Untuk beberapa saat Pak Wisnu tampak memegang ponselnya mencari nomor kontak Kintani, begitu ketemu Pak Wisnu langsung melakukan panggilan. “Hemmm, nomornya aktif. Berarti sekarang dia lagi istirahat dan berada di luar ruangan kampus,” sambung Pak Wisnu yang tampak senang karena panggilan di ponselnya terhubung. “Hallo, Assalamualaikum Ayah.” “Waalaikum salam, Kintani.” “Ada apa Ayah?” Kintani merasa penasaran karena memang Ayahnya jarang menelponnya jika tidak ada hal yang penting, terkecuali Bu Anggini yang hampir setiap hari menghubungi putrinya itu sekedar ingin ngobrol saja. “Ayah sekarang lagi di tempat Paman Gindo mu,” jawab Pak Wisnu. “Di rumah Paman Gindo?” makin penasaranlah Kintani mendengarnya. “Iya, Pamanmu akan mengadakan acara syukuran sebentar lagi. Romi lulus tes CPNS dan akan menjadi Guru tetap di SMP Negeri tempat ia menghonor setahun belakangan ini,” tutur Pak Wisnu. “Alhamdulillah,” ucap Kintani turut senang. “Nih, Ayah berikan HP nya pada Romi kalian ngo
Minggu malam sepulang dari toko Ridwan mengajak Aldi suami Gita untuk ngobrol di teras rumah, hari itu adalah hari terakhirnya kerja di toko Kakak angkatnya itu karena mulai besok pagi ia akan bekerja di kantor perusahaan Anggelina Wijaya. “Bagaimana Ridwan apakah kamu udah siap kerja di hari pertamamu besok pagi di kantor Anggelina itu?” tanya Aldi membuka obrolan mereka di teras rumah itu. “Itulah yang hendak aku tanyakan pada Bang Aldi, bagaimana saja cara kerja dan bersikap di kantor? Untuk saat ini aku baru mengetahui jenis dan cara berpakaian ala kantoran saja,” tanya Ridwan. “Mengenai cara kerja itu nanti akan diajarkan oleh kepala staf marketing pada kamu, yang perlu aku jelasin di sini cara bersikap dan ketentuan di kantor. Untuk bersikap aku rasa juga kamu udah faham karena memang sikapmu sangat santun dan sopan walaupun sebelumnya bekerja di lingkungan pasar, tinggal saja menurutku dengan ketentuan yang berlaku di kantor,” jawab Aldi. “Ketentuan yang seperti apa itu, Ba
Sang fajar telah menyingsing di ufuk timur, meskipun beberapa menit yang lalu sempat malu-malu menampakan diri karena di selimuti kabut. Meskipun belum terang namun suasana Kota Jakarta sudah mulai sibuk dengan banyaknya kendaraan roda empat dan roda dua berlalu-lalang di jalan raya, umumnya mereka mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Ibu Kota itu. Randi, Aldi dan Gita telah berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Sementara Ridwan masih belum ke luar dari kamarnya karena mesti mengenakan pakaian kerja untuk ke kantor, agak kerepotan memang karena ia tidak terbiasa mengenakan pakaian rapi seperti itu. Kemeja putih panjang di pasangkan dengan celana bahan berwarna biru dongker yang di serasikan pula dengan blazer yang juga berwarna biru dongker serta memakai dasi, penampilan Ridwan benar-benar sangat tampan membuat Kakak angkatnya di meja makan terpukau. “Wah, perfect sekali kamu Ridwan mengenakan pakaian seperti itu,” puji Aldi yang juga berpakaian al
“Mari Bang, sekarang aku antar menemui kepala bagian marketing,” sambung Anggelina, Ridwan mengangguk dan mengikuti kembali langkah Anggelina menuju ruangan lain yang berada 3 lantai di bawahnya. Di bangunan kantor yang terdiri dari puluhan lantai itu lantai paling atas adalah ruangan direktur beserta bawahanya, satu tingkat di bawahnya bagian keuangan lalu bagian produksi, baru lah bagian marketing di mana nanti Ridwan akan di tempatkan di sana. Perusahaan yang di pimpin Anggelina memang salah satu perusahaan yang terbesar di kota itu, jumlah karyawannya ada ratusan orang meliputi segala bidang termasuk buruh di pabrik tempat memproduksi produk dari perusahaan itu. “Tok..! Tok..! Tok..!” “Ya silahkan masuk, pintu tidak dikunci,” sahut seorang wanita di dalam ruangan itu, Anggelina pun membuka pintu ruangan itu. Mengetahui jika sosok yang datang adalah direktur perusahaan, sosok wanita cantik berumur lebih tua dari Anggelina yang tadi duduk langsung berdiri dan menyambut kedatang
“Tidak salah dengan penilaian Papa terhadap Bang Ridwan..” “Pak Wijaya menilai saya bagaimana Bu?” potong Ridwan. “Nah, mulai lagi kan pakai bahasa resmi di lingkungan kantor?” “Eh iya, maaf Anggelina. Aku terbawa-bawa saat bicara dengan Bu Clara tadi,” ujar Ridwan diiringi senyumnya. “Hemmm, Papa menilai sosok Bang Ridwan adalah pria yang jujur dan pekerja keras. Akan mudah bagi Bang Ridwan untuk beradaptasi dengan yang lainnya di kantor, dan itu terbukti dengan cepat Bang Ridwan mengerti apa yang diarahkan oleh Bu Clara,” tutur Anggelina menjelaskan tentang penilaian dari Papanya itu terhadap Ridwan. “Masa Pak Wijaya menilaiku begitu, Anggelina? Padahal kami belum pernah bertemu,” Ridwan merasa heran. “Papa itu jam terbangnya di dunia perusahaan udah tinggi Bang, jadi Papa juga dapat menilai mana sosok karyawan yang memiliki potensi lebih mana yang tidak.” “Oh begitu, aku jadi kagum dengan sosok Pak Wijaya. Mendengar penjelasan Anggelina terhadapnya, ternyata beliau juga seor
“Assalamualaikum,” ucap Kintani saat telah berada di depan pintu rumah kediaman Pak Arif. “Waalaikum salam, mari silahkan masuk adik-adik mahasiswa,” balas Pak Arif kemudian mempersilahkan rombongan Kintani yang terdiri dari 7 orang itu masuk ke rumah. “Benarkah ini rumah Wali Nagari Koto Tuo?” tanya Kintani yang telah berada di ruang tamu bersama 6 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran lainnya. “Benar aku lah Wali Nagarinya,” ujar Pak Arif, kemudian Kintani dan 6 orang anggota kelompoknya memperkenalkan diri begitu pula sebaliknya dengan Wali Nagari Koto Tuo itu. “Adik-adik mahasiswa inikah yang beberapa hari yang lalu mengirimkan surat permohonan izin mengadakan KKN di kenagarian kami ini?” tanya Pak Arif. “Benar Pak, dan maaf kami tidak menuliskan nama Bapak di surat itu hanya Kepala Wali Nagari Koto Tuo saja. Maklum kami baru mengetahui nama Pak Arif sekarang,” ucap Kintani. “Nggak apa-apa Dik Kintani, yang terpenting surat itu jelas alamat dan tujuannya kepada siapa.” “Iya P
Sore itu di saat waktu istirahat kegiatan KKN begitu pula setelah dokter Hardi pulang dinas dari puskemas, ia mendatangi posko para mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas A itu. Kedatangan dokter Hardi sebenarnya ingin menemui Kintani, hingga setiba di posko langsung meminta waktu mahasiswi cantik Fakultas Kedokteran itu untuk ngobrol di depan posko. “Ada apa, Dok?” “Nggak ada apa-apa sih, pengen ngobrol aja. Oh ya, gimana kegiatan hari ini kebetulan tadi udah agak siang dapat mendampingi kalian?” ujar doker Hardi sembari balik bertanya pada Kintani. “Alhamdulillah, lancar-lancar saja Dok.” “Jangan panggil Dok dong, kan kita ngobrol di sini bukan lagi mengadakan penyuluhan pada masyarakat,” pinta dokter Hardi. “Oh ya udah, kalau gitu aku panggil Bang Hardi aja ya?” “Nah, gitu kan agak santai kedengarannya,” ulas dokter Hardi senang. “Bang Hardi udah lama tugas di puskesmas di kenagarian ini?” tanya Kintani. “Lebih kurang 1 setengah tahunan lah, setelah sekitar setahun sebel
Di Jakata selepas waktu magrib Ridwan bersenda gurau dengan Nisa di ruang depan, si kecil cantik itu kian dekat saja dengan Ridwan hingga setiap kali Ridwan pulang dari kantor Nisa selalu menemui Om nya itu di kamar, bahkan dengan susah membujuknya untuk mandi ketika waktu magrib akan tiba. Tak lama Aldi dan Gita datang bergabung ke ruangan depan itu, mereka nampak senyum-senyum saja melihat putrinya begitu asyik bersenda gurau dengan Ridwan. “Tuh, ada Mama dan Papa. Kita udahan dulu mainnya yang Nisa,” ujar Ridwan mengajak Nisa berhenti bermain di ruangan depan rumah itu. “Ntar lagi lah Om, Nisa masih pengen main.” “Besok kan bisa di lanjutin mainnya Nak,” bujuk Gita. “Iya, besok kita lanjutin mainnya ya? Sekarang Om mau ngobrol dulu dengan Mama dan Papa Nisa,” tambah Ridwan. “Iya deh, Om. Nisa beresin dulu mainannya, besok kita main lagi ya?” dengan bijaknya Nisa bicara lalu membereskan sendiri mainannya dari ruang depan itu membawanya ke kamar, Aldi dan Gita hanya geleng-gele
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu