“Aku baik-baik aja, Mil. Astaga, kamu nelepon aku dalam sehari udah berapa kali? Kayak pacar posesif aja.”“Aku kan emang pacar kamu.”“Stop it,” gerutu Padma yang membuat Mili tertawa di seberang sambungan telepon tersebut. “Aku geli dengernya.”“Baguslah.” Mili tak peduli dengan keluhan Padma. “Eh ya, kemarin aku baru dari kedai es krim di Kemang yang sering kamu datengin itu lho. Terus mereka keluarin varian baru. Kurasa kalau kamu di sini, kamu bakal suka sama varian barunya.”“Oh, ya?” Padma tentu saja ingat kedai es krim itu. Di sanalah ia dan Catra biasa kencan di akhir pekan kalau Padma sedang ingin es krim.“Iya. Kemarin aku juga ketemu Asa.”“Apa kabar Asa?”“Fine, as usual,” jawab Mili dengan santai. “Mereka nanyain kabar kamu ke aku. Emangnya kamu nggak pernah teleponan sama Asa?”Sudah sebulan sejak Padma kembali ke Bali. Di hari-hari pertama, rasanya berat untuk mendapati kini sisi ranjang di sebelahnya kosong tak berpenghuni.Seringnya Padma tertidur setelah mengusap ba
“Nyanyi dulu dong, baru aku kasih tahu kabarnya Padma.”Badai mendengus. “Nyanyi apa?”“Lagunya BCL yang dulu itu lho. Ada kan tuh liriknya, ‘Sunny, Sunny, apa kabarmu? Kabarku baik-baik saja’.”Badai menatap Ksatria dan Yogas seperti mereka adalah dua orang gila yang tersesat di rumahnya.Yogas yang baru saja mengusulkan agar Badai bernyanyi dulu sebelum ia memberi tahunya mengenai kabar Padma, langsung tertawa senang melihat ekspresi masam Badai.Setelah berada di Bali selama tiga hari, Ksatria dan Yogas akhirnya pulang ke Jakarta. Mereka sebenarnya hampir setiap hari bersama dengan Padma.Dari Kuta ke Jimbaran tempat di mana vila Catra dan Padma tidak terlalu jauh, maka dari itu mereka menyempatkan diri berkendara ke Jimbaran.Badai tahu rencana mereka bahkan sebelum mereka naik pesawat dari Jakarta, tapi lelaki itu tak berkomentar sama sekali.“Asa, dapet salam dari Mama Padma,” kata Ksatria yang tengah duduk memangku Asa. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Ksatria memang memint
“Di sini tempatnya?”“Iya.” Mili menatap ke luar jendela mobilnya. Hari ini adalah hari libur nasional dan pemakaman itu terlihat agak ramai dibanding biasanya. “Yuk.”“Mm….” Padma melepas seat belt-nya dengan ragu. “Kalau aku sendiri, boleh nggak? Kamu kasih tahu aja ke arah mana makamnya.”Mili tentu saja tak langsung menjawab permintaan Padma. Ia khawatir, tapi tatapan Padma padanya membuat Mili akhirnya menyerah.“Beneran nggak apa-apa sendirian?”“Beneran.”“Oke….” Mili menghela napasnya. “Dari pintu gerbang, kamu jalan lurus, nanti belok ke kanan. Makamnya ada di dekat pohon pohon kemboja. Kamu nggak bakal bingung karena pohon kemboja yang di tengah area pemakaman ini cuma yang di situ. Sisanya ada di pojok semua.”“Sip. Aku udah hafal.”“Kalau kamu bingung, telepon aku.”“Iya, Nyonya Hardjaja.”Mili terkekeh pelan mendengar bagaimana Padma memanggilnya seperti itu. Ia ikut turun dari mobilnya, lalu berkata pada Padma. “Aku tunggu di situ ya.”Padma melihat ke sebuah warung keci
“Apa kamu akan pergi lagi ke Bali setelah ini?”Padma memilih untuk tidak segera menjawab pertanyaan Badai. Tangannya terulur untuk mengusap sudut bibir Asa di mana ada jejak es krim di sana.Sementara itu, Mili yang duduk di sebelah Padma hanya bisa menatap ke arah lain saat Badai menatapnya. Mili sendiri belum bertanya pada Padma karena masih terkejut dengan kedatangannya.“Nggak kok.” Padma akhirnya menjawab seraya menatap Badai. “Aku sepertinya akan di sini sampai melahirkan nanti.”“Syukurlah.” Badai bernapas lega dan tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Keluargamu pasti khawatir kalau kamu ada di tempat yang cukup jauh.”Aku juga khawatir.Namun Badai menahan diri
Biasanya, rutinitas Badai dan Asa di Sabtu pagi adalah sarapan lalu bermain di ruang tengah sampai siang. Tapi karena Jumat kemarin adalah hari libur, maka mereka sudah melakukan aktivitas khusus akhir pekan tersebut sejak kemarin.“Asa mau jalan-jalan lagi?” tawar Badai pada Asa yang duduk di sebelahnya. “Mau ke Dufan? Sea World?”Asa menggeleng sambil memainkan jemari ayahnya. Satu hal yang disukai Asa adalah menelusuri telapak tangan ayahnya dan memainkan jemarinya yang jauh lebih besar dari jemari Asa sendiri.Ksatria pernah bercanda, kalau Asa tahu tangan siapa yang selama ini selalu menggendong dan merawatnya dalam keadaan apa pun.“Terus mau ke mana, Nak?” Badai menunduk agar bisa menatap wajah Asa untuk menemukan jawabanny
Damn, apa yang tadi aku bilang?Badai memaki dirinya sendiri saat melihat bagaimana Padma terpekur di tempatnya begitu mendengar satu kalimat yang sudah sejak semalam ia pikirkan.“Maksudku….” Badai berdeham beberapa kali. “Aku nggak bisa ngeliat kamu pergi lagi dan sendirian di tempat yang jauh dari keluarga. Sebagai orang yang cuma punya anakku untuk bertahan, aku tahu gimana rasanya hanya berdua dengan anak, tanpa ada keluarga di samping kita.”Dasar pengecut, maki Badai pada dirinya sendiri. Apa yang ia katakan pertama kalinya tadi adalah hal yang memang ingin ia sampaikan pada Padma.Namun, sedetik setelah melihat raut wajah Padma yang seakan-akan dipaksa mendengar sesuatu yang sangat menyebalkan, membuat Badai a
Arsa mengamati Badai Tanaka yang duduk di sampingnya dalam diam. Ia tahu, sejak tadi pun ayahnya sudah memperhatikan Badai.Lelaki itu tak bersikap yang aneh-aneh. Tapi sesekali pastilah Badai mengecek keadaan Padma.“Mili pernah cerita, dulu dia sama Mbak Padma pernah punya misi untuk bikin kamu tergila-gila sama Mbak Padma supaya dari sebelum menikah sampai kalian ‘misalnya’ menikah, kamu nggak macem-macem.”Suara derak tulang leher Badai yang diakibatkan oleh pergerakannya ketika menoleh pada Arsa, membuat Arsa meringis.“Dan ternyata Mbak Padma berhasil,” lanjtu Arsa tanpa segan-segan. “Bahkan sampai sekarang kamu masih tergila-gila sama Mbak Padma.”“Bisa kita bicarakan h
Padma memperhatikan penampilannya di cermin, menatap refleksi dirinya yang hari ini mengenakan gaun kasual selutut berwarna peach. Wajahnya sudah tak sepucat kemarin, agak lebih baik karena semalam ia berhasil tidur tanpa menangis atau berpikir hampir semalaman.Ketukan di pintu kamarnya menghentikan kegiatannya dan Padma menyahut, “Masuk.”Pintu kamarnya terbuka dan ART-nya melongokkan kepalanya untuk bicara pada Padma. “Bu, ada Mbak Lita sama Den Asa di ruang tengah.”“Ah… iya, makasih, Mbak. Tolong dibikinin minum sama keluarin kue yang kemarin saya beli ya.”Perempuan yang usianya beberapa tahun lebih muda dari Padma itu mengangguk, lalu kembali meninggalkannya. Padma pun bergegas keluar dan senyumnya langsung