Cukup lama Anggelina tertawa happy hingga membuat Ridwan risih sendiri karena banyaknya pasang mata di restoran mewah itu yang mengarah kepada mereka, melihat Anggelina tak perduli dengan situasi di sekitar mereka itu Ridwan pun akhirnya enjoy saja. “Ternyata Bang Ridwan lucu juga orangnya, aku nggak pernah tertawa begini sebelumnya terlebih di tempat seperti ini,” sambung Anggelina yang telah meredakan tawanya hanya menyisakan senyum saja. “Emangnya apa yang aku katakan tadi lucu ya? Perasaan nggak tuh, aku ngomong gitu karena memang kepikiran sebelumnya bagaimana cara menggunakan peralatan makan seperti pisau untuk menu yang di pesan tadi,” kembali Ridwan bicara apa adanya yang ia pikirkan. “Hemmm, itulah yang membuat lucu. Bang Ridwan blak-blakan aja kalau memang belum pernah makan di restoran ini dan belum tahu cara makan di sini,” ujar Anggelina. “He..he..he..! Maklum Anggelina, aku terbiasa makan dengan nasi bungkus di toko. Kalaupun makan di luar itupun di rumah makan bukan
Aldi yang tadi berada di ruang tengah mengerjakan sesuatu seketika saja menuju ke ruang depan menghampiri mereka, agaknya dia mendengar soal pembicaraan Ridwan dengan istrinya itu. “Ridwan di tawar Anggelina kerja di kantornya malah dia bingung, Bang?” ujar Gita pada Aldi yang telah duduk di samping istrinya itu. “Ya aku sempat mendengar makanya aku ke sini, kenapa kamu musti bingung Ridwan? Ini kesempatan baik yang jarang di peroleh orang lain. Perusahaan Anggelina bukan perusahaan kaleng-kaleng, perusahaannya itu salah satu perusahaan terbesar di kota ini,” tutur Aldi. “Ridwan ditawarkan kerja di bagian marketing,” tambah Gita. “Wah, untuk perusahaan sebesar itu bekerja di bagian marketingnya gaji perbulannya sangat besar,” jelas Aldi, Ridwan masih saja belum mengerti akan dukungan Kakak angkatnya itu. “Jadi aku musti bagaimana Bang? Sementara aku masih bekerja dengan Bang Randi di toko Kak Gita,” tanya Ridwan. “Aku dan Bang Aldi justru menganjurkan kamu segera menerima tawara
Sang surya begitu leluasa memancarkan sinarnya di pagi sabtu yang cerah itu, hampir tak tampak setitik awanpun menodai kebiruan langit, burung-burung berkicau merdu bertengger di atas dahan, meskipun kawasan pedesaan tidak se asri dulu ditumbuhi berbagai macam pepohonan di hutan-hutan rimbun yang kini telah berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, namun udaranya masih tetap segar alami di bandingkan perkotaan yang terkena polusi asap pabrik dan ramainya kendaraan. Sama dengan kenagarian lainnya, di kenagarian P di pagi yang cerah itu para petani begitu semangat berangkat ke lahan persawahan dan perkebunan mereka, begitu pula dengan para pekerja di perkebunan milik perusahaan dan pekerja harian di lahan milik pribadi. Di sebuah rumah tidak jauh dari rumah keluarga Kintani, tampak seorang pria yang sedari tadi duduk di teras di depannya tepat di atas meja terlihat sebuah laptop dan segelas teh hangat berserta panganan ringan, mata pria itu nyaris tak berkedip saat memandang laya
Untuk beberapa saat Pak Wisnu tampak memegang ponselnya mencari nomor kontak Kintani, begitu ketemu Pak Wisnu langsung melakukan panggilan. “Hemmm, nomornya aktif. Berarti sekarang dia lagi istirahat dan berada di luar ruangan kampus,” sambung Pak Wisnu yang tampak senang karena panggilan di ponselnya terhubung. “Hallo, Assalamualaikum Ayah.” “Waalaikum salam, Kintani.” “Ada apa Ayah?” Kintani merasa penasaran karena memang Ayahnya jarang menelponnya jika tidak ada hal yang penting, terkecuali Bu Anggini yang hampir setiap hari menghubungi putrinya itu sekedar ingin ngobrol saja. “Ayah sekarang lagi di tempat Paman Gindo mu,” jawab Pak Wisnu. “Di rumah Paman Gindo?” makin penasaranlah Kintani mendengarnya. “Iya, Pamanmu akan mengadakan acara syukuran sebentar lagi. Romi lulus tes CPNS dan akan menjadi Guru tetap di SMP Negeri tempat ia menghonor setahun belakangan ini,” tutur Pak Wisnu. “Alhamdulillah,” ucap Kintani turut senang. “Nih, Ayah berikan HP nya pada Romi kalian ngo
Minggu malam sepulang dari toko Ridwan mengajak Aldi suami Gita untuk ngobrol di teras rumah, hari itu adalah hari terakhirnya kerja di toko Kakak angkatnya itu karena mulai besok pagi ia akan bekerja di kantor perusahaan Anggelina Wijaya. “Bagaimana Ridwan apakah kamu udah siap kerja di hari pertamamu besok pagi di kantor Anggelina itu?” tanya Aldi membuka obrolan mereka di teras rumah itu. “Itulah yang hendak aku tanyakan pada Bang Aldi, bagaimana saja cara kerja dan bersikap di kantor? Untuk saat ini aku baru mengetahui jenis dan cara berpakaian ala kantoran saja,” tanya Ridwan. “Mengenai cara kerja itu nanti akan diajarkan oleh kepala staf marketing pada kamu, yang perlu aku jelasin di sini cara bersikap dan ketentuan di kantor. Untuk bersikap aku rasa juga kamu udah faham karena memang sikapmu sangat santun dan sopan walaupun sebelumnya bekerja di lingkungan pasar, tinggal saja menurutku dengan ketentuan yang berlaku di kantor,” jawab Aldi. “Ketentuan yang seperti apa itu, Ba
Sang fajar telah menyingsing di ufuk timur, meskipun beberapa menit yang lalu sempat malu-malu menampakan diri karena di selimuti kabut. Meskipun belum terang namun suasana Kota Jakarta sudah mulai sibuk dengan banyaknya kendaraan roda empat dan roda dua berlalu-lalang di jalan raya, umumnya mereka mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Ibu Kota itu. Randi, Aldi dan Gita telah berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Sementara Ridwan masih belum ke luar dari kamarnya karena mesti mengenakan pakaian kerja untuk ke kantor, agak kerepotan memang karena ia tidak terbiasa mengenakan pakaian rapi seperti itu. Kemeja putih panjang di pasangkan dengan celana bahan berwarna biru dongker yang di serasikan pula dengan blazer yang juga berwarna biru dongker serta memakai dasi, penampilan Ridwan benar-benar sangat tampan membuat Kakak angkatnya di meja makan terpukau. “Wah, perfect sekali kamu Ridwan mengenakan pakaian seperti itu,” puji Aldi yang juga berpakaian al
“Mari Bang, sekarang aku antar menemui kepala bagian marketing,” sambung Anggelina, Ridwan mengangguk dan mengikuti kembali langkah Anggelina menuju ruangan lain yang berada 3 lantai di bawahnya. Di bangunan kantor yang terdiri dari puluhan lantai itu lantai paling atas adalah ruangan direktur beserta bawahanya, satu tingkat di bawahnya bagian keuangan lalu bagian produksi, baru lah bagian marketing di mana nanti Ridwan akan di tempatkan di sana. Perusahaan yang di pimpin Anggelina memang salah satu perusahaan yang terbesar di kota itu, jumlah karyawannya ada ratusan orang meliputi segala bidang termasuk buruh di pabrik tempat memproduksi produk dari perusahaan itu. “Tok..! Tok..! Tok..!” “Ya silahkan masuk, pintu tidak dikunci,” sahut seorang wanita di dalam ruangan itu, Anggelina pun membuka pintu ruangan itu. Mengetahui jika sosok yang datang adalah direktur perusahaan, sosok wanita cantik berumur lebih tua dari Anggelina yang tadi duduk langsung berdiri dan menyambut kedatang
“Tidak salah dengan penilaian Papa terhadap Bang Ridwan..” “Pak Wijaya menilai saya bagaimana Bu?” potong Ridwan. “Nah, mulai lagi kan pakai bahasa resmi di lingkungan kantor?” “Eh iya, maaf Anggelina. Aku terbawa-bawa saat bicara dengan Bu Clara tadi,” ujar Ridwan diiringi senyumnya. “Hemmm, Papa menilai sosok Bang Ridwan adalah pria yang jujur dan pekerja keras. Akan mudah bagi Bang Ridwan untuk beradaptasi dengan yang lainnya di kantor, dan itu terbukti dengan cepat Bang Ridwan mengerti apa yang diarahkan oleh Bu Clara,” tutur Anggelina menjelaskan tentang penilaian dari Papanya itu terhadap Ridwan. “Masa Pak Wijaya menilaiku begitu, Anggelina? Padahal kami belum pernah bertemu,” Ridwan merasa heran. “Papa itu jam terbangnya di dunia perusahaan udah tinggi Bang, jadi Papa juga dapat menilai mana sosok karyawan yang memiliki potensi lebih mana yang tidak.” “Oh begitu, aku jadi kagum dengan sosok Pak Wijaya. Mendengar penjelasan Anggelina terhadapnya, ternyata beliau juga seor