Sasi bingung dengan ucapan Sagara. Dia berusaha mencerna lima kalimat yang keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya suara bas Sagara kembali menyapa.
“Buruan!”Wanita itu tergagap lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju dalam sekejap. Setelah siap, Sasi menemui sang suami yang masih duduk di sofa sambil membuka ponsel. Sagara menoleh ketika merasa ada yang berdiri di dekatnya. Sejenak dia geming untuk menikmati wajah teduh milik wanita itu. Meskipun tanpa riasan, tetapi wajah Sasi yang putih benar-benar membuat Sagara merasakan gelenyar yang tak biasa. Dia menggeleng lemah lalu bangkit dari duduk dan berjalan dulu menuju meja makan di rumah utama.“Kalian mau ke mana rapi sekali?” tanya Prawira melihat Sasi yang memakai gamis berwarna lavender dengan hijab senada.“Kampus.”Jawaban singkat Sagara memantik senyum simpul di wajah pria paruh baya itu. Dia lantas melihat sang menantu yang masih sibuk mengambilkan nasi untuk Prawira dan Sagara."Semoga ini awal yang baik untuk hubungan mereka kelak. Jujur aku masih merasa bersalah sudah membawa Sasi dalam kehidupan Saga yang penuh luka." Prawira berkata dalam hati sambil menatap anak dan menantunya.Sasi mengangsurkan piring kepada Prawira lalu duduk dan mengambil lauk lalu makan dalam diam. Lima belas menit berlalu, Sagara menyudahi makan dan segera berjalan menuju mobil. Sasi yang masih meneguk minum langsung pamit dan mencium takzim punggung tangan mertuanya.“Sasi berangkat dulu, Pa. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam. Hati-hati, Nak.”Wanita itu mempercepat langkah menuju mobil setelah melihat raut wajah kesal yang ditunjukkan Sagara.“Maaf, Mas. Aku pamit dulu sama Papa tadi.”Sagara mendengkus kesal lalu melajukan mobil meninggalkan halaman menuju kampus yang pernah menjadi tempat pria itu menimba ilmu dulu. Sasi tak dapat menutupi rasa terkejutnya begitu menapakkan kaki di kampus. Dia tak menyangka akhirnya bisa juga merasakan bangku kuliah meskipun jalannya harus dengan menikah dulu. Senyumnya terkembang melihat puluhan mahasiswa yang lalu lalang di kampus itu.Sagara memarkir mobil lalu turun dan segera menemui bagian administasi. Orang suruhannya sudah mengurus pendaftaran Sasi kemarin sehingga hari ini wanita itu hanya perlu melakukan registrasi ulang. Tak lama kemudian, mereka keluar. Senyum kembali terbit di wajah cantik Sasi sehingga membuat Sagara meliriknya sekilas.Pria itu kembali ke mobil dan berdiam lama sambil menelepon seseorang. Sasi hanya melihat tanpa ada niatan untuk bertanya.“Turun!”“Tapi, Mas ….”“Tunggu Pak Karsa datang, aku mau ke kantor.”“I-iya.”Sasi mengulurkan tangan ingin mencium tangan Sagara, tetapi pria itu hanya geming sehingga Sasi gegas turun sebelum sang suami bertambah kesal. Ketika tengah menunggu Pak Karsa di bawah pohon yang terdapat di tempat parkir, seseorang datang dan menepuk bahu Sasi.“Astaghfirullah!” pekik wanita itu sambil berbalik. Dia lantas menunduk dan mundur selangkah begitu tahu orang tersebut seorang pria. “Maaf ada apa, ya?”“Sorry, minggir sebentar bisa? Mobil gue mau keluar soalnya.”Sasi melirik mobil yang ada di samping pria itu lalu kembali menunduk. “Maaf.”Pria itu tersenyum lalu mengangguk, tetapi sebelum beranjak dia kembali mendekati wanita itu. Melihat hal itu Sasi tergemap lalu mundur lagi selangkah.“Sorry, gue cuma mau kenalan. Lo kayaknya anak baru, ya?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangan. “Kenalin gue Arbani. Lo bisa panggil gue Bani.”Tangan Bani masih menggantung di udara karena Sasi masih menundukkan pandangan. Akhirnya dengan perlahan wanita itu menangkupkan kedua tangan di dada.“Maaf nama saya Sasi.”Bani spontan tergemap melihat wanita di depannya. Dia lantas menarik kembali tangannya lalu mengusap tengkuk. Baru kali ini pria itu menemukan wanita seperti Sasi yang lebih memilih untuk menjaga pandangan daripada menebar senyuman kepada setiap pria.“Mbak Sasi, maaf saya lama, ya? Kena macet tadi,” ucap Pak Karsa dengan nada khawatir. Pria itu sengaja menyela karena sejak tadi Bani selalu menatap istri majikannya itu tanpa berkedip.Sasi menoleh lalu mengulas senyuman. “Enggak apa-apa, Pak.”Bani masih geming ketika Sasi berlalu diikuti Pak Karsa. Pria itu diperam tanya siapa sebenarnya Sasi. Dia pun memutuskan untuk mencari tahu. Sambil mengulas senyum, Bani masuk ke mobil dan melajukannya menuju kafe. Di sana dia sudah ditunggu oleh Susan.“Udah lama?” tanya Bani begitu duduk di samping Susan sambil merangkulnya.Wanita itu mengulas senyum lalu melayangkan sebuah ciuman di pipi kiri Bani. “Kalau nungguin lo juga selama apapun gue rela, Bani.”Mereka tertawa bersama lalu Bani memesan minuman. Sambil menunggu pesanan datang, Susan tak henti bercerita tentang kegiatannya. Namun, Bani sama sekali tak tertarik. Dia justru lebih memilih memikirkan Sasi yang baru ditemuinya. Wajah putih yang meneduhkan itu berhasil menarik perhatian Bani. Tutur kata Sasi juga makin membuat pria itu mendamba. Namun, yang paling memberikan kesan berbeda adalah sikap wanita itu."Akh, kenapa gue jadi kepikiran Sasi, ya? Cewek seanggun dan secantik dia udah jarang ada. Tapi beneran malah bikin penasaran." Bani bermonolog dalam hati sambil menyunggingkan senyum penuh arti.Merasa diabaikan, Susan langsung mencebik dan memukul lengan pria itu. “Lo dengerin gue ngomong enggak sih?”“Iya, dengerin kenapa?”“Kok, lo kayak lagi mikirin sesuatu.”Bani tersenyum canggung lalu mengusap tengkuknya. Setelah dua bulan mengenal Susan dan beberapa wanita lainnya membuat Bani bosan dengan sikap mereka yang selalu menggelayut manja padanya. Mereka berbeda dengan Sasi yang malah menjauhinya.“Susan, ada yang mau gue omongin sama lo.”“Apa, Bani?”Belum sempat mengungkapkan isi hati, pesanan mereka datang. “Makan dulu, deh. Nanti aja ngomongnya.”Susan tersenyum lalu melahap makanan di depannya sambil terus bercerita. Bani hanya menimpali sekadarnya tanpa ada niatan untuk mendengarkan. Usai makan, Bani berdeham lalu meneguk minuman untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering. Susan mengulum senyum melihat sikap pria di sampingnya itu.“Susan, gue mau kita … putus.”Senyum di wajah wanita itu perlahan lesap berganti dengan mendung yang menggelayut di pelupuk mata. “Tapi kenapa, Bani?”“Gue … gue pengen fokus aja ke kuliah. Materi semester ini lebih susah, terus mau ada magang juga. Jadi gue mau kita putus.”“Lo tega, ya! Enggak ada hujan, enggak ada angin lo main putusin gue gitu aja. Lo kira gue apaan!” seru Susan sambil bangkit dan berlalu meninggalkan Bani.Melihat hal itu, Bani malah tersenyum puas dan kembali meneguk minumannya sampai tandas. Dia merasa lega karena drama putus kali ini tanpa ada tamparan mendarat di pipinya. Namun, ternyata perkiraannya salah karena Susan kembali sambil memendam amarah lalu melayangkan tamparan di pipi kanan pria itu.Plak!“Sekarang gue rela putus sama lo.”Bani mengusap pipi kiri yang terasa panas sambil menyeringai. Namun, dia lega karena mulai sekarang bisa mengejar Sasi sepuasnya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju kasir sambil memainkan kunci mobilnya tanpa menyadari ada seseorang yang berjalan menuju ke arahnya. Sekelip mata mereka bertabrakan dan membuat keduanya terhuyung bersamaan. Bani gegas mendekat.“Maaf, Pak,” ucap pria itu, tetapi orang itu malah malah mendengkus kesal dengan tangan terkepal siap untuk menyerang.Beruntungnya ada seseorang yang mendekati orang itu dan berhasil membuatnya mengalihkan amarahnya.“Pak Aji sudah menunggu di dalam, silakan ikut saya, Pak Saga.”Orang itu menjauh diikuti tatapan tajam Bani yang terus memaku pandangan sampai orang itu menghilang di balik pintu VVIP.“Pak Saga? Kayak pernah dengar, tapi di mana, ya?”Pagi buta usai melaksanakan salat dua rakaat, Sasi gegas membersihkan rumah dan mandi. Setelahnya dia membangunkan sang suami lalu menyiapkan baju. Sementara Sagara mandi, wanita itu berganti baju. Dia terus mengulas senyum saat mematut diri di depan cermin. Gamis biru mint dengan motif abstrak di bagian bawah tampak serasi dengan hijab biru tua yang dia kenakan. Ketika keluar kamar, dia tergemap karena melihat Sagara berdiri di ambang pintu hanya menggunakan handuk sebatas pinggang. Buru-buru Sasi menundukkan pandangan lalu keluar kamar. Setelah kejadian yang memilukan tempo hari, Sagara memilih tidur di sofa jika pulang malam hari. Dia berjanji akan menjaga jarak sementara waktu dengan sang istri agar tidak menyakitinya lagi. Namun, Sagara masih enggan untuk melakukan percakapan dengan Sasi.Usai Sagara rapi berpakaian, mereka menuju rumah utama dan mulai sarapan dalam diam. Seperti biasa Sasi mengambilkan nasi untuk mertua dan suaminya. “Tiap pagi berangkat kuliahnya bareng Sa
Sagara tergagap dan segera meletakkan ponsel ke sofa sebelum menatap Sasi. Binar bahagia dan senyum yang sempat terpatri di bibir pria itu lesap seketika. Melihat wajah masam sang suami, Sasi segera mengangsurkan kopi di tangannya dan melirik sekilas ponsel yang tergeletak di sofa.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Apa itu yang namanya Laras?”Sagara yang hendak menyesap kopi langsung berhenti. Dia menatap lekat wanita yang berdiri di depannya sebelum menyeringai. Lalu, kembali melanjutkan menyesap kopi dan menatap keluar jendela.Merasa diabaikan, Sasi membuang pandangan sejenak sebelum kembali menatap lekat sang suami yang masih menatap keluar jendela. Kedua matanya sudah megembun karena sesak yang membebat rongga dada.Tak sanggup lagi menahan sakit, Sasi memilih untuk berlalu. Namun, suara bariton Sagara berhasil menghentikan langkahnya.“Iya, dialah Laras. Wanita yang sampai kapan pun akan selalu ada di hatiku, meskipun kamu adalah istriku.”Wanita mana yang tak sakit ha
Sagara menatap lekat manik mata Sasi yang tengah menyiratkan ketakutan. Pria itu menyeringai sebelum melepaskan cekalannya. Lalu, melenggang pergi meninggalkan Sasi yang masih bergeming. Tak ada informasi yang didapatnya, sehingga dia memilih untuk menyusul sang suami yang menuju ke rumah di belakang.Melihat Sagara duduk di sofa sambil menatap layar ponsel dan mengetik sesuatu, Sasi memilih langsung ke kamar dan mengambil buku yang berisi materi kuliah sebelum membukanya. Lalu, mengerjakan tugas yang diberikan sang dosen sambil duduk bersandar pada kaki ranjang.Ketika tengah fokus mengerjakan tugas, pintu dibuka dari luar. Wanita itu menoleh dan mendapati Sagara masuk sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang. Sasi mengedikkan bahu sebelum kembali fokus dengan tugasnya hingga selesai. Lalu, menggeliat sesaat untuk mengendurkan otot tubuh yang terasa kaku sebelum memasukkan buku ke dalam tas. Sasi bergeming di kaki ranjang saat melihat suaminya sudah pulas tertidur. Dengkur halus ter
Sasi hampir saja menjawab pertanyaan Bani saat seorang dosen masuk dan segera berdiri di depan kelas. Dia menatap tajam Bani yang masih duduk di depan Sasi, kemudian berdeham. Barulah pria yang duduk di depan Sasi itu segera bangkit dan keluar kelas.Untuk sesaat, Sasi merasa lega. Jujur, dia belum mau membuka jati dirinya karena sikap sang suami. Andai Sagara bisa lebih mencintainya, dia pasti dengan bangga akan memamerkan statusnya sebagai seorang istri. Namun, keadaannya tidaklah demikian. Sehingga Sasi memilih untuk menyimpan rapat statusnya sampai sikap Sagara melunak.Sepanjang penjelasan materi yang diberikan sang dosen, Sasi mendengarkan dan mencatat hal-hal yang penting. Dia tidak ingin melewatkan satu kesempatan dan harus mendapatkan nilai yang memuaskan agar kelak bisa mandiri dan berdiri di kaki sendiri.Usai kuliah hari itu berakhir, Sasi segera menghubungi Pak Karsa untuk dijemput. Lalu, duduk di lobi sambil membaca ulang materi yang diterimanya hari ini hingga tak me
Sasi membuka mata saat merasakan gedoran di pintu disertai teriakan memanggil namanya. Dia beringsut duduk dan langsung membungkus tubuhnya dengan handuk kimono sebelum membuka pintu. Melihat Sagara berdiri di ambang pintu dengan wajah dingin, Sasi menunduk dan hendak berlalu. Namun, nyeri yang membebat kepala membuatnya terhuyung dan hampir saja ambruk. Untung saja, Sagara sigap menangkap dan membopongnya ke kamar. Lalu, membaringkan tubuh dingin sang istri ke ranjang dan menyelimutinya.“Kalau enggak mau pergi bilang, enggak usah pakai acara menyakiti diri seperti ini. Kamu kira aku akan kasihan? Enggak!”Sagara langsung keluar kamar tanpa memedulikan Sasi yang menatap dengan dada berdentam lara. Tak berselang lama, pintu kembali dibuka. Namun, bukan Sagara yang masuk melainkan Bi Minah sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman serba mengepulkan asap.“Mbak Sasi kenapa? Kata Mas Saga, Mbak Sasi sakit, ya? Ini Bibi bawakan wedang jahe sama sup ayam. Mumpung masih hangat, ce
Bukannya menjawab pertanyaan sang istri, Sagara malah berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan keluar sepuluh menit kemudian. Merasa diabaikan, Sasi kembali melontarkan kalimat pertanyaan yang sama kepada suaminya.“Dari mana kamu tadi, Mas?”Sagara menghentikan sementara kegiatan memakai bajunya saat mendengar suara Sasi. Namun, dia kembali meneruskan memakai baju sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang dan membuka ponselnya.“Bukan urusan kamu. Lebih baik kamu nikmati saja liburan di sini dan jangan ikut campur urusanku lagi.”Sasi terkejut mendengar ucapan bernada dingin yang dilontarkan suaminya. Dia langsung menunduk saat melihat sang suami melayangkan tatapan benci. Lalu, memilih untuk ke balkon dan duduk sambil menikmati embusan angin malam yang sedikit menyejukkan.Sasi memejamkan mata saat ucapan Sagara kembali terngiang di telinga. Sudah sebulan lebih, tetapi sikap sang suami masih saja sama, dingin. Pria yang bergelar suami itu hanya akan datang dan sedikit ber
“Apa yang kamu lakukan, Sasi!”Sagara mendadak mendekat dan langsung menyambar ponsel yang masih dipegang oleh Sasi. Lalu, menjauh dan kembali mendengarkan sang penelepon dengan wajah merah menahan amarah. Pria itu hanya mengangguk sekali sebelum mematikan panggilan dan menghampiri istrinya.“Jangan pernah lagi angkat telepon milikku, Sasi!”Sagara mendengkus kesal sebelum berlalu meninggalkan kamar dengan membanting pintu. Sasi terlonjak kaget dan menggeleng lemah melihat sikap suaminya itu. Sekejap mata, ucapan sang penelepon kembali terngiang di telinga.“Kalau benar apa yang dibilang orang tadi, berarti Laras sekarang ada di ....” Sasi membekap mulut karena tak sampai hati meneruskan ucapannya sendiri. Dia langsung terduduk lemas di sofa dan menatap hampa tembok di depannya. “Apakah Mas Saga akan menemuinya juga setelah tahu apa yang terjadi kepada Laras?”Sasi menggeleng berulang kali sebelum menghela napas panjang. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sejak awal juga
Sagara langsung berdiri di samping ranjang sambil mengepalkan kedua tangannya. Wajah lelah yang sejak tadi tergambar telah berubah menjadi amarah. Suara dengkus napas kasar disertai gigi yang bergemelatuk menambah kesan bahwa pria itu sedang dalam mode sangat marah.Melihat sikap suaminya, Sasi ketakutan. Wanita itu menunduk sambil memilin jari. Lalu, melirik Sagara yang menyambar bantal dan berjalan menuju sofa.“Mas, kamu belum jawab pertanyaan aku tadi? Apa kamu tadi bertemu dengan Laras?”Sagara menoleh sekilas sebelum berbaring di sofa dengan posisi membelakangi ranjang. Melihat itu, Sasi tahu bahwa suaminya enggan untuk membahas masalah yang berkaitan dengan Laras. Wanita itu meremas kuat selimut. Lagi, pengabaian yang diberikan sang suami menggoreskan luka di hatinya.“Seberapa berarti dia bagimu, Mas? Bahkan kehadiranku saja tidak mampu mengubah kuatnya cinta yang tertanam di hatimu untuknya.”Sasi menatap sendu punggung sang suami. tampak napas yang teratur menandakan ba