Raut Sagara berubah drastis ketika mendengar pertanyaan sang istri. Dia yang tadinya didera rasa bersalah mendadak dipenuhi amarah. Sagara menatap tajam wanita di depannya sambil menggeram kesal, tetapi mengingat kejadian semalam membuat pria itu langsung pergi ke kamar maninggalkan Sasi.
Sasi yang diperam tanya langsung menyusul dan kembali mengulang pertanyaan. “Siapa laras, Mas? Aku berhak tahu karena … semalam kamu menyebut namanya penuh cinta.”Perlahan wanita itu menunduk dalam setelah menurunkan nada bicaranya di akhir kelimat. Bulir bening menetes membasahi kedua tanganmya yang saling bertaut. Sagara makin diperam rasa bersalah melihat wanita itu terseduh. Tangannya terulur hendak menyentuh lengan Sasi, tetapi wanita segera berbalik dan berlalu meninggalkan kamar.Sebuah nama yang mampu meruntuhkan harga diri seorang istri. Satu nama yang tertanam kuat di hati dan pikiran Sagara. Dan satu nama yang secara sadar atau tidak dia ucapkan dengan penuh cinta. Sasi tak sanggup lagi menahan gelebah yang selama ini dia pendam. Dua kali nama Laras disebut sudah cukup baginya untuk tahu bahwa di hati Sagara hanya ada satu cinta atas namanya.“Kalau kamu mencintai Laras kenapa kamu mau menerima permintaan Papa, Mas. Kenapa?”Sasi benar-benar rapuh saat ini. Dia butuh sandaran untuk terus berdiri tegak menantang kerasnya ombak yang menerjang kehidupan rumah tangganya. Baru hitungan hari dia menjadi istri Sagara, tetapi cobaan itu langsung menerpa kencang. Wanita itu menoleh ketika mendengar langkah mendekat dan segera berdiri begitu melihat sang suami berjalan keluar rumah.“Mau ke mana, Mas? Ini sudah larut malam.”Sagara tak menggubris pertanyaan Sasi dan langung berjalan cepat meninggalkan rumah. Kali ini Sasi tak ingin diam begitu saja, dia menyusul sambil memanggil sang suami. Namun, usahanya sia-sia ketika Sagara memilih masuk mobil dan melajukannya kencang meninggalkan halaman.Prawira yang melihat hal itu hanya menatap sendu dari balik jendela. Dia pun mendekati Sasi dan menepuk bahunya pelan.“Maafkan Saga, ya Sasi.”Sasi mengangguk lemah lalu menatap lekat sang mertua. Melihat ada sesuatu yang ingin disampaikan sang menantu membuat Prawira mengajaknya duduk di ruang tamu.“Ada yang ingin kamu sampaikan, Sasi?”Wanita itu mengangguk lemah lalu menunduk sambil meremas jemarinya kuat. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum memberanikan diri untuk menatap Prawira.“Dari kemarin Sasi bingung harus bertanya ke siapa, Pa. Ini tentang Laras, wanita yang selalu disebut Mas Saga.”Prawira menggeram kesal lalu memukul sandaran kursi untuk meluapkan kekesalannya. Helaan napas panjang keluar dari mulut pria paruh baya itu. Bahkan dia meraup wajah kasar saking frustasinya.“Ternyata Saga belum bisa melupakan dia. Dasar anak tak tahu diri!”Sasi tegemap melihat sikap Prawira yang begitu kesal ketika dia menanyakan masalah Laras. Namun, wanita itu ragu untuk menanyakan alasannya. Dia takut Prawira akan makin kesal dan marah.“Sasi pulang aja, Pa. Papa istirahat sekarang, ya?”Wanita itu bangkit dan hendak berlalu, tetapi Prawira mencegahnya. “Duduk dulu, Sasi. Ada sesuatu yang mau Papa sampaikan.”Sasi kembali duduk lalu menatap Prawira. Pria itu berdeham sebelum kembali berkata. “Laras adalah pacar pertama Saga sewaktu kuliah dulu. Mereka sudah berpacaran selama lima tahun. Tiba-tiba gadis itu pergi tanpa pamit kepada Saga. Segala upaya sudah dilakukan Saga untuk mencarinya, tapi semua sia-sia. Papa hanya enggak mau Saga terlalu larut oleh perasaan kecewa sampai lupa bagaimana bahagia. Dia berubah sikap seperti sekarang ini.”Prawira menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan sebelum kembali bercerita. “Dulu Saga adalah anak yang periang dan suka tertawa, tapi sejak kepergian Laras dia jadi dingin kepada wanita. Papa takut, Sasi. Papa takut dia terlalu terjebak oleh masa lalu.”Wanita itu tergemap mendengar ucapan Prawira. Ternyata sebegitu besar cinta sang suami untuk Laras sampai tak bisa melupakannya. Sasi tahu Laras adalah wanita yang spesial bagi Sagara, tetapi apakah tindakan pria itu kepadanya juga harus dibetulkan.“Papa tahu kamu pasti kecewa dan marah sama Papa, tapi percayalah Papa lakukan ini karena tahu kamu adalah orang yang akan mengubah kembali Saga seperti dulu.”“Sasi takut enggak akan kuat, Pa. Sudah dua kali Mas Saga sebut nama Laras di depan Sasi.”“Maafkan Saga, Sasi. Tolong beri dia waktu agar dapat membuka hatinya untukmu. Bantu dia untuk melupakan Laras. Bantu dia untuk bahagia dan tersenyum lagi. Papa mohon, Sasi. Papa mohon,” ucap Prawira sambil menitikkan air mata.Hati wanita itu sakit melihat pria yang sangat baik itu menangis karena kelakuan anaknya. Melihat hal itu membuat Sasi akhirnya mengangguk lemah.“Bismillah, Sasi akan bantu Papa untuk mengubah Mas Saga.”“Makasih, Sasi. Makasih banyak atas semua kebaikanmu.”Prawira menyusut air matanya lalu tersenyum. Dia tahu Sasi akan kuat menghadapi ujian ini karena sedikit banyak pria itu sudah mendengar kepribadian sang menantu dari Darma sendiri.“Pulang dan istirahatlah. Saga pasti nanti pulang.”“Iya, Pa.”Sasi mencium takzim punggung tangan Prawira lalu beranjak pulang. Di rumah, dia melarikan kelesah hatinya lewat sujud panjang dan rapalan doa tak berkesudahan. Hatinya menjerit mengadukan semua permasalahan hidupnya kepada Sang Pencipta. Dia basahi mukena dan sajadahnya dengan air mata sambil menyebut sama Sagara. Sasi ingin Allah membalikkan hati sang suami agar menerimanya. Usai lelah merayu Sang Khalik membuat Sasi akhirnya tertidur sambil meringkuk di sajadah dengan masih menggunakan mukena.Azan Subuh berkumandang berhasil membuat Sasi tergagap bangun. Dia langsung mengintip ranjang lalu berjalan ke ruang tamu dan melihat sofa. Namun, sang suami tampaknya tidak pulang malam ini. Dia pun melaksanakan salat dua rakaat sebelum pergi ke rumah utama dan membantu Bi Minah memasak seperti biasa. Tepat saat itulah Saga datang dengan wajah kusut dan sedikit pucat.“Mas dari mana? Mas sakit, ya? Kok, pucat?” tanya Sasi sambil mengulurkan tangan ingin menyentuh dahi pria itu, tetapi ditepis kasar.Sagara berlalu ke kamar dan segera merebahkan diri. Tak ingin mengganggu pria itu, Sasi pergi dengan perlahan. Usai memasak dia kembali untuk membangunkan sang suami. Sambil menahan rasa takut, Sasi mulai mengguncang pelan lengan pria itu.“Mas, bangun. Udah siang, mau kerja apa enggak?”Tak ada respon membuat Sasi kembali mengguncang lengan sang suami dan menaikkan nada bicaranya.“Bangun, Mas, udah siang. Nanti telat ke kantornya.”Sagara langsung membuka mata dan beringsut duduk. Matanya merah menahan kantuk sambil menatap Sasi yang ketakutan dan mundur ke sudut kamar. Pria itu akhirnya beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sedangkan Sasi kembali menyiapkan baju untuk dipakai Sagara kerja. Usai mandi dan berpakaian, pria itu keluar kamar mencari keberadaan Sasi yang ternyata sedang memasukkan baju kotor ke mesin cuci. Pria itu menatap lekat Sasi yang masih sibuk mengutak-atik tombol di mesin cuci.“Astaghfirullah!” seru Sasi ketika mendapati Sagara masih menatapnya lekat. “A-ada apa, Mas? Mau dibuatkan kopi?”Pria itu menggeleng sambil terus menatap Sasi. Merasa ditatap begitu membuat wanita itu jengah lalu menunduk. “Ada yang salah denganku, ya?”Sagara hanya menyeringai lalu beranjak ke ruang tamu sambil berkata tanpa menoleh ke arah Sasi.“Ganti baju, aku tunggu di depan.”Sasi bingung dengan ucapan Sagara. Dia berusaha mencerna lima kalimat yang keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya suara bas Sagara kembali menyapa.“Buruan!”Wanita itu tergagap lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju dalam sekejap. Setelah siap, Sasi menemui sang suami yang masih duduk di sofa sambil membuka ponsel. Sagara menoleh ketika merasa ada yang berdiri di dekatnya. Sejenak dia geming untuk menikmati wajah teduh milik wanita itu. Meskipun tanpa riasan, tetapi wajah Sasi yang putih benar-benar membuat Sagara merasakan gelenyar yang tak biasa. Dia menggeleng lemah lalu bangkit dari duduk dan berjalan dulu menuju meja makan di rumah utama.“Kalian mau ke mana rapi sekali?” tanya Prawira melihat Sasi yang memakai gamis berwarna lavender dengan hijab senada.“Kampus.”Jawaban singkat Sagara memantik senyum simpul di wajah pria paruh baya itu. Dia lantas melihat sang menantu yang masih sibuk mengambilkan nasi untuk Prawira dan Sagara."Semog
Pagi buta usai melaksanakan salat dua rakaat, Sasi gegas membersihkan rumah dan mandi. Setelahnya dia membangunkan sang suami lalu menyiapkan baju. Sementara Sagara mandi, wanita itu berganti baju. Dia terus mengulas senyum saat mematut diri di depan cermin. Gamis biru mint dengan motif abstrak di bagian bawah tampak serasi dengan hijab biru tua yang dia kenakan. Ketika keluar kamar, dia tergemap karena melihat Sagara berdiri di ambang pintu hanya menggunakan handuk sebatas pinggang. Buru-buru Sasi menundukkan pandangan lalu keluar kamar. Setelah kejadian yang memilukan tempo hari, Sagara memilih tidur di sofa jika pulang malam hari. Dia berjanji akan menjaga jarak sementara waktu dengan sang istri agar tidak menyakitinya lagi. Namun, Sagara masih enggan untuk melakukan percakapan dengan Sasi.Usai Sagara rapi berpakaian, mereka menuju rumah utama dan mulai sarapan dalam diam. Seperti biasa Sasi mengambilkan nasi untuk mertua dan suaminya. “Tiap pagi berangkat kuliahnya bareng Sa
Sagara tergagap dan segera meletakkan ponsel ke sofa sebelum menatap Sasi. Binar bahagia dan senyum yang sempat terpatri di bibir pria itu lesap seketika. Melihat wajah masam sang suami, Sasi segera mengangsurkan kopi di tangannya dan melirik sekilas ponsel yang tergeletak di sofa.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Apa itu yang namanya Laras?”Sagara yang hendak menyesap kopi langsung berhenti. Dia menatap lekat wanita yang berdiri di depannya sebelum menyeringai. Lalu, kembali melanjutkan menyesap kopi dan menatap keluar jendela.Merasa diabaikan, Sasi membuang pandangan sejenak sebelum kembali menatap lekat sang suami yang masih menatap keluar jendela. Kedua matanya sudah megembun karena sesak yang membebat rongga dada.Tak sanggup lagi menahan sakit, Sasi memilih untuk berlalu. Namun, suara bariton Sagara berhasil menghentikan langkahnya.“Iya, dialah Laras. Wanita yang sampai kapan pun akan selalu ada di hatiku, meskipun kamu adalah istriku.”Wanita mana yang tak sakit ha
Sagara menatap lekat manik mata Sasi yang tengah menyiratkan ketakutan. Pria itu menyeringai sebelum melepaskan cekalannya. Lalu, melenggang pergi meninggalkan Sasi yang masih bergeming. Tak ada informasi yang didapatnya, sehingga dia memilih untuk menyusul sang suami yang menuju ke rumah di belakang.Melihat Sagara duduk di sofa sambil menatap layar ponsel dan mengetik sesuatu, Sasi memilih langsung ke kamar dan mengambil buku yang berisi materi kuliah sebelum membukanya. Lalu, mengerjakan tugas yang diberikan sang dosen sambil duduk bersandar pada kaki ranjang.Ketika tengah fokus mengerjakan tugas, pintu dibuka dari luar. Wanita itu menoleh dan mendapati Sagara masuk sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang. Sasi mengedikkan bahu sebelum kembali fokus dengan tugasnya hingga selesai. Lalu, menggeliat sesaat untuk mengendurkan otot tubuh yang terasa kaku sebelum memasukkan buku ke dalam tas. Sasi bergeming di kaki ranjang saat melihat suaminya sudah pulas tertidur. Dengkur halus ter
Sasi hampir saja menjawab pertanyaan Bani saat seorang dosen masuk dan segera berdiri di depan kelas. Dia menatap tajam Bani yang masih duduk di depan Sasi, kemudian berdeham. Barulah pria yang duduk di depan Sasi itu segera bangkit dan keluar kelas.Untuk sesaat, Sasi merasa lega. Jujur, dia belum mau membuka jati dirinya karena sikap sang suami. Andai Sagara bisa lebih mencintainya, dia pasti dengan bangga akan memamerkan statusnya sebagai seorang istri. Namun, keadaannya tidaklah demikian. Sehingga Sasi memilih untuk menyimpan rapat statusnya sampai sikap Sagara melunak.Sepanjang penjelasan materi yang diberikan sang dosen, Sasi mendengarkan dan mencatat hal-hal yang penting. Dia tidak ingin melewatkan satu kesempatan dan harus mendapatkan nilai yang memuaskan agar kelak bisa mandiri dan berdiri di kaki sendiri.Usai kuliah hari itu berakhir, Sasi segera menghubungi Pak Karsa untuk dijemput. Lalu, duduk di lobi sambil membaca ulang materi yang diterimanya hari ini hingga tak me
Sasi membuka mata saat merasakan gedoran di pintu disertai teriakan memanggil namanya. Dia beringsut duduk dan langsung membungkus tubuhnya dengan handuk kimono sebelum membuka pintu. Melihat Sagara berdiri di ambang pintu dengan wajah dingin, Sasi menunduk dan hendak berlalu. Namun, nyeri yang membebat kepala membuatnya terhuyung dan hampir saja ambruk. Untung saja, Sagara sigap menangkap dan membopongnya ke kamar. Lalu, membaringkan tubuh dingin sang istri ke ranjang dan menyelimutinya.“Kalau enggak mau pergi bilang, enggak usah pakai acara menyakiti diri seperti ini. Kamu kira aku akan kasihan? Enggak!”Sagara langsung keluar kamar tanpa memedulikan Sasi yang menatap dengan dada berdentam lara. Tak berselang lama, pintu kembali dibuka. Namun, bukan Sagara yang masuk melainkan Bi Minah sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman serba mengepulkan asap.“Mbak Sasi kenapa? Kata Mas Saga, Mbak Sasi sakit, ya? Ini Bibi bawakan wedang jahe sama sup ayam. Mumpung masih hangat, ce
Bukannya menjawab pertanyaan sang istri, Sagara malah berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan keluar sepuluh menit kemudian. Merasa diabaikan, Sasi kembali melontarkan kalimat pertanyaan yang sama kepada suaminya.“Dari mana kamu tadi, Mas?”Sagara menghentikan sementara kegiatan memakai bajunya saat mendengar suara Sasi. Namun, dia kembali meneruskan memakai baju sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang dan membuka ponselnya.“Bukan urusan kamu. Lebih baik kamu nikmati saja liburan di sini dan jangan ikut campur urusanku lagi.”Sasi terkejut mendengar ucapan bernada dingin yang dilontarkan suaminya. Dia langsung menunduk saat melihat sang suami melayangkan tatapan benci. Lalu, memilih untuk ke balkon dan duduk sambil menikmati embusan angin malam yang sedikit menyejukkan.Sasi memejamkan mata saat ucapan Sagara kembali terngiang di telinga. Sudah sebulan lebih, tetapi sikap sang suami masih saja sama, dingin. Pria yang bergelar suami itu hanya akan datang dan sedikit ber
“Apa yang kamu lakukan, Sasi!”Sagara mendadak mendekat dan langsung menyambar ponsel yang masih dipegang oleh Sasi. Lalu, menjauh dan kembali mendengarkan sang penelepon dengan wajah merah menahan amarah. Pria itu hanya mengangguk sekali sebelum mematikan panggilan dan menghampiri istrinya.“Jangan pernah lagi angkat telepon milikku, Sasi!”Sagara mendengkus kesal sebelum berlalu meninggalkan kamar dengan membanting pintu. Sasi terlonjak kaget dan menggeleng lemah melihat sikap suaminya itu. Sekejap mata, ucapan sang penelepon kembali terngiang di telinga.“Kalau benar apa yang dibilang orang tadi, berarti Laras sekarang ada di ....” Sasi membekap mulut karena tak sampai hati meneruskan ucapannya sendiri. Dia langsung terduduk lemas di sofa dan menatap hampa tembok di depannya. “Apakah Mas Saga akan menemuinya juga setelah tahu apa yang terjadi kepada Laras?”Sasi menggeleng berulang kali sebelum menghela napas panjang. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sejak awal juga