Sang surya begitu leluasa memancarkan sinarnya di pagi sabtu yang cerah itu, hampir tak tampak setitik awanpun menodai kebiruan langit, burung-burung berkicau merdu bertengger di atas dahan, meskipun kawasan pedesaan tidak se asri dulu ditumbuhi berbagai macam pepohonan di hutan-hutan rimbun yang kini telah berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, namun udaranya masih tetap segar alami di bandingkan perkotaan yang terkena polusi asap pabrik dan ramainya kendaraan. Sama dengan kenagarian lainnya, di kenagarian P di pagi yang cerah itu para petani begitu semangat berangkat ke lahan persawahan dan perkebunan mereka, begitu pula dengan para pekerja di perkebunan milik perusahaan dan pekerja harian di lahan milik pribadi. Di sebuah rumah tidak jauh dari rumah keluarga Kintani, tampak seorang pria yang sedari tadi duduk di teras di depannya tepat di atas meja terlihat sebuah laptop dan segelas teh hangat berserta panganan ringan, mata pria itu nyaris tak berkedip saat memandang laya
Untuk beberapa saat Pak Wisnu tampak memegang ponselnya mencari nomor kontak Kintani, begitu ketemu Pak Wisnu langsung melakukan panggilan. “Hemmm, nomornya aktif. Berarti sekarang dia lagi istirahat dan berada di luar ruangan kampus,” sambung Pak Wisnu yang tampak senang karena panggilan di ponselnya terhubung. “Hallo, Assalamualaikum Ayah.” “Waalaikum salam, Kintani.” “Ada apa Ayah?” Kintani merasa penasaran karena memang Ayahnya jarang menelponnya jika tidak ada hal yang penting, terkecuali Bu Anggini yang hampir setiap hari menghubungi putrinya itu sekedar ingin ngobrol saja. “Ayah sekarang lagi di tempat Paman Gindo mu,” jawab Pak Wisnu. “Di rumah Paman Gindo?” makin penasaranlah Kintani mendengarnya. “Iya, Pamanmu akan mengadakan acara syukuran sebentar lagi. Romi lulus tes CPNS dan akan menjadi Guru tetap di SMP Negeri tempat ia menghonor setahun belakangan ini,” tutur Pak Wisnu. “Alhamdulillah,” ucap Kintani turut senang. “Nih, Ayah berikan HP nya pada Romi kalian ngo
Minggu malam sepulang dari toko Ridwan mengajak Aldi suami Gita untuk ngobrol di teras rumah, hari itu adalah hari terakhirnya kerja di toko Kakak angkatnya itu karena mulai besok pagi ia akan bekerja di kantor perusahaan Anggelina Wijaya. “Bagaimana Ridwan apakah kamu udah siap kerja di hari pertamamu besok pagi di kantor Anggelina itu?” tanya Aldi membuka obrolan mereka di teras rumah itu. “Itulah yang hendak aku tanyakan pada Bang Aldi, bagaimana saja cara kerja dan bersikap di kantor? Untuk saat ini aku baru mengetahui jenis dan cara berpakaian ala kantoran saja,” tanya Ridwan. “Mengenai cara kerja itu nanti akan diajarkan oleh kepala staf marketing pada kamu, yang perlu aku jelasin di sini cara bersikap dan ketentuan di kantor. Untuk bersikap aku rasa juga kamu udah faham karena memang sikapmu sangat santun dan sopan walaupun sebelumnya bekerja di lingkungan pasar, tinggal saja menurutku dengan ketentuan yang berlaku di kantor,” jawab Aldi. “Ketentuan yang seperti apa itu, Ba
Sang fajar telah menyingsing di ufuk timur, meskipun beberapa menit yang lalu sempat malu-malu menampakan diri karena di selimuti kabut. Meskipun belum terang namun suasana Kota Jakarta sudah mulai sibuk dengan banyaknya kendaraan roda empat dan roda dua berlalu-lalang di jalan raya, umumnya mereka mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Ibu Kota itu. Randi, Aldi dan Gita telah berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Sementara Ridwan masih belum ke luar dari kamarnya karena mesti mengenakan pakaian kerja untuk ke kantor, agak kerepotan memang karena ia tidak terbiasa mengenakan pakaian rapi seperti itu. Kemeja putih panjang di pasangkan dengan celana bahan berwarna biru dongker yang di serasikan pula dengan blazer yang juga berwarna biru dongker serta memakai dasi, penampilan Ridwan benar-benar sangat tampan membuat Kakak angkatnya di meja makan terpukau. “Wah, perfect sekali kamu Ridwan mengenakan pakaian seperti itu,” puji Aldi yang juga berpakaian al
“Mari Bang, sekarang aku antar menemui kepala bagian marketing,” sambung Anggelina, Ridwan mengangguk dan mengikuti kembali langkah Anggelina menuju ruangan lain yang berada 3 lantai di bawahnya. Di bangunan kantor yang terdiri dari puluhan lantai itu lantai paling atas adalah ruangan direktur beserta bawahanya, satu tingkat di bawahnya bagian keuangan lalu bagian produksi, baru lah bagian marketing di mana nanti Ridwan akan di tempatkan di sana. Perusahaan yang di pimpin Anggelina memang salah satu perusahaan yang terbesar di kota itu, jumlah karyawannya ada ratusan orang meliputi segala bidang termasuk buruh di pabrik tempat memproduksi produk dari perusahaan itu. “Tok..! Tok..! Tok..!” “Ya silahkan masuk, pintu tidak dikunci,” sahut seorang wanita di dalam ruangan itu, Anggelina pun membuka pintu ruangan itu. Mengetahui jika sosok yang datang adalah direktur perusahaan, sosok wanita cantik berumur lebih tua dari Anggelina yang tadi duduk langsung berdiri dan menyambut kedatang
“Tidak salah dengan penilaian Papa terhadap Bang Ridwan..” “Pak Wijaya menilai saya bagaimana Bu?” potong Ridwan. “Nah, mulai lagi kan pakai bahasa resmi di lingkungan kantor?” “Eh iya, maaf Anggelina. Aku terbawa-bawa saat bicara dengan Bu Clara tadi,” ujar Ridwan diiringi senyumnya. “Hemmm, Papa menilai sosok Bang Ridwan adalah pria yang jujur dan pekerja keras. Akan mudah bagi Bang Ridwan untuk beradaptasi dengan yang lainnya di kantor, dan itu terbukti dengan cepat Bang Ridwan mengerti apa yang diarahkan oleh Bu Clara,” tutur Anggelina menjelaskan tentang penilaian dari Papanya itu terhadap Ridwan. “Masa Pak Wijaya menilaiku begitu, Anggelina? Padahal kami belum pernah bertemu,” Ridwan merasa heran. “Papa itu jam terbangnya di dunia perusahaan udah tinggi Bang, jadi Papa juga dapat menilai mana sosok karyawan yang memiliki potensi lebih mana yang tidak.” “Oh begitu, aku jadi kagum dengan sosok Pak Wijaya. Mendengar penjelasan Anggelina terhadapnya, ternyata beliau juga seor
“Assalamualaikum,” ucap Kintani saat telah berada di depan pintu rumah kediaman Pak Arif. “Waalaikum salam, mari silahkan masuk adik-adik mahasiswa,” balas Pak Arif kemudian mempersilahkan rombongan Kintani yang terdiri dari 7 orang itu masuk ke rumah. “Benarkah ini rumah Wali Nagari Koto Tuo?” tanya Kintani yang telah berada di ruang tamu bersama 6 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran lainnya. “Benar aku lah Wali Nagarinya,” ujar Pak Arif, kemudian Kintani dan 6 orang anggota kelompoknya memperkenalkan diri begitu pula sebaliknya dengan Wali Nagari Koto Tuo itu. “Adik-adik mahasiswa inikah yang beberapa hari yang lalu mengirimkan surat permohonan izin mengadakan KKN di kenagarian kami ini?” tanya Pak Arif. “Benar Pak, dan maaf kami tidak menuliskan nama Bapak di surat itu hanya Kepala Wali Nagari Koto Tuo saja. Maklum kami baru mengetahui nama Pak Arif sekarang,” ucap Kintani. “Nggak apa-apa Dik Kintani, yang terpenting surat itu jelas alamat dan tujuannya kepada siapa.” “Iya P
Sore itu di saat waktu istirahat kegiatan KKN begitu pula setelah dokter Hardi pulang dinas dari puskemas, ia mendatangi posko para mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas A itu. Kedatangan dokter Hardi sebenarnya ingin menemui Kintani, hingga setiba di posko langsung meminta waktu mahasiswi cantik Fakultas Kedokteran itu untuk ngobrol di depan posko. “Ada apa, Dok?” “Nggak ada apa-apa sih, pengen ngobrol aja. Oh ya, gimana kegiatan hari ini kebetulan tadi udah agak siang dapat mendampingi kalian?” ujar doker Hardi sembari balik bertanya pada Kintani. “Alhamdulillah, lancar-lancar saja Dok.” “Jangan panggil Dok dong, kan kita ngobrol di sini bukan lagi mengadakan penyuluhan pada masyarakat,” pinta dokter Hardi. “Oh ya udah, kalau gitu aku panggil Bang Hardi aja ya?” “Nah, gitu kan agak santai kedengarannya,” ulas dokter Hardi senang. “Bang Hardi udah lama tugas di puskesmas di kenagarian ini?” tanya Kintani. “Lebih kurang 1 setengah tahunan lah, setelah sekitar setahun sebel