Sang fajar telah menyingsing di ufuk timur, meskipun beberapa menit yang lalu sempat malu-malu menampakan diri karena di selimuti kabut. Meskipun belum terang namun suasana Kota Jakarta sudah mulai sibuk dengan banyaknya kendaraan roda empat dan roda dua berlalu-lalang di jalan raya, umumnya mereka mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Ibu Kota itu. Randi, Aldi dan Gita telah berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Sementara Ridwan masih belum ke luar dari kamarnya karena mesti mengenakan pakaian kerja untuk ke kantor, agak kerepotan memang karena ia tidak terbiasa mengenakan pakaian rapi seperti itu. Kemeja putih panjang di pasangkan dengan celana bahan berwarna biru dongker yang di serasikan pula dengan blazer yang juga berwarna biru dongker serta memakai dasi, penampilan Ridwan benar-benar sangat tampan membuat Kakak angkatnya di meja makan terpukau. “Wah, perfect sekali kamu Ridwan mengenakan pakaian seperti itu,” puji Aldi yang juga berpakaian al
“Mari Bang, sekarang aku antar menemui kepala bagian marketing,” sambung Anggelina, Ridwan mengangguk dan mengikuti kembali langkah Anggelina menuju ruangan lain yang berada 3 lantai di bawahnya. Di bangunan kantor yang terdiri dari puluhan lantai itu lantai paling atas adalah ruangan direktur beserta bawahanya, satu tingkat di bawahnya bagian keuangan lalu bagian produksi, baru lah bagian marketing di mana nanti Ridwan akan di tempatkan di sana. Perusahaan yang di pimpin Anggelina memang salah satu perusahaan yang terbesar di kota itu, jumlah karyawannya ada ratusan orang meliputi segala bidang termasuk buruh di pabrik tempat memproduksi produk dari perusahaan itu. “Tok..! Tok..! Tok..!” “Ya silahkan masuk, pintu tidak dikunci,” sahut seorang wanita di dalam ruangan itu, Anggelina pun membuka pintu ruangan itu. Mengetahui jika sosok yang datang adalah direktur perusahaan, sosok wanita cantik berumur lebih tua dari Anggelina yang tadi duduk langsung berdiri dan menyambut kedatang
“Tidak salah dengan penilaian Papa terhadap Bang Ridwan..” “Pak Wijaya menilai saya bagaimana Bu?” potong Ridwan. “Nah, mulai lagi kan pakai bahasa resmi di lingkungan kantor?” “Eh iya, maaf Anggelina. Aku terbawa-bawa saat bicara dengan Bu Clara tadi,” ujar Ridwan diiringi senyumnya. “Hemmm, Papa menilai sosok Bang Ridwan adalah pria yang jujur dan pekerja keras. Akan mudah bagi Bang Ridwan untuk beradaptasi dengan yang lainnya di kantor, dan itu terbukti dengan cepat Bang Ridwan mengerti apa yang diarahkan oleh Bu Clara,” tutur Anggelina menjelaskan tentang penilaian dari Papanya itu terhadap Ridwan. “Masa Pak Wijaya menilaiku begitu, Anggelina? Padahal kami belum pernah bertemu,” Ridwan merasa heran. “Papa itu jam terbangnya di dunia perusahaan udah tinggi Bang, jadi Papa juga dapat menilai mana sosok karyawan yang memiliki potensi lebih mana yang tidak.” “Oh begitu, aku jadi kagum dengan sosok Pak Wijaya. Mendengar penjelasan Anggelina terhadapnya, ternyata beliau juga seor
“Assalamualaikum,” ucap Kintani saat telah berada di depan pintu rumah kediaman Pak Arif. “Waalaikum salam, mari silahkan masuk adik-adik mahasiswa,” balas Pak Arif kemudian mempersilahkan rombongan Kintani yang terdiri dari 7 orang itu masuk ke rumah. “Benarkah ini rumah Wali Nagari Koto Tuo?” tanya Kintani yang telah berada di ruang tamu bersama 6 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran lainnya. “Benar aku lah Wali Nagarinya,” ujar Pak Arif, kemudian Kintani dan 6 orang anggota kelompoknya memperkenalkan diri begitu pula sebaliknya dengan Wali Nagari Koto Tuo itu. “Adik-adik mahasiswa inikah yang beberapa hari yang lalu mengirimkan surat permohonan izin mengadakan KKN di kenagarian kami ini?” tanya Pak Arif. “Benar Pak, dan maaf kami tidak menuliskan nama Bapak di surat itu hanya Kepala Wali Nagari Koto Tuo saja. Maklum kami baru mengetahui nama Pak Arif sekarang,” ucap Kintani. “Nggak apa-apa Dik Kintani, yang terpenting surat itu jelas alamat dan tujuannya kepada siapa.” “Iya P
Sore itu di saat waktu istirahat kegiatan KKN begitu pula setelah dokter Hardi pulang dinas dari puskemas, ia mendatangi posko para mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas A itu. Kedatangan dokter Hardi sebenarnya ingin menemui Kintani, hingga setiba di posko langsung meminta waktu mahasiswi cantik Fakultas Kedokteran itu untuk ngobrol di depan posko. “Ada apa, Dok?” “Nggak ada apa-apa sih, pengen ngobrol aja. Oh ya, gimana kegiatan hari ini kebetulan tadi udah agak siang dapat mendampingi kalian?” ujar doker Hardi sembari balik bertanya pada Kintani. “Alhamdulillah, lancar-lancar saja Dok.” “Jangan panggil Dok dong, kan kita ngobrol di sini bukan lagi mengadakan penyuluhan pada masyarakat,” pinta dokter Hardi. “Oh ya udah, kalau gitu aku panggil Bang Hardi aja ya?” “Nah, gitu kan agak santai kedengarannya,” ulas dokter Hardi senang. “Bang Hardi udah lama tugas di puskesmas di kenagarian ini?” tanya Kintani. “Lebih kurang 1 setengah tahunan lah, setelah sekitar setahun sebel
Di Jakata selepas waktu magrib Ridwan bersenda gurau dengan Nisa di ruang depan, si kecil cantik itu kian dekat saja dengan Ridwan hingga setiap kali Ridwan pulang dari kantor Nisa selalu menemui Om nya itu di kamar, bahkan dengan susah membujuknya untuk mandi ketika waktu magrib akan tiba. Tak lama Aldi dan Gita datang bergabung ke ruangan depan itu, mereka nampak senyum-senyum saja melihat putrinya begitu asyik bersenda gurau dengan Ridwan. “Tuh, ada Mama dan Papa. Kita udahan dulu mainnya yang Nisa,” ujar Ridwan mengajak Nisa berhenti bermain di ruangan depan rumah itu. “Ntar lagi lah Om, Nisa masih pengen main.” “Besok kan bisa di lanjutin mainnya Nak,” bujuk Gita. “Iya, besok kita lanjutin mainnya ya? Sekarang Om mau ngobrol dulu dengan Mama dan Papa Nisa,” tambah Ridwan. “Iya deh, Om. Nisa beresin dulu mainannya, besok kita main lagi ya?” dengan bijaknya Nisa bicara lalu membereskan sendiri mainannya dari ruang depan itu membawanya ke kamar, Aldi dan Gita hanya geleng-gele
“Bang Hardi berarti sering sekali makan di sini, ya?” “Ya, kadang juga makan siang.” Pelayan rumah makan itu pun datang membawa semua jenis menu ala khas masakan Minang, Kintani sampai bingung harus memilih yang mana semuanya mengundang selera dan dari aromanya saja menu masakan itu sudah tercium bakal lezat. Tak menunggu waktu lama lagi mereka berdua pun menyantap hidangan yang tersedia di meja, berikut minuman yang memang harus mereka pesan sesuai selera berupa berbagai jenis jus, teh, kopi dan jenis minuman dingin lainnya. Selesai makan mereka pun berpindah tempat ke samping rumah makan itu yang sengaja dibuat untuk duduk-duduk santai berada tepat di atas lahan persawahan, tempat itu juga berbentuk huruf U melingkari bangunan rumah makan. “Nggak terasa udah 2 minggu kegiatan KKN ini dilaksanakan ya, Kintani?” “Ya Bang.” “Bagaimana pandanganmu dengan kesadaran masyarakat di kenagarian ini mengenai kesehatan?” tanya Hardi lalu menyeruput jus yang dipesannya sehabis makan tadi.
Promo produk baru perusahaan yang dilakukan Clara di dampingi Ridwan pada beberapa Stasiun Televisi Nasional beberapa hari yang lalu mendapatkan apresiasi dari perusahaan, karena produk baru itu banyak diminati konsumen dan tentunya perusahaan mendapatkan hasil penjualan yang tak sedikit. Anggelina memang selalu akan memberi bonus pada bagian manapun juga di perusahaannya yang telah berhasil menciptakan produk baru serta menaikan omset penjualan produk itu, begitu pula pada Clara dan Ridwan. Siang itu Anggelina meminta kepala bagian keuangan perusahaan untuk menghadap guna membahas tentang besaran bonus yang akan diberikan pada Clara dan juga Ridwan yang telah berhasil mempromosikan produk baru perusahaan itu dengan sangat baik, sebelumnya juga Anggelina telah memberi bonus pada bagian produksi. “Selamat siang, Bu.” “Siang, silahkan duduk Bu Vera,” ujar Anggelina. “Ibu meminta saya untuk menghadap, apakah ini ada kaitannya dengan omset penjualan produk baru perusahaan yang bebera