Sasi terguguk sambil mendekap erat selimut yang menutupi dadanya. Malam ini menjadi saksi pilunya raga wanita itu menerima cinta yang diagung-agungkan Sagara atas nama Laras. Sang suami terus menggemakan nama wanita lain saat mencumbunya tadi. Hatinya sakit bagai ditusuk sembilu. Sakit sampai terasa sesak. Sakit, tetapi tak berdarah.
Dia menoleh dan tangisnya makin pecah saat menatap wajah Sagara yang pulas di sampingnya. Wanita itu beringsut bangkit sambil menahan perih pada bagian inti tubuhnya. Dia memunguti pakaian yang tercecer, lantas memakainya. Lalu, berjalan tertatih menuju kamar mandi dan kembali terguguk di sana sambil luruh ke lantai."Sebegitu besarnyakah rasa cintamu untuknya, Mas? Sampai kamu tanpa sadar menyakiti hatiku."Setelah meluapkan kesedihannya, Sasi menyudahi ritual mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat malam untuk menentramkan hatinya. Segala kelesah dia adukan kepada-Nya sambil berurai air mata. Mulutnya tak henti membaca istigfar dan zikir lainnya sambil menyandarkan kepala di kaki ranjang. Perlahan, dia memejamkan mata dengan posisi duduk.Azan subuh berkumandang dari kejauhan. Sasi bergegas terjaga untuk melaksanakan salat dua rakaat. Dia berencana membantu Bi Minah untuk memasak. Setelah salat, Sasi berjalan menuju dapur rumah utama. Dia mengulum senyum saat melihat Bi Minah sudah sibuk memotong sayuran.“Sasi bantu, ya, Bu?"“Enggak usah, Mbak. Masa majikan bantuin masak. Apa kata Bapak nanti?”“Jangan begitu, Bu. Saya bingung mau ngapain soalnya pagi-pagi begini."Sasi segera mengambil pisau dan memotong sayuran, sedangkan Bi Minah mulai memasak. Tak lama kemudian, masakan sudah terhidang di meja makan.“Kamu yang masak, Sasi?” tanya Prawira ketika melihat menu yang ada.“Bukan, Pa. Sasi hanya bantu Bu Minah potong sayuran aja.”“Panggil Sagara, kita makan sama-sama.”Sasi mengangguk. Dia berlari menuju rumahnya, lantas membuka pintu kamar dan melangkah mendekati Sagara yang masih pulas tertidur. Namun, mengingat kejadian semalam, wanita itu menggigil ketakutan. Dia mundur sejengkal untuk mengatur napas sebelum kembali mendekati suaminya.“Mas, bangun. Ditungguin Papa sarapan di rumah utama.”Sagara menggeliat sejenak sebelum beringsut duduk dan terkejut melihat dirinya yang polos. Dia menatap sang istri yang sibuk mengambil baju kerjanya di lemari dengan perasaan yang entah. Pria itu makin terkejut ketika melihat bercak merah saat hendak bangkit."Bukankah semalam itu yang aku lihat Laras? Lalu ke mana dia? Atau jangan-jangan dia itu …."Sagara bermonolog dalam hati sambil menatap Sasi yang telah meninggalkan kamar dengan perasaan yang berkecamuk. Dia lantas melilitkan selimut dan berjalan menuju kamar mandi. Melihat sang suami sedang membersihkan diri, Sasi bergegas melepas seprai dan menggantinya dengan yang baru. Ketika hendak memasukkan seprai tadi ke mesin cuci, hati Sasi kembali bendenyut nyeri kala melihat bercak merah di sana. Setetes air mata kembali luruh membasahi pipinya.Melihat sang suami keluar kamar mandi, Sasi segera menghapus bulir bening tadi dan mengekori Sagara.“Mas, ditunggu Papa sarapan di rumah utama, ya,” ucap Sasi segera berlalu ke depan.Sementara itu, Sagara yang masih di kamar mencoba memutar memori tentang kejadian semalam, tetapi semuanya buntu hanya Laras yang terakhir dia ingat."Jika semalam itu Sasi? Berarti dia dengar semua ocehanku tentang Laras? Tapi, kenapa dia bersikap biasa saja tadi seolah-olah tak ada yang terjadi? Aku harus menanyakannya nanti."Sagara kembali bermonolog sebelum cepat berpakaian. Setelah rapi, pria itu berjalan menuju rumah utama. Dia langsung duduk dan menatap lekat Sasi yang malah sibuk mengambilkan nasi untuk Prawira dan juga dia. Akhirnya, mereka makan dalam diam. Sasi hanya fokus melihat piring di depannya karena merasa Sagara sedang memperhatikannya.“Bulan ini Papa mau Sasi kamu daftarkan kuliah, Nak,” ucap Prawira membuka percakapan sambil menatap Sagara. “Sekalian daftarkan pernikahan kalian secara hukum.”“Suruh orang aja, Pa. Saga sibuk, banyak kerjaan!”“No. Papa mau kamu sendiri yang urus.”“Tapi, Pa ….”“Jangan mendebat, Saga! Papa enggak mau kamu abai terhadap Sasi! Dia istri kamu!"Sagara mendengkus kesal, kemudian menyudahi sarapannya dan bergegas meninggalkan meja makan. Sasi yang melihat langsung menyusul dan mengekor sampai ke depan. Pria itu makin kesal mengetahui Sasi mengikutinya, sehingga dia berhenti dan langsung berbalik.“Ini semua gara-gara kamu! Kenapa kamu harus hadir dan menambah berat hidupku! Sampai kapan pun aku membencimu!"Pria itu kembali berjalan menuju mobil dan bergegas melajukannya meninggalkan halaman. Sasi masih bergeming di tempat dengan tatapan nanar. Matanya mengembun dan sedetik kemudian bukti kesedihan itu hadir lagi.“Sasi,” panggil Prawira dari belakang. Wanita itu segera menghapus air matanya dan berbalik sambil mengulas senyum. “Maafkan Papa, ya, Nak. Saga masih belum bisa menerima kamu seutuhnya.”"Enggak apa-apa, Pa. Mungkin Mas Saga butuh waktu untuk menerima semuanya. Sasi yang harus sabar menghadapi Mas Saga dan membuatnya mencintai Sasi."Wanita itu mengangguk lalu menatap Prawira. Keraguan kembali mendekap ketika hendak menanyakan tentang sosok Laras.“Pa, boleh Sasi tanya sesuatu? Ini tentang La—”Ucapan Sasi terjeda karena mendadak ponsel Prawira berdering. Pria itu pun segera mengangkat telepon. “Papa pergi dulu, ya,” ucap Prawira lirih sambil berlalu menuju mobil.Rasa kecewa kembali menghampiri Sasi karena sejak kemarin pertanyaannya sama sekali belum mendapatkan jawaban. Dia pun kembali ke rumahnya dan melanjutkan mencuci baju.Menjelang senja, Sasi sudah menunggu Sagara di ruang tamu setelah memastikan semua pekerjaan rumah selesai. Namun, harapannya agar sang suami segera pulang tak juga terkabul karena sampai azan Isya dan dia selesai melakukan salat empat rakaat, pria itu belum juga datang.Sasi pun melarikan kelesahnya dengan membaca mushaf. Namun, baru beberapa ayat dia lantunkan, suara ponsel berhasil menghentikan aktivitasnya. Wanita itu menutup mushaf lalu meraih ponsel dan matanya berbinar ketika melihat siapa yang menelepon.“Assalamualaikum, Bu. Apa ka—”“Halah, mana jatah bulananku? Kenapa sampai hari ini belum juga ada kabarnya?”“Jawab dulu salamnya, Bu.”“Iya-iya, Waalaikumsalam. Sekarang jawab mana jatah bulananku?”“Jatah apa, Bu. Sasi enggak ngerti.”Telepon langsung terputus, sehingga Sasi merasa sedikit kecewa. Dia lantas teringat ucapan Ana ketika berada di pemakaman ayahnya. Wanita itu hanya mampu menghela napas kasar dan kembali membaca mushaf. Namun, mendengar suara pintu digeser membuatnya segera melihat siapa yang datang.“Baru pulang, Mas?” tanya Sasi langsung menyambut sang suami. Dia mengulurkan tangan hendak mencium tangan Sagara, tetapi pria itu hanya meliriknya saja dan berlalu menuju kamar.Sasi segera melepas mukena dan beranjak ke dapur untuk membuatkan minum dan meletakkannya di meja makan.Tok! Tok! Tok!“Mas, Makan dulu, ya? Nasinya udah aku siapin di meja.”Mendadak pintu terbuka dan menampilkan wajah kusut Sagara sedang menatap tajam Sasi yang membisu di ambang pintu. Pria itu hanya diam dan berjalan ke meja makan. Sasi mengekor dan duduk di depan sang suami sambil menunduk. Sagara menyesap pelan minuman hangat di depannya sambil terus menatap Sasi. Pria itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan sebelum mengajukan pertanyaan yang sepanjang hari itu terus berputar di kepala. Sagara pun berdeham sehingga Sasi menatapnya.“Apakah semalam aku su—”“Siapa Laras itu, Mas?”Raut Sagara berubah drastis ketika mendengar pertanyaan sang istri. Dia yang tadinya didera rasa bersalah mendadak dipenuhi amarah. Sagara menatap tajam wanita di depannya sambil menggeram kesal, tetapi mengingat kejadian semalam membuat pria itu langsung pergi ke kamar maninggalkan Sasi. Sasi yang diperam tanya langsung menyusul dan kembali mengulang pertanyaan. “Siapa laras, Mas? Aku berhak tahu karena … semalam kamu menyebut namanya penuh cinta.” Perlahan wanita itu menunduk dalam setelah menurunkan nada bicaranya di akhir kelimat. Bulir bening menetes membasahi kedua tanganmya yang saling bertaut. Sagara makin diperam rasa bersalah melihat wanita itu terseduh. Tangannya terulur hendak menyentuh lengan Sasi, tetapi wanita segera berbalik dan berlalu meninggalkan kamar. Sebuah nama yang mampu meruntuhkan harga diri seorang istri. Satu nama yang tertanam kuat di hati dan pikiran Sagara. Dan satu nama yang secara sadar atau tidak dia ucapkan dengan penuh cinta. Sasi tak sanggup lagi
Sasi bingung dengan ucapan Sagara. Dia berusaha mencerna lima kalimat yang keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya suara bas Sagara kembali menyapa.“Buruan!”Wanita itu tergagap lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju dalam sekejap. Setelah siap, Sasi menemui sang suami yang masih duduk di sofa sambil membuka ponsel. Sagara menoleh ketika merasa ada yang berdiri di dekatnya. Sejenak dia geming untuk menikmati wajah teduh milik wanita itu. Meskipun tanpa riasan, tetapi wajah Sasi yang putih benar-benar membuat Sagara merasakan gelenyar yang tak biasa. Dia menggeleng lemah lalu bangkit dari duduk dan berjalan dulu menuju meja makan di rumah utama.“Kalian mau ke mana rapi sekali?” tanya Prawira melihat Sasi yang memakai gamis berwarna lavender dengan hijab senada.“Kampus.”Jawaban singkat Sagara memantik senyum simpul di wajah pria paruh baya itu. Dia lantas melihat sang menantu yang masih sibuk mengambilkan nasi untuk Prawira dan Sagara."Semog
Pagi buta usai melaksanakan salat dua rakaat, Sasi gegas membersihkan rumah dan mandi. Setelahnya dia membangunkan sang suami lalu menyiapkan baju. Sementara Sagara mandi, wanita itu berganti baju. Dia terus mengulas senyum saat mematut diri di depan cermin. Gamis biru mint dengan motif abstrak di bagian bawah tampak serasi dengan hijab biru tua yang dia kenakan. Ketika keluar kamar, dia tergemap karena melihat Sagara berdiri di ambang pintu hanya menggunakan handuk sebatas pinggang. Buru-buru Sasi menundukkan pandangan lalu keluar kamar. Setelah kejadian yang memilukan tempo hari, Sagara memilih tidur di sofa jika pulang malam hari. Dia berjanji akan menjaga jarak sementara waktu dengan sang istri agar tidak menyakitinya lagi. Namun, Sagara masih enggan untuk melakukan percakapan dengan Sasi.Usai Sagara rapi berpakaian, mereka menuju rumah utama dan mulai sarapan dalam diam. Seperti biasa Sasi mengambilkan nasi untuk mertua dan suaminya. “Tiap pagi berangkat kuliahnya bareng Sa
Sagara tergagap dan segera meletakkan ponsel ke sofa sebelum menatap Sasi. Binar bahagia dan senyum yang sempat terpatri di bibir pria itu lesap seketika. Melihat wajah masam sang suami, Sasi segera mengangsurkan kopi di tangannya dan melirik sekilas ponsel yang tergeletak di sofa.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Apa itu yang namanya Laras?”Sagara yang hendak menyesap kopi langsung berhenti. Dia menatap lekat wanita yang berdiri di depannya sebelum menyeringai. Lalu, kembali melanjutkan menyesap kopi dan menatap keluar jendela.Merasa diabaikan, Sasi membuang pandangan sejenak sebelum kembali menatap lekat sang suami yang masih menatap keluar jendela. Kedua matanya sudah megembun karena sesak yang membebat rongga dada.Tak sanggup lagi menahan sakit, Sasi memilih untuk berlalu. Namun, suara bariton Sagara berhasil menghentikan langkahnya.“Iya, dialah Laras. Wanita yang sampai kapan pun akan selalu ada di hatiku, meskipun kamu adalah istriku.”Wanita mana yang tak sakit ha
Sagara menatap lekat manik mata Sasi yang tengah menyiratkan ketakutan. Pria itu menyeringai sebelum melepaskan cekalannya. Lalu, melenggang pergi meninggalkan Sasi yang masih bergeming. Tak ada informasi yang didapatnya, sehingga dia memilih untuk menyusul sang suami yang menuju ke rumah di belakang.Melihat Sagara duduk di sofa sambil menatap layar ponsel dan mengetik sesuatu, Sasi memilih langsung ke kamar dan mengambil buku yang berisi materi kuliah sebelum membukanya. Lalu, mengerjakan tugas yang diberikan sang dosen sambil duduk bersandar pada kaki ranjang.Ketika tengah fokus mengerjakan tugas, pintu dibuka dari luar. Wanita itu menoleh dan mendapati Sagara masuk sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang. Sasi mengedikkan bahu sebelum kembali fokus dengan tugasnya hingga selesai. Lalu, menggeliat sesaat untuk mengendurkan otot tubuh yang terasa kaku sebelum memasukkan buku ke dalam tas. Sasi bergeming di kaki ranjang saat melihat suaminya sudah pulas tertidur. Dengkur halus ter
Sasi hampir saja menjawab pertanyaan Bani saat seorang dosen masuk dan segera berdiri di depan kelas. Dia menatap tajam Bani yang masih duduk di depan Sasi, kemudian berdeham. Barulah pria yang duduk di depan Sasi itu segera bangkit dan keluar kelas.Untuk sesaat, Sasi merasa lega. Jujur, dia belum mau membuka jati dirinya karena sikap sang suami. Andai Sagara bisa lebih mencintainya, dia pasti dengan bangga akan memamerkan statusnya sebagai seorang istri. Namun, keadaannya tidaklah demikian. Sehingga Sasi memilih untuk menyimpan rapat statusnya sampai sikap Sagara melunak.Sepanjang penjelasan materi yang diberikan sang dosen, Sasi mendengarkan dan mencatat hal-hal yang penting. Dia tidak ingin melewatkan satu kesempatan dan harus mendapatkan nilai yang memuaskan agar kelak bisa mandiri dan berdiri di kaki sendiri.Usai kuliah hari itu berakhir, Sasi segera menghubungi Pak Karsa untuk dijemput. Lalu, duduk di lobi sambil membaca ulang materi yang diterimanya hari ini hingga tak me
Sasi membuka mata saat merasakan gedoran di pintu disertai teriakan memanggil namanya. Dia beringsut duduk dan langsung membungkus tubuhnya dengan handuk kimono sebelum membuka pintu. Melihat Sagara berdiri di ambang pintu dengan wajah dingin, Sasi menunduk dan hendak berlalu. Namun, nyeri yang membebat kepala membuatnya terhuyung dan hampir saja ambruk. Untung saja, Sagara sigap menangkap dan membopongnya ke kamar. Lalu, membaringkan tubuh dingin sang istri ke ranjang dan menyelimutinya.“Kalau enggak mau pergi bilang, enggak usah pakai acara menyakiti diri seperti ini. Kamu kira aku akan kasihan? Enggak!”Sagara langsung keluar kamar tanpa memedulikan Sasi yang menatap dengan dada berdentam lara. Tak berselang lama, pintu kembali dibuka. Namun, bukan Sagara yang masuk melainkan Bi Minah sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman serba mengepulkan asap.“Mbak Sasi kenapa? Kata Mas Saga, Mbak Sasi sakit, ya? Ini Bibi bawakan wedang jahe sama sup ayam. Mumpung masih hangat, ce
Bukannya menjawab pertanyaan sang istri, Sagara malah berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan keluar sepuluh menit kemudian. Merasa diabaikan, Sasi kembali melontarkan kalimat pertanyaan yang sama kepada suaminya.“Dari mana kamu tadi, Mas?”Sagara menghentikan sementara kegiatan memakai bajunya saat mendengar suara Sasi. Namun, dia kembali meneruskan memakai baju sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang dan membuka ponselnya.“Bukan urusan kamu. Lebih baik kamu nikmati saja liburan di sini dan jangan ikut campur urusanku lagi.”Sasi terkejut mendengar ucapan bernada dingin yang dilontarkan suaminya. Dia langsung menunduk saat melihat sang suami melayangkan tatapan benci. Lalu, memilih untuk ke balkon dan duduk sambil menikmati embusan angin malam yang sedikit menyejukkan.Sasi memejamkan mata saat ucapan Sagara kembali terngiang di telinga. Sudah sebulan lebih, tetapi sikap sang suami masih saja sama, dingin. Pria yang bergelar suami itu hanya akan datang dan sedikit ber