalu, aku harus bagaimana?”Sasi menenggelamkan kepala di antara lutut dan dada sebelum terguguk. Setelah sesak yang mengimpit sedikit lega, dia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus berwudu. Usai berpakaian, dia memakai mukena untuk melaksanakan salat dan membaca mushaf. Perlahan, hatinya menjadi tenang kembali. Dia pun meneruskan dengan berzikir sampai kantuk datang menyergap. Wanita itu kemudian melepas mukena dan beranjak ke ranjang untuk memejamkan mata.Tepat pukul 02.00 dini hari, Sagara baru pulang. Dia berjalan terhuyung sebelum membuka pintu dan mengedarkan pandangan. Karena ruangan gelap, Sagara langsung berjalan menuju kamar. Pria itu mengernyit ketika melihat sang istri pulas tertidur di ranjang. Masih dengan terhuyung, pria itu berjalan mendekat. Ditatapnya lekat wajah wanita itu sambil tersenyum.“Laras?”Sagara menyentuh pipi Sasi sambil terus menggumamkan nama Laras. Sasi yang merasakan tangan seseorang gegas membuka mata dan membeliak melihat Sagara tersenyum sambil terus berusaha menyentuhnya. “Aku sayang kamu, Laras. Jangan tinggalin aku lagi, ya?” Sasi berusaha melepaskan tangan sang suami, tetapi Sagara makin keras ingin menyentuh wanita itu. “Kamu mabuk, Mas?” Sagara kembali tersenyum sambil memejamkan mata. “Kamu yang buat aku mabuk cintamu, Laras.” “Aku Sasi, Mas. Bukan Laras.” Sasi mengerahkan kekuatan untuk mendorong Sagara sekuat tenaga sampai membuatnya terjengkang. Wanita itu pun lari keluar kamar, tetapi Sagara mengejar dan mendekapnya dari belakang. Sekencang apa pun Sasi berteriak dan meronta, Sagara terus membawanya ke kamar. Pria itu menarik Sasi ke ranjang dan berusaha mencumbunya. Wanita itu meronta sambil menjauhkan wajah sang suami. “Sadar, Mas. Aku Sasi bukan Laras!” Wanita itu akhirnya terguguk. Sekelip mata Sagara tersadar dan melepaskan Sasi. Pria it
Sasi terguguk sambil mendekap erat selimut yang menutupi dadanya. Malam ini menjadi saksi pilunya raga wanita itu menerima cinta yang diagung-agungkan Sagara atas nama Laras. Sang suami terus menggemakan nama wanita lain saat mencumbunya tadi. Hatinya sakit bagai ditusuk sembilu. Sakit sampai terasa sesak. Sakit, tetapi tak berdarah. Dia menoleh dan tangisnya makin pecah saat menatap wajah Sagara yang pulas di sampingnya. Wanita itu beringsut bangkit sambil menahan perih pada bagian inti tubuhnya. Dia memunguti pakaian yang tercecer, lantas memakainya. Lalu, berjalan tertatih menuju kamar mandi dan kembali terguguk di sana sambil luruh ke lantai. "Sebegitu besarnyakah rasa cintamu untuknya, Mas? Sampai kamu tanpa sadar menyakiti hatiku."Setelah meluapkan kesedihannya, Sasi menyudahi ritual mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat malam untuk menentramkan hatinya. Segala kelesah dia adukan kepada-Nya sambil berurai air mata. Mulutnya tak henti membaca istigfar dan zikir lai
Raut Sagara berubah drastis ketika mendengar pertanyaan sang istri. Dia yang tadinya didera rasa bersalah mendadak dipenuhi amarah. Sagara menatap tajam wanita di depannya sambil menggeram kesal, tetapi mengingat kejadian semalam membuat pria itu langsung pergi ke kamar maninggalkan Sasi. Sasi yang diperam tanya langsung menyusul dan kembali mengulang pertanyaan. “Siapa laras, Mas? Aku berhak tahu karena … semalam kamu menyebut namanya penuh cinta.” Perlahan wanita itu menunduk dalam setelah menurunkan nada bicaranya di akhir kelimat. Bulir bening menetes membasahi kedua tanganmya yang saling bertaut. Sagara makin diperam rasa bersalah melihat wanita itu terseduh. Tangannya terulur hendak menyentuh lengan Sasi, tetapi wanita segera berbalik dan berlalu meninggalkan kamar. Sebuah nama yang mampu meruntuhkan harga diri seorang istri. Satu nama yang tertanam kuat di hati dan pikiran Sagara. Dan satu nama yang secara sadar atau tidak dia ucapkan dengan penuh cinta. Sasi tak sanggup lagi
Sasi bingung dengan ucapan Sagara. Dia berusaha mencerna lima kalimat yang keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya suara bas Sagara kembali menyapa.“Buruan!”Wanita itu tergagap lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju dalam sekejap. Setelah siap, Sasi menemui sang suami yang masih duduk di sofa sambil membuka ponsel. Sagara menoleh ketika merasa ada yang berdiri di dekatnya. Sejenak dia geming untuk menikmati wajah teduh milik wanita itu. Meskipun tanpa riasan, tetapi wajah Sasi yang putih benar-benar membuat Sagara merasakan gelenyar yang tak biasa. Dia menggeleng lemah lalu bangkit dari duduk dan berjalan dulu menuju meja makan di rumah utama.“Kalian mau ke mana rapi sekali?” tanya Prawira melihat Sasi yang memakai gamis berwarna lavender dengan hijab senada.“Kampus.”Jawaban singkat Sagara memantik senyum simpul di wajah pria paruh baya itu. Dia lantas melihat sang menantu yang masih sibuk mengambilkan nasi untuk Prawira dan Sagara."Semog
Pagi buta usai melaksanakan salat dua rakaat, Sasi gegas membersihkan rumah dan mandi. Setelahnya dia membangunkan sang suami lalu menyiapkan baju. Sementara Sagara mandi, wanita itu berganti baju. Dia terus mengulas senyum saat mematut diri di depan cermin. Gamis biru mint dengan motif abstrak di bagian bawah tampak serasi dengan hijab biru tua yang dia kenakan. Ketika keluar kamar, dia tergemap karena melihat Sagara berdiri di ambang pintu hanya menggunakan handuk sebatas pinggang. Buru-buru Sasi menundukkan pandangan lalu keluar kamar. Setelah kejadian yang memilukan tempo hari, Sagara memilih tidur di sofa jika pulang malam hari. Dia berjanji akan menjaga jarak sementara waktu dengan sang istri agar tidak menyakitinya lagi. Namun, Sagara masih enggan untuk melakukan percakapan dengan Sasi.Usai Sagara rapi berpakaian, mereka menuju rumah utama dan mulai sarapan dalam diam. Seperti biasa Sasi mengambilkan nasi untuk mertua dan suaminya. “Tiap pagi berangkat kuliahnya bareng Sa
Sagara tergagap dan segera meletakkan ponsel ke sofa sebelum menatap Sasi. Binar bahagia dan senyum yang sempat terpatri di bibir pria itu lesap seketika. Melihat wajah masam sang suami, Sasi segera mengangsurkan kopi di tangannya dan melirik sekilas ponsel yang tergeletak di sofa.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Apa itu yang namanya Laras?”Sagara yang hendak menyesap kopi langsung berhenti. Dia menatap lekat wanita yang berdiri di depannya sebelum menyeringai. Lalu, kembali melanjutkan menyesap kopi dan menatap keluar jendela.Merasa diabaikan, Sasi membuang pandangan sejenak sebelum kembali menatap lekat sang suami yang masih menatap keluar jendela. Kedua matanya sudah megembun karena sesak yang membebat rongga dada.Tak sanggup lagi menahan sakit, Sasi memilih untuk berlalu. Namun, suara bariton Sagara berhasil menghentikan langkahnya.“Iya, dialah Laras. Wanita yang sampai kapan pun akan selalu ada di hatiku, meskipun kamu adalah istriku.”Wanita mana yang tak sakit ha
Sagara menatap lekat manik mata Sasi yang tengah menyiratkan ketakutan. Pria itu menyeringai sebelum melepaskan cekalannya. Lalu, melenggang pergi meninggalkan Sasi yang masih bergeming. Tak ada informasi yang didapatnya, sehingga dia memilih untuk menyusul sang suami yang menuju ke rumah di belakang.Melihat Sagara duduk di sofa sambil menatap layar ponsel dan mengetik sesuatu, Sasi memilih langsung ke kamar dan mengambil buku yang berisi materi kuliah sebelum membukanya. Lalu, mengerjakan tugas yang diberikan sang dosen sambil duduk bersandar pada kaki ranjang.Ketika tengah fokus mengerjakan tugas, pintu dibuka dari luar. Wanita itu menoleh dan mendapati Sagara masuk sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang. Sasi mengedikkan bahu sebelum kembali fokus dengan tugasnya hingga selesai. Lalu, menggeliat sesaat untuk mengendurkan otot tubuh yang terasa kaku sebelum memasukkan buku ke dalam tas. Sasi bergeming di kaki ranjang saat melihat suaminya sudah pulas tertidur. Dengkur halus ter
Sasi hampir saja menjawab pertanyaan Bani saat seorang dosen masuk dan segera berdiri di depan kelas. Dia menatap tajam Bani yang masih duduk di depan Sasi, kemudian berdeham. Barulah pria yang duduk di depan Sasi itu segera bangkit dan keluar kelas.Untuk sesaat, Sasi merasa lega. Jujur, dia belum mau membuka jati dirinya karena sikap sang suami. Andai Sagara bisa lebih mencintainya, dia pasti dengan bangga akan memamerkan statusnya sebagai seorang istri. Namun, keadaannya tidaklah demikian. Sehingga Sasi memilih untuk menyimpan rapat statusnya sampai sikap Sagara melunak.Sepanjang penjelasan materi yang diberikan sang dosen, Sasi mendengarkan dan mencatat hal-hal yang penting. Dia tidak ingin melewatkan satu kesempatan dan harus mendapatkan nilai yang memuaskan agar kelak bisa mandiri dan berdiri di kaki sendiri.Usai kuliah hari itu berakhir, Sasi segera menghubungi Pak Karsa untuk dijemput. Lalu, duduk di lobi sambil membaca ulang materi yang diterimanya hari ini hingga tak me