Beranda / Pernikahan / Cinta Setelah Talak / 3. Penolakan Sagara

Share

3. Penolakan Sagara

“Kamu, kan, sudah menjadi menantu orang kaya, jadi jangan lupakan Ibu, ya? Minimal kasihlah lima juta sebulan buat memenuhi kebutuhan hidup Ibu.”

“Apa maksud Ibu?”

“Kamu, tuh, ya, dengerin orang tua ngomong apa enggak, sih? Ibu minta jatah lima juta sebulan buat biaya hidup Ibu.”

“Tapi, Bu ….”

“Apa! Masih mau perhitungan kamu, ya? Kamu ingat sejak kecil siapa yang ngerawat kamu, ngasih kamu makan, ngasih kamu minum, hah!” seru Ana sambil menoyor kepala Sasi.

“Ingat, Bu. Sasi ingat semua kebaikan Ibu. Tapi ….”

“Tapi apa, hah! Udah diurusin capek-capek giliran udah nikah enggak mau balas budi. Mau jadi anak durhaka kamu, Sasi!”

Ana melangkah cepat meninggalkan makam menuju rumah, sedangkan Sasi selalu mengucapkan istigfar sepanjang perjalanan pulang. Namun, wanita itu tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika melihat sang ibu sudah mengemas baju-bajunya dalam tas dan menaruhnya di depan pintu.

“Jangan ke sini kalau kamu enggak bawa apa yang Ibu minta tadi. Ingat itu!”

“Bu ….”

Ana beranjak ke dalam lalu membanting pintu sehingga membuat Sasi terlonjak. Perlahan air mata wanita itu luruh seiring rasa sesak yang membebat dada. Tak berapa lama, datang sebuah mobil yang berhenti di depan rumah Sasi. Prawira turun dan berjalan mendekati Sasi.

“Saya tahu bagaimana perasaan kamu, Sasi. Tapi sekarang kewajiban kamu adalah berbakti kepada Sagara. Ayo, kita pergi! Nanti kamu bisa menemui ibumu sewaktu-waktu.”

Akhirnya dengan berat hati, Sasi meraih tas jinjing dan pergi bersama Prawira. Dia menatap sekali lagi rumah yang sudah memberinya berjuta-juta kenangan dengan hati berat, lalu setetes air mata luruh bersamaan dengan deru mobil yang meninggalkan rumah Sasi.

Selama pejalanan, Sasi hanya menunduk sambil meremas kuat jemarinya. Seumur-umur baru kali ini dia pergi jauh dari rumah sendirian. Rasanya sungguh berbeda. Senang, sedih, takut, dan tertantang bercampur aduk menjadi satu.

“Sasi, kalau kamu ngantuk tidur aja. Perjalanan kita agak jauh soalnya.”

“I-iya, Pak.”

Sasi dengan takut-takut melirik Sagara yang duduk di belakang kemudi lalu kembali menunduk ketika pria itu balik melihatnya lewat kaca spion.

"Ya Allah, sungguh ini takdir yang buat aku bingung harus bersyukur atau tidak. Aku bersyukur karena bertemu Pak Prawira, tetapi aku bingung karena menikah dengan pria yang baru pertama kali melihatnya. Semoga saja aku bisa menjadi istri yang baik kelak." Sasi bermonolog dalam hati sambil meremas kuat ujung jilbabnya.

Setelah menempuh perjalanan selama empat jam yang melelahkan, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang sangat besar. Pagar besi dengan teralis yang rumit menjulang tinggi sebagai pemandangan pertama yang tertangkap mata. Begitu gerbang itu terbuka, halaman luas dengan hamparan rumput hijau di sisi kiri begitu memanjakan, ditambah air mancur di sudutnya menambah asri rumah itu. Mobil terus bergerak maju sampai berhenti di depan garasi.

“Kita sudah sampai, Sasi.”

Wanita itu mengangguk lalu turun dari mobil sambil mengedarkan pandangan. “Mashaallah besarnya rumah ini, Pak.”

“Alhamdulillah. Ini hanya titipan Allah, saya hanya menjaganya saja. Ayo, masuk!”

Sasi mengikuti Prawira berjalan menuju ruang tamu, lagi-lagi wanita itu merasa takjub dengan isi rumah yang begitu mewah. Melewati ruang keluarga, ruang makan, dan dapur akhirnya Sasi dibawa Prawira menuju halaman belakang yang terdapat kolam renang besar. Mereka terus berjalan sampai tiba di sebuah rumah yang ukurannya lebih kecil daripada tadi, tetapi fasilitasnya tak kalah lengkap.

“Ini akan jadi rumah kamu sama Sagara nantinya.”

“I-ini, Pak?”

“Iya. Sagara yang merancang dan membangunnya sendiri karena dia tak ingin tinggal di rumah saya, ingin mandiri katanya. Anehnya, dia enggak mau jauh dari saya, takut saya kesepian katanya.”

Prawira terkekeh, sedangkan Sasi hanya mengulas senyum. Dia mengedarkan pandangan dan kembali terpana dengan desain bangunan pilihan sang suami. Rumah itu mempunyai pintu dan jendela kaca yang besar menghadap hamparan sawah hijau di depannya, belum lagi terdapat sungai kecil yang suara gemericik airnya bisa menjadi penenang di kala jiwa sedang lara.

“Istirahatlah, Sasi. Sebentar lagi Sagara pasti ke sini. Kalau kamu mau makan ke dalam saja, ya?”

“I-iya, Pak.”

“Panggil saja Papa, Sasi. Sama seperti Sagara memanggil saya.” Sasi mengangguk lalu mengantarkan Prawira sampai ke pintu.

Sepeninggal pria itu, Sasi menjelajah isi rumah. Meskipun bangunan itu minimalis, tetapi tergolong lengkap karena ada ruang tamu mungil, ruang makan yang menyatu dengan dapur, kamar mandi, tempat laundry, dan satu kamar tidur. Sasi mengempaskan tubuh ke sofa di ruang tamu sambil menatap sawah di depannya.

“Benar-benar seperti di kampung.”

Wanita itu mengulas senyum, kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Namun, senyum itu lindap ketika mendengar suara pintu digeser dan Sagara masuk sambil mendengkus kesal.

Pria itu terus berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sasi yang tak tahu harus bagaimana menyusul pria itu dan menunggunya di depan pintu. Ketika Sagara sudah selesai mandi dan membuka pintu, dia sangat terkejut.

“Mau apa kamu?”

“Ehm, Mas mau dibikinin minum?”

“Terserah.”

Sagara berjalan melewati Sasi sambil mengusap kepalanya yang basah. Dia hanya memakai handuk sebatas pinggang ke bawah dan sukses membuat Sasi menahan malu sampai menunduk untuk menyembunyikan rona merah di wajahnya. Dia pun beranjak ke dapur untuk membuat dua cangkir teh dan membawanya ke meja makan.

Tak lama kemudian, Sagara keluar kamar dan duduk di meja makan sambil menyesap pelan teh hangatnya. Sasi ragu-ragu duduk di depan sang suami dan ikut minum. Suasana canggung melingkupi keduanya, sehingga mereka hanya diam.

Setelah minumannya habis, Sagara bangkit dan hendak berlalu, tetapi Sasi menyusul. Melihat sang istri mengekor membuat pria itu geram. Mendadak dia berbalik, lantas mencengkeram kuat dagu Sasi dan memepetnya ke dinding.

“Mau apa kamu!” sentak Sagara sambil menghunuskan tatapan tajam.

“Ma-maaf, Mas. Aku … aku hanya.”

Sagara melepaskan cengkeramannya sambil menyentak agak keras sehingga Sasi hampir tersungkur.

“Gara-gara perjanjian konyol itu, terpaksa aku harus menikahimu! Tak tahukah kamu betapa bencinya aku kepadamu, hah!”

Pria itu keluar rumah setelah berteriak meluapkan amarahnya. Sasi hanya geming dengan tubuh gemetar hebat. Dia lantas luruh ke lantai dan terguguk. Ana dan sang suami sudah berhasil menggoreskan luka di hati wanita itu, sehingga dia merasakan lara yang teramat sangat.

“Aku juga enggak tahu jika semuanya akan seperti ini. Lalu, aku harus bagaimana?”

Sasi menenggelamkan kepala di antara lutut dan dada sebelum terguguk. Setelah sesak yang mengimpit sedikit lega, dia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus berwudu. Usai berpakaian, dia memakai mukena untuk melaksanakan salat dan membaca mushaf. Perlahan, hatinya menjadi tenang kembali. Dia pun meneruskan dengan berzikir sampai kantuk datang menyergap. Wanita itu kemudian melepas mukena dan beranjak ke ranjang untuk memejamkan mata.

Tepat pukul 02.00 dini hari, Sagara baru pulang. Dia berjalan terhuyung sebelum membuka pintu dan mengedarkan pandangan. Karena ruangan gelap, Sagara langsung berjalan menuju kamar. Pria itu mengernyit ketika melihat sang istri pulas tertidur di ranjang. Masih dengan terhuyung, pria itu berjalan mendekat. Ditatapnya lekat wajah wanita itu sambil tersenyum.

“Laras?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status