Sagara menyentuh pipi Sasi sambil terus menggumamkan nama Laras. Sasi yang merasakan tangan seseorang gegas membuka mata dan membeliak melihat Sagara tersenyum sambil terus berusaha menyentuhnya.
“Aku sayang kamu, Laras. Jangan tinggalin aku lagi, ya?”Sasi berusaha melepaskan tangan sang suami, tetapi Sagara makin keras ingin menyentuh wanita itu.“Kamu mabuk, Mas?”Sagara kembali tersenyum sambil memejamkan mata. “Kamu yang buat aku mabuk cintamu, Laras.”“Aku Sasi, Mas. Bukan Laras.”Sasi mengerahkan kekuatan untuk mendorong Sagara sekuat tenaga sampai membuatnya terjengkang. Wanita itu pun lari keluar kamar, tetapi Sagara mengejar dan mendekapnya dari belakang. Sekencang apa pun Sasi berteriak dan meronta, Sagara terus membawanya ke kamar. Pria itu menarik Sasi ke ranjang dan berusaha mencumbunya. Wanita itu meronta sambil menjauhkan wajah sang suami.“Sadar, Mas. Aku Sasi bukan Laras!”Wanita itu akhirnya terguguk. Sekelip mata Sagara tersadar dan melepaskan Sasi. Pria itu meraup kasar wajahnya. Dia bangkit dari ranjang dan langsung melangkah ke kamar mandi untuk membasuh muka.“Aaargh!” pekik Sagara sambil menggebrak pinggiran wastafel. “Hampir saja aku bikin kesalahan!"Sagara beranjak dari kamar mandi menuju sofa ruang tamu untuk merebahkan tubuh di sana. Pengaruh alkohol hampir saja membuatnya berbuat khilaf. Meskipun Sasi sudah halal untuk digauli, tetapi hati pria itu selalu menolak. Dia pun berusaha memejamkan mata dengan posisi tertelungkup. Sementara itu, Sasi masih terguguk di kamar dengan posisi memeluk lutut. Hatinya terasa sesak mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. Bukan karena perlakuan Sagara, tetapi karena nama Laras yang selalu dia dengungkan.Setelah tangisan dan sesak yang membebat raga mereda, Sasi turun dari ranjang dengan tubuh gemetar. Dia berjalan perlahan keluar kamar menuju dapur untuk mengambil minum. Setelahnya, Sasi mengedarkan pandangan mencari keberadaan Sagara, tetapi pria itu tak ada. Dia pun berjalan ke depan dan terkejut ketika melihat sang suami sudah tertidur di sofa. Sasi kembali ke kamar untuk mengambil selimut dan melurubi tubuh pria itu dengan sangat hati-hati. Saat hendak berlalu Sagara kembali mengigau.“Laras, kamu di mana sekarang? Kenapa kamu tinggalkan aku sendiri?”Sasi membekap mulut dan geming sesaat sebelum akhirnya kembali ke kamar. Hatinya tak tenang setelah berkali-kali sang suami menyebut nama yang sama. Dia memutuskan untuk mengambil wudu dan melarikan kelesah hatinya lewat rapalan doa. Sasi terus mengucapkan zikir sambil bersandar pada kaki ranjang hingga lama-kelamaan dia tertidur.Suara azan berkumandang membuat Sasi terjaga. Dia kembali menunaikan salat dua rakaat setelah mengambil wudu lagi. Setelahnya, dia ke dapur dan mulai memasak. Namun, rasa kecewa menyelimuti Sasi ketika membuka lemari pendingin.“Kosong? Astaghfirullah kenapa kemarin aku enggak belanja aja daripada bengang-bengong di rumah, ya?” tanya Sasi sambil menepuk dahinya.Dia pun melangkah ke depan, tetapi tepat saat itu, seseorang datang sambil membawa beberapa kotak makan.“Assalamualaikum, Mbak Sasi?”“Waalaikumsalam, iya saya.”“Ada kiriman makanan dari Bapak. Takutnya Mbak Sasi sungkan mau ke rumah utama, makanya Bapak nyuruh saya bungkus aja bawa ke mari.”Sasi tersenyum canggung sambil menerima kotak makan itu dan mengucapkan terima kasih. Dia beranjak ke meja makan dan menuang isinya ke piring dan mangkuk.“Mashaallah, Pa. Sasi jadi enggak enak hati kalau begini.”Setelah beres menata meja makan, wanita itu membangunkan Sagara yang masih saja terlelap di sofa.“Mas, bangun. Udah siang waktunya berangkat kerja.”Sagara menggeliat tanpa membuka mata untuk kembali pulas. Sasi kembali menaikkan nada suaranya sambil mengguncang tubuh sang suami.“Mas, bangun! Nanti telat berangkat kerjanya!”Pria itu menyipitkan mata sebelum beringsut duduk sambil mengacak rambutnya. Dia terhuyung bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu, Sasi menyiapkan baju untuk dipakai kerja Sagara di ranjang.Usai mandi dan berpakaian pria itu hendak berlalu, tetapi dicegah oleh Sasi. “Sarapan dulu, Mas.”“Aku enggak laper!"“Kalau gitu aku buatin minum dulu, ya?”“Enggak usah!”Sagara terus berlalu, tetapi Sasi kembali menginterupsi langkahnya. “Siapa Laras itu, Mas?”Pria itu menatap tajam sang istri sebelum mencengkeram erat dagu dan memepetnya ke dinding. “Jangan ikut campur urusan orang!”Sasi ketakutan melihat sikap Sagara dan hanya bisa mengangguk lemah sambil meneteskan air mata. Pria itu melepaskan Sasi sebelum meninggalkan rumah dengan amarah yang bercokol di kepala.“Tak bisakah kamu bersikap sedikit lunak padaku, Mas?"Sasi lantas manghapus air mata dan menatap sendu makanan yang tersaji di meja tanpa berniat untuk menyentuhnya. Seharian itu, dia hanya melakukan pekerjaan rumah tangga di sela-sela menjalankan salat lima waktu. Rasa bosan yang melanda, membuat Sasi melangkahkan kakinya menuju rumah utama.“Mbak Sasi perlu apa? Biar saya ambilkan.” Seorang wanita paruh baya menyambut Sasi begitu melihatnya muncul di dapur.“Eng-enggak ada, Bu. Saya hanya mau ke taman depan.”“Oh … kalau misal nanti butuh apa-apa panggil saya aja, ya, Mbak? Nama saya Bi Minah.”Sasi mengangguk sambil tersenyum sebelum berjalan menuju depan. Dia menatap taman yang menyejukkan mata sambil mengulas senyum.“Minumnya, Mbak,” tawar Bi Minah sambil membawa nampan berisi segelas es jeruk dan menaruhnya di meja teras.“Makasih, Bu. Maaf jadi ngerepotin.”“Enggak, Mbak. Memang sudah tugas saya. Saya permisi dulu.”“Tunggu dulu, Bu. Temani saya sebentar, ya?”Bi Minah tersenyum, lalu duduk di kursi teras setelah Sasi. Rasa penasaran kepada sosok yang disebut sang suami semalam kembali berputar di kepala. Sasi pun melirik sekilas Bi Minah sebelum kembali menunduk sambil meremas jemarinya.“Sepertinya ada yang mau dibicarakan, Mbak?”“I-iya, Bu. Ehm, apa Ibu tahu siapa Laras?”Wanita paruh baya yang duduk di samping Sasi langsung bergeming. Dia menunduk dan menjadi salah tingkah. “Kalau soal itu lebih baik Mbak tanya saja sama Mas Sagara, ya? Saya enggak berhak cerita, takut salah ngomong.”Bi Minah bergegas berlalu, sehingga makin menambah rasa penasaran yang tadi bercokol di kepala Sasi."Mas Sagara saja marah kalau ditanya. Bi Minah juga enggak mau cerita. Terus Sasi harus nanya siapa?"Sasi kembali ke rumahnya untuk mandi dan duduk di ruang tamu menunggu sang suami pulang. Namun, sampai larut malam pria itu belum juga menampakkan diri. Sasi menahan kantuk yang sejak tadi datang mendera, tetapi setelah tak mampu menahan, akhirnya dia menyerah juga. Wanita itu tertidur di sofa. Seperti kemarin tepat jam dua dini hari, Sagara tampak membuka pintu dan berjalan terhuyung memasuki rumah. Dia menyipitkan mata sambil mengedarkan pandangan. Dalam keremangan cahaya, dia tersenyum ketika melihat Sasi tertidur di sofa.Pria itu mendekat sambil terus mengulas senyum, kemudian mengusap pipi Sasi dan menciumnya sekilas. Wanita itu tergagap bangun dan mendorong tubuh Sagara hingga tersungkur. Wanita itu segera bangkit dan berlari menuju pintu, tetapi Sagara berhasil mendekap Sasi dari belakang dan menyeretnya ke kamar.“Lepasin, Mas!” teriak Sasi sambil terus meronta, tetapi tenaganya kalah kuat dengan sang suami. Sagara segera menutup pintu kamar dan kembali menarik paksa sang istri sebelum mengempaskannya ke ranjang. Pria itu menyeringai sambil membuka baju dan membuangnya ke sembarang arah."Malam ini kamu milikku, Laras."Sagara segera merobek baju yang dipakai Sasi. Mencumbunya dengan kasar dan memaksanya untuk melayaninya. Perlawanan yang diberikan Sasi seolah-olah tak ada gunanya. Lalu, terdengar jerit memilukan wanita itu saat Sagara berhasil melukai kehormatannya.Aaargh!Sasi terguguk sambil mendekap erat selimut yang menutupi dadanya. Malam ini menjadi saksi pilunya raga wanita itu menerima cinta yang diagung-agungkan Sagara atas nama Laras. Sang suami terus menggemakan nama wanita lain saat mencumbunya tadi. Hatinya sakit bagai ditusuk sembilu. Sakit sampai terasa sesak. Sakit, tetapi tak berdarah. Dia menoleh dan tangisnya makin pecah saat menatap wajah Sagara yang pulas di sampingnya. Wanita itu beringsut bangkit sambil menahan perih pada bagian inti tubuhnya. Dia memunguti pakaian yang tercecer, lantas memakainya. Lalu, berjalan tertatih menuju kamar mandi dan kembali terguguk di sana sambil luruh ke lantai. "Sebegitu besarnyakah rasa cintamu untuknya, Mas? Sampai kamu tanpa sadar menyakiti hatiku."Setelah meluapkan kesedihannya, Sasi menyudahi ritual mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat malam untuk menentramkan hatinya. Segala kelesah dia adukan kepada-Nya sambil berurai air mata. Mulutnya tak henti membaca istigfar dan zikir lai
Raut Sagara berubah drastis ketika mendengar pertanyaan sang istri. Dia yang tadinya didera rasa bersalah mendadak dipenuhi amarah. Sagara menatap tajam wanita di depannya sambil menggeram kesal, tetapi mengingat kejadian semalam membuat pria itu langsung pergi ke kamar maninggalkan Sasi. Sasi yang diperam tanya langsung menyusul dan kembali mengulang pertanyaan. “Siapa laras, Mas? Aku berhak tahu karena … semalam kamu menyebut namanya penuh cinta.” Perlahan wanita itu menunduk dalam setelah menurunkan nada bicaranya di akhir kelimat. Bulir bening menetes membasahi kedua tanganmya yang saling bertaut. Sagara makin diperam rasa bersalah melihat wanita itu terseduh. Tangannya terulur hendak menyentuh lengan Sasi, tetapi wanita segera berbalik dan berlalu meninggalkan kamar. Sebuah nama yang mampu meruntuhkan harga diri seorang istri. Satu nama yang tertanam kuat di hati dan pikiran Sagara. Dan satu nama yang secara sadar atau tidak dia ucapkan dengan penuh cinta. Sasi tak sanggup lagi
Sasi bingung dengan ucapan Sagara. Dia berusaha mencerna lima kalimat yang keluar dari mulut pria itu sampai akhirnya suara bas Sagara kembali menyapa.“Buruan!”Wanita itu tergagap lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti baju dalam sekejap. Setelah siap, Sasi menemui sang suami yang masih duduk di sofa sambil membuka ponsel. Sagara menoleh ketika merasa ada yang berdiri di dekatnya. Sejenak dia geming untuk menikmati wajah teduh milik wanita itu. Meskipun tanpa riasan, tetapi wajah Sasi yang putih benar-benar membuat Sagara merasakan gelenyar yang tak biasa. Dia menggeleng lemah lalu bangkit dari duduk dan berjalan dulu menuju meja makan di rumah utama.“Kalian mau ke mana rapi sekali?” tanya Prawira melihat Sasi yang memakai gamis berwarna lavender dengan hijab senada.“Kampus.”Jawaban singkat Sagara memantik senyum simpul di wajah pria paruh baya itu. Dia lantas melihat sang menantu yang masih sibuk mengambilkan nasi untuk Prawira dan Sagara."Semog
Pagi buta usai melaksanakan salat dua rakaat, Sasi gegas membersihkan rumah dan mandi. Setelahnya dia membangunkan sang suami lalu menyiapkan baju. Sementara Sagara mandi, wanita itu berganti baju. Dia terus mengulas senyum saat mematut diri di depan cermin. Gamis biru mint dengan motif abstrak di bagian bawah tampak serasi dengan hijab biru tua yang dia kenakan. Ketika keluar kamar, dia tergemap karena melihat Sagara berdiri di ambang pintu hanya menggunakan handuk sebatas pinggang. Buru-buru Sasi menundukkan pandangan lalu keluar kamar. Setelah kejadian yang memilukan tempo hari, Sagara memilih tidur di sofa jika pulang malam hari. Dia berjanji akan menjaga jarak sementara waktu dengan sang istri agar tidak menyakitinya lagi. Namun, Sagara masih enggan untuk melakukan percakapan dengan Sasi.Usai Sagara rapi berpakaian, mereka menuju rumah utama dan mulai sarapan dalam diam. Seperti biasa Sasi mengambilkan nasi untuk mertua dan suaminya. “Tiap pagi berangkat kuliahnya bareng Sa
Sagara tergagap dan segera meletakkan ponsel ke sofa sebelum menatap Sasi. Binar bahagia dan senyum yang sempat terpatri di bibir pria itu lesap seketika. Melihat wajah masam sang suami, Sasi segera mengangsurkan kopi di tangannya dan melirik sekilas ponsel yang tergeletak di sofa.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas? Apa itu yang namanya Laras?”Sagara yang hendak menyesap kopi langsung berhenti. Dia menatap lekat wanita yang berdiri di depannya sebelum menyeringai. Lalu, kembali melanjutkan menyesap kopi dan menatap keluar jendela.Merasa diabaikan, Sasi membuang pandangan sejenak sebelum kembali menatap lekat sang suami yang masih menatap keluar jendela. Kedua matanya sudah megembun karena sesak yang membebat rongga dada.Tak sanggup lagi menahan sakit, Sasi memilih untuk berlalu. Namun, suara bariton Sagara berhasil menghentikan langkahnya.“Iya, dialah Laras. Wanita yang sampai kapan pun akan selalu ada di hatiku, meskipun kamu adalah istriku.”Wanita mana yang tak sakit ha
Sagara menatap lekat manik mata Sasi yang tengah menyiratkan ketakutan. Pria itu menyeringai sebelum melepaskan cekalannya. Lalu, melenggang pergi meninggalkan Sasi yang masih bergeming. Tak ada informasi yang didapatnya, sehingga dia memilih untuk menyusul sang suami yang menuju ke rumah di belakang.Melihat Sagara duduk di sofa sambil menatap layar ponsel dan mengetik sesuatu, Sasi memilih langsung ke kamar dan mengambil buku yang berisi materi kuliah sebelum membukanya. Lalu, mengerjakan tugas yang diberikan sang dosen sambil duduk bersandar pada kaki ranjang.Ketika tengah fokus mengerjakan tugas, pintu dibuka dari luar. Wanita itu menoleh dan mendapati Sagara masuk sebelum mengempaskan tubuh ke ranjang. Sasi mengedikkan bahu sebelum kembali fokus dengan tugasnya hingga selesai. Lalu, menggeliat sesaat untuk mengendurkan otot tubuh yang terasa kaku sebelum memasukkan buku ke dalam tas. Sasi bergeming di kaki ranjang saat melihat suaminya sudah pulas tertidur. Dengkur halus ter
Sasi hampir saja menjawab pertanyaan Bani saat seorang dosen masuk dan segera berdiri di depan kelas. Dia menatap tajam Bani yang masih duduk di depan Sasi, kemudian berdeham. Barulah pria yang duduk di depan Sasi itu segera bangkit dan keluar kelas.Untuk sesaat, Sasi merasa lega. Jujur, dia belum mau membuka jati dirinya karena sikap sang suami. Andai Sagara bisa lebih mencintainya, dia pasti dengan bangga akan memamerkan statusnya sebagai seorang istri. Namun, keadaannya tidaklah demikian. Sehingga Sasi memilih untuk menyimpan rapat statusnya sampai sikap Sagara melunak.Sepanjang penjelasan materi yang diberikan sang dosen, Sasi mendengarkan dan mencatat hal-hal yang penting. Dia tidak ingin melewatkan satu kesempatan dan harus mendapatkan nilai yang memuaskan agar kelak bisa mandiri dan berdiri di kaki sendiri.Usai kuliah hari itu berakhir, Sasi segera menghubungi Pak Karsa untuk dijemput. Lalu, duduk di lobi sambil membaca ulang materi yang diterimanya hari ini hingga tak me
Sasi membuka mata saat merasakan gedoran di pintu disertai teriakan memanggil namanya. Dia beringsut duduk dan langsung membungkus tubuhnya dengan handuk kimono sebelum membuka pintu. Melihat Sagara berdiri di ambang pintu dengan wajah dingin, Sasi menunduk dan hendak berlalu. Namun, nyeri yang membebat kepala membuatnya terhuyung dan hampir saja ambruk. Untung saja, Sagara sigap menangkap dan membopongnya ke kamar. Lalu, membaringkan tubuh dingin sang istri ke ranjang dan menyelimutinya.“Kalau enggak mau pergi bilang, enggak usah pakai acara menyakiti diri seperti ini. Kamu kira aku akan kasihan? Enggak!”Sagara langsung keluar kamar tanpa memedulikan Sasi yang menatap dengan dada berdentam lara. Tak berselang lama, pintu kembali dibuka. Namun, bukan Sagara yang masuk melainkan Bi Minah sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman serba mengepulkan asap.“Mbak Sasi kenapa? Kata Mas Saga, Mbak Sasi sakit, ya? Ini Bibi bawakan wedang jahe sama sup ayam. Mumpung masih hangat, ce