“Nyanyi dulu dong, baru aku kasih tahu kabarnya Padma.”Badai mendengus. “Nyanyi apa?”“Lagunya BCL yang dulu itu lho. Ada kan tuh liriknya, ‘Sunny, Sunny, apa kabarmu? Kabarku baik-baik saja’.”Badai menatap Ksatria dan Yogas seperti mereka adalah dua orang gila yang tersesat di rumahnya.Yogas yang baru saja mengusulkan agar Badai bernyanyi dulu sebelum ia memberi tahunya mengenai kabar Padma, langsung tertawa senang melihat ekspresi masam Badai.Setelah berada di Bali selama tiga hari, Ksatria dan Yogas akhirnya pulang ke Jakarta. Mereka sebenarnya hampir setiap hari bersama dengan Padma.Dari Kuta ke Jimbaran tempat di mana vila Catra dan Padma tidak terlalu jauh, maka dari itu mereka menyempatkan diri berkendara ke Jimbaran.Badai tahu rencana mereka bahkan sebelum mereka naik pesawat dari Jakarta, tapi lelaki itu tak berkomentar sama sekali.“Asa, dapet salam dari Mama Padma,” kata Ksatria yang tengah duduk memangku Asa. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Ksatria memang memint
“Di sini tempatnya?”“Iya.” Mili menatap ke luar jendela mobilnya. Hari ini adalah hari libur nasional dan pemakaman itu terlihat agak ramai dibanding biasanya. “Yuk.”“Mm….” Padma melepas seat belt-nya dengan ragu. “Kalau aku sendiri, boleh nggak? Kamu kasih tahu aja ke arah mana makamnya.”Mili tentu saja tak langsung menjawab permintaan Padma. Ia khawatir, tapi tatapan Padma padanya membuat Mili akhirnya menyerah.“Beneran nggak apa-apa sendirian?”“Beneran.”“Oke….” Mili menghela napasnya. “Dari pintu gerbang, kamu jalan lurus, nanti belok ke kanan. Makamnya ada di dekat pohon pohon kemboja. Kamu nggak bakal bingung karena pohon kemboja yang di tengah area pemakaman ini cuma yang di situ. Sisanya ada di pojok semua.”“Sip. Aku udah hafal.”“Kalau kamu bingung, telepon aku.”“Iya, Nyonya Hardjaja.”Mili terkekeh pelan mendengar bagaimana Padma memanggilnya seperti itu. Ia ikut turun dari mobilnya, lalu berkata pada Padma. “Aku tunggu di situ ya.”Padma melihat ke sebuah warung keci
“Apa kamu akan pergi lagi ke Bali setelah ini?”Padma memilih untuk tidak segera menjawab pertanyaan Badai. Tangannya terulur untuk mengusap sudut bibir Asa di mana ada jejak es krim di sana.Sementara itu, Mili yang duduk di sebelah Padma hanya bisa menatap ke arah lain saat Badai menatapnya. Mili sendiri belum bertanya pada Padma karena masih terkejut dengan kedatangannya.“Nggak kok.” Padma akhirnya menjawab seraya menatap Badai. “Aku sepertinya akan di sini sampai melahirkan nanti.”“Syukurlah.” Badai bernapas lega dan tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Keluargamu pasti khawatir kalau kamu ada di tempat yang cukup jauh.”Aku juga khawatir.Namun Badai menahan diri
Biasanya, rutinitas Badai dan Asa di Sabtu pagi adalah sarapan lalu bermain di ruang tengah sampai siang. Tapi karena Jumat kemarin adalah hari libur, maka mereka sudah melakukan aktivitas khusus akhir pekan tersebut sejak kemarin.“Asa mau jalan-jalan lagi?” tawar Badai pada Asa yang duduk di sebelahnya. “Mau ke Dufan? Sea World?”Asa menggeleng sambil memainkan jemari ayahnya. Satu hal yang disukai Asa adalah menelusuri telapak tangan ayahnya dan memainkan jemarinya yang jauh lebih besar dari jemari Asa sendiri.Ksatria pernah bercanda, kalau Asa tahu tangan siapa yang selama ini selalu menggendong dan merawatnya dalam keadaan apa pun.“Terus mau ke mana, Nak?” Badai menunduk agar bisa menatap wajah Asa untuk menemukan jawabanny
Damn, apa yang tadi aku bilang?Badai memaki dirinya sendiri saat melihat bagaimana Padma terpekur di tempatnya begitu mendengar satu kalimat yang sudah sejak semalam ia pikirkan.“Maksudku….” Badai berdeham beberapa kali. “Aku nggak bisa ngeliat kamu pergi lagi dan sendirian di tempat yang jauh dari keluarga. Sebagai orang yang cuma punya anakku untuk bertahan, aku tahu gimana rasanya hanya berdua dengan anak, tanpa ada keluarga di samping kita.”Dasar pengecut, maki Badai pada dirinya sendiri. Apa yang ia katakan pertama kalinya tadi adalah hal yang memang ingin ia sampaikan pada Padma.Namun, sedetik setelah melihat raut wajah Padma yang seakan-akan dipaksa mendengar sesuatu yang sangat menyebalkan, membuat Badai a
Arsa mengamati Badai Tanaka yang duduk di sampingnya dalam diam. Ia tahu, sejak tadi pun ayahnya sudah memperhatikan Badai.Lelaki itu tak bersikap yang aneh-aneh. Tapi sesekali pastilah Badai mengecek keadaan Padma.“Mili pernah cerita, dulu dia sama Mbak Padma pernah punya misi untuk bikin kamu tergila-gila sama Mbak Padma supaya dari sebelum menikah sampai kalian ‘misalnya’ menikah, kamu nggak macem-macem.”Suara derak tulang leher Badai yang diakibatkan oleh pergerakannya ketika menoleh pada Arsa, membuat Arsa meringis.“Dan ternyata Mbak Padma berhasil,” lanjtu Arsa tanpa segan-segan. “Bahkan sampai sekarang kamu masih tergila-gila sama Mbak Padma.”“Bisa kita bicarakan h
Padma memperhatikan penampilannya di cermin, menatap refleksi dirinya yang hari ini mengenakan gaun kasual selutut berwarna peach. Wajahnya sudah tak sepucat kemarin, agak lebih baik karena semalam ia berhasil tidur tanpa menangis atau berpikir hampir semalaman.Ketukan di pintu kamarnya menghentikan kegiatannya dan Padma menyahut, “Masuk.”Pintu kamarnya terbuka dan ART-nya melongokkan kepalanya untuk bicara pada Padma. “Bu, ada Mbak Lita sama Den Asa di ruang tengah.”“Ah… iya, makasih, Mbak. Tolong dibikinin minum sama keluarin kue yang kemarin saya beli ya.”Perempuan yang usianya beberapa tahun lebih muda dari Padma itu mengangguk, lalu kembali meninggalkannya. Padma pun bergegas keluar dan senyumnya langsung
Yogas mengambil sekaleng soda dari kulkas yang ada di ruangan Badai. Sejujurnya ia jarang mampir ke Sadira Group, terutama ruangan Badai. Jadi ia masih belum terlalu familier dengan ruangan ini meskipun Badai sudah hampir dua tahun bekerja di sini.“Kamu nggak kepikiran mau balik ngurus The Clouds aja?”Badai menggeleng tanpa menatap Yogas. Matanya masih memperhatikan layar laptopnya ketika menjawab, “Ngurus The Clouds full time dan keluar dari sini kan maksudmu?”“Iya.” Yogas menyesap Coca Cola-nya sambil duduk di sofa. Setengah jam yang lalu ia baru selesai meeting di kantor rekanan perusahaan keluarganya yang terletak dua gedung dari Sadira Group.Maka dari itu ia terpikirkan untuk merecoki Badai di kantornya sebelum b
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec