Prawira hendak membuka mulut, tetapi suara ketukan pintu membuatnya gegas beranjak untuk membukanya. Seraut wajah tampak berjalan di belakang pria paruh baya itu lalu mendekati brankar Darma.
“Sasi, kenalkan ini Sagara. Dia anak saya.”Gadis itu menoleh, lalu menghapus air matanya dan tersenyum. Dia mengulurkan tangan bermaksud ingin memperkenalkan diri. Namun, Sagara malah membuang muka.“Apa maksud semua ini, Pa? Kenapa Saga disuruh ke sini? Saga pergi aja kalau enggak jelas tujuannya!”“Sabar, Nak.” Prawira menyuruh Ana mendekat mengelilingi Darma. “Saya pernah berjanji kepada Darma sepuluh tahun lalu untuk menikahkan anak saya, Saga dengan Sasi jika sewaktu-waktu dia kenapa-napa.”“Apa!” seru ketiganya bersamaan sambil menatap Prawira.“Papa bercanda, ya? Mana mungkin Saga mau menikah sama cewek yang sebelumnya enggak Saga kenal!”“Tapi, Nak. Ini adalah janji Papa kepada Darma setelah dia menyelamatkan nyawa Papa.”“Tapi enggak gini juga caranya, Pa. Saga menolak keras permintaan Papa itu. Bener-bener enggak masuk akal!”Sagara hendak berlalu dari ruangan, tetapi suara Prawira membuatnya bertahan. “Kalau kamu menolak permintaan Papa ini, maka kamu akan lihat Papa mati, Nak!”Pria itu menyeringai, lalu tertawa sambil berkacak pinggang. Dia menertawakan dirinya sendiri karena ancaman sang ayah yang mau tidak mau membuat dia akhirnya berbalik.“Papa dijanjiin apa sama mereka sampai rela mengorbankan perasaan Saga?”“Mereka menjanjikan hidup Papa, Nak. Kalau tanpa pengorbanan Darma, Papa enggak mungkin berdiri di sini sekarang.”Sagara meraup kasar wajahnya, kemudian menyugar rambut karena frustasi. Dia mengembuskan napas kasar, berbalik, dan berjalan cepat meninggalkan ruangan. Prawira menyusul dan menahan sang anak, lalu mengajaknya duduk di bangku besi depan ruangan Darma.“Apa maksud Papa dengan menikahkan Saga sama dia?” tanya Sagara begitu duduk. Dia meluapkan amarahnya dengan membungkuk sambil menjambak rambut, lalu meraup kasar wajahnya. “Memang tak ada cara lainnya, Pa. Uang atau tanah gitu?”Prawira menggeleng, lantas menepuk bahu sang anak. “Darma sudah memberi kehidupan kepada Papa, Nak. Harta yang Papa tawarkan tak akan mampu menggantinya.”“Memang apa yang udah Pak Darma berikan, Pa?”“Sebelah ginjalnya ada pada Papa sekarang, Nak. Kamu ingat waktu Papa anfal karena penyakit ginjal dulu?” tanya Prawira yang dijawab anggukan Sagara. “Di detik-detik terakhir Dokter menyerah, Darma datang menawarkan diri dan ternyata hanya ginjal punya dia yang cocok.”“Tapi, Pa. Enggak bisa begini juga, dong!”“Terserah. Sekarang pilih nikahi Sasi atau kamu akan lihat Papa mati!"Prawira gegas meninggalkan Sagara yang masih geming. Dilema menghampiri pria itu, sehingga membuatnya makin diperam kelesah. Berkali-kali dia mengantuk-antukkan kepala ke dinding, kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya. Dia tak ingin mengecewakan sang ayah, tetapi menerima permohonan Prawira sama saja dengan mengkhianati hati seseorang.Sagara masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Perang batin yang terjadi malah makin membuatnya gundah. Dia pun berjalan keluar rumah sakit, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai menyulutnya. Sagara menikmati lintingan nikotin di tangannya sambil berjalan mondar-mandir dan berpikir. Perang batin kembali membuatnya dilema."Ini saatnya kamu berbakti, Saga.""Tapi, kan, enggak begini juga konsepnya. Mana ada nikah sebagai bentuk balas budi?""Apa salahnya nikahi gadis itu? Toh, dia juga cantik.""Bukan masalah cantik enggaknya, tapi di mana harga diri seorang Sagara yang terkenal dingin dan tangguh?"Aaargh!Sagara membuang puntung rokok yang masih separuh ke tanah, lalu menginjaknya sampai mati. Dia kembali mengacak-acak rambut sebelum menendang angin. Setelah meluapkan kekesalan hatinya, Saga kembali menemui Prawira.Sementara itu, Darma yang sudah sadar, mengedarkan pandangan dan tersenyum ketika melihat sang majikan datang. Prawira gegas mendekat sambil menggenggam erat tangan pria itu.“Pak Wir ….”“Aku datang, Darma.”“Tolong jaga Sasi. Dialah harta saya yang paling berharga.”“Tentu, Darma. Aku akan menjaganya seperti menjaga putriku sendiri. Aku juga akan melaksanakan janjiku dulu untuk menikahkan Sasi dengan Sagara.”Darma terbatuk kecil, lalu mengangguk pelan. Namun, sesaat kemudian napasnya mulai tersengal-sengal. Ana dan Sasi panik begitu juga Prawira. Pria itu pun gegas menghubungi seseorang, sementara Sasi mencari dokter untuk menolong sang ayah.Tak berselang lama, orang yang dihubungi Prawira datang. Pria itu lantas mencari keberadaan sang anak yang ternyata duduk di bangku besi depan ruang perawatan Darma. Prawira gegas menarik lengan Sagara dan membawanya ke dalam.“Setuju enggak setuju cepat nikahi Sasi sekarang sebelum semuanya terlambat!”Orang yang tadi datang karena dihubungi Prawira ternyata adalah Pak Usman, seorang ustaz yang akan menikahkan Sasi dan Sagara. Waktu yang mendesak dan ancaman sang ayah membuat Sagara tak dapat berkutik. Dia pun segera menjabat tangan Pak Usman dan mengucapkan ijab kabul setelah dipandu oleh pria itu.“Saya terima nikah dan kawinnya Sasi Kirania binti Darma Prasetya dengan mas kawin cincin seberat sepuluh gram dibayar tunai.”Ucapan syukur keluar dari mulut Pak Usman dan Prawira. Mereka lantas mengaminkan doa yang dilafazkan sang ustaz sebelum beranjak mendekati brankar tempat Darma terbaring. Dokter masih berusaha menolong pria itu, sementara Ana dan Sasi saling berpelukan sambil menangis.Akhirnya setelah lama berjuang, Darma tak dapat diselamatkan. Dokter menyatakan pria itu sudah meninggal dunia. Semua alat medis yang menopang hidup Darma segera dicabut. Namun, ketika Dokter hendak menutup wajah pria itu, Prawira mencegahnya.“Izinkan kami melihatnya untuk yang terakhir kali, Dok.”Dokter itu mengangguk. Dia perlahan mundur ke sudut ruangan sambil menatap keluarga yang berduka itu.Ana tak sanggup lagi menopang tubuh sehingga di luruh ke lantai sambil meraung memanggil sang suami, sedangkan Sasi mendadak terhuyung dengan pandangan yang menggelap. Dengan tanggap, Prawira menangkap tubuh wanita itu, kemudian membaringkannya di sofa.Prawira terenyuh melihat Sasi yang kuyu dengan wajah penuh jejak kesedihan. Dia pun hendak berbalik, tetapi urung karena melihat wanita itu mulai membuka mata.“Ayah ….”Sasi beringsut bangkit, tetapi karena tubuhnya masih lemas sehingga mau tidak mau Prawira membantunya berjalan mendekati brankar. Sasi kembali menangis menatap cinta pertamanya sudah terbujur kaku di sana. Tak ada lagi senyum yang terukir di wajah pria itu kala pulang ke rumah. Tak ada lagi kata-kata sayang yang terucap dari mulut Darma dan membuat Sasi selalu merasa bahagia. Tak ada lagi pelukan hangat yang diberikan pria itu ketika raga dan sukmanya lelah. Tak ada lagi tempat bermanja dan berkeluh kesah.Wanita itu terguguk sambil menggenggam erat tangan Darma dan menciumnya berkali-kali.“Sasi akan selalu ingat semua nasihat Ayah. Sasi akan banggain Ayah. Sasi janji, Yah.”Dengan berat hati, Sasi menutup kain sampai ke wajah Darma lalu kembali terguguk ketika pria itu dibawa pergi untuk segera dimandikan. Prawira mendekat lalu memeluk sang menantu untuk menguatkannya.“Ayahmu orang yang baik, Sasi. Saya saksinya dan karena itu saya tidak ragu saat meminta Saga menikahi kamu.”🌹🌹🌹Serangkian prosesi pemakaman berjalan dengan lancar. Para pelayat yang datang ke makam juga sudah membubarkan diri. Tinggallah Sasi dan Ana yang masih merapalkan doa untuk Darma.“Kita pulang dulu, ya, Yah.”Sasi bangkit begitu juga dengan Ana. Namun, Ana menarik lengan sang anak lalu menatapnya tajam.“Ada apa, Bu?”“Kamu, kan, sudah menjadi menantu orang kaya, jadi jangan lupakan Ibu, ya? Minimal kasihlah lima juta sebulan buat memenuhi kebutuhan hidup Ibu.” “Apa maksud Ibu?” “Kamu, tuh, ya, dengerin orang tua ngomong apa enggak, sih? Ibu minta jatah lima juta sebulan buat biaya hidup Ibu.” “Tapi, Bu ….” “Apa! Masih mau perhitungan kamu, ya? Kamu ingat sejak kecil siapa yang ngerawat kamu, ngasih kamu makan, ngasih kamu minum, hah!” seru Ana sambil menoyor kepala Sasi. “Ingat, Bu. Sasi ingat semua kebaikan Ibu. Tapi ….” “Tapi apa, hah! Udah diurusin capek-capek giliran udah nikah enggak mau balas budi. Mau jadi anak durhaka kamu, Sasi!” Ana melangkah cepat meninggalkan makam menuju rumah, sedangkan Sasi selalu mengucapkan istigfar sepanjang perjalanan pulang. Namun, wanita itu tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika melihat sang ibu sudah mengemas baju-bajunya dalam tas dan menaruhnya di depan pintu. “Jangan ke sini kalau kamu enggak bawa apa yang Ibu minta tadi. Ingat itu!” “B
Sagara menyentuh pipi Sasi sambil terus menggumamkan nama Laras. Sasi yang merasakan tangan seseorang gegas membuka mata dan membeliak melihat Sagara tersenyum sambil terus berusaha menyentuhnya. “Aku sayang kamu, Laras. Jangan tinggalin aku lagi, ya?” Sasi berusaha melepaskan tangan sang suami, tetapi Sagara makin keras ingin menyentuh wanita itu. “Kamu mabuk, Mas?” Sagara kembali tersenyum sambil memejamkan mata. “Kamu yang buat aku mabuk cintamu, Laras.” “Aku Sasi, Mas. Bukan Laras.” Sasi mengerahkan kekuatan untuk mendorong Sagara sekuat tenaga sampai membuatnya terjengkang. Wanita itu pun lari keluar kamar, tetapi Sagara mengejar dan mendekapnya dari belakang. Sekencang apa pun Sasi berteriak dan meronta, Sagara terus membawanya ke kamar. Pria itu menarik Sasi ke ranjang dan berusaha mencumbunya. Wanita itu meronta sambil menjauhkan wajah sang suami. “Sadar, Mas. Aku Sasi bukan Laras!” Wanita itu akhirnya terguguk. Sekelip mata Sagara tersadar dan melepaskan Sasi. Pria it
Sasi terguguk sambil mendekap erat selimut yang menutupi dadanya. Malam ini menjadi saksi pilunya raga wanita itu menerima cinta yang diagung-agungkan Sagara atas nama Laras. Sang suami terus menggemakan nama wanita lain saat mencumbunya tadi. Hatinya sakit bagai ditusuk sembilu. Sakit sampai terasa sesak. Sakit, tetapi tak berdarah. Dia menoleh dan tangisnya makin pecah saat menatap wajah Sagara yang pulas di sampingnya. Wanita itu beringsut bangkit sambil menahan perih pada bagian inti tubuhnya. Dia memunguti pakaian yang tercecer, lantas memakainya. Lalu, berjalan tertatih menuju kamar mandi dan kembali terguguk di sana sambil luruh ke lantai. "Sebegitu besarnyakah rasa cintamu untuknya, Mas? Sampai kamu tanpa sadar menyakiti hatiku."Setelah meluapkan kesedihannya, Sasi menyudahi ritual mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat malam untuk menentramkan hatinya. Segala kelesah dia adukan kepada-Nya sambil berurai air mata. Mulutnya tak henti membaca istigfar dan zikir lai
Raut Sagara berubah drastis ketika mendengar pertanyaan sang istri. Dia yang tadinya didera rasa bersalah mendadak dipenuhi amarah. Sagara menatap tajam wanita di depannya sambil menggeram kesal, tetapi mengingat kejadian semalam membuat pria itu langsung pergi ke kamar maninggalkan Sasi. Sasi yang diperam tanya langsung menyusul dan kembali mengulang pertanyaan. “Siapa laras, Mas? Aku berhak tahu karena … semalam kamu menyebut namanya penuh cinta.” Perlahan wanita itu menunduk dalam setelah menurunkan nada bicaranya di akhir kelimat. Bulir bening menetes membasahi kedua tanganmya yang saling bertaut. Sagara makin diperam rasa bersalah melihat wanita itu terseduh. Tangannya terulur hendak menyentuh lengan Sasi, tetapi wanita segera berbalik dan berlalu meninggalkan kamar. Sebuah nama yang mampu meruntuhkan harga diri seorang istri. Satu nama yang tertanam kuat di hati dan pikiran Sagara. Dan satu nama yang secara sadar atau tidak dia ucapkan dengan penuh cinta. Sasi tak sanggup lagi
Sasi bingung dengan ucapan Sagara. Dia berusaha mencerna lima kalimat yang keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya suara bas Sagara kembali menyapa.“Buruan!”Wanita itu tergagap lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju dalam sekejap. Setelah siap, Sasi menemui sang suami yang masih duduk di sofa sambil membuka ponsel. Sagara menoleh ketika merasa ada yang berdiri di dekatnya. Sejenak dia geming untuk menikmati wajah teduh milik wanita itu. Meskipun tanpa riasan, tetapi wajah Sasi yang putih benar-benar membuat Sagara merasakan gelenyar yang tak biasa. Dia menggeleng lemah lalu bangkit dari duduk dan berjalan dulu menuju meja makan di rumah utama.“Kalian mau ke mana rapi sekali?” tanya Prawira melihat Sasi yang memakai gamis berwarna lavender dengan hijab senada.“Kampus.”Jawaban singkat Sagara memantik senyum simpul di wajah pria paruh baya itu. Dia lantas melihat sang menantu yang masih sibuk mengambilkan nasi untuk Prawira dan Sagara."Semog
Pagi buta usai melaksanakan salat dua rakaat, Sasi gegas membersihkan rumah dan mandi. Setelahnya dia membangunkan sang suami lalu menyiapkan baju. Sementara Sagara mandi, wanita itu berganti baju. Dia terus mengulas senyum saat mematut diri di depan cermin. Gamis biru mint dengan motif abstrak di bagian bawah tampak serasi dengan hijab biru tua yang dia kenakan. Ketika keluar kamar, dia tergemap karena melihat Sagara berdiri di ambang pintu hanya menggunakan handuk sebatas pinggang. Buru-buru Sasi menundukkan pandangan lalu keluar kamar. Setelah kejadian yang memilukan tempo hari, Sagara memilih tidur di sofa jika pulang malam hari. Dia berjanji akan menjaga jarak sementara waktu dengan sang istri agar tidak menyakitinya lagi. Namun, Sagara masih enggan untuk melakukan percakapan dengan Sasi.Usai Sagara rapi berpakaian, mereka menuju rumah utama dan mulai sarapan dalam diam. Seperti biasa Sasi mengambilkan nasi untuk mertua dan suaminya. “Tiap pagi berangkat kuliahnya bareng Sa
Sagara tergagap dan segera meletakkan ponsel ke sofa sebelum menatap Sasi. Binar bahagia dan senyum yang sempat terpatri di bibir pria itu lesap seketika. Melihat wajah masam sang suami, Sasi segera mengangsurkan kopi di tangannya dan melirik sekilas ponsel yang tergeletak di sofa.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Apa itu yang namanya Laras?”Sagara yang hendak menyesap kopi langsung berhenti. Dia menatap lekat wanita yang berdiri di depannya sebelum menyeringai. Lalu, kembali melanjutkan menyesap kopi dan menatap keluar jendela.Merasa diabaikan, Sasi membuang pandangan sejenak sebelum kembali menatap lekat sang suami yang masih menatap keluar jendela. Kedua matanya sudah megembun karena sesak yang membebat rongga dada.Tak sanggup lagi menahan sakit, Sasi memilih untuk berlalu. Namun, suara bariton Sagara berhasil menghentikan langkahnya.“Iya, dialah Laras. Wanita yang sampai kapan pun akan selalu ada di hatiku, meskipun kamu adalah istriku.”Wanita mana yang tak sakit ha
Sagara menatap lekat manik mata Sasi yang tengah menyiratkan ketakutan. Pria itu menyeringai sebelum melepaskan cekalannya. Lalu, melenggang pergi meninggalkan Sasi yang masih bergeming. Tak ada informasi yang didapatnya, sehingga dia memilih untuk menyusul sang suami yang menuju ke rumah di belakang.Melihat Sagara duduk di sofa sambil menatap layar ponsel dan mengetik sesuatu, Sasi memilih langsung ke kamar dan mengambil buku yang berisi materi kuliah sebelum membukanya. Lalu, mengerjakan tugas yang diberikan sang dosen sambil duduk bersandar pada kaki ranjang.Ketika tengah fokus mengerjakan tugas, pintu dibuka dari luar. Wanita itu menoleh dan mendapati Sagara masuk sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang. Sasi mengedikkan bahu sebelum kembali fokus dengan tugasnya hingga selesai. Lalu, menggeliat sesaat untuk mengendurkan otot tubuh yang terasa kaku sebelum memasukkan buku ke dalam tas. Sasi bergeming di kaki ranjang saat melihat suaminya sudah pulas tertidur. Dengkur halus ter