Selepas sholat zhuhur di kamarnya, Ridwan pamitan pada Gita menemui Anggelina di rumahnya seperti yang ia janjikan tadi akan mengajak atasan pemilik perusahaan tempat ia bekerja itu untuk jalan sembari ngobrol di luar. Ridwan memakai motor barunya itu, dan beberapa menit kemudian tibalah ia di depan pagar pintu masuk kediaman wanita cantik bermata agak sipit itu. “Eh, Mas Ridwan,” sapa satpam penjaga yang sudah mengenal Ridwan sambil membukakan pintu pagar itu. “Aku mau ketemu Bu Anggelina,” ujar Ridwan. “Ya Mas silahkan masuk,” ulas satpam itu ramah. “Terima kasih Pak,” Ridwan pun membawa serta masuk sepeda motornya hingga ia parkir di samping kanan tepat di teras bagasi rumah mewah itu. Ridwan lalu berjalan ke arah pintu dan setiba di sana memencet bel yang ada di sisi kanan pintu, tak lama seorang wanita pembantu rumah itu pun datang dan membuka pintu. “Eh, Mas Ridwan rupanya.” “Iya Bi, Anggelina nya ada?” “Ada Mas, silahkan masuk sebentar aku panggilin,” ujar pembantu itu
“Ya udah nanti kalau mau pulangnya di pesan, penasaran aku pengen coba juga,” ulas Anggelina, Ridwan hanya mengangguk. “Katanya tadi ada yang mau dibicarakan, soal apa itu Bang? Karena tumben-tumbennya ngajak aku ketemuan,” sambung Anggelina. “Oh ya, aku ngajak Anggelina ketemuan dan jalan ke sini di samping ingin balas traktiran juga ada yang ingin aku tanyakan perihal gajiku,” ujar Ridwan. “Gaji Bang Ridwan di kantor maksudnya?” Ridwan hanya mengangguk. “Memangnya ada masalah apa dengan gaji Bang Ridwan itu? Kurang atau lambat masuknya ke rekening?” sambung Anggelina. “Nggak lambat dan kurang kok, justru sebalik aku merasa tak wajar gajiku yang hanya sebagai staf marketing digaji sebesar itu. Aku pernah bertanya pada Bang Aldi suami Kak Gita yang juga bekerja di kantor, jawabnya gaji seorang staf marketing 5 sampai 7 juta per bulan di perusahaan menengah. Sementara untuk perusahaan sebesar perusahaan yang Anggelina pimpin berkisar antara 10 hingga 12 jutaan per bulannya, kenapa
“Aku kelilipan, ada sesuatu barusan masuk ke mataku..!” seru Kintani. “Dila, coba kamu tiup mata Kintani sebelah kiri sepertinya tadi aku melihat ada arang jerami yang menempel di sana,” dokter Hardi memberitahu dan meminta Dila meniup mata salah satu mata Kintani, karena dia segan untuk melakukannya takut nanti Kintani tak merasa nyaman. Kintani menghadapkan wajahnya ke belakang di mana Dila dan Eva duduk di dalam mobil itu, seperti yang di lakukan dokter Hardi tadi Dila membuka mata kiri Kintani dengan kedua jempol tangannya bedanya kalau dokter Hardi tadi hanya melihat saja namun Dila melihat dan meniupnya. Benar saja setelah beberapa kali ditiup oleh Dila, sebuah benda hitam berupa arang kulit jerami berukuran sangat kecil ke luar berserta beberapa tetes air mata di pelipis mata bagian bawah. Dokter Hardi memberikan sehelai tisu kepada Dila, kemudian menyeka pelipis mata Kintani bagian bawah itu. “Arang kulit jerami rupanya,” ujar Dila memperlihatkan benda itu di tisu yang ia
Setibanya di posko setelah Kintani dan kedua sahabatnya turun dari mobil pajero sport itu, dokter Hardi kembali ke rumah dinasnya. Baru saja Kintani dan kedua sahabatnya hendak masuk ke rumah yang dijadikan posko kegiatan KKN itu, tiba-tiba dari arah kanan di raya depan posko datang puluhan wanita yang sebagian mereka adalah Ibu-ibu rumah tangga dan beberapa gadis kenagarian Koto Tuo itu. Mereka langsung berkerumun di depan posko KKN sambil berteriak-teriak, layaknya seperti rombongan mahasiswa yang melakukan demo dengan mendatangi suatu tempat yang menjadi target mereka. “Usir dia dari kampung ini..! Usir dia....!” seru rombongan Ibu-ibu dan para gadis kampung itu. Tentu hal itu mengundang kecemasan dan ketakutan Kintani dan semua rekannya yang ada di posko itu, mereka tak tahu harus berbuat apa karena tak mengerti tiba-tiba saja posko mereka didatangi rombongan Ibu-ibu dan para gadis kampung. “Keluar kau...! Jangan sembunyi di dalam..!” seru Bu Santi salah seorang provokator rom
“Benar foto ini kamu yang mengambilnya lalu mengirimnya pada Bu Santi?” tanya Pak Arif pada Yeni yang telah berada di depan rombongan Ibu-ibu itu. “Benar Pak,” jawabnya singkat sembari melirik cemas pada dokter Hendra dan Kintani. “Kapan kamu mengambil foto ini?” “Tadi siang Pak, di jalan pinggiran persawahan sana.” “Kamu sendiri waktu hendak ke mana dan mau ke mana hingga tahu-tahu bisa mendapatkan foto ini?” Pak Arif kembali bertanya sambil memperlihatkan foto di handphone Bu Santi itu kepada Yeni. “Aku bareng Dora Pak, pulang dari Lembah Harau.” “Coba ceritakan selengkapnya kenapa sampai kamu mendapatkan foto ini,” Pak Arif mendesak Yeni bercerita secara detailnya. “Waktu kami pulang dari Lembah Harau dengan sepeda motor, tiba-tiba di jalan pinggiran persawahan itu kami lihat mobil dokter Hardi berhenti. Lalu kami pun berhenti dan melihat dokter Hardi dan wanita itu begituan di dalam mobil seperti yang ada di foto itu,” jelas Yeni. “Begituan bagaimana yang kamu maksud itu?”
Dokter Hardi menarik napas dalam-dalam karena tak menduga alasan gadis di depannya itu melakukan fitnahan yang hampir saja membuat kegiatan KKN Kintani di kenagarian Koto Tua yang tersisa sebulan lagi itu berantakan, karena rasa cemburu semata sebab gadis itu jatuh hati padanya. “Aku menyesal Bang telah melakukan ini, bukan saja aku yang mendapat malu tap juga seluruh warga kenagarian ini begitu pula dengan Pak Arif serta kedua orang tuaku yang pasti akan memarahiku setiba di rumah nanti,” sambung Dora menghiba dan menyesal. “Sudahlah tak perlu kamu sesali yang telah terjadi ini, dan tak perlu juga malu serta kuatir karena kami telah memaafkanmu. Sekarang pulanglah dan ceritakan semuanya dengan jujur pula pada kedua orang tuamu di rumah,” bujuk dokter Hardi sembari tersenyum lega karena telah mengetahui penyebab Dora melukan semua itu. “Iya Bang, aku tahu Ayah dan Ibu pasti sangat marah dengan kejadian ini. Tapi nggak apa-apa, aku udah siap menerima resiko itu,” Dora pasrah karena
“Bukannya nyerah Ayah, tapi zaman sekarang sangat jauh berbeda dengan zaman dulu. Di mana sekarang udah nggak zaman lagi main jodoh-jodohan, pasangan yang akan melangsungkan pernikahan minimal mereka sebelumnya telah menjalin hubungan dan saling mengenal satu dengan yang lainnya lebih dalam lagi,” tutur Romi menjelaskan. “Kamu tahu nggak Romi, Kintani itu pewaris harta warisan keluarga Wisnu. Jika kelak kamu menjadi suaminya, masa depanmu akan lebih cemerlang. Ayah dan Ibumu tentu juga akan ikut senang, kamu jangan sia-siakan kesempatan itu.” “Meskipun Kintani itu keponakan kandung Ayah, akan tetapi Ayah tak boleh bertindak semaunya saja.” “Maksudmu apa Romi berkata seperti itu pada Ayah? Hitam-putih Kintani Ayah yang akan menentukannya karena Ayah ini Paman kandungnya, di dalam adat kita sudah jelas mengharuskan seorang keponakan patuh kepada Pamannya,” nada suara Pak Gindo agak keras. “Benar Ayah, aku tahu hal itu. Akan tetapi perkembangan zaman yang kian modern ini juga tak bis
Pak Wisnu langsung palingkan wajahnya pada Bu Anggini, seolah-olah ia ingin bertanya apa yang musti dijawab atau menawarkan istrinya itu untuk menjawab usulan dari Pak Gindo. “Kami setuju-setuju aja Uda Gindo, tapi tentunya kami nggak bisa memutuskannya sendiri. Kami harus bertanya dulu pada Kintani mengenai hal itu,” ujar Bu Anggini. “Loh, kaliankan orang tuanya. Pasti Kintani akan ikut saja dengan keputusan kalian nantinya,” ulas Pak Gindo. “Ya nggak bisa begitu Uda Gindo, sekarang zaman udah semakin maju. Anak-anak sekarang nggak bisa lagi harus selalu menuruti keinginan kita, apalagi berkaitan dengan masalah perjodohan.” “Di dalam adat-istiadat kita nggak ada yang berubah baik itu di masa lalu maupun masa sekarang ini, seorang anak harus tetap patuh pada kedua orang tuanya. Kalau membangkang dia tentunya menjadi anak yang durhaka,” jelas Pak Gindo. “Ayah, sebaiknya hal ini jangan Ayah paksakan Paman Wisnu dan Bibi Anggini untuk menjawabnya sekarang. Ada baiknya memang Kintani