Share

5. Siapa Laras

Sasi terguguk sambil mendekap erat selimut yang menutupi dadanya. Malam ini menjadi saksi pilunya raga wanita itu menerima cinta yang diagung-agungkan Sagara atas nama Laras. Sang suami terus menggemakan nama wanita lain saat mencumbunya tadi. Hatinya sakit bagai ditusuk sembilu. Sakit sampai terasa sesak. Sakit, tetapi tak berdarah.

Dia menoleh dan tangisnya makin pecah saat menatap wajah Sagara yang pulas di sampingnya. Wanita itu beringsut bangkit sambil menahan perih pada bagian inti tubuhnya. Dia memunguti pakaian yang tercecer, lantas memakainya. Lalu, berjalan tertatih menuju kamar mandi dan kembali terguguk di sana sambil luruh ke lantai.

"Sebegitu besarnyakah rasa cintamu untuknya, Mas? Sampai kamu tanpa sadar menyakiti hatiku."

Setelah meluapkan kesedihannya, Sasi menyudahi ritual mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat malam untuk menentramkan hatinya. Segala kelesah dia adukan kepada-Nya sambil berurai air mata. Mulutnya tak henti membaca istigfar dan zikir lainnya sambil menyandarkan kepala di kaki ranjang. Perlahan, dia memejamkan mata dengan posisi duduk.

Azan subuh berkumandang dari kejauhan. Sasi bergegas terjaga untuk melaksanakan salat dua rakaat. Dia berencana membantu Bi Minah untuk memasak. Setelah salat, Sasi berjalan menuju dapur rumah utama. Dia mengulum senyum saat melihat Bi Minah sudah sibuk memotong sayuran.

“Sasi bantu, ya, Bu?"

“Enggak usah, Mbak. Masa majikan bantuin masak. Apa kata Bapak nanti?”

“Jangan begitu, Bu. Saya bingung mau ngapain soalnya pagi-pagi begini."

Sasi segera mengambil pisau dan memotong sayuran, sedangkan Bi Minah mulai memasak. Tak lama kemudian, masakan sudah terhidang di meja makan.

“Kamu yang masak, Sasi?” tanya Prawira ketika melihat menu yang ada.

“Bukan, Pa. Sasi hanya bantu Bu Minah potong sayuran aja.”

“Panggil Sagara, kita makan sama-sama.”

Sasi mengangguk. Dia berlari menuju rumahnya, lantas membuka pintu kamar dan melangkah mendekati Sagara yang masih pulas tertidur. Namun, mengingat kejadian semalam, wanita itu menggigil ketakutan. Dia mundur sejengkal untuk mengatur napas sebelum kembali mendekati suaminya.

“Mas, bangun. Ditungguin Papa sarapan di rumah utama.”

Sagara menggeliat sejenak sebelum beringsut duduk dan terkejut melihat dirinya yang polos. Dia menatap sang istri yang sibuk mengambil baju kerjanya di lemari dengan perasaan yang entah. Pria itu makin terkejut ketika melihat bercak merah saat hendak bangkit.

"Bukankah semalam itu yang aku lihat Laras? Lalu ke mana dia? Atau jangan-jangan dia itu …."

Sagara bermonolog dalam hati sambil menatap Sasi yang telah meninggalkan kamar dengan perasaan yang berkecamuk. Dia lantas melilitkan selimut dan berjalan menuju kamar mandi. Melihat sang suami sedang membersihkan diri, Sasi bergegas melepas seprai dan menggantinya dengan yang baru. Ketika hendak memasukkan seprai tadi ke mesin cuci, hati Sasi kembali bendenyut nyeri kala melihat bercak merah di sana. Setetes air mata kembali luruh membasahi pipinya.

Melihat sang suami keluar kamar mandi, Sasi segera menghapus bulir bening tadi dan mengekori Sagara.

“Mas, ditunggu Papa sarapan di rumah utama, ya,” ucap Sasi segera berlalu ke depan.

Sementara itu, Sagara yang masih di kamar mencoba memutar memori tentang kejadian semalam, tetapi semuanya buntu hanya Laras yang terakhir dia ingat.

"Jika semalam itu Sasi? Berarti dia dengar semua ocehanku tentang Laras? Tapi, kenapa dia bersikap biasa saja tadi seolah-olah tak ada yang terjadi? Aku harus menanyakannya nanti."

Sagara kembali bermonolog sebelum cepat berpakaian. Setelah rapi, pria itu berjalan menuju rumah utama. Dia langsung duduk dan menatap lekat Sasi yang malah sibuk mengambilkan nasi untuk Prawira dan juga dia. Akhirnya, mereka makan dalam diam. Sasi hanya fokus melihat piring di depannya karena merasa Sagara sedang memperhatikannya.

“Bulan ini Papa mau Sasi kamu daftarkan kuliah, Nak,” ucap Prawira membuka percakapan sambil menatap Sagara. “Sekalian daftarkan pernikahan kalian secara hukum.”

“Suruh orang aja, Pa. Saga sibuk, banyak kerjaan!”

“No. Papa mau kamu sendiri yang urus.”

“Tapi, Pa ….”

“Jangan mendebat, Saga! Papa enggak mau kamu abai terhadap Sasi! Dia istri kamu!"

Sagara mendengkus kesal, kemudian menyudahi sarapannya dan bergegas meninggalkan meja makan. Sasi yang melihat langsung menyusul dan mengekor sampai ke depan. Pria itu makin kesal mengetahui Sasi mengikutinya, sehingga dia berhenti dan langsung berbalik.

“Ini semua gara-gara kamu! Kenapa kamu harus hadir dan menambah berat hidupku! Sampai kapan pun aku membencimu!"

Pria itu kembali berjalan menuju mobil dan bergegas melajukannya meninggalkan halaman. Sasi masih bergeming di tempat dengan tatapan nanar. Matanya mengembun dan sedetik kemudian bukti kesedihan itu hadir lagi.

“Sasi,” panggil Prawira dari belakang. Wanita itu segera menghapus air matanya dan berbalik sambil mengulas senyum. “Maafkan Papa, ya, Nak. Saga masih belum bisa menerima kamu seutuhnya.”

"Enggak apa-apa, Pa. Mungkin Mas Saga butuh waktu untuk menerima semuanya. Sasi yang harus sabar menghadapi Mas Saga dan membuatnya mencintai Sasi."

Wanita itu mengangguk lalu menatap Prawira. Keraguan kembali mendekap ketika hendak menanyakan tentang sosok Laras.

“Pa, boleh Sasi tanya sesuatu? Ini tentang La—”

Ucapan Sasi terjeda karena mendadak ponsel Prawira berdering. Pria itu pun segera mengangkat telepon. “Papa pergi dulu, ya,” ucap Prawira lirih sambil berlalu menuju mobil.

Rasa kecewa kembali menghampiri Sasi karena sejak kemarin pertanyaannya sama sekali belum mendapatkan jawaban. Dia pun kembali ke rumahnya dan melanjutkan mencuci baju.

Menjelang senja, Sasi sudah menunggu Sagara di ruang tamu setelah memastikan semua pekerjaan rumah selesai. Namun, harapannya agar sang suami segera pulang tak juga terkabul karena sampai azan Isya dan dia selesai melakukan salat empat rakaat, pria itu belum juga datang.

Sasi pun melarikan kelesahnya dengan membaca mushaf. Namun, baru beberapa ayat dia lantunkan, suara ponsel berhasil menghentikan aktivitasnya. Wanita itu menutup mushaf lalu meraih ponsel dan matanya berbinar ketika melihat siapa yang menelepon.

“Assalamualaikum, Bu. Apa ka—”

“Halah, mana jatah bulananku? Kenapa sampai hari ini belum juga ada kabarnya?”

“Jawab dulu salamnya, Bu.”

“Iya-iya, Waalaikumsalam. Sekarang jawab mana jatah bulananku?”

“Jatah apa, Bu. Sasi enggak ngerti.”

Telepon langsung terputus, sehingga Sasi merasa sedikit kecewa. Dia lantas teringat ucapan Ana ketika berada di pemakaman ayahnya. Wanita itu hanya mampu menghela napas kasar dan kembali membaca mushaf. Namun, mendengar suara pintu digeser membuatnya segera melihat siapa yang datang.

“Baru pulang, Mas?” tanya Sasi langsung menyambut sang suami. Dia mengulurkan tangan hendak mencium tangan Sagara, tetapi pria itu hanya meliriknya saja dan berlalu menuju kamar.

Sasi segera melepas mukena dan beranjak ke dapur untuk membuatkan minum dan meletakkannya di meja makan.

Tok! Tok! Tok!

“Mas, Makan dulu, ya? Nasinya udah aku siapin di meja.”

Mendadak pintu terbuka dan menampilkan wajah kusut Sagara sedang menatap tajam Sasi yang membisu di ambang pintu. Pria itu hanya diam dan berjalan ke meja makan. Sasi mengekor dan duduk di depan sang suami sambil menunduk. Sagara menyesap pelan minuman hangat di depannya sambil terus menatap Sasi. Pria itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan sebelum mengajukan pertanyaan yang sepanjang hari itu terus berputar di kepala. Sagara pun berdeham sehingga Sasi menatapnya.

“Apakah semalam aku su—”

“Siapa Laras itu, Mas?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status