“Ke rumah Badai aja, Mil.”“Ke rumah Badai?”Mili yang tadinya tengah fokus mengemudi, menoleh pada Padma dengan terkejut. “Sekarang?”“Iya.” Padma mengangguk. “Pasti Asa ada di rumah kan? Nggak dibawa kerja sama Badai kan?”“Iya sih….” Mili hari ini memang menyempatkan diri bekerja setengah hari setelah jam makan siang nanti supaya pagi ini bisa menjemput Padma.Setelah mengantar Padma sampai rumah, baru nanti rencananya ia kembali ke kantor dan makan siang dengan suaminya, Arsa.“Ya udah, beneran ke rumah Badai nih?” tanya Mili sekali lagi.“Iya, bener.”Padma menatap ke luar jendela sambil menghela napasnya. “Aku kangen sama Asa, pengen ketemu dia dulu rasanya.”“Dia juga kangen sama kamu.”“Kondisinya separah itu, Mil?”“Iya….” Mili kembali menghela napasnya saat mengingat bagaimana Asa yang jadi tak mau bicara sama sekali pada siapa pun. “Padahal sebelumnya kan udah ada kemajuan ya, dia jadi mau mulai ngomong sama orang lain. Tapi apa yang Asa liat waktu itu kan emang nggak bisa
“Nah, ayo pamit sama Mama Padma. Ini udah waktunya Asa tidur.”Tapi bukannya melambaikan tangan untuk pamit pada Padma, Asa malah melepas genggaman tangannya dari Badai dan beranjak ke sisi Padma. Tangan mungilnya meraih tangan Padma dan ia langsung mendongak untuk bertukar tatap dengan perempuan itu.“Mau Mama bacain dongeng?” tanya Padma dengan lembut.Asa langsung berkali-kali mengangguk dan Padma beralih pada Badai. “Boleh aku temenin Asa sampai dia tidur?”“Boleh.” Badai mengangguk ragu. “Yuk, ke kamarnya.”Lelaki yang sudah berganti pakaian dengan pakaian yang lebih kasual tersebut menunjukkan jalan menuju kamar Asa. Di belakangnya, Padma sibuk mengajak Asa mengobrol tanpa merasa keberatan kalau Asa tak menjawabnya sama sekali.Setelah makan siang tadi Badai memang tak kembali ke kantornya dan memilih untuk bermain bersama Padma dan Asa.Sekalipun Asa tak bicara satu patah kata pun, tapi ia tersenyum dan tertawa saat bersama Padma—dan hal itu sudah cukup bagi Badai.Hidupnya beb
Padma tak pernah siap mendengarkan wasiat Catra.“Kapan Catra siapin ini semua?”Pengacara Catra yang bernama Lius tersebut mencoba mengingat kembali pertemuannya dengan Catra. Meskipun ia adalah pengacara keluarga Kamandaru, tapi belum lama ini ia berurusan dengan Catra secara pribadi.“Sekitar enam bulan yang lalu. Beliau bertemu saya di kantor.”Padma mengangguk pelan dan ibu mertuanya ikut menguatkan dengan cara mengusap bahunya dengan lembut. Di samping ibu mertuanya, ada dua adik ipar Catra yang usianya tak beda jauh dari Arsa—Daiva dan Khandra.“Silakan dimulai aja, Pak.” Padma memberi tahu Lius untuk segera membacakan surat wasiat mendiang suaminya.Hari ini adalah hari yang disepakati Padma dan pengacara Catra untuk membacakan surat wasiat yang ditinggalkan oleh suaminya. Untuk meminta dukungan, Padma meminta ditemani ibu mertuanya yang dituruti dengan senang hati.Lius pun mulai membacakan isi surat tersebut dan rasanya masih menyakitkan untuk Padma ketika kembali mengingat
Padma Hardjaja: Besok aku pulang ke Bali. Titip salam untuk Asa ya.Badai belum membalas pesan yang dikirim Padma sejak sore tadi padanya. Sampai saat ini ia dan Asa baru selesai makan malam, Badai masih menimbang-nimbang untuk menyampaikan pesan tersebut pada Asa.Meskipun Asa tak mengatakan apa pun, tapi Badai beberapa hari ini menemukan Asa duduk di ruang tengah seakan tengah menunggu seseorang. Ketika Badai bertanya apakah Padma yang ia tunggu, Asa menjawabnya dengan anggukan.Apa Asa akan baik-baik saja jika tahu kalau Padma akan kembali ke Bali?Tapi siapalah mereka yang berhak menghalangi Padma?“Asa,” panggil Badai saat mereka menaiki undakan anak tangga menuju kamar Asa di lantai dua. “Papa mau ngomong sesuatu sama Asa.”Asa mendongak dan menatap Badai dengan tatapan bertanya.“Asa inget kan kalau Mama Padma sebelum dateng ke sini, tinggalnya di Bali?” tanya Badai begitu kaki mereka menjejak di lantai dua. “Nah, besok, Mama Padma mau pulang ke Bali.”Badai memperhatikan reaks
“Aku baik-baik aja, Mil. Astaga, kamu nelepon aku dalam sehari udah berapa kali? Kayak pacar posesif aja.”“Aku kan emang pacar kamu.”“Stop it,” gerutu Padma yang membuat Mili tertawa di seberang sambungan telepon tersebut. “Aku geli dengernya.”“Baguslah.” Mili tak peduli dengan keluhan Padma. “Eh ya, kemarin aku baru dari kedai es krim di Kemang yang sering kamu datengin itu lho. Terus mereka keluarin varian baru. Kurasa kalau kamu di sini, kamu bakal suka sama varian barunya.”“Oh, ya?” Padma tentu saja ingat kedai es krim itu. Di sanalah ia dan Catra biasa kencan di akhir pekan kalau Padma sedang ingin es krim.“Iya. Kemarin aku juga ketemu Asa.”“Apa kabar Asa?”“Fine, as usual,” jawab Mili dengan santai. “Mereka nanyain kabar kamu ke aku. Emangnya kamu nggak pernah teleponan sama Asa?”Sudah sebulan sejak Padma kembali ke Bali. Di hari-hari pertama, rasanya berat untuk mendapati kini sisi ranjang di sebelahnya kosong tak berpenghuni.Seringnya Padma tertidur setelah mengusap ba
“Nyanyi dulu dong, baru aku kasih tahu kabarnya Padma.”Badai mendengus. “Nyanyi apa?”“Lagunya BCL yang dulu itu lho. Ada kan tuh liriknya, ‘Sunny, Sunny, apa kabarmu? Kabarku baik-baik saja’.”Badai menatap Ksatria dan Yogas seperti mereka adalah dua orang gila yang tersesat di rumahnya.Yogas yang baru saja mengusulkan agar Badai bernyanyi dulu sebelum ia memberi tahunya mengenai kabar Padma, langsung tertawa senang melihat ekspresi masam Badai.Setelah berada di Bali selama tiga hari, Ksatria dan Yogas akhirnya pulang ke Jakarta. Mereka sebenarnya hampir setiap hari bersama dengan Padma.Dari Kuta ke Jimbaran tempat di mana vila Catra dan Padma tidak terlalu jauh, maka dari itu mereka menyempatkan diri berkendara ke Jimbaran.Badai tahu rencana mereka bahkan sebelum mereka naik pesawat dari Jakarta, tapi lelaki itu tak berkomentar sama sekali.“Asa, dapet salam dari Mama Padma,” kata Ksatria yang tengah duduk memangku Asa. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Ksatria memang memint
“Di sini tempatnya?”“Iya.” Mili menatap ke luar jendela mobilnya. Hari ini adalah hari libur nasional dan pemakaman itu terlihat agak ramai dibanding biasanya. “Yuk.”“Mm….” Padma melepas seat belt-nya dengan ragu. “Kalau aku sendiri, boleh nggak? Kamu kasih tahu aja ke arah mana makamnya.”Mili tentu saja tak langsung menjawab permintaan Padma. Ia khawatir, tapi tatapan Padma padanya membuat Mili akhirnya menyerah.“Beneran nggak apa-apa sendirian?”“Beneran.”“Oke….” Mili menghela napasnya. “Dari pintu gerbang, kamu jalan lurus, nanti belok ke kanan. Makamnya ada di dekat pohon pohon kemboja. Kamu nggak bakal bingung karena pohon kemboja yang di tengah area pemakaman ini cuma yang di situ. Sisanya ada di pojok semua.”“Sip. Aku udah hafal.”“Kalau kamu bingung, telepon aku.”“Iya, Nyonya Hardjaja.”Mili terkekeh pelan mendengar bagaimana Padma memanggilnya seperti itu. Ia ikut turun dari mobilnya, lalu berkata pada Padma. “Aku tunggu di situ ya.”Padma melihat ke sebuah warung keci
“Apa kamu akan pergi lagi ke Bali setelah ini?”Padma memilih untuk tidak segera menjawab pertanyaan Badai. Tangannya terulur untuk mengusap sudut bibir Asa di mana ada jejak es krim di sana.Sementara itu, Mili yang duduk di sebelah Padma hanya bisa menatap ke arah lain saat Badai menatapnya. Mili sendiri belum bertanya pada Padma karena masih terkejut dengan kedatangannya.“Nggak kok.” Padma akhirnya menjawab seraya menatap Badai. “Aku sepertinya akan di sini sampai melahirkan nanti.”“Syukurlah.” Badai bernapas lega dan tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Keluargamu pasti khawatir kalau kamu ada di tempat yang cukup jauh.”Aku juga khawatir.Namun Badai menahan diri