“Assalamualaikum,” ucap Kintani saat telah berada di depan pintu rumah kediaman Pak Arif. “Waalaikum salam, mari silahkan masuk adik-adik mahasiswa,” balas Pak Arif kemudian mempersilahkan rombongan Kintani yang terdiri dari 7 orang itu masuk ke rumah. “Benarkah ini rumah Wali Nagari Koto Tuo?” tanya Kintani yang telah berada di ruang tamu bersama 6 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran lainnya. “Benar aku lah Wali Nagarinya,” ujar Pak Arif, kemudian Kintani dan 6 orang anggota kelompoknya memperkenalkan diri begitu pula sebaliknya dengan Wali Nagari Koto Tuo itu. “Adik-adik mahasiswa inikah yang beberapa hari yang lalu mengirimkan surat permohonan izin mengadakan KKN di kenagarian kami ini?” tanya Pak Arif. “Benar Pak, dan maaf kami tidak menuliskan nama Bapak di surat itu hanya Kepala Wali Nagari Koto Tuo saja. Maklum kami baru mengetahui nama Pak Arif sekarang,” ucap Kintani. “Nggak apa-apa Dik Kintani, yang terpenting surat itu jelas alamat dan tujuannya kepada siapa.” “Iya P
Sore itu di saat waktu istirahat kegiatan KKN begitu pula setelah dokter Hardi pulang dinas dari puskemas, ia mendatangi posko para mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas A itu. Kedatangan dokter Hardi sebenarnya ingin menemui Kintani, hingga setiba di posko langsung meminta waktu mahasiswi cantik Fakultas Kedokteran itu untuk ngobrol di depan posko. “Ada apa, Dok?” “Nggak ada apa-apa sih, pengen ngobrol aja. Oh ya, gimana kegiatan hari ini kebetulan tadi udah agak siang dapat mendampingi kalian?” ujar doker Hardi sembari balik bertanya pada Kintani. “Alhamdulillah, lancar-lancar saja Dok.” “Jangan panggil Dok dong, kan kita ngobrol di sini bukan lagi mengadakan penyuluhan pada masyarakat,” pinta dokter Hardi. “Oh ya udah, kalau gitu aku panggil Bang Hardi aja ya?” “Nah, gitu kan agak santai kedengarannya,” ulas dokter Hardi senang. “Bang Hardi udah lama tugas di puskesmas di kenagarian ini?” tanya Kintani. “Lebih kurang 1 setengah tahunan lah, setelah sekitar setahun sebel
Di Jakata selepas waktu magrib Ridwan bersenda gurau dengan Nisa di ruang depan, si kecil cantik itu kian dekat saja dengan Ridwan hingga setiap kali Ridwan pulang dari kantor Nisa selalu menemui Om nya itu di kamar, bahkan dengan susah membujuknya untuk mandi ketika waktu magrib akan tiba. Tak lama Aldi dan Gita datang bergabung ke ruangan depan itu, mereka nampak senyum-senyum saja melihat putrinya begitu asyik bersenda gurau dengan Ridwan. “Tuh, ada Mama dan Papa. Kita udahan dulu mainnya yang Nisa,” ujar Ridwan mengajak Nisa berhenti bermain di ruangan depan rumah itu. “Ntar lagi lah Om, Nisa masih pengen main.” “Besok kan bisa di lanjutin mainnya Nak,” bujuk Gita. “Iya, besok kita lanjutin mainnya ya? Sekarang Om mau ngobrol dulu dengan Mama dan Papa Nisa,” tambah Ridwan. “Iya deh, Om. Nisa beresin dulu mainannya, besok kita main lagi ya?” dengan bijaknya Nisa bicara lalu membereskan sendiri mainannya dari ruang depan itu membawanya ke kamar, Aldi dan Gita hanya geleng-gele
“Bang Hardi berarti sering sekali makan di sini, ya?” “Ya, kadang juga makan siang.” Pelayan rumah makan itu pun datang membawa semua jenis menu ala khas masakan Minang, Kintani sampai bingung harus memilih yang mana semuanya mengundang selera dan dari aromanya saja menu masakan itu sudah tercium bakal lezat. Tak menunggu waktu lama lagi mereka berdua pun menyantap hidangan yang tersedia di meja, berikut minuman yang memang harus mereka pesan sesuai selera berupa berbagai jenis jus, teh, kopi dan jenis minuman dingin lainnya. Selesai makan mereka pun berpindah tempat ke samping rumah makan itu yang sengaja dibuat untuk duduk-duduk santai berada tepat di atas lahan persawahan, tempat itu juga berbentuk huruf U melingkari bangunan rumah makan. “Nggak terasa udah 2 minggu kegiatan KKN ini dilaksanakan ya, Kintani?” “Ya Bang.” “Bagaimana pandanganmu dengan kesadaran masyarakat di kenagarian ini mengenai kesehatan?” tanya Hardi lalu menyeruput jus yang dipesannya sehabis makan tadi.
Promo produk baru perusahaan yang dilakukan Clara di dampingi Ridwan pada beberapa Stasiun Televisi Nasional beberapa hari yang lalu mendapatkan apresiasi dari perusahaan, karena produk baru itu banyak diminati konsumen dan tentunya perusahaan mendapatkan hasil penjualan yang tak sedikit. Anggelina memang selalu akan memberi bonus pada bagian manapun juga di perusahaannya yang telah berhasil menciptakan produk baru serta menaikan omset penjualan produk itu, begitu pula pada Clara dan Ridwan. Siang itu Anggelina meminta kepala bagian keuangan perusahaan untuk menghadap guna membahas tentang besaran bonus yang akan diberikan pada Clara dan juga Ridwan yang telah berhasil mempromosikan produk baru perusahaan itu dengan sangat baik, sebelumnya juga Anggelina telah memberi bonus pada bagian produksi. “Selamat siang, Bu.” “Siang, silahkan duduk Bu Vera,” ujar Anggelina. “Ibu meminta saya untuk menghadap, apakah ini ada kaitannya dengan omset penjualan produk baru perusahaan yang bebera
“Waalaikum salam,” sahut Ridwan yang memang saat itu berada di ruang depan. “Maaf, apakah betul ini alamat Pak Ridwan yang bekerja di perusahaan milik Bu Anggelina?” tanya supir mobil pick-up itu. “Ya, benar Pak. Aku yang sendiri orang, mari silahkan masuk dulu Pak,” ajak Ridwan. “Nggak usah Mas Ridwan, saya hanya singgah sebentar untuk mengantarkan barang dari Bu Anggelina yang katanya sebagai hadiah buat Mas Ridwan. Mari saya tunjukan barangnya,” supir pick-up itu balik mengajak Ridwan untuk menuju mobilnya yang berada di halaman, Ridwan pun mengikuti pria itu ke mobil pick-up. Supir dan rekannya yang tadi menunggu di samping mobil segera naik ke atas membuka bungkusan barang yang mereka bawa, Ridwan sangat terkejut setelah bungkusan itu di buka. “ Honda CBR 250 RR...?!” serunya. “Benar Mas Ridwan, Bu Anggelina meminta kami mengantar sepeda motor ini ke sini. Sebentar kami akan turunkan dulu,” ujar supir pick-up, kemudian dia dengan rekannya menuruni sepeda motor Honda CBR 250
Selepas sholat zhuhur di kamarnya, Ridwan pamitan pada Gita menemui Anggelina di rumahnya seperti yang ia janjikan tadi akan mengajak atasan pemilik perusahaan tempat ia bekerja itu untuk jalan sembari ngobrol di luar. Ridwan memakai motor barunya itu, dan beberapa menit kemudian tibalah ia di depan pagar pintu masuk kediaman wanita cantik bermata agak sipit itu. “Eh, Mas Ridwan,” sapa satpam penjaga yang sudah mengenal Ridwan sambil membukakan pintu pagar itu. “Aku mau ketemu Bu Anggelina,” ujar Ridwan. “Ya Mas silahkan masuk,” ulas satpam itu ramah. “Terima kasih Pak,” Ridwan pun membawa serta masuk sepeda motornya hingga ia parkir di samping kanan tepat di teras bagasi rumah mewah itu. Ridwan lalu berjalan ke arah pintu dan setiba di sana memencet bel yang ada di sisi kanan pintu, tak lama seorang wanita pembantu rumah itu pun datang dan membuka pintu. “Eh, Mas Ridwan rupanya.” “Iya Bi, Anggelina nya ada?” “Ada Mas, silahkan masuk sebentar aku panggilin,” ujar pembantu itu
“Ya udah nanti kalau mau pulangnya di pesan, penasaran aku pengen coba juga,” ulas Anggelina, Ridwan hanya mengangguk. “Katanya tadi ada yang mau dibicarakan, soal apa itu Bang? Karena tumben-tumbennya ngajak aku ketemuan,” sambung Anggelina. “Oh ya, aku ngajak Anggelina ketemuan dan jalan ke sini di samping ingin balas traktiran juga ada yang ingin aku tanyakan perihal gajiku,” ujar Ridwan. “Gaji Bang Ridwan di kantor maksudnya?” Ridwan hanya mengangguk. “Memangnya ada masalah apa dengan gaji Bang Ridwan itu? Kurang atau lambat masuknya ke rekening?” sambung Anggelina. “Nggak lambat dan kurang kok, justru sebalik aku merasa tak wajar gajiku yang hanya sebagai staf marketing digaji sebesar itu. Aku pernah bertanya pada Bang Aldi suami Kak Gita yang juga bekerja di kantor, jawabnya gaji seorang staf marketing 5 sampai 7 juta per bulan di perusahaan menengah. Sementara untuk perusahaan sebesar perusahaan yang Anggelina pimpin berkisar antara 10 hingga 12 jutaan per bulannya, kenapa