Beranda / Pernikahan / Cinta Setelah Talak / 2. Syarat Tak Masuk Akal

Share

2. Syarat Tak Masuk Akal

Prawira hendak membuka mulut, tetapi suara ketukan pintu membuatnya gegas beranjak untuk membukanya. Seraut wajah tampak berjalan di belakang pria paruh baya itu lalu mendekati brankar Darma.

“Sasi, kenalkan ini Sagara. Dia anak saya.”

Gadis itu menoleh, lalu menghapus air matanya dan tersenyum. Dia mengulurkan tangan bermaksud ingin memperkenalkan diri. Namun, Sagara malah membuang muka.

“Apa maksud semua ini, Pa? Kenapa Saga disuruh ke sini? Saga pergi aja kalau enggak jelas tujuannya!”

“Sabar, Nak.” Prawira menyuruh Ana mendekat mengelilingi Darma. “Saya pernah berjanji kepada Darma sepuluh tahun lalu untuk menikahkan anak saya, Saga dengan Sasi jika sewaktu-waktu dia kenapa-napa.”

“Apa!” seru ketiganya bersamaan sambil menatap Prawira.

“Papa bercanda, ya? Mana mungkin Saga mau menikah sama cewek yang sebelumnya enggak Saga kenal!”

“Tapi, Nak. Ini adalah janji Papa kepada Darma setelah dia menyelamatkan nyawa Papa.”

“Tapi enggak gini juga caranya, Pa. Saga menolak keras permintaan Papa itu. Bener-bener enggak masuk akal!”

Sagara hendak berlalu dari ruangan, tetapi suara Prawira membuatnya bertahan. “Kalau kamu menolak permintaan Papa ini, maka kamu akan lihat Papa mati, Nak!”

Pria itu menyeringai, lalu tertawa sambil berkacak pinggang. Dia menertawakan dirinya sendiri karena ancaman sang ayah yang mau tidak mau membuat dia akhirnya berbalik.

“Papa dijanjiin apa sama mereka sampai rela mengorbankan perasaan Saga?”

“Mereka menjanjikan hidup Papa, Nak. Kalau tanpa pengorbanan Darma, Papa enggak mungkin berdiri di sini sekarang.”

Sagara meraup kasar wajahnya, kemudian menyugar rambut karena frustasi. Dia mengembuskan napas kasar, berbalik, dan berjalan cepat meninggalkan ruangan. Prawira menyusul dan menahan sang anak, lalu mengajaknya duduk di bangku besi depan ruangan Darma.

“Apa maksud Papa dengan menikahkan Saga sama dia?” tanya Sagara begitu duduk. Dia meluapkan amarahnya dengan membungkuk sambil menjambak rambut, lalu meraup kasar wajahnya. “Memang tak ada cara lainnya, Pa. Uang atau tanah gitu?”

Prawira menggeleng, lantas menepuk bahu sang anak. “Darma sudah memberi kehidupan kepada Papa, Nak. Harta yang Papa tawarkan tak akan mampu menggantinya.”

“Memang apa yang udah Pak Darma berikan, Pa?”

“Sebelah ginjalnya ada pada Papa sekarang, Nak. Kamu ingat waktu Papa anfal karena penyakit ginjal dulu?” tanya Prawira yang dijawab anggukan Sagara. “Di detik-detik terakhir Dokter menyerah, Darma datang menawarkan diri dan ternyata hanya ginjal punya dia yang cocok.”

“Tapi, Pa. Enggak bisa begini juga, dong!”

“Terserah. Sekarang pilih nikahi Sasi atau kamu akan lihat Papa mati!"

Prawira gegas meninggalkan Sagara yang masih geming. Dilema menghampiri pria itu, sehingga membuatnya makin diperam kelesah. Berkali-kali dia mengantuk-antukkan kepala ke dinding, kemudian menarik napas panjang dan mengembuskannya. Dia tak ingin mengecewakan sang ayah, tetapi menerima permohonan Prawira sama saja dengan mengkhianati hati seseorang.

Sagara masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Perang batin yang terjadi malah makin membuatnya gundah. Dia pun berjalan keluar rumah sakit, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai menyulutnya. Sagara menikmati lintingan nikotin di tangannya sambil berjalan mondar-mandir dan berpikir. Perang batin kembali membuatnya dilema.

"Ini saatnya kamu berbakti, Saga."

"Tapi, kan, enggak begini juga konsepnya. Mana ada nikah sebagai bentuk balas budi?"

"Apa salahnya nikahi gadis itu? Toh, dia juga cantik."

"Bukan masalah cantik enggaknya, tapi di mana harga diri seorang Sagara yang terkenal dingin dan tangguh?"

Aaargh!

Sagara membuang puntung rokok yang masih separuh ke tanah, lalu menginjaknya sampai mati. Dia kembali mengacak-acak rambut sebelum menendang angin. Setelah meluapkan kekesalan hatinya, Saga kembali menemui Prawira.

Sementara itu, Darma yang sudah sadar, mengedarkan pandangan dan tersenyum ketika melihat sang majikan datang. Prawira gegas mendekat sambil menggenggam erat tangan pria itu.

“Pak Wir ….”

“Aku datang, Darma.”

“Tolong jaga Sasi. Dialah harta saya yang paling berharga.”

“Tentu, Darma. Aku akan menjaganya seperti menjaga putriku sendiri. Aku juga akan melaksanakan janjiku dulu untuk menikahkan Sasi dengan Sagara.”

Darma terbatuk kecil, lalu mengangguk pelan. Namun, sesaat kemudian napasnya mulai tersengal-sengal. Ana dan Sasi panik begitu juga Prawira. Pria itu pun gegas menghubungi seseorang, sementara Sasi mencari dokter untuk menolong sang ayah.

Tak berselang lama, orang yang dihubungi Prawira datang. Pria itu lantas mencari keberadaan sang anak yang ternyata duduk di bangku besi depan ruang perawatan Darma. Prawira gegas menarik lengan Sagara dan membawanya ke dalam.

“Setuju enggak setuju cepat nikahi Sasi sekarang sebelum semuanya terlambat!”

Orang yang tadi datang karena dihubungi Prawira ternyata adalah Pak Usman, seorang ustaz yang akan menikahkan Sasi dan Sagara. Waktu yang mendesak dan ancaman sang ayah membuat Sagara tak dapat berkutik. Dia pun segera menjabat tangan Pak Usman dan mengucapkan ijab kabul setelah dipandu oleh pria itu.

“Saya terima nikah dan kawinnya Sasi Kirania binti Darma Prasetya dengan mas kawin cincin seberat sepuluh gram dibayar tunai.”

Ucapan syukur keluar dari mulut Pak Usman dan Prawira. Mereka lantas mengaminkan doa yang dilafazkan sang ustaz sebelum beranjak mendekati brankar tempat Darma terbaring. Dokter masih berusaha menolong pria itu, sementara Ana dan Sasi saling berpelukan sambil menangis.

Akhirnya setelah lama berjuang, Darma tak dapat diselamatkan. Dokter menyatakan pria itu sudah meninggal dunia. Semua alat medis yang menopang hidup Darma segera dicabut. Namun, ketika Dokter hendak menutup wajah pria itu, Prawira mencegahnya.

“Izinkan kami melihatnya untuk yang terakhir kali, Dok.”

Dokter itu mengangguk. Dia perlahan mundur ke sudut ruangan sambil menatap keluarga yang berduka itu.

Ana tak sanggup lagi menopang tubuh sehingga di luruh ke lantai sambil meraung memanggil sang suami, sedangkan Sasi mendadak terhuyung dengan pandangan yang menggelap. Dengan tanggap, Prawira menangkap tubuh wanita itu, kemudian membaringkannya di sofa.

Prawira terenyuh melihat Sasi yang kuyu dengan wajah penuh jejak kesedihan. Dia pun hendak berbalik, tetapi urung karena melihat wanita itu mulai membuka mata.

“Ayah ….”

Sasi beringsut bangkit, tetapi karena tubuhnya masih lemas sehingga mau tidak mau Prawira membantunya berjalan mendekati brankar. Sasi kembali menangis menatap cinta pertamanya sudah terbujur kaku di sana. Tak ada lagi senyum yang terukir di wajah pria itu kala pulang ke rumah. Tak ada lagi kata-kata sayang yang terucap dari mulut Darma dan membuat Sasi selalu merasa bahagia. Tak ada lagi pelukan hangat yang diberikan pria itu ketika raga dan sukmanya lelah. Tak ada lagi tempat bermanja dan berkeluh kesah.

Wanita itu terguguk sambil menggenggam erat tangan Darma dan menciumnya berkali-kali.

“Sasi akan selalu ingat semua nasihat Ayah. Sasi akan banggain Ayah. Sasi janji, Yah.”

Dengan berat hati, Sasi menutup kain sampai ke wajah Darma lalu kembali terguguk ketika pria itu dibawa pergi untuk segera dimandikan. Prawira mendekat lalu memeluk sang menantu untuk menguatkannya.

“Ayahmu orang yang baik, Sasi. Saya saksinya dan karena itu saya tidak ragu saat meminta Saga menikahi kamu.”

🌹🌹🌹

Serangkian prosesi pemakaman berjalan dengan lancar. Para pelayat yang datang ke makam juga sudah membubarkan diri. Tinggallah Sasi dan Ana yang masih merapalkan doa untuk Darma.

“Kita pulang dulu, ya, Yah.”

Sasi bangkit begitu juga dengan Ana. Namun, Ana menarik lengan sang anak lalu menatapnya tajam.

“Ada apa, Bu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status