“Hemmm, maaf Anggelina soalnya aku belum pernah datang ke restoran ini jadi aku bingung mau pesan apa. Makanya aku serahin aja apa yang Anggelina pesan itu pula yang aku pesan,” ujar Ridwan polos apa adanya, dan itu membuat Anggelina menahan tawanya dengan mengulum senyum. Anggelina pun memesan menu yang ia pilihkan itu dengan memanggil salah seorang pelayan restoran mewah itu, ia masih tersenyum karena makin kagum pada pria tampan kharismatik di depannya. Menurutnya satu lagi kelebihan yang dimiliki Ridwan selain jujur, tampan, dan baik yaitu apa adanya tidak jaim dan sok-sokan. Melihat Anggelina yang senyum-senyum sendiri Ridwan pun jadi penasaran, apa gerangan yang tengah dipikirkan wanita cantik duduk di depannya itu. “Apa penampilanku di sini terlihat lucu ya, Anggelina?” tanya Ridwan membuat Anggelina tersentak dari rasa kagum yang membawanya seperti melamun dan senyum-senyum sendiri. “Oh nggak kok, Bang. Aku hanya lagi teringat sesuatu yang membuatku terlihat senyum-senyum s
Cukup lama Anggelina tertawa happy hingga membuat Ridwan risih sendiri karena banyaknya pasang mata di restoran mewah itu yang mengarah kepada mereka, melihat Anggelina tak perduli dengan situasi di sekitar mereka itu Ridwan pun akhirnya enjoy saja. “Ternyata Bang Ridwan lucu juga orangnya, aku nggak pernah tertawa begini sebelumnya terlebih di tempat seperti ini,” sambung Anggelina yang telah meredakan tawanya hanya menyisakan senyum saja. “Emangnya apa yang aku katakan tadi lucu ya? Perasaan nggak tuh, aku ngomong gitu karena memang kepikiran sebelumnya bagaimana cara menggunakan peralatan makan seperti pisau untuk menu yang di pesan tadi,” kembali Ridwan bicara apa adanya yang ia pikirkan. “Hemmm, itulah yang membuat lucu. Bang Ridwan blak-blakan aja kalau memang belum pernah makan di restoran ini dan belum tahu cara makan di sini,” ujar Anggelina. “He..he..he..! Maklum Anggelina, aku terbiasa makan dengan nasi bungkus di toko. Kalaupun makan di luar itupun di rumah makan bukan
Aldi yang tadi berada di ruang tengah mengerjakan sesuatu seketika saja menuju ke ruang depan menghampiri mereka, agaknya dia mendengar soal pembicaraan Ridwan dengan istrinya itu. “Ridwan di tawar Anggelina kerja di kantornya malah dia bingung, Bang?” ujar Gita pada Aldi yang telah duduk di samping istrinya itu. “Ya aku sempat mendengar makanya aku ke sini, kenapa kamu musti bingung Ridwan? Ini kesempatan baik yang jarang di peroleh orang lain. Perusahaan Anggelina bukan perusahaan kaleng-kaleng, perusahaannya itu salah satu perusahaan terbesar di kota ini,” tutur Aldi. “Ridwan ditawarkan kerja di bagian marketing,” tambah Gita. “Wah, untuk perusahaan sebesar itu bekerja di bagian marketingnya gaji perbulannya sangat besar,” jelas Aldi, Ridwan masih saja belum mengerti akan dukungan Kakak angkatnya itu. “Jadi aku musti bagaimana Bang? Sementara aku masih bekerja dengan Bang Randi di toko Kak Gita,” tanya Ridwan. “Aku dan Bang Aldi justru menganjurkan kamu segera menerima tawara
Sang surya begitu leluasa memancarkan sinarnya di pagi sabtu yang cerah itu, hampir tak tampak setitik awanpun menodai kebiruan langit, burung-burung berkicau merdu bertengger di atas dahan, meskipun kawasan pedesaan tidak se asri dulu ditumbuhi berbagai macam pepohonan di hutan-hutan rimbun yang kini telah berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, namun udaranya masih tetap segar alami di bandingkan perkotaan yang terkena polusi asap pabrik dan ramainya kendaraan. Sama dengan kenagarian lainnya, di kenagarian P di pagi yang cerah itu para petani begitu semangat berangkat ke lahan persawahan dan perkebunan mereka, begitu pula dengan para pekerja di perkebunan milik perusahaan dan pekerja harian di lahan milik pribadi. Di sebuah rumah tidak jauh dari rumah keluarga Kintani, tampak seorang pria yang sedari tadi duduk di teras di depannya tepat di atas meja terlihat sebuah laptop dan segelas teh hangat berserta panganan ringan, mata pria itu nyaris tak berkedip saat memandang laya
Untuk beberapa saat Pak Wisnu tampak memegang ponselnya mencari nomor kontak Kintani, begitu ketemu Pak Wisnu langsung melakukan panggilan. “Hemmm, nomornya aktif. Berarti sekarang dia lagi istirahat dan berada di luar ruangan kampus,” sambung Pak Wisnu yang tampak senang karena panggilan di ponselnya terhubung. “Hallo, Assalamualaikum Ayah.” “Waalaikum salam, Kintani.” “Ada apa Ayah?” Kintani merasa penasaran karena memang Ayahnya jarang menelponnya jika tidak ada hal yang penting, terkecuali Bu Anggini yang hampir setiap hari menghubungi putrinya itu sekedar ingin ngobrol saja. “Ayah sekarang lagi di tempat Paman Gindo mu,” jawab Pak Wisnu. “Di rumah Paman Gindo?” makin penasaranlah Kintani mendengarnya. “Iya, Pamanmu akan mengadakan acara syukuran sebentar lagi. Romi lulus tes CPNS dan akan menjadi Guru tetap di SMP Negeri tempat ia menghonor setahun belakangan ini,” tutur Pak Wisnu. “Alhamdulillah,” ucap Kintani turut senang. “Nih, Ayah berikan HP nya pada Romi kalian ngo
Minggu malam sepulang dari toko Ridwan mengajak Aldi suami Gita untuk ngobrol di teras rumah, hari itu adalah hari terakhirnya kerja di toko Kakak angkatnya itu karena mulai besok pagi ia akan bekerja di kantor perusahaan Anggelina Wijaya. “Bagaimana Ridwan apakah kamu udah siap kerja di hari pertamamu besok pagi di kantor Anggelina itu?” tanya Aldi membuka obrolan mereka di teras rumah itu. “Itulah yang hendak aku tanyakan pada Bang Aldi, bagaimana saja cara kerja dan bersikap di kantor? Untuk saat ini aku baru mengetahui jenis dan cara berpakaian ala kantoran saja,” tanya Ridwan. “Mengenai cara kerja itu nanti akan diajarkan oleh kepala staf marketing pada kamu, yang perlu aku jelasin di sini cara bersikap dan ketentuan di kantor. Untuk bersikap aku rasa juga kamu udah faham karena memang sikapmu sangat santun dan sopan walaupun sebelumnya bekerja di lingkungan pasar, tinggal saja menurutku dengan ketentuan yang berlaku di kantor,” jawab Aldi. “Ketentuan yang seperti apa itu, Ba
Sang fajar telah menyingsing di ufuk timur, meskipun beberapa menit yang lalu sempat malu-malu menampakan diri karena di selimuti kabut. Meskipun belum terang namun suasana Kota Jakarta sudah mulai sibuk dengan banyaknya kendaraan roda empat dan roda dua berlalu-lalang di jalan raya, umumnya mereka mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Ibu Kota itu. Randi, Aldi dan Gita telah berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Sementara Ridwan masih belum ke luar dari kamarnya karena mesti mengenakan pakaian kerja untuk ke kantor, agak kerepotan memang karena ia tidak terbiasa mengenakan pakaian rapi seperti itu. Kemeja putih panjang di pasangkan dengan celana bahan berwarna biru dongker yang di serasikan pula dengan blazer yang juga berwarna biru dongker serta memakai dasi, penampilan Ridwan benar-benar sangat tampan membuat Kakak angkatnya di meja makan terpukau. “Wah, perfect sekali kamu Ridwan mengenakan pakaian seperti itu,” puji Aldi yang juga berpakaian al
“Mari Bang, sekarang aku antar menemui kepala bagian marketing,” sambung Anggelina, Ridwan mengangguk dan mengikuti kembali langkah Anggelina menuju ruangan lain yang berada 3 lantai di bawahnya. Di bangunan kantor yang terdiri dari puluhan lantai itu lantai paling atas adalah ruangan direktur beserta bawahanya, satu tingkat di bawahnya bagian keuangan lalu bagian produksi, baru lah bagian marketing di mana nanti Ridwan akan di tempatkan di sana. Perusahaan yang di pimpin Anggelina memang salah satu perusahaan yang terbesar di kota itu, jumlah karyawannya ada ratusan orang meliputi segala bidang termasuk buruh di pabrik tempat memproduksi produk dari perusahaan itu. “Tok..! Tok..! Tok..!” “Ya silahkan masuk, pintu tidak dikunci,” sahut seorang wanita di dalam ruangan itu, Anggelina pun membuka pintu ruangan itu. Mengetahui jika sosok yang datang adalah direktur perusahaan, sosok wanita cantik berumur lebih tua dari Anggelina yang tadi duduk langsung berdiri dan menyambut kedatang
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu